Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Karaniya Metta Sutta

Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan. Untuk mencapai Keadaan Ketenangan Ia harus mampu jujur, sungguh jujur Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong

Karaniya Metta Sutta

Merasa puas, mudah disokong, Tiada sibuk, sederhana hidupnya, Tenang inderanya, berhati-hati, Tahu malu, tak melekat pada keluarga

Karaniya Metta Sutta

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para Bijaksana Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram, Semoga semua makhluk berbahagia

Karaniya Metta Sutta

Makhluk hidup apapun juga, Yang lemah atau kuat, tanpa kecuali, Yang panjang atau besar, Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk

Karaniya Metta Sutta

Jangan menipu orang lain, Atau menghina siapa saja, Jangan karena marah dan benci, Mengharap orang lain celaka

Sunday, May 27, 2007

DHAMMADAYADA SUTTA

1. Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Sang Bhagava menginap di Jetavana, arama milik Anathapindika, Savatthi. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: "Para Bhikkhu."
"Ya, Bhante,"jawab para bhikkhu. Selanjutnya Sang Buddha berkata:


2. "Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma (Dhammadayada), bukan pewarisku dalam materi. Berdasarkan pada kasih sayang pada anda sekalian Saya berpikir: 'Bagaimana para siswaKu menjadi pewarisKu dalam dhamma, bukan pewarisKu dalam materi?' Bilamana anda sekalian adalah pewarisKu dalam materi, bukan pewarisKu dalam Dhamma, anda sekalian akan dicela: 'Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam materi, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma', dan saya akan dicela: 'Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam materi, bukan sebagai pewarisNya dalam Dhamma.’ Bilamana anda sekalian adalah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi, anda sekalian tidak akan dicela: 'Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam materi, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma'; dan saya tidak akan dicela: 'Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam materi, bukan sebagai pewarisNya dalam Dhamma.’ Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi. Berdasarkan pada kasih sayang untuk anda sekalian Saya berpikir: 'Bagaimana para siswaKu akan menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan perwarisKu dalam materi?"'

3. "Para bhikkhu, misalnya Saya telah makan, tidak makan lagi karena telah kenyang, selesai, telah cukup, sesuai dengan apa yang diperlukan, namun ada makanan sisa yang akan dibuang. Kemudian ada dua orang bhikkhu tiba, lapar dan lemah. Saya berkata kepada mereka: 'Bhikkhu Saya telah makan, tidak makan lagi, karena telah kenyang, selesai, telah cukup, sesuai dengan apa yang diperlukan, namun ada makanan sisa yang akan dibuang. Makanlah bila anda mau; bila anda tidak makan, maka Saya akan membuangnya ke tempat yang tak berumput atau ke air yang tidak ada binatang'. Kemudian seorang bhikkhu berpikir: 'Sang Bhagava telah makan, tidak makan lagi, karena telah kenyang, selesai, telah cukup, sesuai dengan apa yang diperlukan, namun ada makanan sisa dari Sang Bhagava yang akan dibuang; bila kita tidak memakannya Sang Bhagava akan membuangnya ke tempat yang tak berumput atau ke air yang tidak ada binatang.’ Tetapi Sang Bhgava pernah berkata: 'Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam dhamma, bukan pewarisKu dalam materi,' dalam hal ini makanan adalah salah satu materi. Kiranya, lebih baik daripada makan makanan itu, saya akan menghabiskan waktu siang dan malam ini dengan lapar dan lemah.' Namun bhikkhu kedua berpikir: 'Sang Bhagava telah makan tidak makan lagi, karena telah kenyang selesai, telah cukup, sesuai dengan apa yang diperlukan, namun ada sisa makanan dari Sang Bhagava yang akan dibuang, bila kita tidak memakannya Sang Bhagava akan membuangnya ke tempat tak berumput atau ke air yang tidak ada binatang’. Sekiranya saya makan makanan ini, maka saya akan menghabiskan waktu siang dan malam ini dengan tanpa lapar dan tidak lemah.' Setelah makan makanan itu, ia menghabiskan siang dan malam tanpa lapar dan lemah. Walaupun bhikkhu itu makan makanan itu menghabiskan siang dan malam tanpa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama adalah lebih dihormati dan dipuji olehKu. Mengapa begitu? Sebab itu akan berlangsung lama bagi keinginannya yang sedikit, puas, mudah dilayani dan bersemangat. Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi. Berdasarkan pada kasih sayang untuk anda sekalian Saya berpikir: 'Bagaimana para siswaKu akan menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan perwarisKu dalam materi?"'

4. Itulah yang dikatakan Sang Bhagava. Setelah mengatakan hal ini, Sang Sugata bangkit dari dudukNya dan pergi ke kuti. Segera setelah Beliau pergi, Bhikkhu Sariputta berkata kepada para bhikkhu:
"Avuso, bhikkhu."
“Avuso", jawab mereka.
Bhikkhu Sariputta berkata:

5. "Para avuso, dengan cara apa para siswa Sang Guru yang hidup menyepi tidak terlatih dalam ketenangan? Dengan cara apa para siswa Sang Guru yang hidup menyepi terlatih dalam ketenangan?"
“Avuso, sesungguhnya kami datang dari jauh untuk belajar dari Bhikkhu Sariputta tetang arti dari penyataan ini. Sangat baik, bilamana Bhikkhu Sariputta akan menerangkan arti dari pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”
"Para Avuso, dengarlah dan perhatikanlah apa yang akan saya katakana.
"Avuso, baiklah." jawab para bhikkhu.
Bhikkhu Sariputta berkata:

6. "Para avuso, dengan cara apa para siswa Sang Guru yang hidup menyepi tidak terlatih dalam ketenangan? Dalam hal ini, para siswa Sang Guru yang hidup menyepi tidak terlatih dalam ketenangan, karena mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan pada mereka untuk ditinggalkan, mereka hidup mewah, tidak waspada, melakukan kesalahan, tidak menyukai ketenangan.

Dalam hal ini, para bhikkhu thera harus dicela berdasarkan tiga alasan. Sebagai siswa-siswa Sang Guru yang hidup menyepi, mereka tidak terlatih dalam ketenangan, mereka dicela karena alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan, mereka dicela karena alasan kedua ini. Mereka hidup mewah, tidak waspada, melakukan kesalahan dan pemimpin yang tidak menyukai ketenangan: mereka dicela karena alasan ketiga ini. Para bhikkhu thera dicela karena tiga alasan ini.
Dalam hal ini, para bhikkhu majjhima harus dicela berdasarkan tiga alasan. Sebagai siswa-siswa Sang Guru yang hidup menyepi, mereka tidak terlatih dalam ketenangan, mereka dicela karena alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan, mereka dicela karena alasan kedua ini. Mereka hidup mewah, tidak waspada, melakukan kesalahan dan tidak menyukai ketenangan, mereka dicela karena alasan ketiga ini. Para bhikkhu Majhima dicela karena tiga alasan ini.

Dalam hal ini, para bhikkhu navaka (baru) harus dicela berdasarkan tiga alasan. Sebagai siswa-siswa Sang Guru yang hidup menyepi, mereka tidak terlatih dalam ketenangan, mereka dicela karena alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan, mereka dicela karena alasan kedua ini. Mereka hidup mewah, tidak waspada, melakukan kesalahan dan tidak menyukai ketenangan, mereka dicela karena alasan ketiga ini.

Para bhikkhu thera dicela karena tiga alasan ini. Dengan cara ini para siswa Sang Guru yang hidup menyepi tidak terlatih dalam ketenangan."

7. "Para avuso, dengan cara apa para siswa Sang Guru yang hidup menyepi terlatih dalam ketenangan? Dalam hal ini, para siswa Sang Guru yang hidup menyepi terlatih dalam ketenangan; mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan pada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup tidak mewah, waspada, menghindari melakukan kesalahan dan menyukai ketenangan.

Dalam hal ini, para bhikkhu thera harus dipuji berdasarkan tiga alasan. Sebagai siswa-siswa Sang Guru yang hidup menyepi, mereka terlatih dalam ketenangan, mereka dipuji karena alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan, mereka dipuji karena alasan kedua ini. Mereka hidup tidak mewah, waspada, menghindari melakukan kesalahan dan pemimpin yang menyukai ketenangan, mereka dipuji karena alasan ketiga ini. Para bhikkhu thera dipuji karena tiga alasan ini.

Dalam hal ini, para bhikkhu majjhima harus dipuji berdasarkan tiga alasan. Sebagai siswa-siswa Sang Guru yang hidup menyepi, mereka terlatih dalam ketenangan, mereka dipuji karena alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan, mereka dipuji karena alasan kedua ini. Mereka hidup tidak mewah, waspada, menghindari melakukan kesalahan dan menyukai ketenangan, mereka dipuji karena alasan ketiga ini. Para bhikkhu majjhima dipuji karena tiga alasan ini.

Dalam hal ini, para bhikkhu navaka harus dipuji berdasarkan tiga alasan. Sebagai siswa-siswa Sang Guru yang hidup menyepi, mereka terlatih dalam ketenangan, mereka dipuji karena alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan, mereka dipuji karena alasan kedua ini. Mereka hidup tidak mewah, waspada, menghindari melakukan kesalahan dan menyukai ketenangan, mereka dipuji karena alasan ketiga ini. Para bhikkhu navaka dipuji karena tiga alasan ini.

Dengan ini cara para siswa Sang Guru yang hidup menyepi terlatih dalam ketenangan."

8. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa). Untuk meninggalkan (pahaya) keserakahan dan kebencian adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhinnaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.

9. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah marah dan balas dendam. Untuk meninggalkan (pahaya) marah dan balas dendam adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.”

10. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah memandang rendah dan menguasai. Untuk meninggalkan (pahaya) memandang rendah dan menguasai adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.”

11. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah iri hati dan dan kikir. Untuk meninggalkan (pahaya) iri hati dan dan kikir adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.”

12. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah menipu dan memaksa. Untuk meninggalkan (pahaya) menipu dan memaksa adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.”

13. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah keras kepala dan lancang. Untuk meninggalkan (pahaya) keras kepala dan lancang adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.

14. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah kesombongan dan kecongkakkan. Untuk meninggalkan (pahaya) kesombongan dan kecongkakkan adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna.

15. "Para avuso, dalam hal ini kejahatan adalah kesia-siaan dan kelalaian. Untuk meninggalkan (pahaya) kesia-siaan dan kelalaian adalah dengan Jalan Tengah (Majjhima Patipāda), yang menghasilkan penglihatan (cakkhu-karani), pengetahuan (ñanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhiññaya), penerangan agung (sambodhaya) dan Nibbāna. Apakah Jalan Tengah itu? Jalan Tengah itu adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan meditasi benar. Inilah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, pengetahuan, ketenangan, kemampuan batin, penerangan agung dan Nibbāna
Itulah yang dikatakan Bhikkhu Sariputta. Para bhikkhu puas dan gembira dengan apa yang dikatakan Bhikkhu Sariputta.

SABBĀSAVA SUTTA

1. Demikianlah saya dengar:
Pada suatu waktu Sang Bhagava menginap di Jetavana, arama milik Anathapindika, Savathi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu:
"Para bhikkhu".
"Ya, Bhante", jawab mereka.
2. Selanjutnya Sang Bhagava berkata sebagai berikut:
"Para bhikkhu, saya akan menerangkan kepada kamu sekalian tentang 'cara mengendalikan' (samvarapariyaya) 'semua kotoran batin' (sabbāsava), maka dengar dan perhatikan baik-baik apa yang akan saya katakan."
"Baiklah, Bhante", jawab para bhikkhu menyetujuinya.


3. Lalu Sang Bhagava berkata:
"Para bhikkhu, Saya nyatakan bahwa 'kotoran batin' (asava) itu akan lenyap pada diri seseorang yang mengerti dan melihat, bukan pada diri seseorang yang tidak mengerti dan tidak melihat.
Apakah yang dimengerti dan dilihat untuk melenyapkan kotoran batin itu? Yaitu adalah perhatian benar (yoniso manasikara) dan perhatian tidak benar (ayoniso manasikara)”.

“Bila seorang berperhatian tidak benar, maka kotoran batin yang belum muncul, menjadi muncul; di samping itu kotoran batin (yang tidak benar) dan yang telah muncul akan lebih berkembang. Sedangkan, bila seseorang berperhatian benar, maka kotoran batin (yang tidak benar) dan yang telah muncul akan dilenyapkan”.

4. Para bhikkhu ada kotoran batin yang, ditinggalkan (pahatabba) dengan 'penglihatan' (dassana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'pengendalian diri' (samvara). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'penggunaan' (patisevana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'penahanan' (adhisevana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'penghindaran' (parivajjana). Ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan ‘penghapusan' (vinodana). Juga ada kotoran batin yang dapat dilenyapkan dengan 'pengembangan' (bhavana) batin.

5. Para bhikkhu, apakah kotoran batin dapat dilenyapkan dengan penglihatan?

Para bhikkhu, dalam hal ini, seorang awam (puthujjana) yang tidak mempedulikan para ariya, tidak terlatih dan tidak disiplin dalam ariyadhamma, tidak mengerti ariyadhamma yang pantas diperhatikan dan dhamma apa yang tidak pantas diperhatikan. Karena bersikap seperti itu, ia memperhatikan dhamma yang tidak pantas diperhatikan, tidak memperhatikan dhamma yang pantas diperhatikan.

6. "Apakah dhamma yang tidak pantas diperhatikan namun ia perhatikan?

Dhamma itu adalah hal-hal yang bila ia perhatikan maka akan memunculkan 'kotoran batin nafsu indera' (kama-asava) yang (tadinya) belum muncul, sedangkan ‘kotoran batin nafsu indera’ yang telah muncul menjadi lebih berkembang; memunculkan 'kotoran batin menjadi' (bhava-asava) yang (tadinya) belum muncul, sedangkan 'kotoran batin menjadi' yang telah muncul menjadi lebih berkembang (pavaddhati); memunculkan 'kotoran batin kebodohan' (avijja-asava) yang (tadinya) belum muncul, sedangkan ‘kotoran batin kebodohan’ yang telah muncul menjadi lebih berkembang. Inilah dhamma yang tidak perlu diperhatikan namun ia perhatikan."

"Apakah dhamma yang perlu ia perhatikan namun tidak ia perhatikan?

“Dhamma itu adalah hal-hal yang bila ia perhatikan, maka tidak memunculkan 'kotoran batin nafsu indera', sedangkan 'kotoran batin nafsu indera' yang telah muncul ditinggalkannya (pahiyati); tidak memunculkan 'kotoran batin menjadi', sedangkan 'kotoran batin menjadi' yang telah muncul ditinggalkan; tidak memunculkan 'kotoran batin kebodohan', sedangkan 'kotoran batin kebodohan' yang telah muncul ditinggalkannya. Inilah dhamma yang perlu ia perhatikan namun ia tidak perhatikan”.

“Dengan memperhatikan dhamma yang tidak perlu diperhatikan dan dengan tidak memperhatikan dhamma yang perlu diperhatikan, kedua kotoran batin yang belum muncul dan kotoran batin yang telah muncul menjadi berkembang padanya."

7. "Beginilah bagaimana ia yang tidak bijaksana memperhatikan: 'Apakah saya ada pada masa yang lampau (atita)?
Apakah saya tidak ada pada waktu yang lampau?
Apakah saya pada waktu yang lampau?
Bagaimana saya pada masa yang lampau?
Telah menjadi apa, dan saya menjadi apa pada waktu yang lampau?
Apakah saya akan ada pada masa yang akan datang (anagatam)?
Apakah saya akan tidak ada pada masa yang akan datang?
Apa yang akan terjadi dengan diri saya pada masa yang akan datang?
Bagaimana keberadaan saya pada masa yang akan datang?
Telah menjadi apa, dan saya akan menjadi apa pada masa yang akan datang?
Atau, juga dari 'dalam' (ajjhattam) ia bingung tentang masa sekarang: 'Adakah saya? Tidak adakah saya? Apakah saya? Bagaimanakah saya? Dari manakah makhluk (satta) ini datang? Ke manakah ia akan pergi?'

8. "Ketika ia tidak bijaksana memperhatikan dengan cara seperti ini, salah satu dari enam pandangan muncul padanya:
Pandangan 'aku (atta) ada untukku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.
Atau pandangan 'tidak aku untukku’ muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.
Atau pandangan 'saya mencerap aku dengan aku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.
Atau pandangan 'saya mencerap bukan-aku dengan aku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.
Atau pandangan 'saya mencerap aku dengan bukan-aku' muncul sebagai suatu hal yang benar dan tetap.
Atau pandangan 'aku milikku ini yang berbicara, merasakan dan mengalami 'akibat' (vipaka) dari 'perbuatan baik dan buruk' (kalyanapapakanam kammanam) di sini maupun di sana; namun aku milikku ini kekal, abadi, tetap, tidak berubah, akan bertahan sampai selamanya.'
Para bhikkhu, inilah yang disebut 'spekulasi pandangan' (ditthigata), 'belukar-pandangan' (ditthigahana), 'belantara-pandangan' (ditthikantara), 'pemutarbalikkan pandangan' (ditthivisuka), 'kebimbangan-pandangan' (ditthivipphandita) dan 'belenggu-pandangan' (ditthisanyojana). Terbelenggu oleh 'belenggu-pandangan', maka 'orang awam yang tak-terdidik' (assutava puthujjano) tidak akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, penderitaan, kesedihan, kesakitan, kesusahan, dan putus-asa; saya nyatakan ia tidak terbebas dari 'dukkha' (penderitaan).

9. 'Aku mencerap ketidakakuan dan keakuan’ sebagai suatu hal yang benar dan mutlak, atau dia akan berpandangan bahwa akulah yang bicara dan merasakan serta mengalami akibat dari perbuatan baik atau buruk: tetapi milikku ini adalah kekal, selama-lamanya, abadi, tak dapat berubah dan akan berlangsung selamanya."
"Pandangan macam ini disebut kekaburan pandangan, kebuasan pandangan, kerusakan pandangan, keragu-raguan pandangan, belenggu pandangan. Orang awam yang tak terpelajar dan terikat dengan belenggu pandangan-pandangan ini, tidak akan ada yang terbebas dari kelahiran, umur tua dan kematian dengan penderitaan serta ratap tangis, rasa sakit, takut dan putus asa; saya nyatakan ia tidak terbebas dari penderitaan.”
"Orang yang terpelajar, yang menghargai, memahami dan berdisiplin dengan ajaran orang-orang pandai serta bijaksana. Mengerti hal-hal yang penting untuk diperhatikan atau hal-hal apakah yang tidak penting untuk diperhatikan. Sehingga dia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak penting untuk diperhatikan dan dia memperhatikan hal-hal yang penting untuk diperhatikan."
"Apakah hal-hal yang ia tidak perhatikan?"
“Adalah hal-hal yang menyebabkan munculnya dukkha yang baru atau bertambahnya dukkha yang sudah ada yang berasal dari nafsu indera, keakuan dan ketidaktahuan. Inilah hal-hal yang tidak seharusnya ia diperhatikan.
"Apakah hal-hal yang ia perhatikan?"
Adalah hal-hal yang tidak menyebabkan munculnya dukkha yang baru atau bertambahnya dukkha yang sudah ada yang berasal dari nafsu indera, keakuan dan ketidaktahuan. Inilah hal-hal yang seharusnya ia diperhatikan.
"Dengan memperhatikan hal-hal yang perlu diperhatikan dan tidak memperhatikan hal-hal yang tidak perlu untuk diperhatikan, dukkha yang baru tidak muncul dan dukkha yang lama dapat dihilangkan."
"Beginilah bagaimana ia berpikir dengan bijaksana: 'Ini adalah dukkha (penderitaan), ini adalah asal mula dukkha, ini adalah terhentinya dukkha dan ini adalah jalan yang menuju terhentinya dukkha'."
"Ketika dia memperhatikan jalan ini dengan bijaksana, tiga belenggu dapat ditinggalkannya: keinginan untuk bertumimbal lahir, ketidakpastian dan kemelekatan terhadap upacara-upacara."
"Ini disebut sebagai dukkha yang dapat dihentikan dengan cara melihat".
"Apakah dukkha yang dapat dihentikan dengan pengendalian diri?"
"Seorang bhikkhu berpikir dengan bijaksana dapat mengendalikan kesulitan matanya". Bila dukkha jasmani dan perasaan bisa timbul pada seorang bhikkhu yang tidak dapat mengendalikan kesulitan matanya, maka tidak ada dukkha atau beban emosi yang timbul jika dia dapat mengendalikan kesulitan matanya.'
"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan matanya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.

"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan penciumannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.
"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan pengecapannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.
"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan pendengarannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.
"Berpikir dengan bijaksana dia dapat mengendalikan kesulitan badannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.
"Berpikir dengan bijaksana ia dapat mengendalikan kesulitan pikirannya, tak ada dukkha jasmani dan perasaan yang timbul bila pikirannya terkendali.
Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang pikirannya tidak terkendali, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang pikirannya terkendali. Inilah yang disebut penderitaan yang dapat dihentikan dengan pengendalian diri."
"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penggunaan?" Seorang bhikkhu berpikir dengan bijaksana menggunakan sebuah jubah sebagai pelindung dari dingin, panas dan untuk melindungi diri dari lalat, angin, panas yang membakar serta serangga tanah, juga hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang vital."
"Berpikir dengan bijaksana ia tidak menggunakan patta (mangkuk)-nya untuk hiburan atau kesombongan, tidak pula untuk keelokan dan hiasan. Tetapi sekedar untuk kelangsungan hidupnya, untuk menghilangkan rasa sakit dan membantu perkembangan batin (berpikir): 'Beginilah aku akan menghentikan kesadaran lama tanpa menimbulkan kesadaran baru dan terhindar dari kesalahan, aku akan hidup dengan benar dan sehat'."
"Berpikir dengan bijaksana ia menggunakan tempat peristirahatan untuk melindungi diri dari dingin, gangguan lalat, angin, panas terik dan serangga tanah. Dan hanya sekedar menghindar dari bahaya-bahaya cuaca dalam menikmati istirahat.”
"Berpikir dengan bijaksana dia menggunakan obat-obatan untuk menyembuhkan diri dari sakit, sekedar untuk melindungi diri dari rasa sakit vang timbul dan mengurangi rasa sakit itu."
"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak menggunakan segala sesuatunya dengan baik, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang menggunakan segala sesuatunya dengan baik."
"Ini yang disebut penderitaan yang dapat dihentikan dengan penggunaan".
"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penahanan?"
"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir menahan dingin, panas lapar, haus dan gangguan dari lalat, angin, panas dan serangga tanah, dia menahan diri dari menghina, kata-kata kasar dan perasaan yang menyakitkan, menyiksa, yang menusuk hati, yang mengkhawatirkan, mengancam dan membahayakan kehidupan."
"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat menahan, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang dapat menahan." "Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penghindaran?"
"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir menghindar dari seekor gajah liar, kuda liar, banteng liar, anjing liar, ular, batang pohon yang roboh, semak belukar, tanah berlubang, tebing batu, lubang dan lubang bawah tanah; berpikir dengan bijaksana untuk menghindar: duduk di kursi yang tidak menyenangkan, berkelana di tempat yang tidak cocok, bergaul dengan orang bodoh; yang mana hal-hal ini dianggap merupakan perbuatan salah oleh orang bijaksana".
"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat menghindar, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang dapat menghindar."
"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan penghapusan?"
"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir tidak membiarkan pikiran yang ditimbulkan oleh nafsu indera ... oleh kekesalan ... oleh penderitaan; dia tinggalkan, benar-benar menghilangkannya dan memusnahkannya. Dia tidak membiarkan hal-hal yang salah dan tidak berguna untuk timbul; dia meninggalkannya, benar-benar menghilangkannya dan memusnahkan hal-hal itu."
"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat menghapus pikiran-pikiran ini, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang dapat menghapus mereka."
"Apakah penderitaan yang dapat dihentikan dengan pengembangan?"

"Seorang bhikkhu dengan bijaksana berpikir, mengembangkan perhatian dari faktor-faktor penerangan sempurna (satisambojjhanga) yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu dan menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."
"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor penerangan sempurna (dhammavicayasambojjhanga)"
"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor semangat (viriya) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."
"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor kegiuran (piti) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."
"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor ketenangan (passaddhi) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."
"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor konsentrasi (samadhi) penerangan sempurna yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."
"Dia mengembangkan penelitian dhamma dari faktor-faktor keseimbangan batin (upekha) penerangan sempurna, yang merupakan penahanan diri, tanpa nafsu, menghentikan hal-hal yang menyebabkannya dan berubah tidak melakukannya."
"Bila dukkha jasmani dan perasaan dapat muncul pada seorang yang tidak dapat mengembangkan hal-hal itu, maka sebaliknya tidak ada dukkha jasmani dan perasaan yang dapat muncul pada seorang yang mengembangkannya."
"Segera setelah penderitaan seorang bhikkhu dapat ditinggalkan dengan cara melihat (ke dalam) (dassana), menahan, menggunakan, menghindar, menghilangkan dan mengembangkan telah dapat ditinggalkan, dia akan disebut sebagai seorang bhikkhu yang dapat menghentikan semua penderitaan: dia menghentikan keinginan (tanha), melepaskan belenggu (samyojana) dan telah mengakhiri penderitaan dengan penembusan kesombongan (mana)."
Demikian yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava.

Saturday, May 26, 2007

||||||||TIPITAKA-PALI|||||||: about

MULAPARIYAYA SUTTA

1.Demikianlah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di bawah pohon Sala-raja, di hutan Subhaga, Ukkhattha. Di tempat itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: "Para bhikku."
"Bhante," jawab para bhikkhu.

Sang Bhagava berkata: "Para bhikkhu, saya akan mengajarkan dasar metode (mulapariyaya) semua dhamma, dengarkan, perhatikan dengan seksama, saya akan bicara."
"Ya, bhante," jawab para bhikkhu menyetujuinya.
2.Sang Bhagava berkata: "Para bhikkhu, dalam hal orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun mengetahui (sanjanati) 'pathavi' (padat) sebagai pathavi. Ia mengetahui pathavi sebagai pathavi, ia berpikir tentang pathavi; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan pathavi; ia memikirkan (dirinya) sebagai pathavi; ia berpikir bahwa 'pathavi milikku', ia gembira dalam pathavi. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'apo' (cairan) sebagai apo, setelah mengetahui apo sebagai apo, ia berpikir tentang apo; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan apo; ia memikirkan (dirinya) sebagai apo; ia berpikir 'apo milikku', ia gembira dalam apo. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'tejo' (panas) sebagai tejo, setelah mengetahui tejo sebagai tejo, ia berpikir tentang tejo; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan tejo; ia memikirkan (dirinya) sebagai tejo; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam tejo. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'vayo' (angin) sebagai vayo, setelah mengetahui vayo sebagai vayo, ia berpikir tentang vayo; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan vayo; ia memikirkan (dirinya) sebagai vayo; ia berpikir 'vayo milikku', ia gembira dalam vayo. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'butha ' (makhluk) sebagai butha , setelah mengetahui butha sebagai butha , ia berpikir tentang butha ; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan butha ; ia memikirkan (dirinya) sebagai butha ; ia berpikir 'butha milikku', ia gembira dalam butha . Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'deva' (dewa) sebagai deva, setelah mengetahui deva sebagai deva, ia berpikir tentang deva; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan deva; ia memikirkan (dirinya) sebagai deva; ia berpikir 'deva milikku', ia gembira dalam deva. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Pajapati' sebagai Pajapati, setelah mengetahui Pajapati sebagai Pajapati, ia berpikir tentang Pajapati; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Pajapati; ia memikirkan (dirinya) sebagai Pajapati; ia berpikir 'Pajapati milikku', ia gembira dalam Pajapati. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Brahma' (Dewa Brahma) sebagai Brahma, setelah mengetahui Brahma sebagai Brahma, ia berpikir tentang Brahma; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Brahma; ia memikirkan (dirinya) sebagai Brahma; ia berpikir 'Brahma milikku', ia gembira dalam Brahma. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Abhassara' (Brahma Aabhasara) sebagai Abhassara, setelah mengetahui Abhassara sebagai Abhassara, ia berpikir tentang Abhassara; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Abhassara; ia memikirkan (dirinya) sebagai Abhassara; ia berpikir 'Abhassara milikku', ia gembira dalam Abhassara. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Subhakinna' (Brahma Subhakinna) sebagai Subhakinna, setelah mengetahui Subhakinna sebagai Subhakinna, ia berpikir tentang Subhakinna; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Subhakinna; ia memikirkan (dirinya) sebagai Subhakinna; ia berpikir 'Subhakinna milikku', ia gembira dalam Subhakinna. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Vehapphala' (Brahma Vehapphala) sebagai Vehapphala, setelah mengetahui Vehapphala sebagai Vehapphala, ia berpikir tentang Vehapphala; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Vehapphala; ia memikirkan (dirinya) sebagai Vehapphala; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Vehapphala. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Abhibhu' (Brahma Asannasatta) sebagai Abhibhu, setelah mengetahui Abhibhu sebagai Abhibhu, ia berpikir tentang Abhibhu; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Abhibhu; ia memikirkan (dirinya) sebagai Abhibhu; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Abhibhu. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Akasanancayatana' (…) sebagai Akasanancayatana, setelah mengetahui Akasanancayatana sebagai Akasanancayatana, ia berpikir tentang Akasanancayatana; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Akasanancayatana; ia memikirkan (dirinya) sebagai Akasanancayatana; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Akasanancayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Vinnanancayatana' (…) sebagai Vinnanancayatana, setelah mengetahui Vinnanancayatana sebagai Vinnanancayatana, ia berpikir tentang Vinnanancayatana; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Vinnanancayatana; ia memikirkan (dirinya) sebagai Vinnanancayatana; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Vinnanancayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Akincannayatana N’evasannanasannayatana' (cairan) sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana, setelah mengetahui Akincannayatana N’evasannanasannayatana sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana, ia berpikir tentang Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia memikirkan (dirinya) sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Akincannayatana N’evasannanasannayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'dittha ' (pandangan yang dilihat) sebagai dittha , setelah mengetahui dittha sebagai dittha , ia berpikir tentang dittha ; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan dittha ; ia memikirkan (dirinya) sebagai dittha ; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam dittha . Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Isuta' (sesuatu yang didengar) sebagai Isuta, setelah mengetahui Isuta sebagai Isuta, ia berpikir tentang Isuta; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Isuta; ia memikirkan (dirinya) sebagai Isuta; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Isuta. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'muta' (sesuatu yang dirasakan) sebagai muta, setelah mengetahui muta sebagai muta, ia berpikir tentang muta; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan muta; ia memikirkan (dirinya) sebagai muta; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam muta. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Ia mengetahui 'vinnata' (diketahui) sebagai vinnata, setelah mengetahui vinnata sebagai vinnata, ia berpikir tentang vinnata; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan vinnata; ia memikirkan (dirinya) sebagai vinnata; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam vinnata. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'lekatta' (persatuan) sebagai lekatta, setelah mengetahui lekatta sebagai lekatta, ia berpikir tentang lekatta; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan lekatta; ia memikirkan (dirinya) sebagai lekatta; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam lekatta. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'nanatta' (perbedaan) sebagai nanatta, setelah mengetahui nanatta sebagai nanatta, ia berpikir tentang nanatta; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan nanatta; ia memikirkan (dirinya) sebagai nanatta; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam nanatta. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'sabba' (universal) sebagai sabba, setelah mengetahui sabba sebagai sabba, ia berpikir tentang sabba; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan sabba; ia memikirkan (dirinya) sebagai sabba; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam sabba. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.
Orang awam (puthujjana) yang tidak memperdulikan (assutava) para ariya, tidak melihat (adassavi) ariyadhamma, tidak mengetahui (akovido) ariyadhamma, tidak terlatih dalam ariyadhamma, tidak melihat ‘orang-orang suci’ (sapurisa), tidak mengetahui dhamma orang-orang suci, tidak terlatih dalam dhamma orang-orang suci, namun Ia mengetahui 'Nibbana' (…) sebagai Nibbana, setelah mengetahui Nibbana sebagai Nibbana, ia berpikir tentang Nibbana; ia memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Nibbana; ia memikirkan (dirinya) sebagai Nibbana; ia berpikir 'tejo milikku', ia gembira dalam Nibbana. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia tidak mengerti dengan baik.

3. Para bhikkhu, bagaimana pun seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, mengerti dengan baik tentang pathavi sebagai pathavi; karena mengetahui dengan baik tentang pathavi sebagai pathavi, maka ia tidak memikirkan tentang pathavi, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan pathavi; ia tidak memikirkan dirinya sebagai pathavi; ia tidak berpikir 'pathavi milikku', ia tidak gembira dalam pathavi. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.
Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘apo’ (cairan) sebagai apo; karena mengetahui dengan baik tentang apo sebagai apo, maka ia tidak memikirkan tentang apo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan apo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai apo; ia tidak berpikir ' apo milikku', ia tidak gembira dalam apo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘tejo’ (panas) sebagai tejo; karena mengetahui dengan baik tentang tejo sebagai tejo, maka ia tidak memikirkan tentang tejo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan tejo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai tejo; ia tidak berpikir ' tejo milikku', ia tidak gembira dalam tejo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘vayo’ (angin) sebagai vayo; karena mengetahui dengan baik tentang vayo sebagai vayo, maka ia tidak memikirkan tentang vayo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan vayo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai vayo; ia tidak berpikir ' vayo milikku', ia tidak gembira dalam vayo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘butha’ (mahluk) sebagai butha; karena mengetahui dengan baik tentang butha sebagai butha, maka ia tidak memikirkan tentang butha, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan butha; ia tidak memikirkan dirinya sebagai butha; ia tidak berpikir ' butha milikku', ia tidak gembira dalam butha. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘devo’ (dewa) sebagai devo; karena mengetahui dengan baik tentang devo sebagai devo, maka ia tidak memikirkan tentang devo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan devo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai devo; ia tidak berpikir ' devo milikku', ia tidak gembira dalam devo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Pajapati’ (?) sebagai Pajapati; karena mengetahui dengan baik tentang Pajapati sebagai Pajapati, maka ia tidak memikirkan tentang Pajapati, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Pajapati; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Pajapati; ia tidak berpikir ' Pajapati milikku', ia tidak gembira dalam Pajapati. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Brahma’ (Dewa Barahma) sebagai Brahma; karena mengetahui dengan baik tentang Brahma sebagai Brahma, maka ia tidak memikirkan tentang Brahma, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Brahma; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Brahma; ia tidak berpikir ' Brahma milikku', ia tidak gembira dalam Brahma. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘AAbhassara’ (Brahma Abhassara) sebagai AAbhassara; karena mengetahui dengan baik tentang AAbhassara sebagai AAbhassara, maka ia tidak memikirkan tentang AAbhassara, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan AAbhassara; ia tidak memikirkan dirinya sebagai AAbhassara; ia tidak berpikir ' AAbhassara milikku', ia tidak gembira dalam AAbhassara. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Subhakinna’ (Brahma Subhakinna) sebagai Subhakinna; karena mengetahui dengan baik tentang Subhakinna sebagai Subhakinna, maka ia tidak memikirkan tentang Subhakinna, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Subhakinna; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Subhakinna; ia tidak berpikir ' Subhakinna milikku', ia tidak gembira dalam Subhakinna. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Vehapphala’ (Brahma Vehapphala) sebagai Vehapphala; karena mengetahui dengan baik tentang Vehapphala sebagai Vehapphala, maka ia tidak memikirkan tentang Vehapphala, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Vehapphala; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Vehapphala; ia tidak berpikir ' Vehapphala milikku', ia tidak gembira dalam Vehapphala. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Abhibhu’ (Brahma Asannasatta) sebagai Abhibhu; karena mengetahui dengan baik tentang Abhibhu sebagai Abhibhu, maka ia tidak memikirkan tentang Abhibhu, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Abhibhu; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Abhibhu; ia tidak berpikir ' Abhibhu milikku', ia tidak gembira dalam Abhibhu. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Akasanancayatana’ (?) sebagai Akasanancayatana; karena mengetahui dengan baik tentang Akasanancayatana sebagai Akasanancayatana, maka ia tidak memikirkan tentang Akasanancayatana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Akasanancayatana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Akasanancayatana; ia tidak berpikir ' Akasanancayatana milikku', ia tidak gembira dalam Akasanancayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Vinnananancayatana’ sebagai Vinnannaancayatana; karena mengetahui dengan baik tentang Vinnannaancayatana sebagai Vinnannaancayatana, maka ia tidak memikirkan tentang Vinnannaancayatana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Vinnannaancayatana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Vinnannaancayatana; ia tidak berpikir ' Vinnannaancayatana milikku', ia tidak gembira dalam Vinnannaancayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Akincannayatana N’evasannanasannayatana’ sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana; karena mengetahui dengan baik tentang Akincannayatana N’evasannanasannayatana sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana, maka ia tidak memikirkan tentang Akincannayatana N’evasannanasannayatana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia tidak berpikir'Akincannayatana N’evasannanasannayatana milikku', ia tidak gembira dalam Akincannayatana N’evasannanasannayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Dittha’ (Pandangan yang dilihat) sebagai Dittha; karena mengetahui dengan baik tentang Dittha sebagai Dittha, maka ia tidak memikirkan tentang Dittha, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Dittha; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Dittha; ia tidak berpikir ' Dittha milikku', ia tidak gembira dalam Dittha. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Isuta’ (sesuatu yang didengar) sebagai Isuta; karena mengetahui dengan baik tentang Isuta sebagai Isuta, maka ia tidak memikirkan tentang Isuta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Isuta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Isuta; ia tidak berpikir ' Isuta milikku', ia tidak gembira dalam Isuta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘muta’ (sesuatu yang dirasakan) sebagai muta; karena mengetahui dengan baik tentang muta sebagai muta, maka ia tidak memikirkan tentang muta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan muta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai muta; ia tidak berpikir ' muta milikku', ia tidak gembira dalam muta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘vinnata’ (yang diketahui) sebagai vinnata; karena mengetahui dengan baik tentang vinnata sebagai vinnata, maka ia tidak memikirkan tentang vinnata, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan vinnata; ia tidak memikirkan dirinya sebagai vinnata; ia tidak berpikir ' vinnata milikku', ia tidak gembira dalam vinnata. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘lekatta’ (persatuan) sebagai lekatta; karena mengetahui dengan baik tentang lekatta sebagai lekatta, maka ia tidak memikirkan tentang lekatta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan lekatta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai lekatta; ia tidak berpikir ' lekatta milikku', ia tidak gembira dalam lekatta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘nanatta’ (perbedaan) sebagai nanatta; karena mengetahui dengan baik tentang nanatta sebagai nanatta, maka ia tidak memikirkan tentang nanatta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan nanatta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai nanatta; ia tidak berpikir ' nanatta milikku', ia tidak gembira dalam nanatta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘sabba’ (universal) sebagai sabba; karena mengetahui dengan baik tentang sabba sebagai sabba, maka ia tidak memikirkan tentang sabba, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan sabba; ia tidak memikirkan dirinya sebagai sabba; ia tidak berpikir ' sabba milikku', ia tidak gembira dalam sabba. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu siswa (sekha), yang belum mencapai kesempurnaan (appattamanasa), yang masih berusaha untuk mencapai pembebasan tertinggi (anuttara) dari ikatan, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Nibbana’ (?) sebagai Nibbana; karena mengetahui dengan baik tentang Nibbana sebagai Nibbana, maka ia tidak memikirkan tentang Nibbana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Nibbana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Nibbana; ia tidak berpikir ' Nibbana milikku', ia tidak gembira dalam Nibbana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

3. Para bhikkhu, bagaimana pun seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, ia pun mengerti dengan baik tentang 'pathavi' sebagai pathavi; karena mengerti dengan baik mengenai pathavi sebagai pathavi, maka ia tidak memikirkan tentang pathavi, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan pathavi; ia tidak memikirkan dirinya sebagai pathavi; ia tidak berpikir 'pathavi milikku', ia tidak gembira dalam pathavi. Mengapa begitu? Saya nyatakan bahwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.
Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘apo’ (cairan) sebagai apo; karena mengetahui dengan baik tentang apo sebagai apo, maka ia tidak memikirkan tentang apo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan apo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai apo; ia tidak berpikir ' apo milikku', ia tidak gembira dalam apo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘tejo’ (panas) sebagai tejo; karena mengetahui dengan baik tentang tejo sebagai tejo, maka ia tidak memikirkan tentang tejo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan tejo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai tejo; ia tidak berpikir ' tejo milikku', ia tidak gembira dalam tejo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘vayo’ (angin) sebagai vayo; karena mengetahui dengan baik tentang vayo sebagai vayo, maka ia tidak memikirkan tentang vayo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan vayo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai vayo; ia tidak berpikir ' vayo milikku', ia tidak gembira dalam vayo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘butha’ (mahluk) sebagai butha; karena mengetahui dengan baik tentang butha sebagai butha, maka ia tidak memikirkan tentang butha, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan butha; ia tidak memikirkan dirinya sebagai butha; ia tidak berpikir ' butha milikku', ia tidak gembira dalam butha. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘devo’ (dewa) sebagai devo; karena mengetahui dengan baik tentang devo sebagai devo, maka ia tidak memikirkan tentang devo, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan devo; ia tidak memikirkan dirinya sebagai devo; ia tidak berpikir ' devo milikku', ia tidak gembira dalam devo. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Pajapati’ (?) sebagai Pajapati; karena mengetahui dengan baik tentang Pajapati sebagai Pajapati, maka ia tidak memikirkan tentang Pajapati, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Pajapati; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Pajapati; ia tidak berpikir ' Pajapati milikku', ia tidak gembira dalam Pajapati. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Brahma’ (Dewa Barahma) sebagai Brahma; karena mengetahui dengan baik tentang Brahma sebagai Brahma, maka ia tidak memikirkan tentang Brahma, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Brahma; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Brahma; ia tidak berpikir ' Brahma milikku', ia tidak gembira dalam Brahma. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Abhassara’ (Brahma Abhassara) sebagai Abhassara; karena mengetahui dengan baik tentang Abhassara sebagai Abhassara, maka ia tidak memikirkan tentang Abhassara, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Abhassara; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Abhassara; ia tidak berpikir ' Abhassara milikku', ia tidak gembira dalam Abhassara. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Subhakinna’ (Brahma Subhakinna) sebagai Subhakinna; karena mengetahui dengan baik tentang Subhakinna sebagai Subhakinna, maka ia tidak memikirkan tentang Subhakinna, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Subhakinna; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Subhakinna; ia tidak berpikir ' Subhakinna milikku', ia tidak gembira dalam Subhakinna. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Vehapphala’ (Brahma Vehapphala) sebagai Vehapphala; karena mengetahui dengan baik tentang Vehapphala sebagai Vehapphala, maka ia tidak memikirkan tentang Vehapphala, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Vehapphala; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Vehapphala; ia tidak berpikir ' Vehapphala milikku', ia tidak gembira dalam Vehapphala. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Abhibhu’ (Brahma Asannasatta) sebagai Abhibhu; karena mengetahui dengan baik tentang Abhibhu sebagai Abhibhu, maka ia tidak memikirkan tentang Abhibhu, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Abhibhu; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Abhibhu; ia tidak berpikir ' Abhibhu milikku', ia tidak gembira dalam Abhibhu. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Akasanancayatana’ (?) sebagai Akasanancayatana; karena mengetahui dengan baik tentang Akasanancayatana sebagai Akasanancayatana, maka ia tidak memikirkan tentang Akasanancayatana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Akasanancayatana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Akasanancayatana; ia tidak berpikir ' Akasanancayatana milikku', ia tidak gembira dalam Akasanancayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Vinnanancayatana’ (?) sebagai Vinnanancayatana; karena mengetahui dengan baik tentang Vinnanancayatana sebagai Vinnanancayatana, maka ia tidak memikirkan tentang Vinnanancayatana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Vinnanancayatana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Vinnanancayatana; ia tidak berpikir ' Vinnanancayatana milikku', ia tidak gembira dalam Vinnanancayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Akincannayatana N’evasannanasannayatana’ (?) sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana; karena mengetahui dengan baik tentang Akincannayatana N’evasannanasannayatana sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana, maka ia tidak memikirkan tentang Akincannayatana N’evasannanasannayatana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Akincannayatana N’evasannanasannayatana; ia tidak berpikir'Akincannayatana N’evasannanasannayatana milikku', ia tidak gembira dalam Akincannayatana N’evasannanasannayatana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Dittha’ (Pandangan yang dilihat) sebagai Dittha; karena mengetahui dengan baik tentang Dittha sebagai Dittha, maka ia tidak memikirkan tentang Dittha, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Dittha; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Dittha; ia tidak berpikir ' Dittha milikku', ia tidak gembira dalam Dittha. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Isuta’ (sesuatu yang didengar) sebagai Isuta; karena mengetahui dengan baik tentang Isuta sebagai Isuta, maka ia tidak memikirkan tentang Isuta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Isuta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Isuta; ia tidak berpikir ' Isuta milikku', ia tidak gembira dalam Isuta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘muta’ (sesuatu yang dirasakan) sebagai muta; karena mengetahui dengan baik tentang muta sebagai muta, maka ia tidak memikirkan tentang muta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan muta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai muta; ia tidak berpikir ' muta milikku', ia tidak gembira dalam muta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘vinnata’ (yang diketahui) sebagai vinnata; karena mengetahui dengan baik tentang vinnata sebagai vinnata, maka ia tidak memikirkan tentang vinnata, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan vinnata; ia tidak memikirkan dirinya sebagai vinnata; ia tidak berpikir ' vinnata milikku', ia tidak gembira dalam vinnata. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘lekatta’ (persatuan) sebagai lekatta; karena mengetahui dengan baik tentang lekatta sebagai lekatta, maka ia tidak memikirkan tentang lekatta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan lekatta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai lekatta; ia tidak berpikir ' lekatta milikku', ia tidak gembira dalam lekatta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘nanatta’ (perbedaan) sebagai nanatta; karena mengetahui dengan baik tentang nanatta sebagai nanatta, maka ia tidak memikirkan tentang nanatta, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan nanatta; ia tidak memikirkan dirinya sebagai nanatta; ia tidak berpikir ' nanatta milikku', ia tidak gembira dalam nanatta. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘sabba’ (iniversal) sebagai sabba; karena mengetahui dengan baik tentang sabba sebagai sabba, maka ia tidak memikirkan tentang sabba, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan sabba; ia tidak memikirkan dirinya sebagai sabba; ia tidak berpikir ' sabba milikku', ia tidak gembira dalam sabba. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

Seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin (asava), telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna, namun Ia mengerti dengan baik tentang ‘Nibbana’ (?) sebagai Nibbana; karena mengetahui dengan baik tentang Nibbana sebagai Nibbana, maka ia tidak memikirkan tentang Nibbana, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan Nibbana; ia tidak memikirkan dirinya sebagai Nibbana; ia tidak berpikir ' Nibbana milikku', ia tidak gembira dalam Nibbana. Mengapa begitu? Saya nyatakan babwa hal itu ia telah mengerti dengan baik.

4. Para bhikkhu, bagaimana pun seorang bhikkhu arahat, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin, telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna ia pun mengerti dengan baik tentang 'pathavi' ia tidak gembira dalam pathavi, ia pun mengerti dengan baik tentang 'pathavi' ia tidak gembira dalam pathavi, ia pun mengerti dengan baik tentang 'apo' ia tidak gembira dalam apo, ia pun mengerti dengan baik tentang 'tejo' ia tidak gembira dalam tejo, ia pun mengerti dengan baik tentang 'vayo' ia tidak gembira dalam vayo, ia pun mengerti dengan baik tentang 'butha' ia tidak gembira dalam butha, ia pun mengerti dengan baik tentang 'deva' ia tidak gembira dalam deva, ia pun mengerti dengan baik tentang ' Pajapati' ia tidak gembira dalam Pajapati, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Brahma' ia tidak gembira dalam Barhma, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Abhassaara' ia tidak gembira dalam Abhassara, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Subbhakinna' ia tidak gembira dalam Subhakinna, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Vehapphala' ia tidak gembira dalam Vehapphala, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Abhibhu' ia tidak gembira dalam AaAbhibhu, ia pun mengerti dengan baik tentang ' Akasanancayatana' ia tidak gembira dalam Akasanancayatana, ia pun mengerti dengan baik tentang ' Vinnanancayatana' ia tidak gembira dalam Vinnanancayatana ia pun mengerti dengan baik tentang 'Akincannayatana N’evasannanasannayatana' ia tidak gembira dalam Akincannayatana N'evasannanasannaya-tana, ia pun mengerti dengan baik tentang ' dittha' ia tidak gembira dalam dittha, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Isuta' ia tidak gembira dalam Isuta', ia pun mengerti dengan baik tentang 'muta' ia tidak gembira dalam 'muta', ia pun mengerti dengan baik tentang 'vinnata' ia tidak gembira dalam 'vinnata', ia pun mengerti dengan baik tentang 'lekatta' ia tidak gembira dalam ‘lekatta', ia pun mengerti dengan baik tentang 'nanatta' ia tidak gembira dalam nanatta, ia pun mengerti dengan baik tentang 'sabba' ia tidak gembira dalam sabba, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Nibbana' ia tidak gembira dalam Nibbana'. Mengapa begitu? Karena ia 'tanpa keinginan nafsu' (vitaragatta), sebab telah 'melenyapkan (semua) keinginan nafsu' (khaya ragassa). ia 'tanpa kebencian' (vitadosatta), sebab telah 'melenyapkan (semua) kebencian' (khaya dosassa), ia 'tanpa kebodohan' (vitamohatta), sebab telah melenyapkan (semua) kebodohan' (khaya mohassa).

5. Para bhikkhu, juga Tathagata Arahat Sammasambuddha, yang telah melenyapkan semua kekotoran batin, telah hidup dengan kehidupan (sempurna), telah melaksanakan tugas yang harus dikerjakan (katakaraniyo), telah melepaskan beban (ohitabharo), telah mencapai tujuannya (anuppattasadatto), telah melenyapkan semua belenggu (samyojana), yang terbebas (vimutti) dengan pengetahuan sempurna ia pun mengerti dengan baik tentang 'pathavi' ia tidak gembira dalam pathavi, ia pun mengerti dengan baik tentang 'pathavi' ia tidak gembira dalam pathavi, ia pun mengerti dengan baik tentang 'apo' ia tidak gembira dalam apo, ia pun mengerti dengan baik tentang 'tejo' ia tidak gembira dalam tejo, ia pun mengerti dengan baik tentang 'vayo' ia tidak gembira dalam vayo, ia pun mengerti dengan baik tentang 'butha' ia tidak gembira dalam butha, ia pun mengerti dengan baik tentang 'deva' ia tidak gembira dalam deva, ia pun mengerti dengan baik tentang ' Pajapati' ia tidak gembira dalam Pajapati, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Brahma' ia tidak gembira dalam Barhma, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Abhassaara' ia tidak gembira dalam Abhassara, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Subbhakinna' ia tidak gembira dalam Subhakinna, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Vehapphala' ia tidak gembira dalam Vehapphala, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Abhibhu' ia tidak gembira dalam AaAbhibhu, ia pun mengerti dengan baik tentang ' Akasanancayatana' ia tidak gembira dalam Akasanancayatana, ia pun mengerti dengan baik tentang ' Vinnanancayatana' ia tidak gembira dalam Vinnanancayatana ia pun mengerti dengan baik tentang 'Akincannayatana N’evasannanasannayatana' ia tidak gembira dalam Akincannayatana N'evasannanasannaya-tana, ia pun mengerti dengan baik tentang ' dittha' ia tidak gembira dalam dittha, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Isuta' ia tidak gembira dalam Isuta', ia pun mengerti dengan baik tentang 'muta' ia tidak gembira dalam 'muta', ia pun mengerti dengan baik tentang 'vinnata' ia tidak gembira dalam 'vinnata', ia pun mengerti dengan baik tentang 'lekatta' ia tidak gembira dalam ‘lekatta', ia pun mengerti dengan baik tentang 'nanatta' ia tidak gembira dalam nanatta, ia pun mengerti dengan baik tentang 'sabba' ia tidak gembira dalam sabba, ia pun mengerti dengan baik tentang 'Nibbana' ia tidak gembira dalam Nibbana'. Mengapa begitu? Karena hal itu telah dimengerti dengan baik oleh Tathagata.

6. Para bhikkhu, juga Tathagata Arahat Sammasambuddha mengerti dengan baik tentang 'pathavi' sebagai pathavi; karena mengerti dengan baik mengenai pathavi sebagai pathavi, maka ia tidak memikirkan tentang pathavi, ia tidak memikirkan (dirinya) berhubungan dengan pathavi; ia tidak memikirkan dirinya sebagai pathavi; ia tidak berpikir 'pathavi milikku', ia tidak gembira dalam pathavi. Mengapa begitu? Karena ia telah mengetahui dengan baik bahwa 'kenikmatan (nandi) dasarnya adalah pada dukkha', mengetahui bahwa karena adanya 'menjadi' (bhava) maka terjadilah 'kelahiran' (jati), maka muncullah 'usia tua dan kematian' (jaramarana) makhluk. Para bhikkhu itulah sebabnya maka saya nyatakan bahwa Tathagata karena telah melenyapkan, terbebas dan 'melenyapkan semua keinginan' (tanha khaya) dan 'tanpa nafsu' (viraga), sempurna kesadarannya dengan mencapai 'penerangan agung tertinggi' (anuttaram sammasambodhi).

Para bhikkhu, juga Tathagata Arahat Sammasambuddha mengerti dengan baik tentang 'apo', 'tejo', 'vayo', 'butha', 'deva', 'Pajapati', ‘Brahma’, ‘Abhassara’, Subhakinna’, ‘Vehapphala’, ‘Abhibhu’, ‘Akasanancayatana’, ‘Vinnanancayatana, ‘Akincannayatana N’evasannanasannayatana,’ 'dittha', Isuta', 'muta, 'vinnata', ‘lekatta’, ‘nanatta’, ‘sabba’ , Nibbana' ia tidak gembira dalam 'apo', 'tejo', 'vayo', 'butha', 'deva', 'Pajapati', ‘Brahma’, ‘Abhassara’, Subhakinna’, ‘Vehapphala’, ‘Abhibhu’, ‘Akasanancayatana’, ‘Vinnanancayatana, ‘Akincannayatana N’evasannanasannayatana,’ 'dittha', Isuta', 'muta, 'vinnata', ‘lekatta’, ‘nanatta’, ‘sabba’ , Nibbana'. Para bhikkhu itulah sebabnya maka saya nyatakan bahwa Tathagata karena telah melenyapkan, terbebas dan melenyapkan semua keinginan dan tanpa nafsu sempurna kesadarannya dengan mencapai penerangan agung tertinggi.

Itulah yang diuraikan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu senang dan gembira pada apa yang dikatakan Sang Bhagava.

DHAMMAPADA ATTHAKATA

III. CITTA VAGGA
1. MEGHIYA THERA
“Pikiran mudah goyah, tidak tetap ....” Uraian dhamma ini dibabarkan oleh Guru berkenaan dengan Bhikkhu Meghiya, ketika beliau berada di Calikapabbata. (Untuk cerita tentang thera ini, maka Meghiya Sutta harus diuraikan secara rinci).

Pada suatu waktu, karena kemelekatan pada tiga pikiran jahat, yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan, Bhikkhu Meghiya tak dapat mengembangkan meditasi (bhavana) di Ambavana (Hutan Mangga) ini, maka ia kembali kepada Guru. Guru menasehatinya sebagai berikut: “Meghiya, anda telah melakukan kesalahan besar. Saya memintamu untuk tetap tinggal dengan berkata padamu, ‘Sekarang saya sendirian, Meghiya. Tunggu hingga ada bhikkhu lain yang datang.’ Tetapi walaupun saya meminta, anda pergi. Seorang bhikkhu tidak boleh meninggalkan saya sendirian dan bergi begitu saja ketika saya memintanya untuk tinggal. Seorang bhikkhu tidak boleh dikuasai oleh pikirannya (karena masih bodoh). Karena pikiran suka mengembara, maka seseorang harus selalu mengawasi pikirannya sendiri.”
Setelah berkata demikian, guru mengucapkan dua syair berikut:

33. “Pikiran mudah goya, tidak tetap, sulit dijaga dan sulit dikuasai;
namun orang bijaksana akan meluruskannya, bagaikan pembuat
panah meluruskan anak panah.”

34. “Pikiran selalu menggelepar bagaikan seekor ikan yang
dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah.
Karena itu, kekuasaan Mara harus dihancurkan.”

Pada akhir dari syair-syair itu diucapkan, Bhikkhu Meghiya menjadi
Sotapanna, sedangkan para bhikkhu yang lain menjadi Sakadagami dan Anagami.

2. ANNATARABHIKKHU

“Mengawasi pikiran yang sukar dikendalikan ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru berkenaan dengan bhikkhu tertentu (annatarabhikkhu) ketika sedang berada di Savatthi.

Di kerajaan Kosala, ada sebuah desa yang padat penduduknya, yaitu desa Matika. Pada suatu hari 60 bhikkhu setelah menerima pokok meditasi yang mengarah pada pencapaian kearahatan dari Guru mendatangi desa ini dan ber-pindapatta (menerima makanan dari umat). Pada waktu itu kepala desa ini bernama Matika. Ketika istri Matika melihat para bhikkhu, ia menyiapkan tempat duduk dan memberikan bubur dengan berbagai bumbu pilihan kepada mereka, lalu bertanya kepada mereka: “ Para bhante, mau ke mana?” “Ke beberapa tempat yang menyenangkan, maha upasika.”
Karena menyadari bahwa para bhikkhu sedang mencari tempat untuk ber-vassa (tinggal selama 3 bulan musim hujan), maka ia bernamaskara dan berkata kepada mereka: “Bilamana para bhante akan tinggal di sini selama tiga bulan, maka saya akan menyatakan Berlindung kepada Tiratana, melaksanakan Pancasila dan Uposatha.” Para bhikkhu menyetujui dengan berpikir, “Dengan bantuannya kita sekalian akan bebas dari kegelisahan, kekurangan makanan serta dapat terbebas dari kelahiran kembali.”
Ibu Matika memimpin pembangunan vihara untuk tempat tinggal para bhikkhu, mempersembahkannya kepada para bhikkhu, dan para bhikkhu tingal di tempat itu. Pada hari tertentu para bhikkhu mengadakan pertemuan dan sepakat bahwa “Para bhikkhu,
bukan cara kita sekalian untuk hidup tanpa kewaspadaan, karena dihadapan kita terbentang Delapan Maha Niraya (Neraka), yang bagaikan rumah kita. Sekarang kita telah datang ke tempat ini setelah menerima pokok menditasi dari Buddha yang hidup. Kebaikan para Buddha tidak dapat dimenangkan oleh seorang penipu, walaupun ia mengikuti jejak kaki para Buddha. Hanya dengan melaksanakan seperti apa yang diinginkan oleh para Buddha maka kebaikan hati mereka dapat dimenangkan. Maka waspadalah. Dua orang bhikkhu tidak boleh berdiri atau duduk di satu tempat. Di waktu sore kita sekalian akan bertemu untuk menemui Thera, dan pada pagi hari sekali kita sekalian akan bertemu pada saat bersama untuk pindapata. Sedangkan untuk waktu-waktu yang lain kita tidak boleh bersama walaupun hanya berduan saja. Namun, bilamana ada yang sakit, ia datang ke dhamma sala dan membunyikan lonceng. Dengan tanda membunyikan lonceng, kita akan datang bertemu dan menyiapkan pengobatan bagi yang bersangkutan.” Setelah membuat kesepakatan ini, mereka memasuki kuti (tempat tinggal) masing-masing.
Pada suatu hari, ketika para bhikkhu di dalam kuti masing-masing, upasika mengambil ghee, sirup gula serta berbagai macam makanan, dan di waktu sore dengan disertai para pelayan, ia pergi ke vihara. Karena tidak melihat seorang bhikkhu pun, maka ia bertanya pada seseorang, “Ke manakah para bhikkhu?” “Ibu, merela pasti sedang duduk di dalam kuti mereka masing-masing.” “Apakah yang harus saya buat agar dapat bertemu dengan mereka?” Orang itu mengetahui kesepakatan yang dibuat oleh para bhikkhu itu berkata: “Ibu, bila anda membunyikan lonceng maka mereka akan berkumpul.” Maka ia membunyikan lonceng. Ketika para bhikkhu mendengar bunyi lonceng, mereka berpikir, “Ada seseorang yang sakit.” Mereka keluar dari kuti mereka, mereka berkumpul di ruangan pertemuan vihara. Tidak seorang bhikkhu pun yang datang dari arah yang sama.
Ketika upasika melihat mereka datang satu persatu, masing-masing dari kutinya sendiri, ia berpikir, “Para puteraku pasti telah bertengkar.” Demikianlah, setelah memberikan hormat kepada bhikkhu sangha, ia bertanya kepada mereka, “Para bhikkhu, apakah para bhante bertengkar?” “Tidak, mahaupasika.” Para bhikkhu, ketika mengun-jungi rumah saya para bhante datang bersama-sama, sekarang para bhante tidak datang seperti itu, sebaiknya datang bersamaan, namun masing-masing datang dari kuti sendiri-sendiri.” “ Mahaupasika, kami duduk di kuti masing-masing melaksanakan meditasi.” “Para bhikkhu, apa yang para bhante maksudkan dengan ‘melaksanakan meditasi’?” “Kami sedang merenung tentang 32 bagian dari tubuh, dengan begitu kami mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh.” “Para bhikkhu, apakah hanya anda sekalian yang diizinkan untuk merenung tentang 32 bagian dari tubuh, dan dengan begitu mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh; atau kami juga diizinkan untuk melakukannya?” “Tidak ada larangan kepada siapa pun untuk melaksanakan meditasi ini, mahaupasika.” “Baiklah bila demikian, ajarkan padaku juga tentang 32 bagian dari tubuh, dan tunjukkan bagaimana saya mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh.” “Mahaupasika, baiklah,” jawab para bhikkhu, “pelajarilah hal-hal itu.” Setelah berkata demikian, mereka mengajarkannya. Mahaupasika segera merenung 32 bagian dari tubuh, di tempat itu pula ia berusaha mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh. Begitu suksesnya ia, sehingga ia dapat melampaui kemajuan para bhikkhu, ia mencapai Anagami Magga dan Phala, serta memiliki Empat Patisambhida dan Abhinna (kekuatan batin).
Bangun dari kenikmatan Magga dan Phala, ia melihat dengan Dibba Cakkhu (Kekuatan Mata Dewa) –nya dan berpikir, “ Kapan para puteraku mencapai tingkat ini?” Segera ia menyadari bahwa, “Semua bhikkhu ini masih terbelenggu oleh lobha keserakahan), dosa (ketidaksenangan) dan moha (kebodohan). Mereka belum mengarah pada Pandangan Terang karena melaksanakan Meditasi Ketenangan Batin.” Selanjutnya ia merenung, ”Apakah para putraku memiliki persyaratan yang dibutuhkan untuk mencapai ke-Arahatan atau tidak?” “Ia mengetahui, “Mereka memilikinya.” “Kemudian ia merenung, “Apakah mereka mendapatkan tempat tinggal yang pantas atau tidak?” Segera ia mengetahui bahwa mereka mendapat hal itu. Ia merenung pula, “Apakah mereka memiliki kawan yang cocok atau tidak?” Segera ia mengetahui bahwa mereka memiliki kawan itu. Akhirnya ia merenungkan, “Apakah mereka mendapat makanan yang pantas atau tidak?” Ia mengetahui, “Mereka mendapat makanan yang kurang pantas.”
Sejak hari itu ia memberikan berbagai macam bubur dan berbagai macam makanan keras dan lembut yang disertai berbagai macam bumbu untuk mereka. Ia (mengundang para bhikkhu ke rumahnya) mempersilahkan mereka duduk, ia memberikan Air Dana dan makanan kepada mereka, dengan berkata, “Para bhikkhu, ambil dan makanlah sesukanya.” Sebagai akibat menerima dan memakan makanan yang pantas, pikiran mereka menjadi tenang; dan akibat pikiran yang tenang, mereka mengembangkan vipassana (meditasi pandangan terang) dan mencapai ke-Arahatan serta memiliki patisambhida. Kemudian pikiran ini muncul pada mereka, “Mahaupasika, sungguh menjadi penyokong kami. Bilamana kita tidak menerima makanan yang pantas, kita tidak akan pernah mencapai Magga dan Phala. Segera setelah kita menyelesaikan waktu untuk tinggal di sini dan pada akhir masa vassa, kita segera pergi menemui Guru.” Demikianlah mereka berpamitan kepada mahaupasika, dengan berkata, “Upasika, kami ingin menemui Guru.” “Baiklah, para ariya bhante,” jawabnya. Ia mengantar mereka sampai pada jarak tertentu, lalu berkata: “Para bhante, kunjungilah kami lagi,” dan banyak kata baik lainnya, sesudah itu ia pulang.
Ketika para bhikkhu tiba di Savatthi, mereka bernamaskara kepada Guru dan duduk pada tempat yang tersedia. Guru berkata kepada para bhikkhu, anda sekalian nyatanya dalam keadaan baik, banyak yang dimakan, dan tanpa gangguan kekurangan makanan.” Para bhikkhu menjawab: “Bhante, kami memang dalam keadaan baik dan banyak makanan dan tanpa ada gangguan kekurangan makanan. Karena upasika bernama Matikamata yang mengetahui apa yang kami pikirkan, sesegera ketika kami berpikir, ‘Oh, begitulah ia menyiapkan makanan ini dan itu untuk kami!’ ia menyediakan makanan yang kami pikirkan dan memberikannya kepada kami.” Dengan demikian mereka menyampaikan pujian tentang upasika.
Seorang bhikkhu tertentu mendengar para bhikkhu memuji kebajikan donatur mereka, berkeingian untuk pergi ke sana. Begitulah, setelah menerima pokok meditasi dari Guru, ia berpamitan dengan Guru, dengan berkata, “Bhante, saya berkeinginan pergi ke desa itu.” Ia meninggalkan Jetavana, selanjutnya ia tiba di desa itu dan masuk ke vihara. Pada hari ia memasuki vihara ia berpikir, “Saya mendengar berita bahwa upasika ini mengetahui setiap pikiran yang muncul pada orang lain. Sekarang saya lelah karena perjalanan dan tidak dapat menyapu vihara. Andaikan ia menyuruh seseorang untuk menyiapkan vihara bagiku!” Upasika yang sedang duduk dan merenung di rumahnya, menyadari akan hal itu dan menyuruh seseorang ke sana, dengan berkata kepadanya, “Pergi siapkan vihara dan persilahkan bhikkhu itu.” Orang itu pergi dan membersihkan vihara dan mempersilahkan bhikkhu itu. Kemudian bhikkhu itu ingin untuk minum dengan berpikir, “Semoga upasika mengirimkan air manis!” Segera upasika mengirimkan itu. Pada pagi sekali keesokan harinya, bhikkhu berpikir, “Semoga upasika mengirimkan bubur dengan mentega yang banyak bersama macam-macam bumbu pilihan. Segera upasika melakukannya. Setelah ia menghabiskan bubur, ia berpikir, “Semoga ia mengirimkan padaku makanan keras seperti ini dan itu.” Upasika segera mengirimkannya kepadanya.
Kemudian bhikkhu itu berpikir, “Upasika ini telah mengirimkan kepadaku setiap hal yang saya pikirkan. Saya ingin bertemu dengannya. Semoga ia datang sendiri ke mari, dengan membawa makanan lembut yang dibumbui dengan bermacam-macam bumbu pilihan!” Upasika berpikir, “Anakku ingin bertemu dengan ku, menginginkan aku pergi menemuinya.” Maka ia menyiapkan makanan lembut, ia pergi ke vihara dan memberikan makanan itu kepada bhikkhu. Setelah bhikkhu selesai makan, ia bertanya kepada upasika, “Upasika, nama anda Matikamata?” “Ya, anakku.” “Apakah anda mengetahui pikiran orang lain?” “Mengapa anda bertanya padaku, anakku?” “Anda telah melakukan untukku setiap hal yang saya pikirkan; itulah sebabnya saya bertanya padamu.” ”Banyak bhikkhu yang (mempunyai kemampuan untuk) mengetahui pikiran orang-orang lain, anakku.” “Saya tidak menanyakan orang lain, saya bertanya kepada anda, upasika.” Walaupun dalam keadaan seperti ini, upasika mengelak untuk berkata, “Saya mengetahui pikiran orang lain, namun sebaliknya menjawab, “Mereka yang tidak mengetahui pikiran orang-orang lain bersikap seperti ini, anakku.”
Karena itu bhikkhu berpikir: “Saya dalam posisi yang sangat memalukan. Mereka yang belum memiliki kemampuan itu menghibur dirinya dengan pikiran yang baik dan pikiran tidak baik. Begitu pula dengan saya yang menghibur diri dengan sebuah pikiran jahat, upasika dengan tanpa ragu-ragu akan menangkap kepala dan seluruh tubuh, bagaikan ia akan menangkap pencuri, dan mencelakakan saya. Bila demikian, sebaiknya saya meninggalkan tempat ini.” Maka ia berkata kepada upasika, “Upasika, saya akan pergi.” “Mau pergi kemana, bhante?” “Menemui Guru, upasika.” “Tinggallah di sini sebentar, bhante.” “Saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di sini, upasika. Saya harus pergi.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia berangkat dan pergi menemui Guru.
Guru bertanya kepada bhikkhu itu, “Bhikkhu apakah anda tidak tinggal di sana lagi?” “Tidak, Bhante, saya tidak dapat tinggal di sana lagi.” “Apa alasannya,bhikkhu.” “Bhante, upasika mengetahui setiap pikiranku yang muncul. Maka saya berpikir, ‘Mereka yang belum memiliki kemampuan itu

menghibur dirinya dengan pikiran baik dan pikiran tidak baik. Begitu pula saya yang menghibur diri dengan sebuah pikiran jahat, upasika dengan tanpa ragu-ragu akan menangkap kepala dan seluruh tubuh, bagaikan ia akan menangkap pencuri, dan mencelakakan saya.’ Itulah sebabnya saya kembali ke sini.” “Bhikkhu, itulah tempat yang cocok untuk anda tinggal.” Bhante, saya tidak bisa, saya tidak dapat tinggal lagi di sana.” “Bhikkhu, baiklah, dapatkah anda menjaga satu hal?” “Bhante, apa yang anda maksudkan?” “Jagalah pikiranmu sendiri, karena pikiran sulit sekali dijaga. Kendalikan pikiranmu sendiri. Jangan pedulikan hal yang lain, karena pikiran mudah berubah.” Setelah mengatakan hal itu, beliau mengu-capkan syair berikut:

35. “Mengawasi pikiran yang sukar dikendalikan, binal dan
mengembara sesuka hati adalah baik. Pikiran yang telah
dijinakkan akan membawa kebahagiaan.”

Setelah Guru menasehati bhikkhu itu, Beliau menyuruhnya pergi, dengan berkata, “Bhikkhu, pergilah, perhatikan dirimu dan jangan pedulikan yang lain. Kembali tinggal di tempat yang sama. Bhikkhu itu setelah dinasehati oleh Guru, pergi ke tempat yang sama dan tidak memperhatikan yang lain selain pikirannya sendiri. Maha upasika melihat dengan Dibba Cakkhu (mata dewa). Melihat bhikkhu itu, ia merenung dengan pengetahuannya tentang hal berikut, “Sekarang ini, puteraku telah mendapatkan Guru yang memberi nasehat dan ia telah kembali ke mari.” Selanjutnya ia menyiapkan makanan yang sesuai dan memberikannya kepada bhikkhu itu. Setelah mendapat makanan yang sesuai, maka hanya dalam beberapa hari bhikkhu thera mencapai ke-Arahat-an.
Selagi Thera menghabiskan harinya menikmati kegiuran Magga dan Phala, ia berpikir, “Mahaupasika merupakan penolong bagiku. Dengan bantuannya saya telah mendapat pembebasan dari lingkaran kehidupan.” Lalu ia merenung, “Apakah ia (upasika) telah menolongku hanya pada kehidupan sekarang, atau apakah ia telah menjadi penolongku pada kehidupan-kehidupan lain juga, karena saya telah hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dalam lingkaran kehidupan?” Dengan pikiran ini yang ada padanya, ia mengingat 99 kehidupan yang lampau. Pada waktu 99 kehidupan yang lampau, upasika adalah istrinya, namun cinta istrinyanya adalah pada pria lain, dan istrinya menyebabkan ia dibunuh. Ketika, thera mengetahui timbunan karma buruk yang telah buat istrinya, thera berpikir, “Wah, betapa buruknya perbuatan yang telah dilakukan oleh upasika ini.”
Maha upasika yang sedang duduk di rumahnya, merenungkan pikiran berikut, “Apakah puteraku telah mencapai tujuan dari kehidupan religius?” Mengetahui bahwa ia telah menjadi arahat, upasika melanjutkan perenungannya sebagai berikut, “Ketika anakku mencapai ke-Arahat-an, ia berpikir, ‘Mahaupasika merupakan penolongku.”
Lalu ia merenung, “Apakah ia (upasika) telah menolongku hanya pada kehidupan sekarang, atau apakah ia telah menjadi penolongku pada kehidupan-kehidupan lain juga, karena saya telah hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dalam lingkaran kehidupan?” Dengan pikiran ini yang ada padanya, ia mengingat 99 kehidupan yang lampau. Pada waktu 99 kehidupan yang lampau, saya adalah istrinya, namun saya bekerjasama dengan pria lain, dan menyebabkan ia dibunuh. Ketika, thera mengetahui timbunan karma buruk yang telah saya buat, thera berpikir, “Wah, betapa buruknya perbuatan yang telah dilakukan oleh upasika ini!’ Apakah mungkin bahwa saya yang telah hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dalam lingkaran kehidupan ini, telah memberinya bantuan?”
Setelah merenungkan lebih lanjut tentang hal ini, upasika dapat mengingat 100 kehidupan yang lampau dan menyadari hal berikut ini, “Pada 100 kehidupan yang lampau saya adalah istrinya. Pada suatu waktu, ketika saya mendapat kesempatan membunuhnya, malahan saya menyelamatkan hidupnya. Sesungguhnya saya telah memberikan bantuan besar kepada anakku.” Selagi tetap duduk di rumahnya upasika berkata: “Perhatikan lebih lanjut, dan pertimbangkan hal itu.” Dengan kekuatan Dibba Sota (telinga dewa), bhikkhu itu segera mendengar apa yang dikatakan oleh upasika. Ia memperhatikan lebih lanjut, dan ia mengingat 100 kehidupan yang lampau di mana upasika menyelamatkan kehidupannya. Dengan diliputi kegembiraan, ia berpikir, “Upasika ini sungguh-sungguh telah menolong saya.” Di situ, di tempat itu, dengan merenung hal yang berkaitan dengan Magga dan Phala, ia parinibbana tanpa ada hal yang tersisa.

3. UKKANTHITANNATARABHIKKHUSSA VATTHU

“Pikiran itu sungguh sukar diawasi ...”. Babaran dhamma ini disampaikan Guru ketika sedang tinggal di Jetavana, berkenaan dengan seorang bhikkhu yang kecewa (ukkanthita).

Dikatakan bahwa ketika Guru tinggal di Savatthi, seorang putra bendahara terten-tu menemui seorang Thera yang sedang menerima makanan di rumahnya dan berkata ke-padanya, “Bhante, saya ingin bebas dari penderitaan. Beritahukan padaku beberapa cara yang dengan cara itu saya dapat bebases dari penderitaan.” Thera menjawab, “Damai bagimu, saudara. Bilamana anda ingin bebas dari penderitaan, berdanalah makanan pada hari-hari tertentu, berdanalah makanan pada setiap hari uposatha, berdanalah tempat ting-gal pada masa vassa (musim hujan), berdanalah patta, jubah dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bagilah harta anda dalam tiga bagian satu bagian untuk meneruskan usaha, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian sebagai dana untuk kepentingan Buddha Sasana.”
“Baik, bhante,” jawab putra bendahara, dan melakukan semua apa yang disaran-kan. Setelah melaksanakan semua itu, ia kembali menemui Thera dan bertanya kepada-nya, “Bhante, apakah masih ada hal yang harus saya lakukan?” “Saudara, berlindunglah pada Tiratana dan laksanakan Pancasila.” Putra bendahara melaksanakannya, kemudian bertanya kembali kepada thera bila masih ada yang harus dilakukan. “Ya,” jawab thera, “laksanakanlah Dasasila.” “Baik, bhante.” Jawab putra bendahara, dan melaksanakan dasasila. Karena putra bendahara melakukan perbuatan baik ini satu sesudah yang lain (anupubbena), maka ia dinamakan Anupubba. Ia bertanya kembali kepada thera, “Bhate, apakah masih ada lagi yang harus dilakukan?” Thera menjawab, “Ya, menjadi bhikkhu.”
Segera putra bendahara ‘meninggalkan kehidupan berumah-tangga’ (pabbaja) dan menjadi bhikkhu.
Ketika itu ia mempunyai guru yang ahli Abhidhamma dan upajjaya (penabhis bhikkhu) yang ahli Vinaya. Setelah ia menyelesaikan semua tugasnya, dan manakala ia menemui gurunya, gurunya mengulangi pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam Abhidhamma, “Dalam Buddha sasana adalah benar untuk melaksanakan ini, tidak benar melakukan itu.” Juga bilamana ia menemui upajjaya-nya, upajjaya mengulangi pertanyaan yang terdapat dalam Vinaya, “Dalam Buddha sasana adalah benar melakukan ini, tidak benar melakukan itu; ini pantas, itu tidak pantas.” Beberapa waktu kemudian ia berpikir, “Oh, betapa melelahkan tugas ini! Saya menjadi bhikkhu agar mendapat kebebasan dari penderitaan, tetapi di sini tidak ada ruang bagiku walaupun hanya untuk merentangkan tangan-tanganku. Bagaimana pun adalah mungkin dapat bebas dari penderitaan walaupun seseorang hidup berumah-tangga. Lebih baik saya kembali hidup berumah-tangga.”
Sejak saat itu, karena kecewa dan tidak puas, ia tidak mengulang perenungan 32 bagian pokok dari tubuh, juga tidak meminta bimbingan lagi. Ia menjadi kurus, kulitnya mengerut, vena (pembuluh darah balik) kelihatan di seluruh tubuhnya, kelelahan meliputi dirinya, dan tubuhnya diliputi oleh keropeng. Para bhikkhu baru dan para samanera bertanya kepadanya, “ Saudara, bagaimana ini, bila anda berdiri atau duduk, anda sakit kuning, kurus, kulit berkerut, dan tubuhmu diliputi keropeng? Apa yang telah anda lakukan?” “Saudara-saudara, saya kecewa .” “Mengapa?” Ia menceritakan masalahnya kepada mereka, dan mereka melaporkan hal ini kepada guru dan upajjayanya, dan guru dan upajjayanya membawa dia menemui Guru.
Guru bertanya, “Para bhikkhu, mengapa kamu sekalian datang?” “Bhante, bhikkhu ini kecewa pada dhamma-mu.” “Bhikkhu, apakah yang mereka katakan benar?” “Ya, bhante.” “Mengapa anda kecewa?” “Bhante, saya menjad bhikkhu agar mendapat kebebasan dari penderitaan. Guruku telah mengulang ungkapan-ungkapan dari Abhidhamma, dan upajjaya-ku tealah mengulang ungkapan-ungkapan dari vinaya. Bhante, saya berkesimpulan, ‘Di sini tidak ada ruang bagiku walapun hanya untuk merentangkan tangan-tanganku. Mungkin bagiku untuk mendapat kebebasan dari penderitaan sebagai seorang perumah-tangga. Maka saya akan menjadi perumah-tangga.’” “Bhikkhu, jika anda dapat menjaga satu hal, maka tidak akan perlu menjaga yang lain.” “Apa itu, bhante?” “Dapatkah anda menjaga pikiranmu?” “Saya dapat, bhante.” “Baiklah, jagalah pikiranmu.” Setelah memberikan nasehat ini, Guru mengucapkan syair:

36. “Pikiran itu sukar diawasi, amat halus dan senang mengembara sesuka hati.
Karena itu hendaklah orang bijaksana selalu menjaganya.
Pikiran yang dijaga dengan baik akan membawa kebahagiaan.”

3. BHAGINEYYASANGHARAKKHITA
(Kemenakan Sangharakkhita Thera)

“Pikiran itu selalu mengembara jauh,....” Uraian dhamma ini disampaikan oleh Guru ketika beliau tinggal di Savatthi berkenaan dengan Sangharakkhita.

Cerita dimulai dengan adanya seorang pemuda dari keluarga terhomat yang tnggal di Savatthi, setelah mendengar khotbah Guru, ia pabbajja (meninggalkan kehidupan berrumah-tangga) dan menjadi anggota sangha, melaksanakan semua tugasnya, maka dalam beberapa hari ia mencapai ke-arahat-an. Ia dikenal dengan nama Sangharakkhita Thera. Ketika adik perempuannya yang bungsu melahirkan anak, ia menamakannya sama dengan nama Thera, maka ia dikenal dengan nama Bhagineyya (kemenakan) Sangharakkhita. Ketika Bhagineyyasangharakkhita telah berusia cukup, ia menjadi anggota Sangha dibawah bimbingan Thera, setelah upasampada, ia tinggal selama masa vassa (musim hujan) di vihara desa tertentu. Menerima dua helai jubah seperti yang digunakan oleh para bhikkhu selama masa vassa, satu helai sepanjang 7 hasta, yang lain sepanjang 8 hasta; ia memutuskan memberikan jubah yang 8 hasta kepada upajjaya-nya sedangkan jubah yang 7 hasta untuk dirinya. Setelah ia menyelesaikan masa tinggalnya, ia pergi dengan tujuan untuk menemui upajjaya-nya dengan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain sambil pindapata dalam perjalanannya.
Ia tiba di vihara sebelum Thera sampai. Memasuki vihara, ia membersihkan kuti (tempat tinggal atau kamar bhikkhu) Thera, menyiapkan air untuk cuci kaki, menyiapkan tempat duduk, memperhatikan jalan yang akan dilalui ketika thera datang. Ketika ia melihat thera datang, ia pergi menyambut beliau, mengambil patta dan jubah, dan mempersilahkan thera untuk duduk dengan berkata: “Silahkan duduk, bhante.” Lalu ia mengambil kipas daun palem dan mengipasi beliau, memberikan air minum serta mencuci kaki beliau. Akhirnya ia mengeluarkan jubah, meletakkan di kaki thera dan berkata: “Bhante, mohon kenakanlah jubah ini.”Setelah berkata begitu ia meneruskan mengipas thera. Thera berkata kepada kemenakannya: “Sangharakkhita, saya memiliki jubah yang komplit; engkau gunakanlah sendiri jubah ini.” Bhante, sejak saat saya menerima jubah ini, saya telah berniat memberikan jubah ini kepada bhante. Mohon terimalah.” “Tidak apa-apa, Sangharakkhita, jubahku komplit, engkau gunakanlah sendiri jubah ini.” “Bhante, mohon jangan menolak jubah ini, karena bilamana bhante mengenakannya, maka sangat besar jasa yang saya akan peroleh darinya.”
Walaupun bhikkhu muda ini mengulangi permohonannya beberapa kali, thera menolak menerima jubah. Demikianlah, sementara bhikkhu muda berdiri dan mengipasi thera, ia berpikir, “Ketika thera masih orang biasa, saya adalah kemenakannya. Sejak ia menjadi bhikkhu, saya telah menjadi teman setempat tinggal. Namun, walaupun demikian ia tidak berkehendak sebagai upajjhayaku untuk berbagi milikku. Apabila ia tidak berkehendak untuk berbagi milikku denganku, untuk apa saya hidup sebagai bhikkhu? Saya akan menjadi umat berumah tangga lagi.” Lalu pikiran berikut muncul di benaknya, “sulit untuk hidup sebagai perumah-tangga. Bilamana saya menjadi perumah-tangga kembali, bagaimana menunjang hidup?” Akhirnya pikiran berikut muncul dalam dirinya, “ Saya akan menjual jubah 8 hasta ini dan membeli kambing betina. Sekarang ini kambing betina sangat subur, secepat kambing betina beranak, saya akan menjual anak-anak kambing itu, maka dengan cara ini saya akan mengumpul modal. Segera setelah saya dapat mengumpul modal, saya akan beristri. Istriku akan melahirkan anakku, dan saya akan memberikan nama seperti nama pamanku. Saya akan membaringkan anakku ke dalam kereta, dan anak serta istri akan pergi bersamaku mengunjungi pamanku. Dalam perjalanan saya akan berkata kepada istriku, ‘Berikan anak kepadaku; saya ingin membawanya.’ Ia akan menjawab, ‘Mengapa kau akan membawa putra ini? Ayo, dorong keretanya.’ Setelah berkata begitu istriku akan mengendong anak itu dan membawanya dengan berpikir, ‘Saya akan membawanya sendiri.” Namun karena kurang kuat mengendongnya, maka ia akan menjatuhkan anak ke jalan roda kereta, sehingga kereta melindasnya. Maka saya akan berkata kepada istriku, ‘Kau tidak mau memberi anakku untuk saya bawa, sedangkan kau sendiri tidak cukup kuat untuk mengendongnya. Kau telah merusak saya.’ Setelah berkata begitu, saya akan memukul punggungnya dengan tongkat.
Demikianlah bhikkhu muda merenung ketika ia sedang mengipasi thera. Ketika ia selesai merenung, ia mengayunkan kipas daun palem dan menurunkannya mengenai kepala thera. Thera berpikir: “Mengapa Sangharakkhita memukulku di kepala?” Segera ia mengetahui semua rentetan pikiran kemenakannya, maka ia berkata kepadanya: “Sangharakkhita, kau tidak berhasil memukul wanita; tetapi apakah yang telah dilakukan oleh Thera yang tua sehingga ia mendapat pukulan?” Bhikkhu muda berpikir: “ Oh, saya celaka! Nampaknya upajjhayaku mengetahui setiap pikiran yang muncul di benakku. Apakah gunanya saya hidup sebagai bhikkhu lagi?” Segera ia melempar kipasnya dan mulai lari. Tetapi para bhikkhu baru dan para samanera mengejarnya, menangkapnya dan membawanya kepada Guru.
Ketika guru melihat para bhikkhu itu, beliau bertanya kepada mereka, “Para bhikkhu, mengapa anda sekalian datang ke mari? Apakah anda menangkap seorang bhikkhu.” “Ya, bhante. Bhikkhu muda ini menjadi kecewa dan lari, tetapi kami menangkapnya dan membawanya ke mari.” “Bhikkhu, apakah yang mereka katakan benar?” “Ya, bhante.” “Bhikkhu, mengapa anda melakukan pelanggaran besar. Bukankah anda adalah anak Sang Buddha yang kekuatan kemauannya yang selalu aktif? Sekali telah meninggalkan kehidupan berumah-tangga ke dalam Buddha sasana seperti saya, dan walaupun anda gagal berusaha sendiri untuk mencapai Sotapanna, Sakadagami, Anagami atai Arahat, namun untuk itu semua, mengapa anda melakukan pelanggaran besar seperti ini?”
“Saya kecewa, bhante.” “Mengapa anda kecewa?” Ketika menjawab, bhikkhu muda menceritakan semua pengalamannya, sejak ia menerima jubah hingga saat ia memukul kepala thera dengan kipas daun palem. “Bhante, itulah sebabnya mengapa saya lari,” jawabnya. Guru berkata: “Mari, bhikkhu, jangan gelisah. Pikiran memiliki cara untuk berada pada banyak tempat yang jauh. Seseoang harus berusaha membebaskan pikiran dari keserakahan, kebencian dan kebodohan.” Setelah berkata begitu, Beliau mengucapkan syair berikut:

37. “Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak memiliki wujud,dan terletak di dalam hati sanubari.
Mereka yang dapat menaklukkannya akan bebas dari jeratan Mara.”

4. CITTAHATTHA THERA

“Orang yang pikirannya tidak teguh, ....” Pembabaran dhamma ini disampaikan oleh guru ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan Cittahatta Thera.

Cerita dimulai ketika seorang pemuda dari keluarga terhormat yang tinggal di Savatthi, pergi ke hutan untuk mencari seekor sapi jantan yang hilang. Di tengah hari ia melihat sapi dan membebaskan binatang itu, namun karena ia kelaparan dan kehausan, ia berpikir: “Saya pasti akan dapat makanan dari para bhikkhu.” Maka ia masuk ke vihara, menemui para bhikkhu, menghormat mereka, dan berdiri di samping. Pada waktu itu makanan sisa yang ditinggalkan setelah para bhikkhu makan berada dalam bejana untuk dijadikan sampah. Ketika para bhikkhu melihat pemuda itu, kehabisan tenaga karena lapar, mereka berkata kepadanya: “Ini makanan, ambil dan makanlah.” (Ketika Sang Buddha ada di dunia, selalu ada banyak bubur dengan berbagai saus dan kari.) Maka pemuda itu mengambil dan makan sebanyak makanan yang dibutuhkannya dan minum, mencuci tangannya, lalu ia menghormat kepada para bhikkhu dan bertanya kepada mereka: “Bhante, apakah anda sekalian pergi ke rumah karena undangan pada hari ini?” Tidak upasaka; para bhikkhu selalu menerima makanan dengan cara ini.”
Pemuda itu berpikir: “Bagaimana pun kita sibuk dan aktif, walaupun kita bekerja terus menerus siang dan malam, kami tidak pernah mendapat bubur yang begitu enak bersaus. Namun para bhikkhu ini, sesuai dengan pernyataan mereka sendiri, memakannya terus menerus. Mengapa saya tetap hidup sebagai orang awam? Saya akan menjadi bhikkhu.” Selanjutnya ia menemui para bhikkhu dan memohon untuk diterima ke dalam sangha. Para bhikkhu berkata kepadanya: “Amat baik, upasaka,” menerimanya ke dalam sangha. Setelah selesai diupasampada (ditahbiskan) sebagai bhikkhu, ia melaksanakan semua tugas besar maupun kecil; dalam beberapa hari saja, karena dapat bagian dalam banyak dana yang muncul sebab para Buddha, ia menjadi gemuk dan berselera bagus.
Kemudian ia berpikir: “Mengapa saya hidup dari makanan yang didapat karena pindapata? Saya akan menjadi umat awam kembali.” Ia pulang dan tinggal di rumahnya. Hanya beberapa hari saja setelah berkerja di rumahnya, tubuhnya menjadi lemah. Karena itu ia berpikir: “Mengapa saya harus menderita terlalu lama? Saya akan menjadi bhikkhu.” Maka ia kembali dan menjadi bhikkhu lagi. Tetapi setelah hidup beberapa hari sebagai bhikkhu, ia menjadi kecewa kembali, maka ia meningggalkan kehidupan kebhikkhuan. Ketika ia sebagai bhikkhu, ia sangat membantu para bhikkhu yang lain. Setelah beberapa hari kemudian ia menjadi kecewa kembali dan berkata pada dirinya sendiri: “Mengapa saya hidup sebagai umat awam lebih lama lagi? Saya akan menjadi bhikkhu.” Setelah berkata seperti itu, ia pergi menemui para bhikkhu, memberikan hormat, dan memohon agar ia diterima ke dalam sangha. Karena ia telah membantu mereka, para bhikkhu menerimanya ke dalam sangha sekali lagi. Dengan cara ini ia telah memasuki dan keluar sangha sebanyak 6 kali berturut-turut. Para bhikkhu saling berkata: “Orang ini hidup dipengaruhi oleh pikirannya.” Maka mereka menamakannya Dikontrol Pikiran, Cittahattha Thera.
Selagi ia masuk keluar sangha, istrinya menjadi hamil. Pada ketujuh kali (sebagai umat awam) ia kembali dari kebun dengan peralatan pertanian ia pulang ke rumah, ia meletakkan peralatan itu dan ia masuk ke rumah, sembari berkata pada dirinya sendiri: “Saya akan mengenakan jubah kuning lagi.” Ketika itu istrinya sedang tertidur di tempat tidur. Pakaian bawahnya terjatuh, air liurnya mengalir dari mulutnya, mendeng-kur, mulutnya ternganga lebar; istrinya nampak seperti mayat membengkak baginya. Ia berpendapat: “Segala sesuatu di dunia ini adalah tidak kekal (anicca) dan diliputi pende-ritaan (dukkha),” ia berkata pada dirinya sendiri: “Pikir, bahwa kerena dia, maka selama saya menjadi bhikkhu, saya tidak dapat mempertahankan hidup kebhikkhuan!” Segera ia mengambil jubah kuningnya, ia lari keluar rumah, sedang berlari ia mengikatkan jubah pada perutnya.
Ketika itu, ibu mertuanya tinggal di rumah yang sama. Saat ia melihat dia pergi dengan sikap seperti itu, ia berkata pada dirinya: “Pembelot ini, yang baru saja kembali dari kebun, sekarang melarikan diri dari rumah, selagi berlari ia mengikatkan jubah kuning pada dirinya, ke vihara. Ada apa?” Ia masuk ke rumah dan melihat putrinya tertidur, ia segera mengetahui, “Karena melihat ia tertidur maka dia menjadi muak dan pergi. Maka ia membangunkan anaknya dan berkata kepadanya: “Bangun, konyol. Suamimu melihat engkau tertidur, menjadi muak dan pergi. Kau tidak akan memiliki dia lagi karena suamimu telah pergi.” “Pergilah, bu. Apa masalahnya, dia pergi atau tidak? Ia akan kembali dalam beberapa hari.”
Selagi Cittahattha berjalan, ia mengulang-ulangi kata-kata: “Segala sesuatu di dunia ini tidak kekal dan diliputi penderitaan,” ia mejadi Sotapanna. Melanjutkan perjalanannya, menemui para bhikkhu, menghormat mereka, dan memohon untuk diterima dalam sangha. “Tidak”, kata para bhikkhu, “kami tidak dapat menerima anda ke dalam sangha. Untuk apa anda menjadi bhikkhu? Kepalamu seperti batu pengasa.” “Para bhante, terima saya ke dalam sangha untuk sekali ini.” Karena ia telah membantu mereka, maka mereka menerimanya ke dalam sangha. Setelah beberapa hari kemudian, ia mencapai ke-arahat-an serta memiliki kemampuan batin.

Kemudian para bhikkhu berkata kepadanya: “Avuso Cittahattha, tidak diragukan anda sendiri yang akan memutuskan kapan anda akan lepas jubah lagi; karena kali ini anda sudah agak lama di sini.” “Para bhikkhu, ketika saya terbelenggu pada dunia, saya pergi; namun sekarang saya telah bebas dari belenggu dunia; saya tidak memiliki keinginan untuk pergi.” Para bhikkhu pergi menemui guru dan berkata: “Bhante, kami mengatakan hal ini dan itu kepada bhikkhu ini, dan ia mengatakan ini dan itu sebagai jawabannya. Ia berkata bohong, mengatakan yang tidak benar.” Guru menjawab: “Ya, para bhikkhu, ketika pikiran putraku tidak tetap, ketika ia tidak mengetahui Dhamma, maka ia pergi. Tetapi sekarang ia telah meninggalkan yang baik dan buruk.” Setelah berkata itu, Beliau mengucapkan syair berikut:

38. “Orang yang pikirannya tidak teguh, tidak mengenal ajaran benar
serta memiliki keyakinan goyah; maka orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.”

39. “Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
Telah mengatasi keadaan baik dan buruk; Maka orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.”
Pada suatu hari para bhikkhu berdiskusi: “Saudara-saudara, sungguh jahat nafsu-nafsu kita. Sangat mulia pemuda seperti ini yang ditakdirkan mencapai ke-arahat-an, diayun-ayun oleh nafsu, menjadi bhikkhu tujuh kali dan tujuh kali kembali sebagai umat awam.” Guru mendengar mereka membicarakan hal ini, pergi pada saat yang tepat, masuk ke Dhammasala, dan duduk pada Tempat Duduk Buddha, lalu bertanya kepada mereka : “Para bhikkhu, apa yang anda sekalian perbincangkan dengan duduk di sini?” Ketika mereka memberitahukannya, Guru berkata: “Para bhikkhu, tepat sekali. Sungguh jahat nafsu-nafsu itu. Jika nafsu-nafsu itu dapat berbentuk materi, maka mereka dapat di tempatkan pada tempat tertentu, Dunia akan terlalu keras untuk mereka dan alam surga brahma terlalu rendah untuk mereka. Tidak ada tempat bagi mereka di mana pun. Mereka mengganggu saya yang memiliki kebijaksanaan dan sebagai makhluk ariya. Siapa yang dapat menguraikan gangguan mereka kepada orang lain? Karena saya pun pada kehidupan yang lampau, sebab gara-gara setengah mangkuk kecil bibit kacang dan sebuak sekop tumpul, menjadi bhikkhu 6 kali dan kembali ke dunia 6 kali.” “Bhante, kapan hal ini terjadi?” “Para bhikkhu, apakah anda sekalian ingin mendengarkannya?” “Ya, bhante.” “Baiklah, dengarkan.” Setelah berkata seperti itu, Guru bercerita sebagai berikut:

Cerita yang lampau: Kuddala dan sekopnya.

Pada suatu waktu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Baranasi, di Baranasi ada seorang bijak bernama Kuddala (Petapa Sekop). Ia menjadi petapa kelompok bida’ah dan tinggal selama 8 bulan di pedalaman Himalaya. Pada suatu malam di musim vassa (hujan), ketika tanah basah, ia berpikir: “Saya memiliki setengah mangkuk kecil bibit kacang dan sebuah sekop tumpul di rumah, bibit kacang saya tak boleh di sia-siakan.” Maka ia kembali pada kehidupan duniawi, ia mengerjakan sebidang kecil tanah dengan sekopnya, menanam bibit dan memagari sekelilingnya. Ketika kacang telah matang, ia menuainya, dan menyisakan semangkuk kecil kacang sebagai bibit, yang lain untuk di makan. Kemudian ia berpikir: “Mengapa saya hidup sebagai orang biasa lebih lama lagi? Saya akan tinggal di pedalaman Himalaya selama 8 bulan sebagai petapa.” Lalu ia meninggalkan rumah dan menjadi petapa lagi. Dengan cara seperti ini, semua gara-gara semangkok kecil bibit kacang dan sekop tumpul, ia menjadi petapa 7 kali dan 7 kali kembali pada kehidupan duniawi.
Pada ke 7 kali ia berpikir: “Tujuh kali saya kembali pada kehidupan duniawi setelah menjadi petapa, semua ini terjadi karena sekop tumpul. Saya akan melemparkannya ke suatu tempat.” Maka ia pergi ke tepi sungai Gangga, membawa semangkok kecil bibit kacang dan sekop tumpul. Ketika ia berdiri di tepi sungai Gangga, ia berpikir: “Bilamana saya melihat tempat benda-benda ini jatuh, maka saya akan tergoda untuk turun ke sungai dan mencari benda-benda itu. Kalau begitu saya akan melempar benda-benda ini dengan cara saya tidak akan melihat di mana benda-benda ini jatuh.” Demikianlah ia membungkus semangkok kecil bibit dengan kain, mengikatnya pada tangkai pegangan sekop, memenggang ujung pegangan sekop. Dengan berdiri di tepi sungai Gangga, ia menutup mata, memutarkan sekop tiga kali di atas kepalanya, dan melemparkannya ke sungai Gangga. Dengan posisi wajahnya tak mengarah di mana sekop itu jatuh, ia berteriak dengan suara keras tiga kali: “Saya menaklukkan! Saya menaklukkan! Saya menaklukkan!”
Pada saat itu, Raja Baranasi, yang baru kembali dari mengamankan suatu daerah dan sedang beristirahat di tepi sungai Gangga, juga sedang mandi di sungai, mendengar teriakkan itu. Pada saat itu, ungjapan “Saya menaklukkan,” merupakan teriakan yang tidak disukai didengar oleh raja. Maka raja Baranasi pergi menemui Kuddala dan berkata: “Saya baru mengalahkan dan menundukkan musuhku ke kakiku dan pulang dengan pikiran, ‘Saya menaklukkan!’ Tetapi anda baru saja berteriak: “Saya menaklukkan! Saya menaklukkan!’ Apa yang anda maksudkan dengan hal ini?” Kuddala menjawab: “Raja telah menaklukkan penjahat yang ada di luar diri. Kemenangan yang raja menangi harus di menangkan lagi. Sedangkan saya menaklukkan musuh yang ada di dalam diri, penjahat nafsu. Ia akan tidak pernah mengalahkanku lagi. Kemenangan atasnya merupakan kemenangan sesungguhnya.” Setelah berkta seperti itu, ia mengucapkan syair berikut:

“Kemenangan yang harus dimenangkan lagi adalah bukan kemenangan
sesungguhnya. Kemenangan itu merupakan kemenangan sesungguhnya
karena tidak perlu dimenangkan lagi.”

Pada saat itu, dengan melihat sungai Gangga dan bermeditasi berobyekkan unsur air, Kuddala mencapai Pencapaian Khusus, berdasarkan kemampuan itu ia terangkat di atas tanah dan duduk bersila di angkasa. Raja setelah mendengar babaran dharma dari Bodhisatva, memberikan hormat padanya, dan memohon padanya agar ia di terima sebagai petapa, dan ia menjadi petapa bersama semua pasukannya; pengikutnya sebanyak dan seluas satu yojana (8 kilometer). Raja lain yang merupakan tetangganya, mendengar ahwa ia telah menjadi petapa, berpikir: “Saya akan menguasai kerajaannya,” dan pergi ke sana, untuk melakukan keinginannya. Tetapi ketika ia melihat kota yang makmur itu kosong, ia berpikir: “Seorang raja yang meninggalkan kerajaan yang indah untuk menjadi petapa tentu saja ia mejadi petapa bukan karena untu merintanginya. Saya juga harus menjadi petapa.” Begitulah, ia pergi menemui Bodhisatva, menghormatnya, memohon kepadanya untuk menerimanya sebagai petapa, ia menjadi petapa bersama pasukannya. Dengan cara yang sama, tujuh raja menjadi petapa, meningalkan harta duniawi mereka, pertapaan mereka seluas 7 yojana. Setelah memenangkan semua kelompok ini, Bodhisatva hidup dalam kehidupan spiritual dan setelah meningal, terlahir kembali di alam Brahma. Demikianlah cerita masa yang lampau.
Ketika Guru menyelesaikan cerita ini, beliau berkata: “Para bhikkhu, pada waktu itu saya adalah Kuddala. Belajar dari cerita ini kita menyadari betapa jahat nafsu itu.”

6. PARA BHIKKHU DAN PERI-PERI POHON

“Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, ....” Pembabaran dhamma ini disampaikan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi berkenaan dengan beberapa bhikkhu yang mencapai penerangan agung.

Di sebutkan bahwa di Savatthi ada 500 bhikkhu yang mendapat pokok meditasi yang mengarah ke kearahat-an dari guru, dan dengan berniat untuk melaksanakan meditasi dengan tekun, pergi kesebuah desa besar yang berjark 100 yojana. Ketika para pendduk desa itu melihat para bhikkhu, mereka menyiapkan tempat duduk, melayani mereka dengan bubur dan makanan lainnya, lalu bertanya: “Para bhante, mau ke mana?” Para bhikkhu menjawab: “Ke suatu tempat yang sesuai.” Lalu para penduduk berkata: “Para bhikkhu, mohon tinggal di sini selama tiga bulan ini. Dibawah bimbingan para bhante, kami akan melaksanakan uposatha dan sila-sila.” Para penduduk desa setelah mendapat persetujuan para bhikkhu, berkata: “Bhante, ada sebuah hutan besar tidak jauh dari sini. Tinggallah di situ.” Setelah berkata begitu, para penduduk mempersilahkan para bhikkhu, dan para bhikkhu pergi ke hutan itu.
Sementara itu, ada beberapa peri yang baik tinggal di hutan itu, berpikir: “Sekelompok bhikkhu telah datang di hutan ini. Bilamana para bhikkhu tinggal di hutan ini, maka adalah tidak cocok lagi bagi kita bersama istri dan anak memanjat pohon dan tinggal di sini.” Selanjutnya mereka turun dari pepohonan, dan duduk di tanah,dan merenung: “Jika para bhikkhu tinggal di sini malam ini, mereka akan pergi besok pagi.” Tetapi, pada keesokan harinya setelah ara bhikkhu selesai pindapata di desa, mereka kembali ke hutan itu. Maka para peri berpikir: “Pasti seseorang mengundang para bhikkhu besok, maka berdasarkan hal itu mereka kemali di sini. Hari ini mereka tidak akan pergi, tetapi besok pasti mereka pergi.” Setelah berpikir seperti itu, para peri duduk semalaman di tanah.
Selanjutnya mereka berpikir: “Tidak diragukan para bhikkhu berkeinginan untuk bagi kita bersama istri dan anak memanjat pohon dan tinggal di sini selama 3 bulan. Lagi pula akan sangat melelahkan bagi kita bila duduk di tanah. Cara apa yang terbaik bagi kita untuk mengusir para bhikkhu?” Selanjutnya, di tempat bermalam dan di tempat siang hari, serta di ujung serambi para peri menyebabkan para bhikkhu melihat tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh dan mendengar suara-suara hantu. Para bersamaan pula para bhikkhu terganggu oleh bersin, batuk dan menderita banyak macam penyakit. Para bhikkhu saling berkata: “Avuso, sakit apa yang anda derita?” “Saya diserang bersin-bersin. Saya menderita batuk.” “Para avuso, hari ini di ujung serambi saya melihat tubuh tak berkepala. Para avuso, di tempat bermalam saya melihat kepala tanpa tubuh. Para avuso, di tempat siang hari, saya mendengar suara-suara hantu. Kita sekalian bagaimana pun harus meninggalkan tempat ini; ini bukan tempat yang sesuai bagi kita. Marilah kita pergi menemui guru.”
Selanjutnya mereka meninggalkan hutan itu, pergi dan akhirnya menemui guru, memberi hormat kepada beliau, lalu duduk dengan sopan di tempat yang tersedia. Guru bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, mengapa anda sekalian tidak dapat tinggal di hutan itu?” “Begini, bhante. Ketika kami berada di sana, berbagai obyek menakutkan tertampak oleh kami. Tempat itu sangat tidak menyenangkan bagi kami, maka kami memutuskan untuk meninggalkanya. Kami meninggalkan tempat itu dan kembali kepada guru.” “Para bhikkhu, anda sekalian harus kembali ke tempat itu.” “Bhante, kami tidak sanggup.” “Para bhikkhu, ketika pertama kali anda sekalian pergi ke sana adalah tanpa senjata. Sekarang anda sekalian harus membawa senjata bila pergi ke sana.” “Senjata apa, bhante?”
Guru berkata: “Saya akan memberikan senjata yang anda sekalian bawa bersama ketika anda sekalian pergi.” Kemudian beliau mengucapkan keseluruhan Metta Sutta, yang mulai sebagai berikut: “Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas mencari kebaikan spiritual, setelah mencapai ketenangan, ia harus jujur, lurus, rendah hati, lemah lembut dan tidak sombong.” Setelah mengucapkan Metta Sutta, beliau berkata: “Para bhikkhu, ucapkanlah sutta ini di hutan di luar pertapaan dan masuklah ke dalam pertapaan.” Dengan pengarahan ini beliau menyuruh mereka pergi.
Mereka memberikan hormat kepada guru, dan berangkat, akhirnya mereka tiba di hutan. Mereka mengucapkan sutta itu bersama-sama di luar pertapaan, lalu mereka masuk ke hutan. Berdasarkan hal itu, para peri yang tinggal di seluruh hutan menerima rasa persahabatan para bhikkhu dalam hati sanubari mereka, datang menemui mereka, dan memohon kepada para bhikkhu untuk membawa patta dan civara (jubah) mereka, menyediakan diri untuk memijit kaki dan tangan para bhikkhu, melalukan penjagaan yang kuat di semua sisi, dan duduk bersama dengan mereka. Tidak ada suara hantu yang terdengar. Batin para bhikkhu menjadi tenang. Duduk bermeditasi di tempat siang dan tempat bermalam berusaha untuk mencapai kebijaksanaan. Memusatkan pikiran mereka pada kelapukan dan kematian yang alamiah pada tubuh mereka dan merenung: “Karena kerapuhan dan bersifat tidak kekal maka tubuh ini bagaikan tempayan,” mereka mengembangkan kebijaksanaan spiritual.
Sammasambuddha, walaupun sedang duduk di Gandhakuti, mengetahui bahwa para bhikkhu sedang mulai mengembangkan vipassana (pandangan terang), lalu beliau berkata kepada mereka: “Para bhikkhu, begitulah tubuh ini yang bersifat rapuh dan tidak kekal, bagaikan tempayan.” Setelah berkata seperti itu, beliau mengirimkan bayangan tubuhnya yang bercahaya, yang walaupun beliau berada 100 yojana jauhnya, nampak jelas bagaikan beliau duduk di depan mereka, memancarkan enam macam warna cahaya, dan mengucapkan syair berikut ini:

40. “Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng dan menyerang Mara dengan senjata kebijaksanaan. Ia harus mengawasi Mara bilamana ia telah ditaklukkan; orang tidak boleh lalai.”

7. PUTIGATTA TISSATHERA

“Tak lama lagi tubuh ini akan terbujur ....” Pembabaran dhamma ini disampaikan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan Putigatta Tissa Thera.

Seorang pemuda yang tinggal di Savatthi Guru mengajatkan dhamma, karena mengerti makna dhamma, maka ia meninggalkan kehidupan duniawi (pabbaja), setelah di-upasampada (ditahbis menjadi bhikkhu) ia dikenal dengan nama Tissa Thera. Setelah beberapa waktu kemudian muncul benjolan-benjolan pada tubuhnya. Pada mulanya benjolan itu hanya nampak seperti bintik-bintik kecil, namun setelah penyakitnya berkembang, benjolan itu menjadi besar seperti biji-biji kacang kedele, selanjutnya berkembang menjadi sebesar kacang merah, buah berri, emblic myrobalan, dan buah vilva. Akhirnya bejolan-benjolan itu pecah, sehingga seluruh tubuhnya diliputi oleh “luka terbuka” (putigatta). Karena hal ini ia dipanggil Putigatta Tissa Thera. Tidak lama kemudian tulang-tulangnya mulai terpisah, dan tak seorang pun yang mau merawatnya. Jubah atas dan bawah miliknya , yang telah diliputi oleh darah, nampak bagaikan lapisan kue. Kawan-kawan setempat tinggal dengan dia, karena tidak dapat merawatnya, mengeluarkanya dan membaringkan dia di tanah tanpa ada yang menjaganya.
Biasanya para Buddha tidak pernah alpa untuk melihat dunia dua kali sehari. Pada waktu pagi sekali mereka melihat dunia, melihat dari ujung dunia ke arah Gandhakuti (tempat tinggal Buddha), memperhatikan semua yang mereka lihat. Pada waktu menjelang malam mereka melihat dunia, melihat mulai dari Gandhakuti ke luar. Pada waktu itu Putigatta Tissa Thera nampak dalam pandangan Bhagava. Guru mengetahui bahwa bhikkhu Tissa telah matang untuk mencapai kearahatan, berpikir: “Bhikkhu ini telah ditinggalkan oleh kawan-kawannya; pada saat sekarang ia tidak mempunyai pelindung selain saya.” Selanjutnya Guru keluar dari Gandhakuti, bagaikan akan berkeliling vihara, pergi ke ruangan perapian. Beliau mencuci tempat rebus air, menempatkannya di atas tungku, menunggu di situ hingga air mendidih, ketika beliau mengetahui bahwa air telah panas, beliau pergi dan mengangkat ujung tempat tidur di mana bhikkhu (Tissa) berbaring.

Para bhikkhu berkata kepada Guru: “Bhante, tidak usah, kami akan membawakan dia pada bhante.” Setelah berkata begitu, mereka mengangkat tempat tidur dan membawa Tissa ke ruang perapian. Guru menyuruh mengambil sehelai kain dan memercikkannya dengan air hpanas. Kemudia beliau memerintahkan para bhikkhu untuk melepaskan jubah atas Tissa, mencucinya hingga bersih dengan air panas dan menjemurnya hingga kering. Lalu beliau berdiri di dekat Tissa, membasaha tubuhnya dengan air panas, menggosoknya dan memandikannya. Ketika ia selesai mandi, jubah atasnya telah kering. Guru menyuruh mengenakan jubah atasnya dan menyuruh jubah bawahnya untuk dicuci dengan air panas, dan menjemurnya. Sesegera air mengering ditubuhnya, jubah bawahnya telah kering pula. Dengan demikian Tissa mengenakan jubah kuningnya yang teriri dari jubah atas dan jubah bawah, dan dengan tubuh yang segar dan pikiran tenang berbaring di tempat tidur. Guru berdiri di dekat bantal Tissa dan berkatakepadanya: “Bhikkhu, kesadaranmu akan meninggalkamu, tubuhmu akan menjadi tak berguna, bagaikan batangan kayu, akan terbaring di tanah.” Setelah berkata begitu, beliau mengucapkan syair berikut ini:

41. “Tak lama lagi tubuh ini terbujur kaku di atas tanah,
terbengkalai, tanpa kesadaran, bagaikan batang kayu
yang tak berguna.”

Pada akhir dari uraian dhamma, Putigatta Tissa Thera mencapai kearahatan dan parinibbana (meninggal). Guru melaksanakan upacara pengremasian jasadnya, mengambil reliknya dan menyuruh mendirikan sebuah cetiya.
Para bhikkhu bertanya kepada Guru: “Bhante, ke mana Putigatta Tissa Thera terlahir kembali?” “Para bhikkhu, ia telah parinibbana.” “Bhante, gbagaimana ini terjadi kepada bhikkhu seperti dia dapat menadi arahat, namun ia menderita penyakit ditubuhnya? Mengapa tulang-tulangnya terpisah-pisah? Berdasarkan karma apa para kehidupannya yang lampau di memeliki kemampuan untuk menjadi arahat? “ “Para bhikkhu, semua hal ini terjadi semata-mata karena perbuatannya pada sebuah kehidupan yang lampau.” “Bhante, apakah yang ia telah lakukan?” “Para Bhikkhu, baiklah dengarkanlah.

Cerita yang lampau: Penangkap Burung yang Kejam

Pada masa kehidupan Buddha Kassapa, Tissa adalah seorang penangkap burung. Ia biasanya menangkap banyak burung, dan umumnya tangkapan ini ia serahkan ke istana. Sebagian besar burung-burung yang ia tidak serahkan ke istana ia jual. Khawatir bila ia membunuh dan menyimpan burung-burung yang ia tidak jual akan menjadi busuk, dan untuk mencegah burung-burung yang ia telah tangkap tidak terbang, maka ia biasanya mematahkan tulang kaki dan tulang sayap, meletakkan mereka dalam tumpukan. Pada esoknya ia akan menjual burung-burung itu. Bila mana ia masih memiliki burung-burung, maka burung-burung itu di masaknya.
Pada suatu hari, setelah makanan yang enak telah dimasak untuknya, seorang bhikkhu arahat berdiri di dekat pintu rumahnya ketika sedang pindapatta. Ketika Tissa melihat bhikkhu itu, ia menenangkan pikirannya dan berpikir: “Saya telah membunuh banyak makhluk hidup dan memakannya. Seorang ariya bhikkhu sedang berdiri di dekat pintu rumahku, dalam rumashku ada banyak makanan enak. Sebaiknya saya memberikan dana kepadanya.” Maka ia mengambil patta bhikkhyu itu dan mengisinya, dan setelah ia memberikan makanan, ia memberikan hormat dengan bernamaskara kepada bhikkhu dan berkata: “Bhante, semoga saya mencapai hasil tertinggi dari dhamma yang telah dicapai bhante. “ Sebagai kata anumoda (berbahagia karena melihat atau mengetahui orang lain berbuat kebajikan) bhikkhu berkata: “Semoga demikian.”
Para bhikkhu, karena perbuatan bajik yang dilakukan Tissa maka hasil ini ia dapatkan. Karena ia mematahkan tulang-tulang burung-burung, maka tubuhnya diliputi penyakit dan tulang-tulangnya terpisah. Juga, karena ia berdana makanan enak kepada arahat dan bertekad maka ia mencapai kearahatan.

8. NANDAGOPALA VATTHU

“Betapa burukpun akibat dari ....” Uraian dhamma ini disampaikan Guru ketika beliau di kerajaan Kosala berkenaan dengan seorang pengembala bernama Nanda (Nandagopala).
Tersebutlah bahwa di Savatthi, Anathapindika mempunyai seorang pengembala bernama Nanda yang mengurus ternaknya. Nanda, kaya memiliki banyak harta, dan menikmati banyak macam kenikmatan. Diceritakan pula, seperti petapa berkonde Keniya yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, begitu pula Nanda yang mengurus ternak dan mengatur kekayaan raja sekaligus menjaga hartanya sendiri. Berulang-ulang kali Nanda mengambil lima prosuk dari sapi, pergi ke rumah Anathapindika, menemui Guru dan mendengar dhamma, serta mengundang guru untuk mengunjungi rumahnya. Beberapa waktu lamanya guru menanti matangnya kebijaksanaan Nanda, maka beliau enggan untuk mengunjungi nanda. Tetapi pada suatu hari, selagi melakukan pindapatta bersama sejumlah besar bhikkhu, beliau mengetahui bahwa kebijaksanaan (Nanda) telah matang, maka beliau menepi dari jalan dan duduk di bawah sebatang pohon yang tidak jauh dari rumah Nanda.
Nanda menemui Guru, menghormatnya, menyapanya dengan sopan, memohon Guru untuk menerima pelayanannya, dan selama tujuh hari ia memberikan 5 hasil terbaik dari sapi kepada bhikkhu sangha.Pada hari ketujuh Guru menyampaikan uraian dhamma (sebagai pernyataan berterima-kasih), menyampaikannya secara bertahap mulai dari dana dan uraian lainnya. Pada akhir dari uraian dhamma, Nanda mencapai tingkat kesucian Sotapana. Selanjutnya ia mengambil patta Guru dan menyertai Guru sampai pada jarak tertentu. Kemudian guru berkata, “Berhenti, siswaku.” Segera Nanda mematuhi perintah Guru, menghormati beliau dan berbalik pulang.
Pada saat itu seorang pemburu melepaskan anak panah dan membunuh Nanda. Ketika para bhikkhu sedang berjalan pulang, mereka melihat kejadian ini, maka mereka pergi menemui Guru dan bertanya: “Bhante, kartena Bhante datang kemari, Nandagopala memberikan dana yang banyak, mengiringi bante dalam perjalanan, dan terbunuh ketika ia pulang. Bilamana Bhante tidak datang, maka kematiannya tidak terjadi.” Guru menjawab: “Apakah saya datang atau tidak, apakah Nanda pergi ke empat penjuru dunia atau pergi ke empat arah lainnya, ia tidak akan mungkin terbebas dari kematian. Bukan kerana apa yang dilakukan oleh para musuh maupun pencuri, kemelekatan pada pikiran buruk dimiliki oleh banyak makhluk hidup di dunia ini.” Setelah berkata demikian, beliau mengucapkan syair berikut:

42. “Betapa buruk pun akibat serangan musuh, atau betapa beratnya penderitaan
akibat perbuatan dari orang yang membenci, namun pikiran buruk yang tidak
terkendali akan membuat seseorang lebih sengsara lagi.”

Karena para bhikkhu tidak bertanya kepada Guru apa yangg dilakukan oleh Nanda pada kehidupannya yang lampau, maka Guru tidak menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

9. SOREYYATTHERA VATTHU

“Bukan ibu maupun bukan ayah ....” Uraian dhamma ini disampaikan Guru ketika beliau tinggal di Jetavana, di Savatthi, berkenaan dengan bendahara, Soreyya Thera. Cerita ini di mulai dari kota Soreyya dan berakhir di Savatthi.

Ketika Sammasambuddha tinggal di Savatthi, sedangkan kejadian ini terjadi di kota Soreyya: Seorang anak bendahara bernama Soreyya, disertai seorang sahabat karib duduk dalam kereta, bersama sejumlah besar teman, keluar kota untuk mandi. Pada saat itu Maha Kaccayana Thera , berniat memasuki kota Soreyya untuk pindapata, sedang mengenakan jubahnya di luar gerbang kota. Ketika putra bendahara Soreyya melihat tubuh keemasan dari Thera, ia berpikir: “ Oh, itulah dia yang dapat menjadi istriku! Semoga penampilan tubuh istriku seperti penampilan tubuhnya?”
Segera setelah pikiran seperti ini muncul dalam pikiran Soreyya, ia berubah dari seorang pria menjadi perempuan. Ia turun dari kereta karena diliputi rasa malu dan mela- rikan diri. Teman-temannya tidak mengerti apa yang telah terjadi, berkata: “Ada apa? Ada apa?” Soreyya, yang telah berubah menjadi perempuan, berjalan menuju Takkasila. Temannya sekereta mencari dia di berbagai tempat , tetapi tidak menemukannya. Setelah semua rombongan selesai mandi, mereka pulang. Mereka ditanya: “Dimana anak benda-hara?” Mereka menjawab: “Kami kira setelah mandi ia telah pulang.” Ayah dan ibunya mencarinya di berbagai tempat, tetapi tidak menemukannya, berdukacita dan menangis. Karena menyimpulkan bahwa ia tel;ah meninggal, maka mereka melaksanakan upacara kematian.
Sekarang sebagai seorang wanita, Soreyya melihat seorang pemimpin kafilah yang menuju ke Takkasila, lalu mengikuti di belakang keretanya. Anggota kafilah memperhatikannya dan bertanya: “Ia mengikuti terus kereta jkita, tetapi kita tidak tahu dia putri siapa?” Soreyya menjawab: “Tuan-tuan, jalankan terus kereta anda. Saya akan mengikuti dengan berjalan.” Setelah ia berjalan cukup jauh, ia menyogok para pemimpin kafilah dengan memberikan cincin agar ia mendapat tempat duduk dalam salah satu kereta. Orang-orang romvongan kafilah berpikir: “ Putra bendahara kita, yang tinggal di kota Takkasila, belum maempunyai istri. Kami akan memberitahukan kepadanya mengenai wanita ini, maka ia akan memerikan ita hadiah yang menarik.” Demikianlah ketika mereka tiba di Takkasila, mereka pergimenemui dan berkata kepadanya: “Tuan, kami telah membawakanmu seorang permata wanita.” Ketika putra bendahara mendengar hal ini, ia menyuruh memanggilnya (Soreyya). Setelah memper-hatikannya bahwa ia cocok usianya dan sangat cantik, ia jatuh cinta dan mengawininya.
(Sebab, pada suatu waktu (di antara banyak kehidupan yang lampau) tidak ada seorang pria pun yang tidak pernah terlahir sebagai wanita; begitu pula sebaliknya dengan wanita. (Sehubungan dengan hal ini dapat kita baca cerita tentang tujuh kehidupan Ruja dalam Jataka 544: vi. 236 – 240). Sebagai contoh, pria yang berselingkuh dengan isteri orang lain, setelah kematiannya ia terlahir kembali menderita di alam neraka selama 100.000 tahun, selanjutnya meninggal dari alam neraka dan terlahir kembali sebagai wanita selama 100 kali berturut-turut. Begitu pula dengan Ananda Thera sebagai seorang ariya puggala, pada kehidupan-kehidupan yang lampau berusaha mengembangkan paramita-paramita selama 100.000 kappa, pernah terlahir sebagai seorang tukang besi melakukan selingkuh dengan istri orang lain. Sebagai akibat (setelah meninggal) ia terlahir kembali menderita di alam neraka, selanjutnya karena buah dari perbuatan buruknya belum habis, ia selama 14 kali kehidupan menjadi istri para pria, dan terlahir kembali sebanyak 7 kali selama akibat karma buruknya belum habis. Sebalinya, bagi wanita yang memberikan dana dan melakukan perbuatan bajik, dan bertekad untuk tidak ty\erlahir kembali sebagai wanita, dengan menyatakan :”Semoga berdasarkan kebajikan ini, saya terlahir kembali sebagai pria,” dengan demikian ia dapat terlahir kembali sebagai pria setelah kematiannya. Tetapi, anak bendahara ini, karena tidak bijaksana berpikir seperti itu terhadap Thera, sehingga pada kehidupan ini ia berubah menjadi wanita.)

Demikianlah, putra bendahara Soreyya berubah menjadi wanita, kawin dengan putra bendahara Takkasila, dan sebagai hasil perkawinan mereka, ia hamil. Setelah 10 bulan (lunar kalender) berselang, ia melahirkan seorang anak
laki-laki. Ketika anak ini sudah dapat berjalan, ia melahirkan anak laki-laki lagi.

Jadi Soreyya, yang sebagai ayah memiliki dua orang anak laki-laki di kota Soreyya, menjadi ibu dari dua anak laki-laki di Takkasila, maka anaknya ada 4 orang.

Pada suatu hari sahabat karib sekereta anak bendahara Soreyya melakukan perjalanan dari kota Soreyya dengan 500 kereta tiba di Takkasila, ia memsuki kota dengan duduk di kereta. Pada saat itu, wanita Soreyya berdiri di dekat jendela ditingkat atas dari istananya, meliohat ke jalan. Segera setelah Soreyya melihatnya, Soreyya mengenal sahabat karibnya itu, ia menyuruh seorang pembantu wanita untuk mengundang menemuinya, menyeduiakan tempat duduk di ruangan besar istananya, dan memberikan pelayanan yang baik kepadanya. Tamu berkata kepada nyonya rumah: “Nyonya, saya tidak pernah bertemu dengan anda. Tetapi anda sangat baik kepada saya. Apakah anda mengenal saya?” “Ya, tuan, saya mengenalmu dengan baik. Apakah anda tinggal di kota Soreyya?” “Ya, nyonya.” Lalu nyonya rumah menanyak keadaan dari ayah, ibunya serta istri dan anak-anaknya. “Mereka dalam keadaan yang baik,” jawab tamu, dan kemudian bertanya: “Apakah nyonya mengenal mereka?” “Ya, tuan. Saya mengenal mereka dengan baik dan mereka memiliki seorang putra. Bagaimana dengan dia?”
“Nyonya, saya mohon tidak membicarakan tentang dia. Karena pada suatu hari, selagi kami duduk bersama di dalam kereta, sedang menuju ke luar kota untuk mandi, namun tiba-tiba ia menghilang. Tidak seorang pun di antara kami yang mengetahui ke mana ia pergi atau apa yang terjadi dengannya. Kami mencarinya ke mana-mana, tetapi gagal menemukannya. Akhirnya kami melaporkan hal ini kepada orang tuanya, akibatnya mereka sedih dan menangis serta melaksanakan upacara kematian.” “Tuanku, sayalah dia.” “Tidak mungkin, nyonya. Apa yang anda katakan? Dia sahabat karibku, ia bagai-kan dewa yang rupawan, dia seorang laki-laki.” “Tuan, bagaimana pun, saya adalah dia, sama saja.” “Bagaimana penjelasannya”, tanya tamu. “Apakah anda ingat melihat Maha Kaccayana Thera pada hari itu?” tanya nyonya rumah. “Ya, saya ingat melihat beliau.” “Baiklah, ketika saya melihat yang ariya Maha Kaccayana Thera, saya berpikir: “Oh. Itulah dia yang dapat menjadi istriku. Semoga penampilan tubuh istriku seperti penampil-an tubuhnya.” Segera setelah pikiranku seperti itu, saya berubah dari pria menjadi wanita. Oh tuan, saya sangat malu sehingga saya tidak dapat bicara kepada siapa pun. Maka saya lari dan tiba di sini.” Oh, sangat salah apa yang telah anda lakukan. Mengapa anda tidak mengatakan kepadaku? Apakah anda telah memohon maaf kepada Thera?” “Tidak, tuan. Saya tidak memohon maaf kepada beliau. Tetapi apakah anda tahu di mana Thera berada?” “Beliau tingga tidak jauh dari kota ini.” “Mungkinkah ia dapat kemari, tuan. Saya ingin memberikan dana kepada yang ariya Thera.” “Baiklah, segera persiapkan untuk beliau, saya akan mengusahakan agar yang ariya Thera memaafkanmu.”
Begitulah, sahabat karib sekereta Soreyya pergi ke tempat tinggal Thera, menghormat beliau, duduk dengan sopan pada tempat yang telah tersedia, lalu nerkata kepada beliau: “Bhante, mohon terima dana saya besok.” Thera menjawab: “Anak bendahara, bukankah anda pengunjung di sini?” “Bhante, mohon tidak menanyakan apakah saya pengunjung di sini atau bukan. Mohon terimalah dana saya besok.” Thera menerima undangan itu, sementara itu banyak persiapan telah disiapkan di rumah untuk Thera. Pada keesokannya Thera datang dan berdiri di depan pintu rumah itu. Anak bendahara mempersilahkan Thera duduk dan melayani beliau dengan makanan terpilih. Kemudian mengajak wanita itu, menyuruhnya bernamaskara keoada Thera dan berkata: “Bhante, mohon maafkan temanku.” Thera kertanya: “ Mengapa?” “Putra bendahara berkata: “Bhante, dulu wanita ini adalah pria teman baikku. Namun pada suatu hari ia melihat bhante dan berpikir ini dan itu, akibatnya ia berubah dari pria menjadi wanita.
Segera setalah Thera mengucapkan kata-kata, ‘saya memaafkan anda’, Soreyya berubah dari wanita menjadi pria. Setelah ia berubah kembali menjadi pria, putra bendahara Takkasila 9suaminya) berkata kepadanya: “Sahabat baikku, karena anda adalah ibu dari dua anakini dan saya adalah ayah mereka, mereka sesungguhnya adalah putra-putra kita berdua. Maka kita dapat hidup terusa bersama di rumah ini. Jangan khawatir.” Soreyya menjawab: “Sahabatku, saya telah mengalami dua perubahan dalam satu kehidupan. Pertama saya adalah pria, kemudian menjadi wanita, dan sekarang saya menjadi pria kembali. Dulu saya menjadi ayah dari dua orang putra, baru saja saya menjadi ibu dari dua orang putra. Jangan berpikir begitu, setelah mengalami dua perubahan diri dalam satu kehidupan, saya tidak akan hidup sebagai orang biasa lagi. Saya akan menjadi bhikkhu di bawah bimbingan yang ariya Thera. Itu tugas anda untuk memelihara kedua anak ini. Jangan biarkan mereka.” Setelah berkata seperti itu, Soreyya mencium kedua anak itu serta memeluk mereka, dan menyerahkan kedua anak itu kepada ayah mereka, meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhu di bawah bimbingan thera. Thera menerima Soreyya ke dalam sangha dengan menahbiskannya menjadi bhikkhu, kemudian membawa bersamanya pergi ke Savatthi, dan akhirnya tiba di kota itu. Selanjutnya ia dikenal sebagai Soreyya Thera.
Ketika para penduduk mengetahui apa yang telah terjadi, mereka sangat terpemngarauh dan tertarik. Mereka mendatangi Soreyya Thera dan bertanya: “Bhante apakah kabar yang tersiar benar?” “Ya, saudara-saudara.” “Bhante, persoalannya begini: ‘Disebutkan bahwa anda menjadi ibu dari dua orang anak dan ayah dari dua orang anak. Pasangan mana yang lebih anda cintai?’” “Pasangan ketika saya sebagai ibu.” Semua orang pada dasarnya menanyakan hal yang sama kepada Thera, begitu pula dengan Thera selalu menjawab: “Saya lebih mencintai pasangan ketika saya sebagai ibu.”
Karena hal itu maka Thera menghindarkan diri dari keramaian; bilamana ia duduk, ia duduk sendirian; bilamana ia berdiri, ia berdiri sendirian. Setelah mendapatkan ketenangan seperti itu, ia dengan teguh berpikiran kelapukan (perubahan) dan kematian, akhirnya mencapai kearahatan, bersama parisambhida. Selanjutnya banyak orang yang datang menemui beliau serta bertanya: “Bhante, apakah kabar yang tersiar benar?” “Apa-kah kabar itu benar.” “Ya, saudara-saudara.” “Pasangan mana yang lebih anda cintai?” “”Cinta kasihku tidak kepada yang mana pun.” Maka para bhikkhu melapor kepada Guru: “Bhikkhu ini berkata bohong. Pada waktu yang lalu ia selalu berkata: ‘ Saya lebih mencintai pasangan ketika saya sebagai ibu.’ Namun sekarang ia berkata: ‘Cinta kasihku tidak kepada yang mana pun.’ Bhante, ia berdusta.” Guru berkata: “Para bhikkhu, putraku tidak berdusta. Pikiran putraku telah diarahkan dengan benar sejak ia memapaki Jalan. Bukan ibu maupun bukan ayah yang dapat menghalangi manfaat dari orang yang pikirannya telah diarahkannya sendiri yang menghalangi mangkhluk-makhluk hidup. Setelah berkata begitu, beliayu mengucapkan syair berikut:

43. “Bukan ibu maupun bukan ayah, juga bukan sanak keluarga yang dapat
melakukan hal ini, karena pikiran yang terarah dengan dengan baik yang dapat melakukannya jauh lebih baik.:”

IV. PUPPHA VAGGA

1. PATHAVIKATHAPASUTAPANCASATABHIKKHUNAM VATHHU.

“Siapakah yang aka n menaklukkan dunia ini ...?” Uraian dhamma ini disampaikan Guru ketika Beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan 500 bhikkhu yang menghabiskan waktu mereka membicarakan tentang tanah.

Tersebutlah, pada suatu petang ketika para bhikkhu ini kembali ke Jetavana setelah berpergian (ke berbagai tempat) di dalam negeri bersama Guru, mereka berkumpul di gedung pertemuan (upatthanasala) membicarakan berbagai macam tanah yang mereka lihat sewaktu berjalan dari satu desa ke desa yang lain, seperti adsa tanag yang rata dan tidak rata, tanah yang diliputi banyak lumpur, tanah yang diliputi kerikil, tanah liat hitam dn tanah liat merah. Guru menemui mereka lalu bertanya: “Para bhikkhu, apa yang anda sekalian percakapkan dengan duduk di sini?” Mereka menjawab: “Bhante, kami membicarakan bermacam-macam tanah yang kami lihat di berbagai tempat yang kami kunjungi.” Guru berkata: “Para bhikkhu, ini adalah tanah bagian luar. Lebih baik anda sekalian membersihkan tanah di batin mu seklian.” Setelah berkata demikian, Beliau mengucapkan dua syair berikut:

44. “Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini, alam Yama dan alam para dewa?
Siapakah yang akan menyerna dhamma yang telah dibabarkan dengan baik,
seperti yang dilakukan oleh perangkai bunga yang ahli?”

45. “Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan menaklukkan dunia ini, alam Yama dan alam para Dewa.
Sekha ini akan menyerna dhamma yang telah dibabarkan dengan baik, seperti yang dilakukan oleh perangkai bunga yang ahli.”

2. MARICIKAMMATTHANIKATTHERA VATTHU

“Ia yang mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan seorang bhikkhu yang bermeditasi pada bayangan (maricikammatthana).

Tersebutlah bahwa seorang bhikkhu mendapat pokok meditasi dari Guru, lalu measuk dalam hutan untuk melaksanakan meditasi. Namun walaupun telah berusaha dan berjuang sungguh-sungguh, ia tidak berhasil mencapai kearahatan, lalu ia berpikir: “Saya akan memohon guru untuk memberikan pokok meditasi yang sesuai dengan kebutuhanku.” Dengan ide ini dipikirannya ia keluar dari hutan kembali kepada Guru.
Dalam perjalanan ia melihat sebuah bayangan (mirage). Ia berpikir: “Seperti bayangan ini pada musim panas nampak nyata bagi mereka yang berada din tempat jauh, tetapi hilang bila didekati, demikian pula dengan kehidupan ini tidak nyata bila memperhatikan kelahiran dan kelapukan (proses penuaan).” Ia memusatkan pikirannya pada bayangan, ia melatih dirinya bermeditasi pada bayangan. Sekembalinya, kecapaian karena perjalanan, ia mandi di sungai Aciravati dan duduk di bawah naungan sebuah pohon di tepi sungai dekat sebuah air terjun. Selagi ia duduk memperhatikan gelembung-gelembung besar dari busa yang muncul dan pecah, karena kekuatan air menerpa bebatuan, ia berpikir: “Begitu pula kehidupan ini muncul dan begitu pula kehidupan hancur.” Hal ini dijadikannya sebagai obyek meditasinya.
Sementara itu, Guru yang sedang duduk dalam Gandhakuti (dengan kekuatan batinnya) melihat Thera dan berkata: ”Bhikkhu, itu memang begitu. Kehidupan ini seperti gelembung busa atau sebuah bayangan. Tepat sekali, begitulah kehidupan muncul dan begitu pula kehidupan lenyap.” Setelah Belioau berkata seperti itu, Beliau mengucapkan syair berikut:

46. ”Ia yang mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa, ia yang dengan jelas
mengerti bahwa begitulah sifat alamiah dari bayangan, maka orang seperti ini akan mematahkan ujung panah Mara dan Raja Kematian tidak dapai menemuinya.”

Pada akhir dari syair Thera mencapai kearahatan dan memiliki patisambhida (kemampuan batin), lalu ia menghormat ke arah tubuh Guru yang keemasan dan gemilang.

2. VIDUDABHA VATTHU

“Walaupun seseorang mengumpul bunga-bungaan ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika Beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan Vidudabha bersama pasukannya, yang diterjang dan terseret banjir besar hingga semuanya meninggal.

Di Savatthi hidup Pangeran Pasenadi, putra raja Kosala; di Vesali hidup Pangeran Mahali, keturunan Licchavi; di Kusinara ada Pangeran Bandula, putra raja Malla. Tiga pangeran ini belajar pada seorang guru terkenal di Takkasila. Ketika bertemu di sebuah rumah peristirahatan di luar kota, mereka saling bertanya tentang tujuan kedatangan, keluarga serta nama, dan menjadi teman. Mereka belajar pada guru yang sama pada waktu yang bersamaan, dan tak lama kemudian mereka telah menguasai berbagai macam ilmu, mereka mohon diri dari guru, berangkat bersama pulang ke masing-masing kerajaan.
Pangeran Pasenadi sangat mengembirakan ayahnya dengan mempertunjukkan berbagai macam keahlian yang dimilikinya sehingga ayahnya menotbatkannya menjadi raja.
Pangeran Mahali membaktikan dirinya pada tugas mendidik para pangeran Licchavi, namun karena terlalu bekerja keras, ia menjadi buta. Karena itu, para pangeran Licchavi berkata: “Sial! Guru kita telah buta. Kita tidak akan mengusirnya, namun kita harus membantunya dengan baik.” Selanjutnya mereka memberikan sebuah gerbang (pembsayaran pajak) seharga 100.000 kahapana. Ia tinggal di dekat gerbang ini, dan mengajar berbagai ilmu kepada 500 pangeran Licchavi.
Sedangkan bagi Pangeran Bandhula, para pangeran Malla mengikat batangan-batangan bambu dalam ikatan-ikatan yang masing-masing terdiri dari 60 batang, dan menyelipkan sebatang besi tipis ke dalam setiap ikatan bambu, mengangkat ikatan-ikatan batangan nya ke atas, dan menantang Bandula untuk memotongnya. Bandula meloncat ke udara setinggi 80 hasta dan menebas ikatan-ikatan itu dengan pedangnya. Karena mendengar suara bunyi besi pada ikatan terakhir, ia bertanya: “Apa itu?” Ketika ia diberitahukan bahwa sebatang besi tipis diselipkan dalam setiap ikatan, ia melempar pedangnya dan menangis dengan berkata: “Mereka semua adalah kerabatku dan temanku, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memberitahukan hal ini. Sebab, bilamana saya mengetahuinya, saya akan menebas ikatan-ikatan itu tanpa menyebabkan bunyi besi.” Lalu ia berkata kepada ayah dan ibunya: “Saya akan membunuh semua pangeran ini dan menguasai kerajaan.” Mereka menjawab: “”Nak, tahta diwariskan dari ayah ke putranya, maka dengan demikian tidak mungkin bagimu melakukan hal ini.” Dengan berbagai macam cara mereka membujuknya untuk tidak melaksanakan apa yang ia rencanakan, akhirnya ia berkata: “Baiklah, saya akan pergi dan tinggal dengan sahabatku,” dan ia berangkat ke Savatthi.
Raja Pasenadi mendapat informasi bahwa Bandula datang, maka ia segera pergi
mengangkatnya menjadi panglima tertinggi tentaranya. Bandula mengajak ayah dan ibunya untuk tinggal di kota Savatthi.
Pada suatu hari, sementara raja berdiri diteras dan melihat ke jalan di bawah, ia melihat beberapa ribu bhikkhu yang melalui jalan dalam perjalanan mereka untuk makan pagi di rumah Anathapindika, Culla Anathapindika, Visakha dan Suppavasa. “Ke mana para bhikkhu itu pergi,” tanya raja. “Maha Raja, setiap hari 2000 bhikkhu pergi ke rumah Anathapindika untuk mendapat makanan, obat-obatan dlll.; 500 bhikkhu ke rumah Culla Anathapindika; jumlah yang sama juga pergi ke rumah Visakha dan Suppavasa.” Raja pun berkeinginan untuk melayani sangha bhikkhu, maka ia pergi ke vihara, lalu mengundang Guru dan ribuan siswanya untuk makan di istananya. Selama tujuh hari ia memberikan dana kepada Guru, pada hari ke tujuh ia memberikan hormat dan berkata: Sejak hari ini Bhante dengan 500 bhikkhu secara tetap datang makan di istanaku.” “Maha Raja, para Buddha tidak pernah menerima makanan secara tetap di satu tempat; manyak orang menginginkan kedatang para Buddha.” “Baiklah, kirim seorang bhikkhu secara tetap.” Guru menunjuk Bhikkhu Ananda melaksanakan tugas ini.

Ketika sangha bhikkhu bhikkhu, raja mengambil patta mereka dan selama tujuh hari secara pribadi ia melayani mereka, tanpa mengizinkan orang lain membentunya. Pada hari ke delapan raja menderita pusing dan lalai melaksanakan tugasnya. Para bhikkhu saling berkata: “Di istana raja tidak ada seorang pun yang meyediakan tampat duduk bagi para bhikkhu dan melayani mereka tanpa ia diperintahkan untuk melakukannya. Dengan demikian tidak mungkin bagi kita untuk tetap berada di sini lebih lama lagi.” Selanjutnya mereka pergi. Pada hari berikutnya juga raja melalaikan tugasnya, maka banyak bhikkhu yang pergi. Demikian pula pada hari ke tiga raja melalaikan tugasnya, akibatnya semua bhikkhu yang tersisa kecuali Bhikkhu Ananda yang tetap tinggal.
Mereka yang sungguh-sungguh mengikuti kebenaran muncul melampaui di lingkungannya dan menjaga kepercayaan umat berkeluarga. Tathagata memiliki dua orang siswa utama, yaitu: Sariputta Thera dan Moggallana Thera; dua siswi utama, yaitu Khema dan Uppalavanna. Diantara umat awam ada dua upasaka utama, yaitu: Citta dan Hatthaka Alavaka; sedangkan dua upasika utama adalah Velukanthaki Nandamata dan Kujjutara. Singkatnya, semua siswa mulai dari 8 orang ini, telah melakukan Tekad Kuat untuk memenuhi Sepuluh Paramita, dan telah memiliki banyak pahala. Demikian pula denganm Ananda Thera, ia telah membuat Tekad Kuat, telah memenuhi 10 Paramita selama 100.000 kappa, dengan demikian telah memiliki maha pahala.(mahapunna). Begitulah Ananda Thera yang muncul melampaui lingkungannya, tetap tinggal uantuk menjaga kepercayaan orang-orang istana. Sehingga mereka menyiapkan tenpat duduk untuk bhikkhu Ananda dan melayani beliau.
Ketika para bhikkhu telah berlalu, raja tiba dan memperhatikan bahwa makanan yang keras dan lunak belum tersentuh, ia bertanya: “Apakah para bhikkhu yang mulia tidak datang?” “Hanya Ananda Thera seorang yang datang, Raja.” “Lihat, berapa kerugian yang mereka sebabkan,” kata raja. Karena mara kepada para bhikkhu, ia pergi menemui Guru dan berkata: “Bhante, saya menyediakan makanan untu 500 bhikkhu, namun nampaknya hanya Ananda Thera seorang yang datang. Makanan yang telah disediakan di sana tidak tersentuh, dan para bhikkhu tidak menunjukkan tanda-tanda akan datang ek istanaku. Mohon, apakah alasannya?” Guru, tidak mempersalahkan para bhikkhu, menjawab: “Maha Raja, para siswaku kurang percaya kepada anda; tentu alasan ini yang menyebabkan hal itu terjadi.” Beliau mensehati para bhikkhu dan meletakkan persyaratan bagi para bhikkhu untuk tidak harus mengunjungi para umat, dan persyaratan bagi para bhikkhu untuk mengunjungi para umat, beliau membabarkan Sutta (Anguttara N. iv. 387 – 388):
“Para bhikkhu, ada 9 syarat bagi para umat yang tidak pantas dikunjungi olah para bhikkhu. Dengan demikian, bilamana para bhikkhu tidak mengunjungi umat, maka mereka tidak diharuskan mengunjungi umat itu; namun jika mereka sedang mengunjunginya, mereka tidak ada pantas untuk duduk. Apakah 9 syarat itu? Mereka tidak menyambut para bhikkhu dengan cara yang sopan; mereka tidak menghormat dengan cara yang sopan; mereka tidak mempersilahkan duduk dengan cara yang sopan; mereka menyembunyikan milik (harta) mereka; memiliki banyak, tetapi memberi sedikit; memiliki makanan yang baik, namun memberikan makanan yang kurang baik; mereka memberikan dana dengan cara yang tidak sopan; mereka tidak duduk untuk mendengar dhamma; mereka tidak berbicara dengan sopan. Para bhikkhu, inilah 9 syarat yang dimiliki oleh umat yang tidak pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Itulah sebabnya, bilamana para bhikkhu tidak mengunjungi umat itu, maka mereka tidak pantas untuk mengunjungi umat itu; namun jika mereka sedang mengunjunginya, mereka tidak ada pantas untuk duduk.
Para bhikkhu, sebaliknya ada 9 syarat para umat yang pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Maka bilamana para bhikkhu belum mengunjungi umat itu, mereka pantas untuk mengunjunginya; dan jika mereka mengunjunginya, mereka pantas untuk duduk. Apakah 9 syarat itu? Mereka menyambut para bhikkhu dengan cara yang sopan; mereka menghormat dengan cara yang sopan; mereka mempersilahkan duduk dengan cara yang sopan; mereka memperlihatkan milik mereka; memiliki banyak dan memberi banyak; memiliki makanan yang baik dan memberikan makan yang baik; memberikan dana dengan cara yang sopan; mereka duduk mendengar dhamma; mereka berbicara dengan sopan. Para bhikkhu, inilah 9 syarat yang dimiliki umat yang pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Itulah sebabnya, bilamana para bhikkhu belum mengunjungi umat itu, maka mereka pantas mengunjungi umat itu, jika mereka mengunjunginya, mereka pantas untuk duduk.

“Maharaja, berdasarkan hal inilah para siswaku kurang kepercayaan kepada anda; pasti karena hal inilah mereka tidak datang. Demikian pula yang dilakukan oleh para bijaksana pada masa lampau yang tidnggal di sebuah tempat yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka; dan walaupun mereka dilayani dengan sopan, mereka merasakan penderita kematian, sehingga mereka pergi ke tempat di mana sesuai dengan kepercayaan mereka.” “kapan itu terjadi,” tanya Raja. Untuk itu Guru menceritakan hal berikut ini.

Cerita yang lampau.
Kesava, Kappa, Narada, dan Raja Baranasi

Pada masa yang lalu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di baranasi, seorang raja bernama Kesava meletakkan tahtanya, meninggalkan kehidupan dunikawi menjadi petapa; 500 pembantunya mengikuti jejaknya menjadi petapa. Sejak itu mantan raja dikenal sebagai petapa Kesava. Begitu pula, Kappa, penjaga permata kerajaan menjadi petapa sebagi murid Kesava. Petapa Kesava bersama para pengikutnya tinggal di pedalaman Himalaya selama 8 bulan. Pada masa musim hujan ia datang ke Baranasi untuk mendapat garam, cuka dan makan. Raja sangat gembira menemuinya, raja mendapat janji dari petapa akan tinggal bersamanya selama 4 bulan musim hujan, raja menyiapkan tempat tinggal di taman, dan menemuinya setiap pagi dan malam. Para petapa yang lain, setelah tinggal di situ selama beberapa hari merasa terganggu oleh sura-suara gajah dan binatang lainnya sehingga mereka merasa tidak puas, lalu mereka pergi menemui Kesava dan berkata: “Guru, kami tidak bahagia, maka kami akan pergi.” “Ke mana kamu sekalian akan pergi, saudara-saudara?” “Ke pedalaman Himalaya, Guru.” “Pada khari kita tiba di sini, raja mendapat janji kita untuk tinggal selama 4 bulan musim hujan. Bagaimana dapat kita pergi, saudara-saudara?” “Guru tidak menjelaskan kepada kami tentang janji yang guru katakan kepada raja; kami tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Kami akan tinggal tidak jauh dari sini, agar kami dapat berita dari Guru.” Demikianlah mereka memberikan hormat kepadanya dan berangkat, akhirnya hanya Guru dan muridnya Kappa yang tertinggal.
Ketika raja datang menemui mereka, ia bertanya: “Ke manakan para

petapa mulia pergi?” “Mereka mengatakan bahwa mereka tidak puas dan tidak bahagia, maka mereka pergi ke pedalaman Himalaya, Maha raja.” Tidak lama kemudian Kappa pun menjadi tidak puas. Walaupun Guru membujuknya berkali-kali agar tidak meninggalkannya, namun ia bersikeras bahwa ia tidak tahan lagi. Maka ia pergi mengikuti yang lain dan tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh, agar ia (dengan mudah) dapat berita tentang Guru.
Guru sering memikirkan para muridnya, dan setelah beberapa waktu kemudian ia mulai menderita sakit dalam. Raja memerintahkan dokter untuk mengobatinya, namun kesehatannya tidak ada perbaikan. Akhirnya petapa berkata kepada raja: “Maha raja, apakah anda ingin saya sembuh?” “Bhante, jika mungkin, saya akan menyembuhkanmu pada saat ini juga.” “Maha raja, jika raja ingin saya sembuh, maka antas saya menemui para muridku.” “Baiklah, petapa,” jawab raja. Maka raja menidurkan petapa pada sebuah usungan dan memerintahkan 4 menterinya yang dipimpi oleh Narada membawa petapa kepada para muridnya, dengan berkata: “Perhatikan bagaimana kesehatan petapa dan kabarkan padaku.”
Petapa Kappa mendapat berita bahwa Guru datang, maka ia p[ergi menemuinya. “Ke mana yang lain?” tanya petapa Kesava, “Mereka tinggal di tempat anu dan itu,” jawab Kappa. Ketika para petapa yang lain mendengar bahwa Guru mereka telah tiba, mereka berkumpul, menyediakan air hangat untuk guru dan memberikan kepadanya berbagai macam buah-buahan. Pada saat itu juga petapa sembuh dari sakitnya; dan dalam beberapa hari saja penempilan tubuhnya yang keemasan nampak. Narada bertanya kepada petapa:

“Setelah makan nasi dari padi gunung yang murni, dimasak dengan kaldu daging, bagaimana mungkin anda menyukai nasi dari pepadian kasar dan tanpa garam?”
“Apakah makanan itu enak atau tidak, sedikit atau banyak, namun bilamana seseorang makan itu dengan penuh kepercayaan, maka kepercayaan itu yang sangat menyenangkan.”

Ketika Guru seleasai menguraikan ajarannya, beliau mengidentifikasikan pemeran-pemeran yang ada dalam Jataja tersebut sebagai berikut: “Apada masa itu raja adalah Moggallana, sedangkan Narada adalah Sariputta, petapa Kesava adalah saya sendiri, Kappa adalah Ananda. Jadi Maha raja, di masa yang mapau pun para bijaksana mengalami penderitaan kematian dan pergi ke tempat yang sesuai dengan kepercaan mereka. Para muridku kurang kepercayaannya kepada anda, Saya tak ragu untuk hal ini.”

Demikianlah cerita yang lampau.

Raja berpikir: “Saya harus memenangkan kepercayaan dari bhikkhu sangha. Apa yang paling terbaik saya lakukan? Cara terbaik bagiku adalah mengawni serang kerabat dari Samma Sambuddha. Dengan cara ini para samanera, bhikkhu baru akan tetap datang ke istanaku dengan berpikir: ‘Raja adalah kerabat Samma Sambuddha.’” Selanjutnya ia mengirim berita kepada para Sakiya, sengan kata-kata: “Berikan seorang anak gadis anda.” Serta memerintahkan para dutanya untuk mengetahui nama orang tua gadis itu dan melapor kepadanya. Para duta berangkat dan meminta seorang gadis Sakiya.
Untuk itu, para Sakiya mengadakan rapat dan mendiskusikan: “Raja adalah musuh kita. Bilamana kita menolak memberikan apa yang ia minta, ia akan membunuh kita. Lagi pula ia tidak sebanding dengan derajad keturunan kita. Apa yang harus kita lakukan?” Mahanama berkata: “Saya memiliki seorang putri bernama Vasabhakhattiya, anak seorang budak-perempuanku, ia seorang gadi yang amat cantik; kami akan memberikan dia kepadanya.” Selanjutnya ia memberikatahukan kepada para duta: “Baiklah, kami akan memberikan seorang gadis kami kepada raja.” “Putri siapa dia?” “Gadis itu adlah putri Mahanama Sakiya, Mahanama adalah putra dari paman Samma Sambuddha. Gadis itu bernama Vasabhakattiya.” Para duta pulang dan melaporkan kepada raja.
Raja berkata: “Jika demikian, baiklah. Segera antar dia kepadaku. Namun para pangeran varna Ksatriya penuh dengan tipu daya; mereka mungkin saja mengirimkan kepadaku seorang gadis anak budak-wanita. Sehubungan dengan hal itu, jangan membawa dia sebelum ia makan semeja bersama dengan ayahnya.” Setelah ia berkata seperti itu, ia mengirm kembali para duta. Mereka menemui Mahanama dan berkata: “Raja, raja (kami) menginginkan Vasabhakhattiya makan bersama anda.” “Baiklah, jawab Mahanama. Ia menyuruh putrinya merias diri dan menemui dia pada waktu makan.

Selanjutnya ia berlagak makan bersama Vasabhakattiya, sesudah itu menyerahkan dia kepada para duta. Para duta mengantar Vasabhakhattiya ke Savatthi dan menceritakan kepada raja apa yang telah terjadi. Raja sangat gembira dan segera menunjuknya sebagai kepala dari 500 wanita dan menyatakan dia sebagai permaisuri utamanya.
Tidak lama kemudian Vasabhakhattiya melahirkan seorang putra, tubuhnya bagaikan emas. Raja sangat senang dan segerea memberi kabar kepada neneknya dengan kata-kata: “Vasabhakhattiya, putri raja Sakiya, telah melahirkan seorang putra. Berikan nama untuknya.” Ketika itu, menteri yang menerima dan akan menyampaikan berita kepada nenek raja adalah seorang yang agak tuli. Akibatnya, ketika nenek mendengar berita, dengan nyaring ia berkata: “Sebelum melahirkan anak, Vasabhakhattiya telah disenangi semua orang; apalagi sekarang, ia sangat luar biasa disayang (vallabha) oleh raja.” Menteri yang agak tuli, salah mendengar kata valabha (sayang) menjadi Vidudabha, lalu pergi dan melapor kepada raja: “Namakan Vidudabha kepada pangeran.” Raja mengira bahwa itu pasti salah sebuah nama lama dari keluarga kami, dan memberikan nama Vidudabha kepada bayi. Walaupun ketika ia masih kanak-kanak, raja mengangkat Vidudabha sebagai panglima perang tentaranya, dengan pikiran bahwa hal ini akan menyenangkan Guru.
Vidudabha dibesarkan sebagai pangeran. Ketika ia berusia 7 tahun, ia memper-hatikan bahwa para pangeran lain menerima hadiah boneka-boneka gajah, kuda, dan bentuk-bentuk lain dari para kakek mereka, maka ia bertanya kepada ibunya: “Ibu, para pangeran lain menerima hadiah dari kakek pihak ibu, tetapi tidak ada seorang pun yang mengirimkannya kepada saya. Apakah ibu tidak memiliki ayah dan ibu?” Ibunya menjawab: “Anakku sayang, kakekmu aalah para raja Sakiya, mereka tinggal jauh sekali; itulah sebabnya mereka tidak perbah mengirimkan sesuatu kepadamu.” Begitulah caranya ia membohongi ananknya. Begitu pula, ketika ia terlah berusia 16 tahun, Vidudabha berkata kepada ibunya: “Ibu, saya ingin sekali untuk pergi menemui keluarga ibu, yaitu kakek dari pihak ibu.” Namun Vasabhakhattiya menolak dengan berkata: “Tidak, anakku sayang, apa yang kau akan lakukan di sana?” Bagaimana pun ia menolak. Berulang kali anaknya memohon. Akhirnya ibunya memberikan izin dengan berkata: “Baiklah, engkau dapat pergi.” Ia memberitahukan kepada ayahnya dan berangkat dengan pengikut yang besar. Vasabhakhattiya mengirmkan surat lebih dahulu, dengan berita: “Saya hidup bahagia di sini. Mohon para raja dalam penerimaan tidak memperlakukan saya berbeda.” Ketika para Sakiya mengetahui bahwa Vidudabha sedang dalam perjalanan mendatangi mereka, mereka membicarakan hal ini:”Tidak mungkin bagi kita memberikan hormat kepadanya.” Karena itu mereka menyuruh para pangeran muda ke pedalaman, dan ketika Vidudabha tiba di kota Kapila, mereka berkumpul di gedung peristirahtan kerajaan. Vidudabha tiba berhenti di gedung peristirahatan kerajaan. Mereka berkata kepadanya: “Kawan, ini adalah kakek dari pihak ibumu dan ini pamanmu.” Sementara ia berjalan sambil memberikan hormat kepada mereka semua, ia perhatikan bahwa tidak ada seorang pun yang memberikan hormat kepadanya. Maka ia bertanya: “Mengapa tidak ada seorang pun yang memberikan hormat kepada saya?” Para Sakiya menjawab: “Kawan, para pangeran muda sedang pergi ke pedalaman.” Lalu melayani Vidudabha dengan segala haormat. Setelah berada di sana beberapa hari, ia pulang bersama para pengikutnya yang besar.
Sementara itu, seorang budak-wanita sedang mencuci tempat duduk yang bekas diduduki Vidudabha di gedung peristirahatan kerajaan dengan air dan susu; sedang melakukan pekerjaan itu pembantu ini dengan jelas berkata: “Inilah tempat duduk yang diduduki oleh putra seorang budak-wanita, Vasabhakhattiya!” Ketika itu ada seseorang yang telah melupakan pedangnya kembali untuk mengambilnya, selagi ia mengambil pedang itu, ia mendengar kata-kata pembantu wanita itu tentang pangeran Vidudabha. Ia menanyakan hal itu, dan mendapat informasi bahwa Vasabhakhattiya adalah putri dari budak-wanita dari Mahanama Sakiya. Ia kembali dan memberitahukan hal ini kepada pasukan dengan berkata: “Saya diberitahu bahwa Vasabhakhattiya adalah putri dari budak-wanita.” Segera hal ini menjadi pembicaraan umum. Ketika Vidudabha mengetahui hal ini, ia bersumpah: “Sekarang para Sakiya ini mencuci bebas tempat duduk saya dengan air dan susu; bilamana saya berkuasa di kerajaanku, saya akan mencuci tempat duduk dengan darah leher mereka.”
Setelah pangeran tiba di Savatthi, para menteri menceritakan apa yang telah terjadi. Raja sangat marah kepada Sakiya karena mereka memberikan kepadanya putri dari seorang budak-wanita, ia mencabut kehormatan kerajaan yang telah diberikan kepada Vasabhakhattiya dan putranya dan menurunkan kedudukan mereka sebagai budak.
Beberapa hari kemudian Suru pergi ke istana dan duduk. Raja datang, memberi hormat kepada beliau dan berkata: “Bhante, Saya mendapat informasi bahwa putri seorang budak-wanita yang diberikan kerabat bahnte kepada saya. Itulah sebabnya maka saya mencabut kehodrmatan kerajaan yang telah diberikan kepada dia dan putrnya dan menurunkan kedudukan mereka menjadi budak.” Guru menjawab: “Maha raja, adalah tidak pantas para Sakiya melakukan itu. Bilamana mereka memberikan seorang putri, mereka harus memberikan kepadamu seorang gadis yang sepadan garis keturunannya dengan anda sendiri. Maha raja, tetapi ada sesuatu yang perlu saya katakan kepada anda: ‘Vasabhakhattiya adalah putri seorang raja dan menerima upacara kehormatan di istana raja varna Kesatriya, Vidudabha juga putra seorang raja. Apa pentingnya keluarga dari ibu? Keluarga dari ayahlah yang berhak sebagai ukuran kedudukan sosial. Para bijaksana yang lampaupun memberikan kehormatan permaisuri utama kepada wanita miskin pencari kayu; dan kepada pangeran yang dilahirkannya menjadi raja Baranasi, sebuah kota yang luasnya 12 yojana, yang diberi nama Katthavahana.” Setelah berkata begitu, Beliau menguraikan Katthaharika Jataka (Jataka 7: i. 133-136). Raja mendengar babaran Dhamma Beliau, dan merasa senang dengan pikiran: “Kelurga dari pihak ayahlah yang berhak sebagai ukuran kedudukan sosial,” maka ia mengembalikan kedudukan dan kehormatan ibu dan anak.

Sementara itu, Mallika, putri Mallika dan Bandhula, panglima perang, telah lama tidak memiliki anak. Sehubungan dengan hal itu, Bandhula menyuruhnya pergi dengan berkata: “Pulanglah kepada keluargamu.” Mallika berpikir: “Saya akan menmui Guru sebelum saya pergi.” Selsanjutnya ia pergi ke Jetavana, memberikan hormat kepada Tathagata, dan menunggu. “Mau ke mana?” tanya Guru. “Suamiku telah memulangkan saya kepada keluargaku, Bhante.” “Mengapa.” “karena saya mandul, tidak mempunyai anak seorang pun.” “Jikalau ini benar, maka tidak ada alasan bagimu untuk kembali kepada keluargamu. Kembali kpada suamimu.” Dengan riang gembira, ia memberikan hormat kepada Guru dan kembali kepada suaminya. “Mengapa kau kembali,” tanya suaminya. “Saya telah diperintahkan untuk kembali oleh dia yang memiliki Dasabala (Sepuluh kemampuan batin),” jawab Mallika. “Dia Yang Melihay-Jauh pasti telah melihat beberapa alasan,” pikir Bandhula dan menyetujui.
Tidak lama kemudian Mallika hamil, dan mengidam muncul. Ia berkata kepada suaminya: “Mengidam telah muncul.” “Apa yang kau inginkan?” Ia menjawab: “Suamiku, di kota Vesali ada sebuah tangki kolam-teratai (buatan) yang biasa digunakan oleh tentara para pangeran pada upacara pelantikkan raja. Saya ingin masuk ke dalamnya, berenang di dalam nya, dan meminum airnya.” “Baiklah,” kata Bandhula, dan mengambil busur panahnya yang hanya dapat ditarik oleh 1000 orang, ia membantu istrinya menaiki kereta dan berangkat dari Savatthi ke Vesali, memasuki Vesali melalui gerbang yang telah diberikan oleh para Licchavi kepada Pangeran Mahali. Sementara itu pangeran Licchavi, Mahali, tinggal di gedung di samping gerbang; maka ketika ia mendengar gemuruh sura kereta di dekatnya, ia berkata sendiri: “Itu suara kereta Bandhula. Ada kerusuhan yang akan muncul bagi para pangeran Licchavi hari ini.”
Bagian dalam dan luar dari kolam-teratai dijaga dengan ketat, dan kolam itu ditutupi dengan kerangka besi dengan lobang-longan yang sangat kecil sehingga burung pun tidak dapat memasukinya. Namun bandhula, panglima perang, turun dari kereta, memukulkan tombaknya kepada para penjaga, dan mengusir mereka pergi. Ia merusak kerangka besi, masuk ke dalam kolam-teratai, dan membiarkan istrinya mandi di dalamnya. Setelah ia sendiri mandi di situ, ia keluar dari kota dan kembali ke jalan yang sama yang telah dilaluinya.
Para penjaga melaporkan kejadian ini kepada para pangeran Licchavi. Akibatnya para pangeran Licchavi sangat marah, lalu menaiki 500 kereta, berangkat ke luar kota, dengan berkata: Kami akan menangkap Bandhula dan mallika.” Mahali berkata kepada mereka: “Jangan pergi, karena dia akan membunuh kamu sekalian.” Tetapi mereka menjawab: “Kami tetap akan pergi.” “Baiklah, tetapi baliklah bilamana anda sekalian melihat keretanya masuk ke dalam tanah hingga setinggi pinggang. Bilamana pada waktu anda sekalian tidak balik, anda sekalian akan mendengar di depan anda gelegar halilintar.

Anda sekalian pada waktu itu harus segerak balik. Namun bilamana pada saat itu anda belum berbalik arah, anda sekalian ankan melihat lobang di bagain depan dari kereta. Berbaliklah, dan jangan maju lagi.” Tetapi bagaimana pun usaha Mahali untuk memperingati mereka, mereka tidak berbalik arah, malahan tetap mengejar Bandhula.
Mallika melihat mereka dan berkata: “Suamiku nampak banyak kereta.” “Baik! Bilamana mereka semua nampaknya hanya bagaikan sebuah kereta saja, katakan padaku.” Demikianlah ketika mereka semua nampak seperti sebuah kereta saja, Mallika berkata: “Mereka nampaknya bagikan kereta yang di depan saja.” “Bagus sekali,” kata Bandhula, “pegang tali kekang ini.” Ia memberikan tali kekang kepada Mallika, ia berdiri di kereta dan mengangkat busurnya. Akibatnya kereta masuk ke dalam tanah setinggi pinggang. Walaupun para pangeran Licchavi melihat kereta Bandhula masuk ke dalam tanah, namun mereka tidak berbalik arah. Setelah beberapa saat kemudian, Bandhula menarik tali busurnya, muncul suara bagaikan gelegar halilintar. Namun demikian para musuhnya tidak berbalik arah, mereka tetap mengejarnya seperti semula. Kemudian Bandhula yang berdiri di atas keretanya, melepaskan sebatang anak panah. Anak panah membuat lobang di depan dan menembus badan semua 500 kereta serta di bagian ‘baju perang ketat’ (korset) mereka dan masuk ke tanah. Tetapi para pangeran Licchavi tidak menyadari bahwa mereka telah ditembusi anak panah, dan berteriak: “Berhenti di mana kamu. Berhenti di mana kamu!” Setelah berkata begitu mereka meneruskan pengejaran. Bandhula menghentikan keretanya dan berkata: “Kamu semua adalah mayat! Saya tidak akan berkelahi melawan mayat.” “Apakah kami nampak seperti mayat?” tanya mereka. “Baiklah,” jawab Bandhula, “lepaskan baju perang ketat dari orang kamu yang terdepan.” Mereka melepaskan gidlenya. Pada saat baju perang ketat dilepaskan orang itu jatuh dan mati. Kemudian Bandhula berkata: “Anda sekalian mempunyai nasib yang sama dengan pemimpinmu. Pulanglah, selesaikan urusan anda sekalian yang perlu diselesaikan, berikan nasehat terakhir kepada para putra dan istri anda sekalian dan lepaskan baju perang anda.” Mereka melakukannya, selanjutnya mereka semua jatuh dan mati. Kemudioan bandhula meneruskan perjalanan ke Savatthi.
Enambelas kali Mallika melahirkan putra-putra kembar Bandhula, mereka semua perkasa, dan memiliki kekuatan yang hebat. Mereka semua sempurna dalam beberapa keahlian. Mereka masing-masing memiliki pengikut sebanya 1000 orang; dan ketika mereka mengikuti ayah mereka ke istana, istana dipenuhi oleh kelompok mereka. Pada suatu hari ada beberapa orang yang telah dikalahkan karena tuntutan salah dipengadilan melihat Bandhula mendatangi, dengan suara yang lantang mereka meneriakkan protes kepadanya karena pengadilan yang tidak adil dari para hakim. Karena hal itu Bandhula pergi ke pemngadilan dan menyelesaikan kasus secara bijaksana sesuai kebenaran bagi yang benar. Para penduduk memuji dia dengan teriakan nyaring karena setuju. Raja bertanya: “Apa yang telah terjadi?” Ketika raja mendapat keterangan, ia sangat senang, lalu raja memecat semua hakim, selanjutnya menyerahkan administrai pengadilan kepada bandhula sendiri, dan dialah yang menghakimi semua perkara di pengadilan.
Para hakim yang kehilangan kesempatan menerima sogokkan, membuat perpecahan di antara anggota keluarga istana, dengan berkata: “Bandhula menginginkan tahta kerajaan.” Raja percaya pada kata-kata mereka dan tak sanggup mengendalikan perasaannya. “Namun,” pikirnya, “bilana Bandhula di bunuh disini, saya akan sangat dikritik.” Dalam pikiran yang lain ia memerintahkan beberapa orang untuk membuat kerusuhan di perbatasan negara. Kemudian raja memanggil dan memerintahkan Bandhula
Dengan berkata: “Saya mendapat informasi bahwa di perbatasan ada pemberontakan. Bawa para putramu, pergi dan tangka para pemberontak.” Raja mengirimkan bersama Bandhula sejumlah kesatryanya yang sangat kuat, dengan perintah: “Pancung kepala bandhula dan 32 putranya dan bawa (kepala-kepala) mereka kedaku.” Ketika bandhula mencapai perbatas, dan para pemberontak yang disewa mendengar kedatangan panglima perang, mereka lari. Bandhula menyelesaikan keamanan kerajaan dengan baik, menciptakan kedamain, dan berangkat pulang. Ketika Bandhula mencapai tempat yang tidak jauh dari kota, para kesatrya yang bersamanya menyerang dia dan memancung kepala-kepala bandhula dan anak-anaknya.
Pada hari itu Mallika mengundang mengundang dua Siswa Utama bersama 500 bhikkhu ke rumahnya. Pada pagi itu seseorang membawa surat dan memberikan surat itu kepadanya yang berisi berita: “Kepala suami dan para putra anda telah di penggal.” Ketika ia membaca surat ini, ia tidak berkata sesuatu kepada siapa pun, namun memasukkan surat itu ke dalam lipatan pakaiannya dan meneruskan pelayanan kepada bhikkhu sangha seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, terjadi suatu kejadian yakni ketikan pelayannya memberikan makanan kepada para bhikkhu, mereka membawa sebuah tempayan berisi ‘susu yang diragikan’ (ghee) dan tempayan itu jatuh dan pecah di depan para Thera. Pelindung Keyakinan (bhikkhu) berkata: “Tidak perlu diperdulikan kepecahan sesuatu yang mudah pecah.” Karena itu Mallika mengambil surat yang ada dalam lipatan pakaiannya, dan berkata: “Mereka baru saja menyampaikan surat ini, yang berisikan berita: ‘Kepala suami dan para putra anda telah dipenggal.’ Walaupun saya mendapat berita ini, saya tidak bereaksi apa-apa. Maka bagaimana saya akan memperdulikan pecahnya tempayan ini, Bhante?”
Para Pelindung Keyakinan mengucapkan syair (paritta) yang dimulai dengan kata: “Tanpa tanda, tanpa tahu, kematian terjadi di sini,” dan setelah membabarkan dhamma, mereka bangkit dari duduk dan pergi ke vihara. Mallika memanggi 32 menantunya dan menasehati mereka sebagai berikut: “Para suami anda sekaliantidak bersalah dan mereka hanya menerima matangnya buah kamma buruk mereka yang dibuat pada masa yang lampau. Tidak usah bersedih dan meratap. Jangan benci kepadanya.” Mata-mata kerajaan mendengar ucapannya dan pergi melaporkan hal ini kepada raja bahwa mereka tidak membenci raja. Setelah mendengar laporan ini raja diliputi oleh perasaan yang tidak menyenangkan, lalu ia pergi ke rumah Mallika, meminta Mallika bersama para menantunya untuk memaafkannya serta memberikan sebuah “anugerah” (boon) kepada Mallika. “Saya menerimanya,” jawan Mallika.
Setelah raja pergi, ia melaksanakan upacara berduka cita, ia mandi dan pergi menghadap raja, dan berkata: “Maha raja, anda memberikan kepadaku sebuah ‘anugrah’.Saya tidak menginginkan yang lain kecuali hal ini, yakni izinkan saya bersama 32 menantuku untuk kembali ke rumah keluarga kami.” Raja menyetujui, maka Mallika memulangkan 32 menantunya ke keluarga mereka masing-masing, sedangkan ia sendiri pergi ke kota Kusinara, kembali ke rumah keluarganya. Raja mengangkat panglima perangh baru yaitu Dighakarayana, kemenakan dari panglima perang Bandhula. Namun Dighakarayana mengeritik raja dengan menyebarkan berita: “Rajalah yang membunun pamanku.”
Sejak pada hari raja membunuh Bandhula yang tak bersalah, ia diliputi kesedihan, pikirannya tidak tenang, dan tidak bersemangat memerintah kerajaan. Ketika itu Guru tinggal di sebuah desa kecil bernama Ulumpa, milik suku Sakiya. Raja pergi ke sana, dan berkemah di tempat yang tidak jauh dari Taman, tempat Guru berada, dan raja berpikir: “Saya akan pergi memberikan hormat kepada Guru,” lalu ia pergi ke vihara, bersama beberapa pengawal. Ia menyerahkan 5 simbol (kekuasaan) kerajaan kepada Dighakarayana, lalu memasuki Gandha Kuti. (Cerita ini sesuai dengan uraian dalam Dhammacetiya Sutta, M.N. 89: ii. 118-125).
Setelah Raja Pasenadi masuk ke Gandha Kuti, Karayana mengambil 5 simbol (kekuasaan) kerajaan dan membuat Vidudabha menjadi raja. Kemudian ia pergi ke Savatthi dengan hanya meninggalkan seorang pelayan wanita bersama seekor kuda untuk
Pasenadi. Raja senang bercakap-cakap dengan Guru, setelah itu ia keluar. Ia tidak melihat para pengawal, ia bertsanya kepada pelayan, dan dari pelayan itu ia mengetahui apa yang telah terjadi. “Saya akan mengajak kemenakan sayadan menangkap Vidudabha,” kata raja, lalu pergi ke kota Rajagaha. Ketika ia tiba di kota waktu telah larut malam, germabang kota telah di tutup. Kerana kelelahan dan tertimpa matahari dan angin, maka Pasenadi beristirahat dengan berbaring di sebuah rumah peristirahatan , naman ia meninggal pada malam itu. Ketika malam berangsur menjadi pagi, Oarang-orang mendengar suara wanita yang menangis dengan berkata: “Raja Kosala, anda telah kehilangan Pelindungmu!” Mereka melaporkan hal ini kepada raja. Untuk itu Vidudabha melakukan upacara kematian untuk Pasenadi dengan penuh kebesaran.
Setelah Vidudabha menjadi raja, ia ingat dendamnya. Ia mendumel sendiri: “Saya akan membunuh para Sakiya,” maka ia berangkat dengan pasukan yang bersar jumlahnya. Pada hari itu Guru sedang memeriksa dunia di sore hari, beliau melihat ada malapetaka kehancuran para para kerabatnya, dan berpikir: “Saya akan melindungi kerabatku.” Beliau pergi pindapata di pagi hari, setalah kembali beliau berbaring dengan posisi seperti singha di Gandha Kuti; dan di sore hari beliau terbang ke angkasa dan duduk di bawah sebuah pohon beringin (Banyan) rindang tidak jauh dari Kapilavatthu yang juga tidak jauh dari perbatasan kerajaan Vidudabha.
Vidudabha melihat Gur, mendatanginya, memberikan hormat, dan berkata: “Bhante, mengapa pada waktu yang sangat panas ini Bhante duduk di bawah pohon yang rindang ini?” “Maha raja, tidak perlu di perdulikan hal in i. Kerindangan keluargaku membuat saya dingin.” “Guru datang, tentu dengan tujuan untuk melindungi keluarganya,” pikir Vidudabha. Setelah ia memberikan hormat kepada Guru, ia pergi dan pulang ke Savatthi. Guru melayang ke angkasa dan kembali ke Jetavana.
Raja mengingat kembali kebenciannya kepada suku Sakiya, maka ia pergi untuk kedua kalinya, namun karena melihat Guru berada di tempat yang sama, ia pulang. Begitu pula untuk ketiga lainya, ia melihat guru berada pula di tempat yang sama, maka ia berbalik pulang. Namun ketika ia pergi keempat kali, Guru melihat perbuatan-perbuatan lapau para Sakiya dan menyadari bahwa tidak mungkin untuk menghalangi akibat perbuatan jahat yang telah mereka lakukan dengan memasukkan racun ke dalam sungai, maka beliau tidak pergi untuk keempat kali.
Sehingga Vidudabha dengan kekuatan yang besar pergi dengan berkata: “Saya akan membunuh para Sakiya.” Pada waktu itu para kerabat Samma Sambuddha tidak membunuh musuh, malahan mereka rela mati daripada membunuh orang lain. Maka mereka saling berkata: “Kita terlatih dan ahli; kita ahli dalam memanah dan terbiasa menggunakan busur panjang. Karena salah bila kita memnunuh orang lain, kita akan mengusir mereka dengan cara mempertunjukkan keahlian kita.” Selanjutnya mereka mengenakan baju perang mereka, maju ke medang perang dan mulai berperang. Panah-panah yang mereka lepaskan melayang melalui pasukan Vidudabha, melewati antara tameng-tameng mereka dan melalui antarabkuping dan kepala mereka, namun tidak mengenai seorang pun. Ketika Vidudabha meliaht panah beterbangan, ia berkata: “Saya mengerti bahwa karena kesombongan para Sakiya mereka mengatakan bahwa mereka tidak membunuhmusuh mereka; tetapi nyatanya sekarang mereka membunuh pasukanku.” Salah seorang anggota pasukannya berkata: Tuan, mengapa anda berbalik dan lihatlah keadaan anda?” “Para Sakiya membunuh orang-orang kita.” “Tidak ada seorang pun dari pasukan anda yang mati; mohon silahkan hitung.” Ia menyuruh hitung dan mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang hilang.
Vidudabha membalikkan badannya dan ia berkata kepada pasukannya: “Saya perintahkan kepada anda sekalian untuk membunuh siapa saja yang mengatakan: ‘Kami adalah Sakiya, tetapi selamatkan mereka adalah keluarga Mahanama Sakiya.” Para Sakiya tetap berdiri di tempat mereka dan karena tidak ada lagi sumber lain, maka ada yang memegang daun yang di letakkan diantara giri, sedang yang lain memegang alang-alang (reeds). Pada waktu itu bagi para Sakiya lebih baik mati daripada mengatakan hal yang tidak benar. Maka ketika mereka di tanya: “Apakah anda Sakiya atau tidak?” Mereka yang memegang daun di antara gigi mereka berkata: “Bukan Saka (peruk tanah) tetapi “rumput’; sedangkan mereka yang memegang alang-alang, berkata: “Bukan saka, tetapi alang-alang.” Kehidupan keluarga Mahanama dapat diselamatkan. Para Sakiya yang memegang rumput di gigi mereka dikenal sebagai Sakiya rrumput; sedangkan mereka yang memegang lang-alang dikenal sebagi Sakiya Alang-Alang. Vidudabha membunuh semuanuya, tanpa kecuali termasuk anak-anak yang masih menyusu sekalipun. Setelah ia menciptakan sungai darah, ia mencuci tempat duduknya dengan darah dari leher mereka. Demikianlah keturunan Sakiya dilenyapkan oleh Vidudabha.
Vidudabha nmenangkan Mahanama Sakiya dan berangkat pulang. Ketika sudah waktunya untuk sarapan, Vidudabha berhenti di suatu tempat dan berpikir: “Sekarang saya akan sarapan.” Setelah makanan disiapkan untuknya, ia berkata sendiri: “Saya akan makan bersama kakekku,” dan menyuruh seseorang utuk memanggilnya datang. Pada masa itu anggota dari varna Ksatriya lebih baik mati daripada makan bersama anak-anak dari budak perempuan. Begitulah ketika melihat sebuah danau, ia berkata: “Cucuku sayang, anggota tuuhku kotor, saya mau pergi mandu dulu.” “Baiklah Kakek, pergi dan mandilah.” Mahanama berpikir: “Bilamana saya menolak makan bersamanya, ia akan membunuh saya. Bila demikian, lebih baik saya mati dengan tanganku sendiri.” Setelah melepaskan ikatan rambutanya, ia mengikatkan ujung rambutnya, menempatkan ibu-jarinya pada rambut, dan menyeburkan diri ke air.
Karena kekuatan jasa pahalanya, tempayt tinggal para (dewa) Naga menjadi panas. Raja naga , mempertimbangkan hal ini: “Apa artinya hal ini?” pergi menemui Mahanama, mendudukkan dia diatas kepalanya, dan membawanya ke tempat tinggal para Naga. Di sana ia tinggal selama 12 tahun. Sedangkan, ketika Mahanama menyeburkan diri ke air, Vidudabha duduk dan berpikir: Sudah saat nya kakek saya akan datang; sekarang kakakek saya akan datang.” Akhirnya setelah kakeknya telah lama ditunggu dan tidak muncul, ia berpikir dan menyuruh orang untuk mencari kakakeknya dengan menggunakan lampu, termasuk memeriksa di dalam pakaian para pasukannya. Namun karena tidak menemukan kakeknya di mana pun, ia berpendapat: “Ia telah pergi,” selanjutnya ia berangkat.
Dalam perjalanannya ia kemalaman, Vidudabha sampai di sungai Aciravati dan berkemah di situ. Di antara pasukannya ada yang berbaring di atas pasir dari dari sungai yang kering, ada yang berbaring di tepi sungai pada tanah yang keras. Sementara itu mereka yang berbaring pada sungai yang kering tidak melakukan perbuatan yang salam pada banyak kehidupan yang lampau, sedangkan mereka yang berbaring pada tanah keras di tepi sungai telah berbuat perbuatan salah pada banyak kehidupan yang lampau. Terjadi kejadian, banyak semut keluar dari tanah di mana mereka berbaring. Maka mereka bangun dan berkata: “Banyak semut di tempat kami berbaring! Banyak semut di tempat kami berbaring!” Mereka yang tidak melakukan banyak perbuatan jahat pada waktu ehidupan yang lampau bangun dari tempat mereka di sungai yang kering dan berbaring di tanah keras di tepi sungai; sedangkan mereka yang telah melakukan banyak perbuatan salah pada kehidupan yang lampau, turun dan berbaring di sungai yang kering. Pada beberapa saat kemudian badai sangat hebat muncul dan terjadi hujan yang sangat lebat. Banjir memenuhi sungai dan menghanutkan Vidudabha dan pasukannya ke laut, dan mereka semua menjadi makanan ikan dan kura-kura.
Masyarakat ( di antaranya para bhikkhu juga) membicarakan hal ini; Pembunuhan para Sakiya adalah tidak pantas. Tidak benar mengatakan: Para Sakiya harus dibunuh,’ pancung dan bunuh mereka.” Guru mendengar pembicaraan mereka dan berkata: “Para bhikkhu, bilamana anda sekalian hanya memperhatikan kehidupan sekarang saja , maka hal itu sangat tidak pantas bahwa para Sakiya mati dengan cara begitu. Bagaimana pun apa yang mereka terima adalah adil, karena mempertimbangkan perbuatan buruk yang telah mereka lakukan pada sebuah kehidupan yang lampau.” “Apakah perbuatan buruk yang telah mereka lakukan pada kehidupan yang lampau, Bhante?” “Pada kehidupan yang lampau mereka berkonspirasi bersama dan melemparkan racun ke dalam sungai.”
Juga pada suatu hari, para bhikkhu melakukan diskusi di Dhammasala:

“Vidudabha membunuh semua Sakiya, dan kemudian sebelum keinginan terpenuhi, dia dengan pasukannya hanyut ke laut dan menjadi makanan ikan dan kura-kura.” Guru datang dan bertanya: “Para bhikkhu, apa yang anda sekalian percakapkan dengan berkumpul di sini?” Keika menceritakan kepadanya, beliau kerkata: “Para bhikkhu, apakah keinginan para makhluk hidup ini terpenuhi, bagaikan banjir besar menyapu desa yang lelap, begitu pula Raja Kematian mempersingkat hidup mereka dan menyemplung mereka ke empat lautan penderitaan,” Setelah mengatakan hal itu, beliau mengucapkan syair berikut ini:

47. “Walaupun seseorang sedang mengumpul bunga-bungaan, dengan batinnya
diliputi napsu indria, kematian menyeretnya bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.”

5. PATIPUJIKAYA-VATTHU

“Walaupun seseorang sedang mengumpul bunga ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi, berkenaan dengan seorang wanita bernama Patipujika (pemuja suami). Ceritanya dimulai di alam Tavatimsa,

Tesebutlah ada sesosok dewa bernama Malabhari disertai 1000 dewi masuk ke taman kesenangan di alam dewa Tavatimsa. Lima ratus dari para dewi ini memanjat pohon dan melempar bebuangaan ke bawah; 500 dewi yang lain mengumpul bunga yang jatuh dan mengenakannya kepada dewa. Salah sesosok dewi dari para dewi ini, selsgi ia duduk di cabang sebuah pohon, ia meninggal dari alam ini, tubuhnya lenyapseperti nyala lampu, dan masuk dalam sebuah pembuahan (dalam kandungan) pada sebuah keluarga di Savatthi. Kemudian lahir dengan dapat mengingat kembali kehidupannya yang lalu, dan ingat bahwa ia adalah istri dari dewa Malabhari. Ketika ia bertumbuh menjadi remaja ia melaksanakan puja bhakti dengan wewangian dan bebuangaan, dan membuat tekad utuk terlahir kembali bersama suaminya.
Ketika ia berusia 16 tahun, ia kawin dengan seorang pria dari keluarga lain. Kapan pun, bilamana ia memberikan dana makanan (pindapata) pada hari tertentu, pada setiap dua minggu atau pada musim vassa, ia akan berkata: “Semoga dana ini membantu saya untuk terlahir kembali bersama suamiku yang dulu.” Para bhikkhu berkata: “Wanita ini, walaupun selalu sibuk dan aktif, hanya merindukan suaminya.” Karena itu mereka menamakannya Patipujika (pemuja suami). Secara tetap ia mengurus Ruangan Pertemuan (Asanasala) dengan menyiapkan air minum, dan menyediakan tempat duduk bagi para bbhikkhu. Bilamana ada orang yag ingin mendanakan makanan setiap hari atau setiap dua minggu, mereka akan membawa makanan itu dan menyerahkannya kepadanya, dengan berkata: “Nyonya, tolong berikan ini kepada bhikkhu sangha.” Dengan melakukan hal-hal ini ia sekali gus mendapat 56 Kusaladhamma. Ia hamil dan pada akhir 10 bulan lunar ia melahirkan serang putra; ketika putranya telah dapat berjalan, ia melahirkan seorang putra pula, kemudian yang lain, sehingga ia memiliki 4 putra.

Pada suatu hari ia memberikan dana, memberikan hormat kepada para bhikkhu, mendengar dhamma serta melaksanakan sila, namun pada akhir dari hari itu ia meninggal karena sakit yang tiba-tiba, dan terlahir kembali bersama suaminya yang lampau. Selama waktu itu para dewi yang lain sedang mengenakan bunga kepada dewa. Ketika dewa Malabhari melihatnya, ia berkata: “Kami tidak melihatmu sejak pagi. Ke mana saja anda?” “Saya meninggal dari kehidupan ini, suamiku.” “Apa yang anda katakan?” “Seperti itulah, suamiku.” “Di mana anda terlahir kembali?” “Pada sebuah keluarga yang tinggal di Savatthi.” “Berapa lama anda berada di sana?”
“Pada akhir 10 bulan lunar saya lahirdari kandungan ibuku. Ketika saya berusia 16 tahun, saya kawin dengan seorang pria dari keluarga lain. Saya melahirkan 4 putra, memberikan dana-dana makanan, memberikan hormat kepada bhikkhu, membuat tekad kuat untuk terlahir kembali bersamamu, suamiku.” “Berapa panjang usia manusia?” “Hanya 100 tahun.” “Begitu pendek seperti itu?” “Ya, suamiku.” “Bilamana manusia terlahir kembali dan hidup begitu pendek usianya, apakah mereka hidup tidur dan tidak waspada atau mereka memberi dana-dana dan memberikan hormat?” “Apa yang anda katakan, suamiku? Manusia selalu tidak waspada, bagaikan ia akan hidup selama satu kappa, atau bagaikan ia tidak akan diliputi usia tua atau kematian.”
Dewa Malabhari sangat terpengaruh. Ia berkata: Bilamana, seperti yang anda katakan nahwa manusia terlahir kembali dengan hidup 100 tahun, dan mereka hidup tidak waspadandan tidur, maka kapan mereka akan terbebas dari penderitaan?” (Sementara itu, 100 tahun manusia adalah sama dengan se hari semalam alam dewa Tavatimsa, 30 hari seperti itu adalah satu bulanm, 12 bulan adalah satu tahun, dan panjang kehidupan alam dewa Tavatimsa adalah 1000 tahun surgawi, atau dalam tahun manusia itu sama dengan 36 juta tahun. Sehingga kehidupan dewi didunia ini bagi alam dewa adalah itu belum satu hari; juga belum sesaat. Itulah sebabnya ia (Dewa Malabhari) berpikir: “Bilamana kehidupan manusia begitu pendek, maka tidah tepat bagi mereka unyuk hidup tidak waspada.”)
Pada keesokan harinya ketika para bhikkhu masuk ke dalam desa, menemukan Ruangan Pertemuan tidak rapi, tempat duduk tidak siap, dan air minum tidak tersedia. “Patipujika pergi ke mana?” tanya mereka. “Para bhante,

bagaimana anda sekalian berharap untuk melihatnya? Kemarin sore, stelah beberapa lama anda sekalian makan, ia meninggal.” Demikianlah, bagi para bhikkhu yang belum mencapai Sotapana, mengenang kebaiakn pelayanannya, tak dapat menahan linangan air mata; sedangkan para bhikkhu yang telah mencapai ke-arahat-an diliputi dengan perasaan religius.
Setelah mereka selesai sarapan, mereka pergi ke vihara dan bertanya kepada Guru: “Bhante, Patipujika sangat sibuk dan aktif, selalu melakukan semua perbuatan baikdan berkehendak untuk terlahir kembali dengan suaminya yang lampau. Di mana ia terlahir kembali?” Para bhikkhu, ia telah terlahir kembali bersama suaminya yang lampau.” “Bhante, tetapi ia tidak mati bersama suaminya.” “Para bhikkhu, ia tidak berkehendak dengan suaminya yang itu. Suami yang dimaksudnya adalah Dewa Malabhari di alam dewa Tavatimsa . Ia meninggal dari alam itu ketika ia sedang mengenakan bunga-bungaan kepadanya. Sekarang ia telah kembali di mana ia berada sebelumnya dan telah terlahir kembali bersamanya.”
“Bhante, betapa pendeknya usia kehidupan makhluk di dunia ini! Di pagi hari ia melayani kami dengan makanan, di waktu sore ia sakit dan meninggal.” Guru menjawab: “Para bhikkhu, ya. Kehidupan makhluk di dunia ini memang sangat pendek. Itulah sebabnya, sementara para makhluk di dunia ini menginginkan hal-hal di dunia ini dan belum memuaskan nafsu keinginan mereka, kematian mengalahkan mereka dan membawa mereka ke dalam ratap dan tangis.”
Setelah berkata demikian, beliau mengucapkan syair berikut:

48. “Walaupun seseorang sedang mengunpul bunga-bungaan, dengan pikiran kacau dan tak pernah puas, ia akan di bawah kekuasaan sang penghancur.”

5. MACCHARIKOSIYASETTHI-VATTHU
(Hartawan Kosiya yang kikir)

“Bagaikan tawon yang tidak merusak bunga ....” Uraian dhamma ini dibabarkan guru ketika beliau tinggal di Savatthi berkenaan dengan hartawan Maccharikosiya. Cerita ini mulai di Rajagaha.
Tersebutlah bahwa di kota Sakkara, yang terletak tidak jauh dari kota Rajagaha, tinggal seorang hartawan bernama Maccharikosiya, yang memiliki harta sebanyak 80 koti. Tidak pernah setetes minyak pun, walau hanya sekecil tetesan minyak yang dapat tetap berada di ujung daun yang ia berikan kepada orang lain maupun ia gunakan sendiri. Akibatnya, betapa besar pun kekayaannya, namun itu tidak memberikan kenikmatan kepada para putra dan putrinya atau para bhikkhu serta brahamana, kekayaannya tak digunakan, bagaikan kolam yang dijaga oleh para makhluk penunggu yang jahat.
Pada suatu hari, di pagi hari, Guru setelah menyelesaikan meditasi pencapaian mahakaruna dan dengan mata Buddha siapa-siapa yang memiliki keyakinan di dunia ini. Ketika sedangka melakukan penglihtan ini, beliau melihat bahwa pada jarak 45 yojana ada seorang hartawan dan istrinya yang memiliki kemampuan untuk mencapai sotapatti-phala.
Pada keesokan harinya, hartawan pergi ke istana untuk menemui raja. Dalam perjalan pulang, setelah menemui raja, ia melihat seseorang yang agak lapar sedang makan puva (kue bulat) yang diisi dengan kacangan asam. Pemandangan ini membuatnya lapar. Ketika ia tiba di rumahnya sendiri, ia berpikir: “Bila saya berkata secara terbuka bahwa saya ingin makan kue bulat, maka banyak orang lain yang ingin makan bersama saya. Bila demikian akan banyak menghabiskan sesama, beras, ghee, jaggery dll.. Lebih baik saya tidak akan mengatakan apa-apa kepada siapa pun.” Demikianlah ia tetap berjalan, menahan lapar semampu mungkin. Namun setelah beberapa jam kemudian, ia nampak pucat dan semakin pucat, vena-vena nampak jelas di seluruh tubuhnya. Akhirnya, karena tidak dapat menahan lapar lebih lama lagi, ia masuk ke kamarnya dan berbaring di tempat tidur. Walaupun ia menderita kelaparan, namun karena takutnya akan kehilangan kekayaannya, maka ia tidak berbicara kepada siapa pun.
Selagi ia berbaring, istrinya menemuinya, mengusap punggungnya dan bertanya kepadanya: “Suamiku, ada apa denganmu?” “Tidak ada masalah.” “Apakah raja memarahimu?” “Tidak, raja tidak marah padaku.” “Kalau begitu mungkin putra dan putrimu atau para budak dan pelayan, telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan untukmu?” “Tidak ada hal seperti tu.” “Namun, mungkin ada sesuatu yang anda inginkan?” Ketika istrinya berkata begitu, dan karena takutnya akan kehilangan kekayaannya maka ia tidak menjawab sepatah kata pun, tetap berbaring diam di tempat tidur. Kemudian istrinya berkata kepadanya: “Suamiku, katakan apa yang anda inginkan?” Lalu suaminya berkata dengan suara bagaikan di telan: “Ya, saya menginginkan sesuatu.” “Apa yang anda inginkan, suamiku?” “Saya ingin makan kue bulat (puva).”
“Mengapa anda tidak mengatakan padaku? Apakah anda orang miskin? Saya segera menyiapkan kue bulat yang cukup untuk dimakan oleh seluruh penduduk kota Sakkara.” “Mengapa anda memperdulikan mereka? Mereka sebaiknya bekerja dan mendapat uang untuk membeli makanan.” “Baiklah saya akan menyiapkan kue untuk orang-orang di sepanjang sebuah jalan.” “Saya selalu pikir anda terlalu berlebihan.” “Bila demikian, maka saya akan menyiapkan kue yang cukup bagi semua orang yang ada di rumah ini.” “Saya selalu pikir anda terlalu royal.” Kalu begitu saya akan menyiapkan kue yang cukup untuk anda, anak-anakmu serta istrimu.” “Mengapa anda memperdulikan mereka?” “Baiklah, saya akan menyiapkan kue yang cukup untuk anda dan saya.” “Mengapa anda berpikir akan mendapatnya?” “Baiklah, kalau begitu saya akan menyiapkan kue hanya untukmu seorang.”
Kemudian suaminya berkata: “Banyak orang akan melihatmu bila memasak di dapur ini. Maka simpanlah beras yang lain, ambil beras yang patah, ambil belanga, tungku, susu sedikit, ghee (susu yang diasamkan), madu dan jagghery, lalu pergi ke lantai atas di tingkat tujuh rumah ini, di sana saya sendiri akan duduk dan makan.” “Baiklah,” jawab istrinya dengan janji akan memenuhi keinginannya. Ia menyuruh menyiapkan semua hal yang diperlukan, lalu naik ke lantai teratas, menyuruh para pelayan pergi dan menyuruh seseorang memanggil suaminya datang. Suaminya naik dari lantai satu ke lantai-lantai lain di atas, menutup dan mengunci setiap pintu, hingga akhirnya ia sampai di lantai tujuh. Dan setelah ia menutup dan mengunci pintu, ia duduk. Istrinya mulai menyalakan api di tungku, menempatkan belanga di tungku, dan mulai memasak kue.

Sementara itu di pagi hari Guru berkata kepada Maha Moggallana Thera: “Moggallana, di kota Sakkara, dekat kota Rajagaha, seorang hartawan kikir, ingin makan kue goreng, tetapi karena takut seseorang melihatnya, maka ia menyuruh masak kue di lantai tujuh rumahnya. Pergi ke sana, kuasai hartawan itu, tanamkan padanya manfaat meninggalkan pemuasan indria, dengan kekuatan batinmu bawalah hartawan beserta istrinya, kue-kue, susu, dadi susu, madu dan jaggery ke Jetawana. Hari ini saya akan duduk bersama 500 bhikkhu dan akan makan kue-kue itu. “ “Baiklah, Bhante,” jawab thera, menyetujui akan melaksanakan perintah Guru.
Dengan kemampuan batinnya, dalam sekejap Thera tiba di kota. Di depan jendela rumah itu, ia memegang jubah dalam dan luar, berdiri melayang di angkasa bagaikan arca permata. Ketika maha hartawan melihat Thera, jatungnya bergetar. “Karena takut pada orang seperti ini, maka saya datang ke tempat ini; namun kini orang ini datang dan berdiri di depan jendelaku,” katanya. Tanpa menyadari bahwa thera akan mudah mendapatkan apa yang ia butuhkan, dengan dikuasai kemarahan, bagaikan air dan gula di lempar ke dalam api, hartawan berkata: “Bhikkhu, apa yang anda harapkan untuk didapat dengan melayang berdiri di angkasa? Anda dapat berjalan naik dan turun hingga anda menyebabkan sebuah jalan nampak di angkasa yang tak ada jalan, tetapi semua yang anda buat itu tidak ada manfaatnya.” Thera tetap berjalan ke sana ke mari.
Hartawan berkata: “Apa yang anda harapkan dengan berjalan ke sana ke mari? Anda dapat duduk bersila di angkasa, namun itu tidak ada gunanya?” Thera melipat kaki dan duduk bersila. Kemudian hartawan berkata kepadanya: “Apa yang anda harapkan dengan duduk bersila? Anda boleh datang dan berdiri di ambang jendela, tetapi tidak ada gunanya.” Lalu thera mendekat dan berdiri di ambang jendela. Hartawan berkata kepada thera: “Apa yang anda harapkan dengan berdiri di ambang jendela? Walaupun anda menyemburkan asap, dengan itu pun anda tidak akan mendapat apa-apa.”
Selanjutnya thera mengeluarkan asap hingga di seluruh rumahnya diliputi oleh asap tebal. Hartawan merasakan matanya bagaikan ditusuk jarum-jarum. Ia sangat takut jangan-jangan rumahnya akan terbakar sehingga ia enggan mengatakan: “Anda dapat menyemburkan api, namun anda tidak akan mendapat apa-apa.” Ia berpikir: “Bhikkhu ini akan tetap di situ dan ia tidak akan pergi sebelum mendapat sesuatu. Saya akan memberikannya sebuah kue.” Lalu ia berkata kepada istrinya: “Istriku, buatkan sebuah kue kecil, berikan itu kepada bhikkhu, agar ia pergi.”

Istrinya mengambil secuil adonan dan menempatkannya pada belanga. Tetapi adonan itu berkembang menjadi kue besar yang mengisi seluruh permukaan belanga dan malahan meluap. Ketika hartawan melihatnya, ia berpikir: “Ia tentu mengambil adonan besar.” Maka ia sendiri mengambil adonan yang sangat kecil hanya seperti tetesan pada ujung sendok dan memasukkannya ke dalam belanga. Tetapi adonan itu menjadi lebih besar dari pada kue tadi. Begitu selanjutnya setiap kue yang mereka masak menjadi lebih besar dari yang semula. Akhirnya, dengan putus asa hartawan berkata kepada istrinya: “Istriku, berikan dia sebuah kue.”
Namun ketika istrinya berusaha mengambil sebuah kue dari keranjang, semua kue melengket menjadi satu. Istri hartawan berkata kepada suaminya: “Suamiku, semua kue saling melengket. Saya tidak dapat memisahkan kue-kue itu.” “Saya akan memisahkan kue-kue itu,” jawab hartawan. Tetapi walaupun ia berusaha sekuat tenaganya, ia tidak dapat memisahkannya. Akhirnya hartawan memegang ujung yang satu dan istrinya di ujung yang lain, lalu mereka menarik dengan sekuat tenaga mereka. Namun walaupun demikian mereka tidak dapat memisahkan kue-kue itu.
Sementara hartawan berusaha memisahkan kue-kuenya, keringat keluar dari tubuhnya, akibatnya keinginannya hilang. Karena itu ia berkata kepada istrinya: “Istriku, saya tidak membutuhkan kue-kue itu. Ambil kue-kue serta keranjang dan berikan kepada bhikkhu.” Istrinya mengambil keranjang dan meberikannya kepada bhikkhu. Thera mengajar dhamma kepada hartawan dan istrinya, membabarkan Tiratanaguna (kebajikan Tiratana). Yang dimulai dengan kata-kata: “ Atthi dinnam atthi yitthan’ti” (berdana adalah pengorbanan yang benar), beliau menyatakan pahala dari berdana dan kata-kata tentang kebajikan dengan jelas bagaikan bulan purnama.
Selagi hartawan mendengar uraian beliau, dalam batinnya muncul keyakinan, dan ia berkata: “Bhante, mendekatlah, duduk di sofa dan makanlah.” Thera menjawab: “Maha hartawan, Samma Sambuddha sedang duduk di vihara, mengharap untuk makan kue-kue ini. Maka, hartawan, bilamana anda tidak keberatan, ajak istrimu, bawa kue-kue, susu, dan yang lain-lain, kita pergi menemui Guru.” “Bhante, tetapi pada saat ini guru ada di mana?” “Hartawan, Beliau berada di Vihara Jetavana, kira-kira 45 yojana dari sini.” “Bhante, bagaimana kita pergi ke sana dengan menempuh jarak yang jauh tanpa menggunakan waktu yang banyak?”

“Hartawan, bila anada tidak kebertana, saya akan mengantar anda ke sana dengan kekuatan batinku. Bagian atas dari tangga rumahmu akan tetap ada di tempatnya, tetapi bagian bawah tangga akan berdiri di depan ambang gerbang Jetavana. Saya akan mengantar anda dalam waktu yang lebih singkat daripada waktu yang anda butuhkan untuk turun dari tingkat paling atas ke lantai bawah rumahmu.” “Baiklah, bhante.” Jawab hartawan, menyetujui kata-kata thera. Demikianlah Thera membiarkan bagian atas dari tangga tetap pada tempatnya, dan menyatakan: “Bagian bawah tangga berdiri di ambang gerbang Jetavana.” Begitulah yang terjadi. Thera membawa hartawan bersama istrinya ke Jetavana lebih singkat waktunya daripada waktu yang dibutuhkan untuk turun lantai paling atas ke lantai bawah rumahnya.
Hartawan dan istrinya menemui Guru dan memberitahukan beliau bahwa sudah saatnya untuk makan. Selanjutnya bersama bhikkhu sangha, Guru masuk ke ruangan makan dan duduk di Pannattabuddhasana (Tempat duduk Buddha) yang telah disediakan. Maha hartawan memberikan Dakkhinodakam (Air pemberian) kepada bhikkhu sangha yang dikepalai Sang Buddha. Istri hartawan menempatkan sebuah kue pada patta Tathagata. Guru memakan sebanyak yang beliau butuhkan untuk menunjang kehidupannya, begitu pula yang dilakukan oleh bhikkhu sangha. Hartawan ke sana ke mari membagi susu, dadi susu, madu dan jaggery.
Setelah Guru serta 500 bhikkhu selesai makan, hartawan dan istrinya makan sebanyak mereka mau. Namun tetapi kuenya tidak habis. Demikian pula, walaupun kue-kue sudah dibagikan kepada seluruh bhikkhu di vihara dan kepada orang-orang yang kekurangan makanan, tetapi kue tidak pernah habis. “Bhante, kue tidak pernah berkurang,” lapor mereka kepada Bhagava. “Baiklah, lemparlah kue-kue itu ke ambang gerbang Jetavana,” jawab beliau. Maka mereka melempar kue-kue itu ke sebuah goa yang ada dekat ambang gerbang Jetavana. Hari ini tempat itu dinamakan Kapallapuvapabbharan (Goa-Kue).
Kemudian maha hartawan bersama istrinya mendekat kepada Sang Bhagava dan berdiri di samping dengan hormat. Sang Bhagava mengucapkan kata-kata anumodana. Di akhir kata-kata anumodana, hartawan dan istrinya mencapai Sotapattiphala. Lalu mereka menghormat Guru, menaiki tangga yang ada di ambang gerbang, dan mereka mendapati mereka telah berada di rumah mereka sendiri. Sejak itu hartawan mendanakan uang sebanyak 80 laksa dari hartanya untuk Buddha sasana saja.
Pada malam esok harinya, ketika para bhikkhu berkumpul di Dhammasabhaya, mereka berkata: “Saudara-saudara sekalian, lihatlah kemampuan batin Maha Moggallana Thera! Tanpa mengurangi keyakinan, tanpa mengurangi kekayaan, dalam sesaat ia menundukkan hartawan kikir, menyebabkannya meninggalkan pemuasan nafsu, membawanya ke Jetavana, menyebabkan dia membawa kue-kue dengannya, mempertemukannya dengan Guru, dan menyebabkannya mencapai sotapattiphala. Betapa hebatnya kekuatan batin thera!” Demikianlah mereka memuji kebajikan thera, ketika duduk bersama di Dhammasabhaya. Dengan kemampuan batin mendengar (dibba sota) Guru mendengar apa yang mereka bicarakan, lalu pergi ke Dhammasala, lalu bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, apa pokok pembicaraan anda sekalian perbincangkan dengan duduk di sini?” Setelah mereka memberitahukan halnya. Beliau berkata: “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang meyakinkan seseorang tanpa mengurangi keyakinan, tanpa mengurangi kekayaan, tanpa melelahkan atau tanpa menekan orang tersebut, harus mendekati orang tersebut dengan memberitahukan kebajikan Sag Buddha bagaikan tawon yang hinggap pada bunga dan mengumpul madu darinya. Bhikkhu seperti itu adalah putraku Moggallana.” Untuk memuji thera, beliau mengucapkan syair berikut ini:

49. “Bagaikan seekor tawon mengumpul madu dari bunga-bungaan tanpa merusak warna maupun baunya; demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.”

Setelah guru menyampaikan babaran dhamma ini, beliau melanjutkan uraian dhamma dengan tujuan untuk menyatakan kebajikan Thera, dengan berkata: “Para bhikkhu, ini bukan yang pertama kali Hartawan Kikir diyakinkan oleh Thera Moggallana. Pada kehidupan yang lampau pun ia telah meyakinkannya dengan menajarkannya tentang hubungan perbuatan dan hasil dari perbuatan itu.” Untuk mejelaskan persoalan itu, Beliau menguraikan Illisa Jataka:

Berdua adalah pincang, berdua memiliki kaki bengkok, berdua juling,
Berdua berkutil. Saya tak dapat mengatakan mana di antaranya adalah Illisa.

6. PATHIKAJIVAKA VATTHU
(Petapa Telanjang Pathika)


“Jangan memperhatikan kesalahan ....” Uraian dhamma ini di sampaikan Guru sehubungan ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan seorang petapa telanjang bernama Pathika.

Diceritakan bahwa di Savatthi, seorang ibu rumah tangga memenuhi kebutuhan seorang petapa telanjang bernama Pathika, ia melayani petapa ini bagaikan mengasuh anaknya sendiri. Para tetangganya yang pergi mendengar dhamma pada Guru kembali dengan memuji kebajikan para Buddha dalam berbagai cara, dengan berkata: “Betapa menariknya ajaran para Buddha!” Ketika ibu ini mendengar para tetangganya memuji seperti ini, ia ingin pergi ke vihara untuk mendengar dhamma. Ia memberitahukan hal ini kepada petapa telanjang dengan bekata: “Petapa yang terhormat, saya ingin pergi mendengar dhamma Sang Buddha.” Namun, walaupun berulang-ulang uia mengatakan hal ini, petapa membujuknya untuk tidak pergi, dengan berkata: “Jangan pergi.” Ibu ini berpikir: “Karena petapa ini tidak menyetujui saya lergi ke vihara untuk mendengar dhamma, saya akan mengundang Guru ke rumah ku dan mendengar beliau membabarkan dhamma di sini.
Selanjutnya, di malam hari, ia menyuruh putranya untuk menemui Guru dengan berkata kepadanya: “Pergi dan undang Guru untuk menerima pelayananku besok.” Abak ini pergi tetapi terlebih dahulu ia pergi ke tempat tinggal petapa telanjang, menghormat beliau dan duduk. “Mau ke mana, nak?” tanya peta telanjang. “Ibuku menyruh saya untuk pergi mengundang Guru.” “Jangan pergi kepadanya.” “Baiklah, namun saya takut pada ibuku. Saya akan pergi.” “Sebaiknya kita berdua makan makanan enak yang disediakan untuknya. Tidak usah pergi.” “Tidak, ibuku akan memarahiku.” “Baiklah, kau pergi. Tetapi ketika kau pergi mengundang Guru, jangan katakan kepadanya, ‘Rumahmu berlokasi di daerah anu, di jalan anu, dan Guru dapat mencapainya melalui jalan ini dan itu.’ Sebaliknya bersikaplah seolah-olah kau tinggal di sekitar situ saja, dan pada waktu pulang, berlakulah seperti kau menuju jalan lain dan kembali menemuiku.”

Anak Ini mendengar apa yang dikatakan petapa telanjang dan sesudah itu ia pergi menemui Guru dan menyampaikan undangan. Setelah ia melaksanakan semua yang dipesankan oleh petapa telanjanh, ia pulang dan menemui petapa. Petapa telanjang berkata: “Apa yang telah kau lakukan?” Anak menjawab: “Segala sesuatu yang petapa katakan padaku, petapa yang mulia.” “Kau telah melakukannya dengan baik. Kita berdua akan makan makanan enak yang disediakan untuknya.” Pada keesokan harinya, di pagi hari, petapa telanjang pergi ke rumah itu, mengajak anak itu dan mereka berdua duduk bersama di balik ruangan tamu.
Para tetangga melabur rumah dengan tahi sapi, menghiasnya dengan berbagai bunga, termasuk bunga Laja, menyediakan tempat duduk yang mahal, tempat untuk Guru
duduk. (Orang-orang yang tidak mengenal para Buddha, tidak mengetahui bila perlu menyediakan tempat duduk bagi para Buddha. Begitu pula Para Buddha tidak akan menyuruh mereka untuk menyediakannya. Pada hari pencapaian Bodhi, ketika mereka duduk di bawah pohon Bodhi, yang menyebabkan 10.000 sistim dunia (cakkavala) bergetar, dan semua jalan menjadi jelas bagi mereka: “Ini jalan ke neraka, ini jalan ke alam binatang, ini jalan ke alam Peta, ini alan ke Tanpa kematian, Maha Nibbana.” Tidak perlu mengatakan kepada mereka jalan pergi ke desa, ke kota atau tempat-tempat lain.)
Demikianlah di pagi hari, Guru mengambil patta dan jubah, dan segera pergi ke rumah ibu itu. Ibu ke luar dario rumah, memberi hormat bernamaskara kepada Guru, mendampingi beliau masuk ke dalam rumah, memberikan Air Dana ke tangan kanan Guru, dan memberi makanan terpilih yang lebut dan keras kepada beliau. Ketika Guru selesai makan, ibu ini menginginkan beliau menyampaikan ucapan anumodana, maka ia mengambil patta beliau. Kemudian Guru dengan suaranya yang merdu mulai menyampaikan anumodana dalam bentuk uraian dhamma. Ibu mendngar uraian dhamma dan memuji Guru, dengan berkata: “Uraian yang menakjubkan. Uraian yang menakjubkan.”
Petapa telanjang yang duduk di balik ruangan tamu mendengar kata-kata pujian dari ibu setelah ia mendengar dhamma dati Guru. Karena tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, ia berkata: “Ia bukan muridku lagi,” dan keluar. Lalu ia berkata kepad ibu itu: “Konyol, anda tidak perlu memuji orang ini seperti itu.” Lalu ia mengejek ibu itu dan Guru dengan berbagai macam kata-kta, setelah itu ia pergi dengn berlari. Ibu itu sangat malu karena cercaan petapa itu sehingga pikirannya menjadi kacau, akibatnya ia tiak dapat memperhatikan apa yang diuraikan guru. Guru bertanya kepada ibu itu: “Ibu, Bhante,” jawabnya, “pikiranku kacau oleh cercaan petapa telanjang itu.” Guru berkata: “Sesorang tidak perlu memperdulikan kata-kata orang yang berpandangan keliru seperti itu; orang tak perlu memperhatikan orang seperti dia; seseorang sebaiknya hanya memperhatikan perguatan buruknya atau perbuatan baiknya sendiri.” Setelah berkata begitu, beliau mengucapkan syair berikut:

50. “Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah dikerjakan atau yang belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikan apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.”

7. CHATAPANIUPASAKASSA-VATTHU

“Bagaikan sekuntum bunga yang indah ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi, berkenaan dengan upasaka Chattapani.
Di Savatthi ada seorang upasaka bernama Chattapani yang menguasai Tipitaka dan telah mencapai tingkat kesucian Sakadagami. Pada suatu pagi, ia melaksanakan uposatha , ia pergi menemui dan memberi hormat kepada Guru.
(Bagi para Sakadagami dan Ariya Puggala dan berdasarkan pada usaha yang lampau, mereka tidak menyatakan kewajiban melaksanakan uposatha sila (dengan memohon uposatha sila). Mereka dengan kebajikan pencapaian ariya puggala, melaksanakan uposatha dan hanya makan sekali sehari. Itulah sebabnya Sang Bhagava berkata: “Maharaja, Ghatikara tukang pembuat tembikar hanya makan sehari dan melaksanakan uposatha sila, perukan kebajikan dan benar” (M.N. ii.51). Demikianlah sebagai suatui proses bagi para Sakadagami hanya makan sekali dan melaksanakan uposatha sila).
Begitu pula dengan Chattapani, melaksanakan uposatha sila, menemui Guru dan memberikan hormat kepadanya, lalu duduk di tempat yang tersedia dan mendengar Dhamma. Pada waktu itu Raja Pasenadi Kosala juga datang memberi hormat kepada Guru. Ketika Chattapani melihat ia datang, ia berpikir: “Apakah saya harus berdiri untuk menemuinya atau tidak? Bilamana saya berdiri, maka raja mendapat kehormatan tetapi Guru tidak. Maka saya tidak akan berdiri.” Ia menyimpulkan: “Karena saya duduk di depan Raja dari segala Raja, saya tidak perlu berdiri untuk menemui raja sebagai penghormatan. Walaupun ia marah saya tidak akan berdiri. Karena bilamana melihat raja lalu saya berdiri, maka raja yang mendapat penghormatan, sedangkan Guru tidak. Maka saya tidak akan berdiri.” (Orang bijaksana tidak akan pernah marahbilamana melihat seseorang tidak berdiri, karena orang itu berada di depan orang yang lebih tinggi kedudukannya).
Ketika Raja Paenadi melihat Chattapani tidak berdiri, hatinya diliputi kemarahan. Namun ia tetap memberikan hormat kepada Guru dan duduk di tempat yang telah tersedia. Guru menyadari bahwa ia sedang marah, lalu berkata kepadanya: “Maharaja, upasaka Chattapani adalahorang bijaksana, mengetahui Dhamma, menguasai Tipitaka, ia menerima dengan wajar penderitaan dan kesenangan.” Beitulah Guru menerangkan kebaikan upasaka. Sementara raja mendengar keadaan uopasaka, hatinya menjadi lunak.
Pada suatu hari setelah sarapan, raja sedang berdiri di lantai atas istananya, ia melihat upasaka Chattapani sedang berjalan di halaman istana dengan payung di tangan dan mengenaka sendal di kaki. Segera ia menyuruh seseorang untuk memanggil Chattapani agar ia menemuinya. Chattapani meletakkan payung dan sandalnya ke samp[ing, menemui raja, memberi hormat kepadanya, dan berdiri dengan hormat di samping. Raja berkata kepada Chattapani: “Saudara, mengapa anda meletakkan sandal dan payung di samping?” “Ketika saya mendengar: ‘Raja memanggil anda,’ saya segera meletakkan payung dan sandal saya dan datang menemui raja.’ “ “Jelaslah, hari ini anda telah nenyadari bahwa saya adalah raja.” “Saya selalu menyadari bahwa tuanku adalah raja.” “Jikalau hal itu benar, mengapa pada hari yang lalu, ketika anda duduk di depan Guru dan anda telah melihat saya, anda tidak berdiri?”
“Maharaja, ketika itu saya duduk di depan raja dari segala raja, bilamana setelah saya melihat raja yang hanya berkuasa di satu kerajaan lalu saya berdiri, maka saya menunjukkan sikap tidak menghormat kepada Guru. Itulah sebabnya saya tyidak berdiri.” “Baiklah, apa yang telah lewat telah berlalu. Saya mendapat inform,asi bahwa anda mengetahui dengan baik hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan pada pada sekarang ini dan kehidupan yang akan datang; juga anda menguasai Tipitaka. Ungkapkan dhamma di tempat tinggal para wanita kami.” “Saya tidak dapat melakukannya, Maharaja.” “Mengapa tidak.” “Istana raja seharusnya sangat ketat dengan penjagaan.” “Pantas dan tidak pantas adalah hal-hal yang sangat penting dalam hal ini, Maharaja.” “”Jangan berkata begitu. Pada hari yang lalu, ketika anda melihat saya, anda bersikap pantas untuk tidak berdiri. Jangan menghina menambah luka.” “Maharaja, adalah tidak tepat bagi seorang awan melaksanakan tugas para bhikkhu. Undanglah seorang bhikkhu dan mintalh dia membabarkan Dhamma.”
Raja mengizinkan dia pergi dengan berkata: “Baiklah, anda dapat pergi.” Setelah melakukan hal itu, raja mengirimkan utusan kepada Guru dengan permohonan sebagai berikut: “Bhante, permaisuriku Mallika dan Vasabhakhattiya mengatakan bahwa ‘Kami ingin mendengar dhamma dari Guru.’ Untuk itu mohon secara tetap Guru datang bersama 500 bhikkhu dan membabarkan Dhamma.” Guru mengirimkan jawaban sebagai berikut: “Maharaja, tidak mungkin seorang Buddha untuk datang secara tetap di satu tempat.” “Bhante, bilamana demikian kirimkanlah beberapa bhikkhu.” Guru menunjuk Ananda Thera untuk melaksanakan tugas itu. Thera selalu datang secara tetap dan mengajarkan dhammakepada para pemaisuri. Dari kedua permaisuru, Mallika belajar dengan baik, melatih diri dengan baik, dan meperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya. Sedangkan Vasabhakhattiya tidak belajar dengan baik, tidak melatih diri dengan baik, dan tidak memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya.
Pada suatu hari Guru bertanya kepada Ananda Thera: “Ananda, apakah para upasika, siswi anda, telah menguasai dhamma?” “Ya, Bhante.” “Siapa yang telah belajar dengan baik?” “Bhante, Mallika belajar dengan baik, melatih diri dengan baik, dan memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya. Sedangkan kerabat Guru tidak belajar dengan baik, tidak melatih diri dengan baik, dan tidak memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya.” Ketika Guru telah mendengar jawaban Thera, beliau berkata: “Ananda, sehubungan dhamma yang telah saya babarkan, bagi seseorang yang tidak dengan baik mendengar, belajar dan melatih diri serta memperhatikan Dhamma yang dibabarkan, maka hal itu tak berguna, bagaikan bunga yang memiliki warna namun tidak harum. Tetapi bagi seseorang yang dengan baik mendengar belajar dan melatih serta memperhatikan Dhamma yang dibabarkan, akan mendapat pahala yang berlimpah dan berbagai macam berkah.” Setelah berkata demikian, beliau menyatakan syair yang berikut:

51. “Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.”

52. “Bagaikan sekuntum bunga yang indah dan berbau harum
demikian pula akan bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.”

Pada akhir dari uaraian dhamma, banyak orang menjadi Sotapanna, Sakadagami dan Anagami. Uraian dhamma ini sangat bermanfaat bagi banyak orang.

9. VISAKKHAYA-VATTHU
(Perkawinan Visakha)

“Dari kumpulan bunga dapat dirangkai banyak ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Pubbarama dekat kota Savatthi berkenaan dengan upasika Visakha.

Disebutkan bahwa Visakha lahir di kota Bhaddiya dalam kerajaan Anga. Ayahnya adalah hartawan Dhananjaya, putra dari hartawan Mendako, ibunya adalah Sumana Devi yang merupakan istri utama. Ketika Visakha berusia 7 tahun, Guru mengetahui bahwa Brahmana Sela dan kerabatnya yang lain telah memiliki keyakinan yang merupakan faktor untuk mencapai Sotapanna, maka beliau berangkat bersama sejumlah besar bhikkhu dan tiba di kota itu. Pada waktu itu hartawan Mendako menjabat sebagai bendahara kota, ia salah satu dari 5 orang yang memiliki jasa (pahala) besar (mahapunna).
(Lima orang yang memiliki mahapunna adalah Hartawan Mendako, Candapaduma, istrinya; putra sulungnya Dhananjaya dan istrinya Samanadevi, dan budak hartawan Mendako yang bernama Punna. Pada masa itu Hartawan Mendako memiliki harta yang tak terhitung, tetapi bukan hanya dia seorang yang memiliki harta tak terhitung. Di kerajaan yang dikuasai oleh Raja Bimbisara ada lima orang yang sangat kaya, yaitu: Jotiyo, Jatilo, Mendako, Punnako dan Kakavaliyo).
Hartawan Mendako mengetahui bahwa Pemilik Dasabala telah datang di kota, maka ia menyuruh (cucunya) Visakha, putri hartawan Dhananjaya, dengan berkata: “Cucuku, ini adalah hari yang berbahagia untukku dan untukmu. Ajak 500 gadis pendampingmu dayang-dayang), naik 500 kereta, dan bersama 500 budak wanitamu, pergi temui pemilik Dasabala.” “Baiklah,” jawab Visakha mengiakan.
Inilah yang ia lakukan. Karena ia telah mengetahui dengan baik apa yang masuk akal dan yang tidak masuk akal, maka ia pergi dengan berkereta sejauh yang dapat dilalui kereta; lalu ia turun dari keretanya dan berjalan menemui Guru, memberikan hormat kepada Guru dan berdiri di samping. Senang melihat prilakunya, Guru menguraikan Dhamma kepadanya, dan pada akhir dari uraian dhamma Visakha bersama 500 gadis dayang-dayang menjadi Sotapanna.
Hartawan Mendako juga menemui Guru, mendengar dhamma dan menjadi Sotapanna. Karena itu, Hartawan mendako mengundang Guru sebagai tamunya besok. Demikianlah pada keesokkannya di rumahnya ia melayani dengan baik Bhikkhu Sangha yang dikepalai Sang Buddha, memberikan pada mereka makanan terpilih, yang keras dan lembut, begitu pula ia melakukan hal yang sama pada hari uposatha dengan memberikan berbagai macam makanan. Setelah Guru berada di kota Bhaddiya selama waktu yang dibutuhkan, beliau pergi.
Pada waktu itu Raja Bimbisara dan Raja Pasenadi Kosala bermerabat karena hubungan perkawinan, masing-masing mengawini saudara perempuan satu dengan yang lain. Pada suatu hari Raja Kosala berpikir: “Dalam kerajaan (Magadha) Bimbisara ada lima orang yang memiliki kekayaan tak terhitung banyaknya, namun dalam kerajaanku tidak ada seorang pun seperti mereka. Sebaiknya saya mengunjungi Bimbisara dan meminta salah seorang dari para hartawan itu.” Selanjutnya ia pergi menemui Raja bimbisara, yang menyambutnya dengan sikap bersahabat dan bertanya kepadanya: “Apa maksud kedatangan anda?” “Saya datang ke mari dengan pikiran, ‘Dalam kerajaanmu ada 5 hartawan yang memiliki kekayaan tak terhitung banyaknya dan ada lima orang yang memiliki mahapunna. Saya menginginkan satu orang dari mereka pulang bersama saya.’” “Mereka ini adalah keluarga yang penting, tidak mungkin memindahkan mereka.” “Saya tidak akan kembali tanpa satu keluarga itu.”
Raja mengadalkan konsultasi dengan para menterinya dan menjawab: “Memindahkan para keluarga pentying seperti Jotiyo bagaikan memindahkan bumi itu sendiri. Tetapi ada seorang hartawan bernama Dhananjaya, putra hartawan Mendako. Saya akab berbicara dengan dia dan akan memberikan jawabanku nanti.” Selanjutnya Raja Bimbisara menyuruh seseorang untuk memanggil hartawan Dhananjaya menghadapnya, dan berkata: “Kawanku, Raja Kosala telah berkata padaku, ‘Saya ingin seorang hartawan yang memiliki kekayaan besar kembali dengan saya.’” Anda pergilah dengan dia.” “Maharaja, jika raja menyuruh saya, saya akan pergi.” “Baiklah sahabatku, bersiaplah dan pergi.”
Demikianlah maka hartawan Dhananjaya menyiapkan persiapan yang diperlukan, dan raja menganugerahkannya kehormatan kepadanya dan mempersilahkan Raja Pasenadi berangkat, dengan berkata: “Bawalah dia bersamamu.” Maka Raja Pasenadi mengajaknya pergi dan berangkat ke Savatthi, dengan berhenti semalam dalam perjalanan. Dalam perjalan, mereka tiba di sebuah tempat yang menyenangkan, mereka mendirikan kemah untuk bermalam. Hartawan Dhananjaya bertanya kepada raja: “Termasuk kerajaan siapa daerah ini?” “Hartawan, ini termasuk kerajaan saya.” “Berapa jauh dari sini ke Savatthi?” “Tujuh yojana.” “Di dalam kota sangat padat, sedangkan para pengikut saya sangat banyak. Bilamana Maharaja menyetujui, saya akan tinggal di tempat ini.” “Baiklah,” jawab raja , mengabulkan permintaannya. Selanjutnya raja membuat kota untuk hartawan Dhananjaya di tempat itu dan memberikan kepadanya, dan setelah melakukan hal itu, raja berangkat. Karena daerah ini mulai didiami pada waktu sore (sayam) maka kota ini dinamakan Saketa.
Pada masa itu di Savatthi ada seorang hartawan bernama Migara, ia mempunyai seorang putra bernama Punnavaddhana, yang baru mencapai kedewasaan. Ayah dan ibunya berkata kepadanya: “Anak sayang, pilihlah seorang istri untukmu dari mana saja yang ananda sukai.” “Saya tidak membutuhkan hal seperti itu.” “Nak, jangan bersikap seperti itu. Sebuah keluarga tanpa anak tidak akan bertahan.” Setelah mereka mengatakan hal itu beberapa kali. Ia berkata: “Baiklah. Jika saya mendapatkan seorang gadis yang memiliki Lima Kecantikan, saya akan melakukan seperti ayah dan ibu katakan.” “Tetapi apakah kelima kecantikan ini, ‘nak.” “Kecantikan rambut, kecantikan daging, kecantikan tulang, kecantikan kulit, dan kecantikan keremajaan.”
(Bagi wanita yang memiliki mahapunna memiliki rambut seperti ekor merak, bilamana rambut itu dilepas bebas, rambut itu akan menyentuh depun (hem) roknya, dan ujung rambut melengkung ke atas. Inilah Kecantikan Rambut. Bibirnya berwarna seperti merah cerah labu, bibir atas dan bawah sama dan lebut bila disentuh. Inilah Kecantikan Daging. Giginya putih, rata, tanpa celah dan bercahaya bagaikan untaian mutiara yang dijajarkan atau seperti kulit kerang yang dipotong dengan rapi. Inilah Kecantikan Tulang. Kulitnya tanpa menggunakan cendana, pemerah (pipi, kulit), atau kosmetik lainnya, adalah licin bagaikan bunga teratai dan putih bagaikan untaian bunga kanikara. Inilah Kecantikan Kulit. Walaupun ia melahirkan 10 kali, penampilan keremajaan tubuhnya bagaikan ia baru melahirkan sekali. Inilah Kecantikan Keremajaan)
Untuk itu ibu dan ayah Punnavaddhana mengundang 108 Brahmana kerumah mereka, melayani m,ereka makan malam, kemudian bertanya pada mereka: “Apakah ada wanita yang memiliki Lima Kecantikan?” “Ya, ada.” “Baiklah, delapan orang dari anda sekalian pergi cari gadis seperti itu,” kata mereka dan memberikan banyak uang kepada 8 Brahmana itu. “Ketika anda sekalian kembali, kami tahu apa yang harus kami lakukan. Carilah gadis itu, dan bilamana telah ditemukan, dandani dia dengan untaian bunga (lei) ini.” Setelah berkata demikian mereka memberikan kepada para Brahmana seuntai bunga emas yang berharga 100.000 kahapana (keping emas, kalau sekarang uang koin emas)) dan menyuruh mereka pergi. Para Brahmana pergi ke semua kota besar dan mencari dengan rajin, namun mereka tidak menemukan seorang gadis yang memiliki Lima Kecantikan, maka mereka berbalik pulang. Ketika mereka tiba di kota Saketa, pada Hari Libur Umum (Vivatanakkhattadivase) dan mereka berpikir: “Hari ini tugas kita akan mencapai puncak kesuksesan.”
Pada masa itu di kota ada festival yang dirayakan setiap tahun pada Hari Libur Umum, pada hari ini para keluarga yang biasanya tidak keluar mereka keluar rumah bersama para pembantu mereka yang tidak mengenakan baju (atas), berjalan-jalan di tepi sungai. Lagi pula, para putra orang-orang kaya atau ksatriya berdiri di sepanjang jalan, dan bilamana mereka melihat seorang gadis cantik yang sepadan dengan mereka, mereka melemparkan kutuman bunga ke kepala gadis itu.
Para Brahmana juga pergi ke tepi sungai, memasuki gedung tertentu dan menunggu. Pada saat itu Visakha , yang pada waktu itu telah berusia 15 atau 16 tahun, merias dirinya dengan semua perhiasannya, disertai 500 dayangnya, datang ke tepi sungai dengan maksud untuk mandi. Tiba-tiba terjadi angin badai dan mulai hujan. Akibatnya 500 dayangnya lari secepat mungkin dan masuk dalam gedung. Namun walaupun hujan, Visakha berjalan seperti biasa saja. Ketika ia masuk ke dalam gedung, pakaian dan perhiasannya basah.

Para Brahmana melihat bahwa Visakha memiliki empat Kecantikan. Karena ingin melihat giginya, mereka mulai bercakap-cakap dengan berkata: “Putri kita memiliki sifat malas. Suaminya tidak akan mendapat nasi asam yang cukup untuk dimakan, atau apakah kita yang salah!” Kemudian Visakha berkata kepada para Brahmana: “Apa yang anda katakan?” “Kami sedang membicarakan tentan kamu, gadis manis.” (Mereka mengatakan bahwa suara Visakha lembut dan resonansinya bagaikan alunan lonceng). Selanjutnya dengan suaranya lembutnya, suara beresonansi, ia bertanya lagi kepada mereka: “Apakah yang anda sekalian bicarakan?”
“Kami membicarakan bahwa sementara para gardis dayangmu berlari secepat mungkin dan masuk ke dalam gedung agar pakaian dan perhiasan mereka tidak basah, anda sama sekali tidak mempercepat langkahmu, walaupun sesungguhnya jaraknya hanya pendek, dan akibatnya ketika masuk ke dalam gedung pakaian dan perhiasanmu basah.” “Kawan-kawan, jangan berkata begitu. Saya lebih kuat daripada mereka. Lagi pula saya punya alasan kuat untuk tidak mempercepat langkahku.” “Apa alasannya, nak?”
“Kawan-kawan, ada 4 pribadi yang nampaknya tidak menguntungkan bila berlari; dan ada alasan lain pula.” “Gadis manis, empat pribadi bagaimana yang tidak menguntungkan bila berlari?” “Kawan-kawan, seorang yang telah dinotbatkan jadi raja tidak menguntungkan bila ia didandani dengan semua permata, ia mengangkat baju bawahnya dan berlari-lari di istana. Dengan melakukan hal itu ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan, dan orang-orang akan berkata: “Mengapa Maharaja berlari-lari bagaikan orang biasa?”
“Begitu pula gajah kerajaan milik raja, bilamana telah dididandani dengan pakaian berhiasan, nampaknya tidak akan menguntungkan bila berlari; namun blaman gajah itu melangkah dengan keangunan gajah, maka akan nampak menguntungkan. Seorang bhikkhu tidak akan nampak menguntungkan bila berlari. Dengan berbuat seperti itu ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan, dan orang-orang akan berkata tentang dia: ‘Mengapa bhikkhu ini berlari-lari seperti umat awam?’ Namun apabila ia berjalan dengan tenang, nampaknya akan menguntungkan baginya. Seorang wanita nampaknya tidak menguntungkan baginya apabila ia berlari. Ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan karena melakukanya. Orang-orang akan berkata kepadanya: ‘Mengapa wanita ini berlari-lari seperti laki-laki?’ Inilah empat pribadi yang nampaknya tidak menguntungkan bila berlari.”
“Tetapi apa alasan lainnya, gadis manis?” “Kawan-kawan, para ibu dan ayah membesarkan seorang anak perempuan dengan pikiran untuk menjaga anggota-anggota badan maupun bagian tubuh lainnya tidak terluka. Karena kami bagaikan barang yang akan dijual, maka mereka membesarkan kami dengan maksud mengawinkan kami kepada keluarga lain. Akibatnya, bilamana kami berlari dapat menyebabkan kan pakaian kami robek atau tersandung pada tanah sehingga kami jatuh dan mematahkan tangan atau kaki, kami mnjadi beban keluarga kami. Tetsapi bilamana hanya pakaian yang kami kenakan menjadi basah, itu akan kering nanti. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka saya tidak berlari, kawan-kawan.”
Sementara Visakha berbicara, para Brahmana memperhatikan keindahan giginya. “Gigi yang indah seperti ini belum pernah kami lihat,” kata mereka. Dengan bertepuk tangan memujinya, mereka berkata: “Gadis manis, hanya anda yang pantas menerima ini.” Setelah berkata begitu, mereka melempar untai bunga emas ke kepala Visakha. Lalu Visakha bertanya kepada mereka: “Kawan-kawan, dari kota mana anda sekalian datang?” “Kami dari Savatthi, gadis manis.” “Siapakah hartawan anda wakili?” “Hartawan yang bernama migara, gadis manis.” “Apakah nama putranya yang terhormat?” “Punnavaddhana Kumara, gadis manis.” “Keluarga yang sepadan dengan keluarga kami,” pikir Visakha.
Demikianlah ia menerima usulan dan segera ia mengirmberita kepad ayahnya: “Mohon kirimkan kereta.” Walaupun ia datng ke situ dengan berjalan, namun sejak saat untaian bungan dilemparkan ke kepalanya, maka tidak pantas lagi bagi dia untuk berjalan kaki. Putri orang-orang terhormat bepergian dengan kereta atau dengan sejenisnya, walaupun yang lain menaiki kereta biasa, mengunakan payung atau daun palem untuk melindungi kepala; namun bilamana barang-barang ini tidak dipunyai, maka dengan mengangkat baju bawah dan menempatkannya di bahu.
Sementara itu ayah Visakha telah mengirim 500 kereta, ia menaiki keretanya, berangkat bersama dayang-dayangnya, sedsangkan para Brahmana mengikutinya. Hartawan bertanya kepada para Brahmana: “Dari mana anda sekalian datang?” “Dari Savatthi, maha hartawan.” “Siapakah nama hartawan-nya?” “Hartawannya bernama Migara.” “Apakah nama puranya.” “Punnavaddhana Kumara.” “Berapa banyak kekayaannya.” “Empat puluh koti.” “Sehubungan dengan kekayaannya sangat jauh dibandingkan dengan kami; namun sejak seseseorang mendapatkan pelindung untuk putrinya, mengapa mempersoalkannya?” Setelah berkata begitu, hartawan memberikan persetujuannya. Setelah ia menyenangkan mereka selama dua hari di rumahnya, dengan memberikan semua perhatian yang perlu bagi mereka, ia mempersilahkan mereka untuk pulang.
Para Brahmana pulang ke Savatthi dan melaporkan kepada hartawan Migara: “Kami telah menemukan seorang gadis.” “Putri siapa dia?” “Putri Hartawan Dhananjaya.” Hartawan Migara berpikir: “Saya telah mendapat putri dari keluarga terhormat, sebaiknya saya membawanya kemari secepat mungkin.” Maka ia melaporkan kepada raja bahwa ia akan pergi kesana. Raja berpikir: “Itulah keluarga istimewa yang saya ambil dari Raja Bimbisara dan tinggal di Saketa. Saya akan memperlihatkan padanya segala perhatian.” Maka ia berkata: “Saya akan pergi juga.” “Baiklah, raja,” jawan Hartawan Migara. Sehubungan dengan hal itu, Hartwan Migara mengirim berita kepada Hartawan Dhananjaya: “Bilamana saya datang, raja akan bersama saya, dan pasukan raja sangat besar. Apakah anda akan mampu melayani kelompok orang yang besar atau tidak.” Hartawan Dhananjaya menjawab sebagai berikut: “Bilamana ada sepuluh orang raja akan datang, silahkan mereka datang!”
Selanjutnya Hartawan Migara semua penduduk dari kotanya kecuali sejumlah orang yang perlu menjaga rumah-rumah, berangkat dan berhenti pada jarak setengah yojana dari Saketa, lau mengirimberita kepada Hartawan Dhananjaya: “Kami telah tiba.” Untuk itu Hartawan Dhananjaya mengirim sebuah hadiah yang bagus kepada Hartawan Migara, dan ia berkonsultasi dengan puyrinya: “Putriku sayang, saya diberitahu bahwa ayah mertuamu telah tiba, Raja Kosala bersamanya.” “Bangunan apa yang kita siapkan untuk dia, dan mana untuk raja, dan mana untuk para pesertanya?” (Putri hartawan memiliki kebijaksanaan, dan pikirannya sangat tajam bagaikan ujung berlian, ini sebagai hasil dari Tekad yang ia telah lakukan dan Keinginan Teguh yang telah ia munculkan selama 100.000 kappa).
Maka Visakha menyiapkan persiapan-persiapan, dengan berkata:

“Siapkan bangunan ini dan itu untuk ayah mertuaku, ini dan itu untuk raja, dan bangunan ini dan itu untuk para pesertanya.” Ia menyuruh para budak dan pembantu berkumpul dan ia membagi mereka dalam kelompok untuk melaksanakan berberapa tugas dengan berkata: “Sejumlah orang sesuai kelompok melayani mertua, raja dan para peserta; juga sekelompok besar untuk melayani gajah-gajah, kuda-kuda, binatang-binatang lainnya serta hal-hal ber-hubungan dengan tugas-tugas itu. Sehingga bilamana tamu kita tiba, mereka menikmati dengan seksama acara pesta ini. (Mengapa Visakha melakukan hal ini? Karena dengan begini, tidak ada yang akan berkata: “Kami datang untuk mengikuti acara pesta perkawinan Visakha, namun kami tidak menikmatinya; sebaliknya kami hanya menghabiskan waktu mengurus binatang-binatang dan hal lain-lain saja.”)
Pada hari itu juga, ayah Visakha memanggil 500 orang tukang emas, dan berkata kepada mereka: “Buatkan sebuah ‘mantel besar penuh hiasan permata’ (mahalatapasadhanam = baju atau gaun kawin dalam bentuk mantel penuh bertaburan perhiasan).” Setelah berkata begitu, ia memberi seribu nikkha emas merah, sejumlah perak, batu delima, mutiara, batu-batu permata, dan intan.
Setelah raja berada di sana beberapa hari, ia mengirm berita kepada Hartawan Dhananjaya: “Hartawan tidak harus berpikir untuk menyiapkan semua kebutuhan bagi kami untuk waktu yang lama. Beritahukan kepada kami bilamana putrinya telah siap untuk berangkat.” Hartawan membalas dengan menjawab kepada raja sebagai berikut: “Musim hujan telah tiba, maka tidak mungkin bagi raja untuk bergerak selama 4 bulan. Apapun yang dibutuhkan oleh pasukan raja, semuanya merupakan tugas saya untuk menyiapkannya. Raja sebaiknya berangkat bilamana saya telah siap.” Pada waktu itu bagaikan hari libur panjang di kota Saketa. Dari raja hingga rakyat jelata, semua berdanan bebungaan, wangi-wangian serta pakain bagus, dan masing-masing berpikir: “Raja hanya memberikan perhatiannya kepada saya.” Tiga bulan telah berlalu dalam keadaan seperti itu, namun mantel belum selesai.
Kepala kelompok tugas kerja menemui dan melapor kepada hartawan: Tidak ada yang kurang selain kayu bakar untuk memasak makanan bagi pasukan.” “Kawan-kawan, pergi bongkar semua kandang gajah yang rusak dan semua rumah di kota ini yang telah lapuk, gunakan kayu-kayunya untuk masak.” Mereka memasak makanan menggunakan kayu bakar selama 2 minggu, lalu kembali dan melapor: “Tidak ada lagi kayu bakar.” “Pada waktu di masa seperti ini adalah tidak mungkin untuk mendapat kayu bakar, maka bukalah gunang tempat menyimpan kain-kain, ambillah kain-kain kasar, buatlah itu sebagai sumbuh, rendamlah sumbuh-sumbuh itu dalam bejana minyak dan masaklah makanan.” Mereka melakukannya untuk 2 minggu.
Demikianlah 4 bulan telah berlalu, mantel telah selesai. Dalam pembuatan mantel, sebanyak 2,2024 liter berlian yang digunakan, 6,0566 liter mutiara, 12,1132 liter batu-batu permata, 18, 1698 liter batu delima; dengan permata-permata ini dan permata-permata lainnya untuk menyelesaikan mantel. Benang biasa tidak digunakan untuk membuat mantel ini; penggunaan benang semuanya diganti dengan perak. Mantel itu di perketat di kepala dan agak lebar di bagian kaki. Di berbagai bagaian ada lak emas yang diperkuat oleh perak agar tidak lepas dari tempatnya. Ada lak besar pada mahkota di kepala, satu lak di atas setiap telinga, satu di leher (depan), satu pada setiap lutut, satu pada setiap siku, satu di pinggang dan satu yang agak kecil di punggung.
Dalam pembuatan mantel ini para tukang emas membuatnya seperti seekor burung Merak; pada bagian sayap kanan terdapat 500 bulu yang terbuat dari emas merah, begitu pula dengan sayap kiri. Paruhnya terbuat dari batu coral, matanya adalah batu permata, begitu pula dengan bagian leher dan bulu-bulu ekornya; tangkai bulu terbuat dari batu-batu permata, dan begitu pula bagian kaki-kakinya. Ketika mantel itu dikenakan oleh Visakha, mantel itu nampaknya bagaikan burung merak berdiri di atas gunung dan sedang menari; suara dari tangkai bulu dari seribu bulu bagaikan musik koor surgawi atau bunyi lima macam alat musik. Hanya bilamana seseorang datang mendekatnya, maka orang itu menyadari bahwa itu bukan burung merak. Material yang digunakan untuk membuat mantel ini seharga 9 koti kahapana (1 koti = 10.000.000), dan 100.000 kahapana sebagai biaya pembuatannya.
(Berdasarkan perbuatan apa yang ia lakukan pada kehidupan lampau sehingga Visakha menerima mantel ini? Di informasikan bahwa pada masa kehidupan Buddha Kassapa, ia mendanakan patta (mangkok makan) dan civara (jubah) kepada 20.000 bhikkhu, juga memberikan benang, jarum, bahan pewarn, yang semuanya miliknya. Berdasarkan pada pemberian civara itulah maka ia mendapat mantel ini. Pemberian civara bagi wanita hasil puncaknya adalah dalam bentuk mantel. Sedangkan dana patta dan civara oleh pria hasil puncak-nya adalah menerima patta dan civara secara supernatural.)
Selama empat bulan berlangsung ketika maha hartawan sedang menyiapkan matel (gaun pengantin) untuk putrinya, ia mulai memberikan mahar perkawinan (maskawin) kepada Visakha. Ia memberikan kepadanya 500 gerobak penuh dengan uang, 500 gerobak penuh dengan bejana emas, 500 gerobak penuh dengn bejana perak, 500 gerobak penuh dengan bejana tembaga, 500 gerobak penuh dengan pakaian yang terbuat dari berbagai macam sutra, 500 gerobak penuh dengn dadi susu (ghee), 500 gerobak penuh dengan beras yang telah tumbuk dan ditampik, 500 gerobak penuh dengan bajak, mata bajak, dan alat-alat pertanian lainnya.
Disebutkan bahwa pikiran seperti ini yang ada dalam benak Dhananjaya:”Di tempat di mana putriku pergi, ia mesti tidak boleh meminta sesuatu kepada tetangganya dengan berkata: “Mohon saya butuh ini dan itu.” Karena alasan inilah maka ia menyediakan semua barang ini. Selanjutnya Dhananjaya menyediakan untuk Visakha gadis-gadis budak untuk melayaninya, dengan membawa mereka dalam 500 kereta dan 3 orang menaiki tiap kereta, dengan berkata kepada mereka: “Kamu sekalian memandihkan, memberi makan dan mengenakan pakaian kepadanya.” Dengan demikian ia memberikan budak remaja sebanyak 1500 orang untuk melayaninya.
Kemudian pikiran berikut muncul: “Saya akan memberikan sapi-sapi kepada putriku. Maka ia memberikan perintah kepada orang-orangnya: “Saudara-saudara, pergi ke kandang kecil dan buka pintunya. Setelah melakukannya, tempatkan diri anda sekalian pada dua sisi sepanjang ¾ yojana (1 yojana kira-kira 7 km) dan lebar 42,20 m, dengan tambur di setiap ¼ yojana, dan jangan biarkan sapi-sapi meliwati batas-batas itu. Bilamana semua sudah pada posisinya masing-masing, pukullah tamburnya.
Para pekerjanya itu melakukan seperti apa yang diperintahkan. Meninggalkan kandang mereka maju ¼ yojana dan membunyikan tambur; maju lagi ke ½ yojana mereka bunyikan tambur, kemudian mereka maju hingga ke ¾ yojana mereka membunyikan tambur; lalu mereka menjaga agar tidak ada sapi yang keluar dari batas. Setelah mereka lakukan hal ini, sapi-sapi telah memenuhi area seluas ¾ yojana x 42,20m, hingga berdesak-desakan.
Selanjutnya maha hartawan memerintahkan pintu kandang di tutup,dengn berkata: Sapi-sapi ini telah cukup untuk putriku.” Tutup pintunya.” Namun, walaupun pintu telah ditutup, oleh karena hasil buah dari punna Visakha, sapi jantang yang sangat kuat dan sapi-sapi penyusu meloncat ke luar di atas gerbang dan bebas. Sungguh, walaupun dengan berbagai usaha dari orang-orang itu untuk menahan mereka, namun 60.000 sapi jantan kuat dan 60.000 sapi penyusu, sapi jantan muda yang kuat mengikuti sapi-sapi penyusu keluar dari dalam kandang.
(Berdasarkan karma lampau Visakha apakah maka sapi-sapi itu membebaskan diri? Diinformasikan bahwa pada masa Buddha Kassapa, Visakha terlahir sebagai Sanghadasi, putri bungsu dari 7 anak wanita Raja Kiki. Pada hari ia sedang berdana 5 macam produk dari sapi kepada bhikkhu sangha yang berjumlah 20.000 bhikkhu, para bhikkhu muda dan samanera menutup patta mereka dengan berkata: “Cukup! Cukup!” Tetapi walaupun mereka berusaha untuk menahannya, ia terus berkata: “Ini sangat enak, ini angat menyenangkan.” Sebagai hasil (kammaphala) perbuatan ini, maka sapi-sapi membebaskan diri walaupun orang-orang itu berusaha menahan sapi-sapi itu.)
Setelah hartawan memberikan semua harta ini kepada putrinya, istrinya berkata kepadanya: “Anda telah menyiapkan banyak hal kepada putrimu, namun anda belum memberikan para pelayan pria dan para pelayan wanita untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Visakha. Mengapa begini?” “Karena saya mau tahu siapa yang mempunyai rasa sayang yang tulus kepada putriku, dan siapa di antara mereka tidak sayang. Bukan maksud saya akan menyambak rambut mereka dan menyuruh mereka mengikutinya. Tetapi bilamana ia telah masuk dalam keretanya dan telah siap untuk berangkat, maka saya akan berkata: “Silahkan bagi mereka yang ingin ikut pergi bersamanya; dan siapa yang tidak ingin ikut, tinggal di sini.”
“Besok putriku akan berangkat,” pikir hartawan ketika ia sedang duduk di dalam kamarnya. I memanggil putrinya, dan menyuruh ia duduk di sampingnya, lalu berkata kepadaNya: “Putriku sayang, ada bebrapa tatacara tertentu yang harus ‘nak laksanakan selama ‘nak tinggal bersama keluarga suamimu.” Setelah berkata begitu, ia melanjutkan dengan beberapa nasehat. Kebetulan Hartawan Migara sedang duduk di ruangn sebelah dan mendengar semua nasehat yang diampaikan Hartawan Dhananjaya kepada Putrinya. Inilah nasehat yang disampaikan oleh Hartawan Dhananjaya kepada putrinya:

“Putriku sayang, selama tinggal di rumah mertuamu, api di dalam rumah jangan dibawa ke luar; api di luar jangan di bawa ke dalam; hanya memberi kepada dia yang memberi; tidak memberi kepada dia yang tidak memberi; beri kepada dia yang memberi dan yang tidak memberi; duduklah dengan bahagia; makanlah dengan bahagia; tidurlah dengan bahagia; jagalah api; dan hormatlah yang dihormat oleh orang-orang di rumah.”
Inilah sepuluh nasehat yang di sampaikan oleh Hartawan Dhananjaya kepada putrinya. Pada keesokan harinya ia mengumpulkan semua penasehat para pekerjanya dan dengan berdiri di tengah-tengah pasukan raja, ia menunjuk 8 penasehat untuk melindungi putrinya, lalu berkata kepada mereka: “Bilamana di tempat ke mana putriku akan pergi, ada kesalahan yang dituduhkan kepada putriku, anda sekalian berusaha membebaskan dia dari tuduhan.”
Kemudian ia menyuruh putrinya mengenakan gaun pengantinnya yang berharga 9 koti kahapana, dan memberinya uang sebanyak 54 koti kahapana untuk membeli bubuk wangi ketika ia mandi, ia membantu putrinya masuk ke dalam kereta. Ia mendampingi Visakha melalui 14 desa di sekitar Saketa sejauh Anuradhapura yang membayar upeti (pajak) kepadanya, lalu ia menyampaikan pernyataan dengan berkata: “Silahkan siapa yang akan ikut pergi bersama putriku!”
Sesegera para penduduk dari 14 desa mendengar menyataan ini, mereka berseru: “Mengapa kita tinggal di sini ketika nona yang mulia beangkat!” Pada waktu mereka ikut berangkat dari desa-desa itu, tidak ada yang tersisa. Hartawan Dhananjaya memberi hormat kepada Raja dan Hartawan Migara, mengikuti mereka sejenak, dan meyerahkan tanggung jawab mengenai Visakha kepada mereka.
Ketika Hartawan Migara yang sedang duduk dalam kereta yang terakhir dari deretan kereta, melihat rombongan besar orang-orang mengikutik, ia bertanya: “Siapa orang-orang ini?” Para pelayan pria dan para pelayan wanita yang bertugas untuk menantumu.” “Siapakah yang dapat memberi makan kepada orang sebanyak ini? Pukul mereka dengan tongkat dan usir mereka pulang.” Tetapi Visakha melakukan protes dengan berkata: “Berhenti! Jangan usir mereka. Satyu kelompok akan memberi mereka makan.” Hartawan menjawab protes Visakha: “Gadis manis, kita tidak memerlukan orang-orang ini. Siapa yang akan memberi mereka makan?” Ia menyuruh mereka dipukul dengan bongkahan tanah, tongkat, dll dan mengusir mereka balik. Mengambil hanya mereka yang tidak dapat diusirlagi, dengan berkata: “Mereka ini cukup bagi kita,” lalu meneruskan perjalannan.
Kita Visakha mencapai gerbang kota Savatthi, ia berpikir: “Apakah saya akan masuk kota dengan duduk saja dalam kereta yang tertutup atau berdiri di atas kereta?” Kemudian pikiran berikut muncul: “Bilamana saya masuk ke dalam kota dengan duduk dalam kereta yang tertutup, maka kemegahan kehebatan gaun pernikahanku tidak ada yang lihat.” Selanjutnya ia masuk ke dalam kota dengan berdiri di atas kereta, menunjukkan dirinya kepada penduduk kota. Ketika penduduk kota Savatthi melihat penampilan Visakha, mereka berkata: “Inilah yang mereka katakan Visakha, penampilannya pantas untuk dia.” Demikianlah kemegahan tertampak ketika Visakha masuk ke dalam rumah Hartawan Migara.
Pada hari ketika Visakha masuk ke dalam kota Savatthi, semua penduduk kota saling berkata: “Hartawan Dhananjaya sangat baik melayani kami ketika kami mengunjungio kotanya.” Maka mereka mengirim hadiah sesuai kemampuan mereka untuk Visakha. Untuk semua hadiah yang diberikannya, Visakha membaginya kepada keluarga di seluruh Saketa. “Berikan ini kepada ibuku,” ia juga berkata; “ini untuk ayahku, ini untuk kakakku, ini untuk saudara perempuanku.” Demikianlah ia mengatur semua hadiah yang ia kirimkan dengan berita yang baik kepada para penerimanya, memilih kata-kata yang sesuai dengan usia dan kedudukan mereka, serta menganggap semua penduduk di kota itu sebagai kerabatnya.
Pada suatu ketika di tengah malam seekor kuda betina yang bagus milik Visakha melahirkan seekor kuda. Karena itu Visakha pergi ke kandangan kuda, bersama beberapa pembantu perempuannya yang membawa obor di tangan mereka. Ia memandikan anak kuda itu dengan air hangat dan meminyakinya, setelah melakukan hal itu, Visakha balik ke kamarnya.
Sementara itu Hartawan Migara berencana melakukan pesta perkawinan putranya, dan sama sekali tidak memperdulikan Tathagata, walaupun kenyataannya Guru pada waktu itu tinggal di dekat saja. Sebaliknya, karena didesak oleh rasa persahatan yang telah lama kepada petapa telanjang, ia berguman: “Saya akan menyatakan hormatku kepada petapa.” Pada suatu hari ia memerintahkan untuk memasak bubur yang terbaik pada 100 buah bejana baru, mengundang 500 petapa telanjang, mendampingi mereka ke rumahnya, setelah melakukan hal itu, ia menyuruh orang memberitahukan kepada Visakha: “Dipersilahkan putri menantuku datang untuk memberi hormat kepada para arahat.”
Pada waktu itu Visakha telah menjadi Sotapanna, jami merupakan salah satu ariya puggala, maka ia mera senang dan gembira ketika mendengar kata “Arakat.” Namun ketika ia memasuki rungan tempat para petapa telanjang sedng makan dan melihat pada mereka, ia berkata: “Orang-orang seperti ini jauh dari prilaku yang sopan dan tidak takut melakukan perbuatan jahat, mereka tidak berhak menggunakan kata “arahat.” Mengapa mertuaku memanggil saya supaya datang?” Ia mengeritik hartawan, lalu ia kembali ke kamarnya.
Ketika para petapa telanjang melihat Visakha, mereka mengeritik hartawan dengan satu pernyataan, dengan berkata: “Saudara, mengapa anda tidak mencari gadis lain untuk menjadi istri putramu? Memasukkan seorang upasika dari samana Gotama ke rumahmu, maka anda telah memasukkan si Paling Sial di antara para orang sial. Segera usir dia dari rumah ini.” Tetapi Hartawan Migara berpikir: “Tidak mungkin saya mengusirnya dari rumahku berdasarkan hanya kata-kata dari petapa-petapa ini; ia adalah putri dari suatu keluarga luar biasa.” Lalu ia berkata kepada para petapa telanjang: “Para petapa yang mulia, wanita muda cwnderung melakukan banyak hal tertentu, apakah disadari atau tidak. Tenanglah.” Setelah berkata begitu, ia mempersilahkan para petapa untuk pergi. Sesuadah itu ia duduk ditempat duduk yang mahal dan mulai makan bubur yang dicampur madu dalam piring emas.
Ketika itu ada seorang bhikkhu ‘yang hanya hidup dengan pindapata’ (pindacarika) sedang pindapata, masuk ke rumah hartawan. Sementara itu, Visakha sedang berdiri mengipasi mentuanya. Ketika Visakha melihat bhikkhu itu, ia berpikir: “Tidak pantas bagiku memberitahukan keberadaan bhikkhu ini kepada mertuaku,” maka ia melangkah ke samping agar mertuanya dapat melihat bhikkhu itu. Tetapi mertuany walaupu telah melihat bhikkhu itu, berpura-pura tidak melihatnya dan dengan kepala menunduk tetap meneruskan makannya. Visakha menyadari sendiri bahwa walaupun mertuaku melihat bhikkhu itu namun ia tidak bereaksi apa-apa, maka Visakha berkata kepada bhikkhu itu: “Teruskanlah perjalanan, Bhante. Mertuaku sedang makan makanan sisa.”
Walaupun Hartawan Migara telah menolak saran para petapa telanjang (untuk mengusir Visakha), namun sekarang sementara ia duduk di situ, ia mendengar Visakha berkata: “Ia sedang makan makanan sisa.” Segera ia mengangkat tangannya dari piring dan berkata: “Bawa pergi bubur ini dan usir wanita ini dari rumah ini. Mengingat pada waktu pesta seperti ini ia menuduh seseorang seperti saya sedang makan makanan yang tidak baik!” Namun semua budak dan pembantu di rumah itu adalah pengikut Visakha. Siapakah yang berani mengerakkan tangan dan kaki mereka? Tidak ada seorang pun di antara mereka berani walau hanya berbicara.
Visakha mendengar kata-kata yang diucapkan oleh mertuanya, lalu berkata: “Ayah mertua, ini merupakan dasar yang tidak cukup kuat bagi saya unyuk meninggalkan rumahmu. Saya bukan seorang perempuan murahan yang dibawa kemari olehmu dari tempat mandi di sungai. Para putri yang memiliki para ayah dan ibu yang masih hidup, tidak meninggalkan rumah mertua mereka hanya berdasarkan hal seperti ini. Sesungguhnya, berdasarkan hal-hal seperti ini, ketika saya berangkat dan datang ke mari, ayahku telah memerintahkan 8 penasehat rumah tangga dan menempatkan mereka untuk ku, dengan berkata:
“Bilamana di tempat ke mana putriku akan pergi, ada kesalahan yang dituduhkan kepada putriku, anda sekalian berusaha membebaskan dia dari tuduhan.” Maka panggil para penasehatku biar mereka membebaskanku dari tuduhan.
“Apa yang Visakha katakan benar,” kata hartawan. Lalu ia memanggil 8 penasehat dan berkata kepada mereka: “Pada waktu pesta, sedang saya duduk dan makan bubur dengan piring emas, wanita muda ini berkata saya sedang makan makanan yang tidak baik. Hukum dia berdasarkan tuduhan ini dan usir dia dari rumah ini. “Apakah yang ia katakan benar, Visakha?”
“Saya tidak mengatakan sesungguhnya seperti itu. Persoalannya begini: Ada seorang bhikkhu sedang pindapata dan berhenti di depan pintu rumah ini, ketika itu mertuaku sedang makan bubur dengan bumbu yang banyak seperti madu, namun tidak memperdulikan bhikkhu itu. Saya berpikir: ‘Mertuaku tidak mendapat karma baik baru pada kehidupan sekarang ini, tetapi ia hanya menikmati (sisa) karmanya yang lalu saja.’ Maha saya berkata kepada bhikkhu: ‘Lanjutkanlah perjalan Bhante. Mertuaku sedang makan makanan sisa.’ Ada salah apa padaku dengan mengatakan hal seperti ini?” “Tidak sama sekali. Apa yang dikatakan oleh putri kami adalah wajar. Mengapa anda marah kepadanya?”
“Saudara-saudara sekalian, saya menerima ia tidak bersalah dalam hal ini. Namun, pada suatu waktu, di waktu tengah malam, ia pergi ke belakan rumah ini bersama dengan para budaknya, pria dan wanita.” “Apakah benar yang ia katakan, Visakha.” “Kawan-kawan, alasan pergi tidak lain adalah begini: ‘ Kuda betinaku yang bagus melahirkan seekor anak kuda di kandang yang ada persis disamping rumah. Saya berpikir: ‘Tidak pantas apa bila saya hanya duduk di sini dan tidak berbuat sesuatu.’ Maka saya memerintah para budakmu untuk membawa obor dan bersama dengan para budak pria dan wanita, saya pergi ke kandang dan melalukan sesuatu yang cocok untuk kuda itu.” “Saudara, putri kami melakukan pekerjaan di rumahmu yang tidak pantas sekalipun dilakukan oleh budakmu. Salah apa yang anda temukan?”
“Saudara-saudara sekalian, saya menerima ia tidak bersalah dalam hal ini. Namun, ketika Visakha sudah akan datang kemari, ayahnya memberinya nasehat, ia memberikan kepadanya Sepuluh Nasehat dengan arti tersembunyi yang dalam. Saya tidak mengetahui apa artinya hal-hal itu. Persilahkan ia menerangkan kepadaku artinya. Seperti contoh, ayahnya mengatakan kepadanya: ‘Api di dalam jangan dibawa ke luar.’ Bagaimana kita dapat hidup tanpa memberikan api kepada para tetangga yang tinggal di ke dua sisi kita?” “Apakah yang ia katakan benar, Visakha?” “Kawan-kawan, yang dimaksud oleh ayahku bukan seperti itu. Yang dimaksudkan oleh ayahku, adalah: ‘Anakku, bilamana anak melihat kesalahan pada mertuamu atau pada suamimu, jangan katakan hal tu bila kau datang ke sini atau ke tempat lain, karena tidak ada api yang dapat dibandingkan dengan api seperti ini.”
“Saudara-saudara, bolehlah seperti itu. Tetapi ayahnya berkata kepadanya: ‘Api di luar jangan dibawa ke dalam.’ Bilamana api di dalam padam , apa lagi yang dapat kita lakukan selain membawa api dari luar.” “Apakah benar yang ia katakan, Visakha?” “Kawan-kawan, yang dimaksud oleh ayahku bukan seperti itu. Yang dimaksud oleh ayahku, adalah: ‘Bilamana para wanita dan pria di tetanggamu mengatakan kata-kata jahat tentang mertuamu atau suamimu, janganlah kau menyampaikan (bawa) apa yang kau dengar itu dengan berkata: ‘Anu dan situ mengtakan ini dan itu yang tidak baik tentangmu.” Karena tidak ada api yang dpat dbandingkan dengan api ini.”
Jadi ia tidak bersalah dalam hal ini, begitu pula dengan hal-hal lain. Inilah arti sebenarnya dari nasehat-nasehat yang tersisa: “Berikan kepada dia yang memberi,” artinya seseorang memberikan hanya kepada mereka yang mengembalikan barang yang dipinjam. “Tidak memberi kepada yang tidak memberi,” artinya seseorang tidak memberi kepada mereka yang tidak mengembalikan barang yang dipinjam. “Memberi kepada yang memberi dan kepada yang tidak memberi,” artinya bilamana kerabat atau kawan miskin memerlukan bantuan, kita harus memberikan kepada mereka, apakah mereka dapat membayarnya (mengembalikannya) atau tidak.
“Duduklah dengan bahagia,” artinya bilamana seorang istri melihat ibu mertua, ayah mertua atau suami, ia harus berdiri dan tidak boleh duduk saja. “Makanlah dengan bahagia,” artinya seorang istri belum boleh makan sebelum ayah-ibu mertua dan istri makan. Ia harus melyani mereka dahulu, dan bilamana ia yakin bahwa mereka sudah siap semua untuk makan, maka barulah ia makan. “Tidurlah dengan bahagia,” artinya serang istri tidak pergi tidur sebelum ayah-ibu mertua atau suaminya tidur. Ia harus melakukan pekerjaan besar kecil yang harus dia kerjakan, setelah ia mengerjakannya barulah ia berbaring untuk tidur.
“Jagalah api,” artinya seorang istri memandang ayah-ibu mertua atau suami bagaikan nyala api atau raja naga. “Hormatlah apa yang dihormati oleh orang-orang di rumah,” artinya seorang istri harus memperhatikan ayah-ibu mertuanya dan suaminya sebagai yang perlu dihormatinya.
Ketika hartawan mendengar uraian arti dari Sepuluh Nasehat, ia duduk dengan kepala tertunduk, tak dapat menjawab. Kemudian para penasehat bertanya kepadanya: “Hartawan, apakah masih ada kesalahan pada anak kami?” “Saudara-saudara, tidak ada.” “Bila demikian, mengapa ia yang tanpa kesalahan, tanpa sebab, anda usahakan untuk diusir dari rumahmu?” Kemudian Visakha berkata: “Kawan-kawan, walaupun pada mulanya tidak pantas bagiku untuk pergi karena perintah ayah mertuaku, lagi pula ketika saya kemari ayah menyerahkan saya ke tangan para penasehat sekalian untuk menentukan saya bersalah atau tidak, namun sekarang, setelah jelas saya tidak bersalah, maka sudah pantas kalau saya pergi.”

Segera Visakha memberikan perintah: “Pesiapakan keberangkatan saya, para pembantu, budak pria dan wanita, bersama para pengikut, serta kereta-keretaku.” Karena itu, hartawan menahan para penasehat dan berkata kepada Visakha: “Menantuku, karena kebodohankulah aku berkata begitu. Maafkan saya.” “Mertuaku, saya memaafkanmu untuk semuanya, dari pihakku. Namun, ayah adalah putri sebuah keluarga yang memiliki keyakinan yang kuat pada Buddha Sasana, dan kami tidak dapat hidup tanpa Bhikkhu Sangha. Jikalau saya diizinkan untuk melayani Bhikkhu Sangha sesuai dengan keinginan saya, saya akan tinggal.” “Menantuku, anda dapat melayani para bhikkhu sesuai dengan kehendak hatimu.”
Visakha mengirimkan undangakn kepada Pemilik Dasabala, dan pada keesokan harinya ia melayani Beliau di rumahnya. Para petapa telanjang juga mendengar bahwa Guru pergi ke rumah Hartawan Migara, mereka datang dan duduk di seputar rumah. Ketika Visakha telah memberikan Dana Air kepada guru, ia mengirmkan kabar kepada mertuanya sebagai berikut: “Pesta telah selesai. Silahkan ayah mertua datang untuk menemui Pemilik Dasabala. Ketika itu, Hartawan Migara ingin pergi, tetapi para Petapa Telanjang membujuknya dengan berkata: “Saudara, tidak perlu berpikir untuk menemui petapa Gotama.” Maka ia mengirim balik kabar: “Silahkan menantuku sendiri yang menemuinya.”
Setelah Visakha melayani Bhikkhu Sangha yang dikepalai Sang Buddha dengan makanan, dan makan telah selesai, ia mengirmkan kabar ke dua kepada mertuanya: “Silahkan ayah mertua mendengar Dhamma yang akan dibabarkab oleh Guru.” Hartawan berpikir: “Sekarang, sangat tidak pantas apabila saya tidak pergi,” dan karena ingin sekali mendengar Dhamma, maka ia pergi. Karena itu para Petapa Telanjang untuk ke dua kalinya berkata kepadanya: “Baiklah, bilamana anda memutuskan ingin mendengar petapa Gotama, duduklah di balik luar layar kain dan mendengarlah.” Hartawan pergi dan duduk dibalik layar kain.
Kemudian Guru berkata: “Anda boleh duduk di balik layar, dibalik dinding, di balik gunung, atau anda duduk di balik pegunungan yang melingkari bumi; Saya adalah Buddha, dan saya dapat memperdengkar suara kepadamu.” Bagaikan menangkap dan menggoyang batang pohon apel yang besar atau menyebabkan hujan ambrosia turun, beliau mulai ‘membabarkan

Dhamma secara berurutan’ (anupubbikatha). Sementara itu, ketika Samma Sambuddha membabarkan Dhamma, maka mereka yang berada di depan dan mereka yang berada di belakang, mereka yang berada sejauh 100 Cakkavala (tatasurya) atau 1000 Cakkavala, juga mereka yang berada di Alam Akanittha berkata: “Guru hanya melihat saya sendiri; Beliau hanya membabarkan kepada saya sendiri.” Karena Guru nampaknya hanya melihat pada setiap individu dan berbicara dengan setiap individu saja. Para Buddha dikatakan bagaikan bulan. Karena bulan yang berada di tengah angkasa nampak sama bagi semua makhluk, sehingga masing-masing individu berpikir: “Bulan di atas saya, bulan tepat di atas saya,” begitu pula para Buddha nampak berdiri berhadap-hadapan dengan setiap individu, di mana pun individu berada. Ini dikatakan sebagai pahala dari kedermawanan memberikan kepala mereka, mencopot mata mereka, memberikan jantung mereka, dan memberikan putra mereka menjadi budak orang lain, seperti putranya Jali, putrinya Kanhajina dan istrinya Maddi (baca Vessantara Jataka).
Selagi Hartawan Migara duduk di balik layar, mengarahkan perhatiannya pada ajaran Tathagata, ia menjadi Sotapanna dengan 1000 macam kegembiraan, dan diliputi keyakinan yang tak tergoyahkan, menerima Tissarana dengan penuh keyakinan. Ia mengangkat layar, ia pergi ke depan, mencium dada menantunya, ia mengangkat Visakha sebagai ibunya, dengan berkata: “Sejak hari ini anda adalah ibuku.” Dan sejah hari itu ia dipangggil Visakha Migaramata (Ibu Migara). (Kemudian, ketika Visakha meiliki putra, ia memberikan nama pada putranya Migara).
Kemudian, Hartawan melepaskan dekapannya dari dada Visakha, lalu ia pergi kepada Bhagava, menjatuhkan dirinya di kaki Beliau, megosok kaki Beliau dengan tangannya, kemudian mencium ke dua kaki beliau, dan tiga kali ia menyebut namanya, dengan berkata : “Bhante, saya Migara.” Lalu ia berkata: “Bhante, selama ini saya tidak mengetahui benyaknya manfaat berdana kepadamu, tetapi sekarang karena manantuku, saya dapat mengetahuinya dan telah mendapat kebebasan dari semua derita (dukkha) dari alam penderitaan (apaya). Ketika menantuku datang ke rumahku, ia datang demi kesejahteraan dan keselamatanku. Stelah berkata begitu, ia mengucapkan syair berikut:

“Pada hari ini saya tahu di mana dana menghasilkan pahala yang banyak;

Demi kesejahteraanku, menantu wanita yang terbaik datang ke rumahku.”

Visakha mengundang Guru untuk datang besok, dan pada hari berikutnya ibu mertuanya menjadi Sotapanna. Sejak waktu itu, rumah itu tetap terbuka untuk Buddha Sasana.
Kemudian hartawan berpikir: “Menantu perempuanku telah memberikan pelayanan yang sangat besar. Saya akan memberikannya sebuah hadiah. Gaun pengantinya sangat berat sehingga tidak mungkin ia selalu mengenakannya. Saya akan membua sebuah gaun seperti itu yang ringan untuknya dan ia dapat mengenakannya pada siang dan malam dalam 4 macam posisi tubuh.” Selanjutnya dengan uang sebanyak 100.000 kahapana ia menyuruh membuat mantel untuknya yang dinamakan mantel keras terasah, setelah mantel ini selesai, ia mengundang Bhikkhus Sangha yang dikepalai Sang Buddha dan melaksankan sebuah pesta yang besar. Kemudian ia menyuruh Visakaha mandi dengan 16 gentong dengan air harum, sesudah itu mengenakan mantel ini. Setelah ia mengenakannya, ia menyuruh Visakha untuk berdiri di depan guru dan memberikan hormat kepada Guru. Kemudian guru mengucapkan kata anumodana (ikut gembira atas perbuatan dana), dan kembali ke vihara.
Sejak itu Visakha memberikan dana-dana, melaksanakan perbuatan berjasa lainnya, dan mendapat 8 berkah (attha Vare). Bagaikan bulan yang bertambah besar di angkasa, begitu pula dengan Visakha yang bertambah besar dengan pra putra dan para putrinya. Dikatakan bahwa ia mempunyai 10 putra dan 10 putri, dan masing-masing mereka mempunyai 10 putra dan sepuluh putri (cucu-cucunya), dan(cucu-cucunya ini) masing-masing mempunyai 10 putra dan 10 putri pula. Dengan demikian anak-anak, cucu dan cicitnya dalam garis langsung dari Visakha, berjumlah 8420 orang. Visakha sendiri hidup hingga berusia 120 tahun, namun tidak ada sehelai rambut putih di kepalanya, ia selalu nampak seperti berusia 16 tahun.
Ketika orang-orang melihat ia ke vihara, di kelilingi oleh para anak-anak dan cucu-cucunya, selalu ada orang yang bertanya: “Yang mana Visakha?” Ketika mereka melihat ia datang, mereka berpikir: “Biarlah ia berjalan agak jauh; nyonya kita kelihatan cantik kalau ia berjalan.” Bilamana mereka melihat ia duduk atau berbaring, mereka berpikir: “Biarlah ia berbaring lebih lama; nyonya kita kelihatan cantik ketika ia berbaring.” Dengan begitu tidak ada seorang pun yang dapat berkata: “Ia tidak nampak cantik dalam 4 posisi.”
Lagi pula ia memiliki kekuatan sekuat 5 gajah. Karena pada suatu hari raja, yang mendengar bahwa Visakha memiliki kekuatan 5 gajah, bertekad akan mengujinya. Demikianlah dalam perjalanan Visakha kembali dari vihara, setelah mendengar Dhamma, Raja melepaskan seekor gajah ke arah Visakha. Gajah mengangkat gadingnya dan berjalan ke arag Visakha. Lima ratus wanita yang menyertainya, banyak yang lari ketakutan, sedangkan yang lain mengangkat tangan ke arah Visakha. “Ada apa?” tanya Visakha.
“Nyonya yang baik,” mereka menjawab, “mereka mengatakan bahwa raja ingin menguji kekuatan anda dan beliau telah melepas seekor gajah untuk melawan anda.” Ketika Visakha melihat gajah itu, ia berpikir: “Mengapa saya harus lari? Bagaimana kalau saya pegang dia? Jika saya memeganggnya dengan kuat, saya dapat membunuhnya.” Maka Visakha memegang gadingnya di antara ke dua jarinya, llu ia mendorongnya mundur. Gajah tidak dapat melawan kekuatan Visakha dan untuk mempertahankan injakan kakinya, menyebabkan gajah jatuh terduduk di halaman istana. Karena hal itu maka orang-orang bertepuk tangan untuknya, dan Visakha bersama para pesertanya kembali ke rumahnya dengan selamat.
Pada waktu itu, di Savatthi, Visakha Migaramata telah memiliki banyak anak, banyak cucu dan banyak cicit. Semua anak, cucu dan cicit bebas dari sakit, dan ia dianggap membawa keberuntungan. Juga semua anak, cucu dan cicitnya yang berjumlah beberapa ribu itu tidak ada yang meninggal dunia. Pada pesta-pesta dan hari-hari libur, para penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha lebih dahulu ke pesta mereka.
Pada suatu pesta, semua orang mengenakan baju baru yang mahal dan didandani, sedang dalam perjalanan ke vihara untuk mendengar Dhamma, Visakha juga, setelah makan di rumah di mana ia di undang, mengenakan mantel kebesarannya dan bersma orang-orang pergi ke vihara. Ia melepaskan semua perhiasannya, ia memberikannya kepada pelayan wanitanya. Hal ini sama seperti apa yang dikatakan:
Sementara ada pesta di Savatthi, dan orang-orang mengnakan baju baru yang mahal dan didandani, pergi ke vihara; dan Visakha Migaramata, mengenakan pakaian kebesarannya dan didandani, juga pergi ke vihara. Viskha Migaramata melepaskan semua perhiasan, membungkusnya dengan kain, lalu memberikannya kepada pembantu wanitanya, dengan berkata: “Hai, ambil bukusan ini!”
Dikatakan bahwa, selagi Visakha dalam perjalanan ke vihara, ia berpikir: “Tidak pantas bilamana saya masuk ke vihara diliputi oleh permata, mengenakan meantel mahal seperti ini pada diriku, yang menutupi dari kepala sampai kaki.” Maka ia melepaskan mantel mewahnya, ia melipatnya dan memberikan kepada pembantunya, yang mampu membawanya, yang memiliki kekuatan seperti kekuatan 5 ekor gajah, yang dimilikinya karena pahala karmanya. Itulah sebabnya Visakha berkata kepadanya: “Nona, bawa mantel ini. Pada waktu saya kembali setelah mendengar khotbah Guru, saya akan mengenakannya lagi.” Setelah ia memberikan mantel mewah kepada pembantunya, ia mengenakan mantel keras yang digosok dengan baik, dan mendekati guru untuk mendengar Dhamma. Setelah mendengar uraian Dhamma Sang Bhagava, ia bangkit dari duduk dan keluar. Pembantunya yang telah melupakan mantel mewah berjalan bersamanya.
Pada waktu itu, sudah merupakan kebiasaan Ananda Thera, setelah orang-orang pulang sesudah mendengar Dhamma, dan bilamana ada barang yang terlupakan atau ketinggalan, ia akan menyimpannya. Begitu pula pada hari yang istimewa ini, karena ia melihat mantel mewah, ia berkata kepada Guru: “Bhante, Visakha telah pergi dan melupakan mantel mewahnya.” “Simpan itu, Ananda.” Demikianlah maka Thera mengambil mantel itu dan meng-gantungnya di samping tangga. Visakha berpikir: “Saya ma tahu obat apa dan kebuthan lain apa yang dibutuhkan oleh para bhikkhu yang datang dan pergi dan yang sakit atau yang diperlukan.” Karena maksud menyiapkan kebutuhan mereka, maka Visakha bersama Suppiya berkeliling vihara.
Pada waktu itu, bilamana para bhikkhu muda dan para samanera melihat dua upasika ini berkeliling vihara, mereka yang membutuhkan dadi susu, madu, micak dan bkebutuhan lainnya biasanya mengambil patta dan bejana mereka dan mendatangi mereka berdua. Pada hari ini pun mereka melakukan kebiasaan itu. Suppiya melihat ada seorang bhikkhu yang sakit bertanya kepadanya: “Apakah yang bhante perlukan?” “Sup-daging.” “Baiklah, Bhante. Saya akan mencarinya dan mengirimkan kepada bhante.” Pada keesokan harinya, karena tidak menemukan daging yang baik untuk membuat sup, ia memotong daging pahanya. Namun karena keyakinannya kepada Guru, tubuhnya pulih kembali.
Ketika Visakha telah melayani semua bhikkhu yang sakit dan semua bhikkhu muda dan samanera, ia pergi melalui pintu yang lain. Berhenti di dekat vihara ia berkata kepada gadis pembantunya: “Nona, bawa kemari mantel saya. Saya mau mengenakannya.” Pada saat itu, gadis pembantu merenung bahwa ia telah lupa membawa mantel itu bersamanya ketika ia ke luar. Maka ia menjawab: “Nyonya, saya lupa membawa mantel itu.” “Naiklah kalau begitu, balik dan ambil itu. Tetapi bilamana Yang Mulia Ananda Thera telah mengambil dan menyimpannya, jangan bawa itu kepada saya. Dalam hal ini dengan senang hati saya memberikannya kepada Ananda Thera.” Karena Visakha mengetahui: “Merupakan kebiasan Thera untuk menyimpan barang-barang yang terlupa atau tertinggal.” Karena hal inilah maka Visakha berkata begitu.
Ketika Thera melihat pembatu pembantu ini, ia bertanya kepada pembantu itu: “Mengapa kau kembali?” Gadis pembantu Visakha menjawab: “Ketika saya pergi saya lupa membawa mantel milik dari Nyonya saya.” “Saya mengantungnya di tangga. Pergilah ambil.” Tetapi pembantu itu menjawab: “Bhante, semua barang yang telah Bhante sentuh tidak akan dipindahkan oleh nyonya saya.” Dengan perasaan senang dan gembira, ia kembali kepada nyonyanya. “Ada apa? Tanya Visakha. Gadis pembantu menceritakan apa yang terjadi. “Nona,” jawab Visakha, “saya tidak akan mengenakan barang yang telah disentuh oleh yang mulia. Saya memberikannya dengan senang hatu. Tetapi sebuah mantel akan mengganggu Yang Mulia karena harus mengurusnya. Saya akan menjualnya dan memberikan uang seharga mantel itu kepada Yang Mulia. Pergi dan ambil itu.” Gadis pembantu pergi dan membawa balik mantel itu.
Visakha tidak mengenakan mantel itu, tetapi ia mengirimnya kepada tukang emas dan menanyakan harganya. Tukang emas memberitahu: “Mantel harganya 9 koti kahapana, dan biaya pembuatannya 100.000 kahapana.” Selanjutnya Visakha menyuruh mantel itu ditempakan pada sebuah kereta dan berkata: “Baiklah , jual itu.” Namun tidak ada seorang pun yang sanggup membeli dengan harga seperti itu. (Wanita yang sanggup mengenakan mantel itu sulit diemukan. Sesungguhnya di dunia ini hanya ada 3 wanita yang mendapat gaun atau mantel seperti ini, yaitu: Upasika Visakha; istri Bandula, raja suku Malla; dan Mallika putri hartawan Baranasi).
Akhirnya Visakha sendiri yang membeli mantel itu, seharga 9 koti kahapana dan 100.000 kahapana yang ia tempatkan pada sebuah kereta, dan menyuruh uang itu di bawa ke vihara. Lalu ia bernamaskara kepada Guru, dan berkata: “Pikiran seperti ini muncul dalam benakku: ‘Bhante, Thera Ananda telah menyentu mantelku, dan sejak saat itu saya memutuskan saya tidak akan mengenakannya lagi. Maka saya memutuskan menjualnya dan uang penjualannya saya serahkan kepada Bhante.’ Tetapi ketika saya coba menjualnya, saya tidak menemukan seseorang yang dapat membelinya, maka saya sendiri yang membelinya dan membawa uang itu kepada Bhante. Empat kebutuhan mana yang perlu saya berikan kepada Bhante?”
Guru berkata: “Visakha, apakah sesuai bagi anda untuk mendirikan kuti (tempat tinggal) bagi para bhikkhu di gerbang timur vihara?” “Itu sangat cocok bagi saya, Bhante,” jawab Visakha, hatinya diliputi gegembiraan. Maka dengan uang sebannyak 9 koti kahapana ia membeli tanah untuk lokasi, dan dengan 9 koti kahapana lagi ia mulai membangun kuti bagi para bhikkhu.
Pada suatu hari, selagi Guru melihat (memeriksa) dunia pada pagi menjelang mata hari terbit, Beliau mengetahui bahwa kemampuan menjadi Sotapanna telah dimiliki oleh seorang putra hartawan bernama Bhaddiya, yang dahulu meninggal dari alam dewa dan terlahir kembali dalam keluarga hartawan di kota Bhaddiya. Maka setelah Beliau sarapan di rumah Visakha, beliau pergi melalui gerbang selatan dan sejenak berada di Jetavana; setelah Beliau makan di rumah Anathapindika, Beliau keluar melalui gerbang timur dan sejenak berada di Pubbarama. Dengan demikian, ketika orang-orang melihat Sang Bhagava ke luar melalui gerbang utara, mereka menyadari bahwa Beliau akan melakukan perjalanan.
Demikianlah, ketika pada hari itu Visakha mendengar Guru akan pergi melalui gerbang uatara, ia segera pergi menemui Guru, bernamaskara, dan berkata: “Bhante, apakah Bhante berniat akan bepergian?” “Ya, Visakha.” “Bhante, saya telah mendirikan kuti untuk Bhante dengan semua biaya. Mohon balik, Bhante?” “Visakha, perjalanan ini tidak memungkinkan saya balik.”
Visakha berpikir: “Tidak diragukan Sang Bhagava punya alasan kuat dengan apa yang Ia lakukan.” Mka ia berkata kepada Guru: “Bila demikian,baiklah. Sbelum hante pergi, tunjuk beberapa bhikkhu yang mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan untuk tinggal.” “Visakha, ambillah patta dari bhikkhu yang anda sukai.”
Walaupun Visakha menyukai Ananda Thera, namun ia berpikir: “Mahamoggallana Thera memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dengan bantuannya maka pekerjaan saya akan mudah selesai,” ia mengambil patta Mahamoggallana Thera. Thera melihat kepada Guru, dan Guru berkata: “Moggallana, bawalah bersamamu para pengikutmu sebanyak 500 bhikkhu dan balik.” Thera melaksanakan seperti apa yang diperintahkan guru.
Dengan kekuatan batin Moggallana Thera mereka pergi 50 atau 60 yojana mengambil pohon-pohon dan bebatuan dan kembali dengan benda-benda itu pada hari yang sama. Hal ini tidak melelahkan mereka untuk mengangkat pepohonan dan bebatuan dan menempatkan itu ke atas gerobak, dan tidak ada as gerobak yang patah, tetapi dengan cepat mereka mendirikan kuti dua tingkat.
Ada 500 kamar di lantai bawah dan 500 kamar di lantai atas; dengan demikian terdapat 1000 kuti.
Guru setelah bepergian selama 9 bulan, kembali ke Savatthi. Dalam 9 bulan, pekerjaan Visakha selesai, dan ia sedang membangun sebuah menara yang kuat terbuat dari emas merah yang dibentuk untuk menempatkan 60 gentong air.
Ketika Visakha mendengar bahwa Guru sedang dalam perjalanan ke Jetavana, maka ia peri menemui Beliau, dan mengantar Beliau ke vihara yang sedang ia bangun, dan memastikan dengan janjinyakepada Beliau: “Bhante, bawalah Bhikkhu Sangha ke sini selama 4 bulan dan tinggallh dsi sini, saya akan menyelesaikan kuti-kuti untuk para bhikkhu.” Guru menyetujui untuk datang. Sejah hari itu ia memberikan dana-daba kepada Bhikkhu Sangha yang dikepalai oleh Sang Buddha di vihara itu.
Ada seorang teman Visakha yang datang menemuinya dengan membawa sehelai permadani yang berharga 100.000 kahapana, dan berkata kepada Visakha: “Kawan, saya ingin menempatkan permadani ini di tempatmu. Katakanlah kepadaku di mana saya akan membentangkannya.” Visakha menjawab: “Bilamana saya berkata kepadamu, ‘Tidak ada tempat lagi,’anda akan berpendapat, ‘Visakha tidak mau memberikan tempat untuk saya;’ maka anda sendirilah yang mencari tempat di antara dua lantai dan seribu kamar, dan lihatlah apakah ada tempat untuk membentangkan permadanimu.” Selanjutnya wanita itu membawa permadani yang berharga 100.000 kahapana dan pergi ke semua kuti. Namun ia tidak menemukan permadani yang lebih murah daripada yang ia miliki, maka ia berpikir: “Saya tidak akan mendapat pahala dalam gedung kuti-kuti ini.” Ia diliputi kesedihan, berhenti di tempat tertentu dan berdiri sambil menangis.
Ananda Thera melihatnya dan bertanya kepadanya: “Mengapa anda menangis?” Ia memberitahukan persoalannya. Thera berkata: “Jangan bersedih. Saya akan menunjukkan padamu di mana anda dapat membentangkan permadanimu. Buatlah keset kaki dan letakkan itu di antara tangga dan tempat para bhikkhu mencuci kaki mereka. Bilamana para bhikkhu mencucu kaki mereka, lebih dahulu mereka akan melap (menggosok) kaki mereka pada keset sebelum mereka pergi ke vihara. Dengan begini anda akan mendapat banyak pahala.” Nampaknya Visakha tidak memperhatikan bagian ini.
Setelah 4 bulan Visakha memberikan dana kepada Bhikkhu Sangha yang dikepalai oleh Sang Buddha, maka pada hari terakhir Visakha memberikan kain untuk jubah (civara) kepada Bhikkhu Sangha, setiap samanera menerima kain untuk civara seharga masing-masing 1000 kahapana. Di akhir semuanya, ia memberikan obat-obatan kepada para bhikkhu, dengan mengisi patta setiap bhikkhu. Harta yang ia berikan sebagai dana berjumlah 9 koti kahapana. Jadi untuk semuanya ia menghabiskan harta sebanyak 27 koti kahapada untuk Buddha Sasana, yaitu 9 koti kahapana untuk membeli tanah lokasi, 9 koti untuk mendirikan kuti, dan 9 koti untuk dana. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang memberikan banyak uang seperti wanita ini yng hidup di rumah orang yang (yang pada waktu yang lalu) beragama lain.
Pada hari ketika vihara telah selesai dan acara peresmian sedang berlangsung, sementara bayangan malam bertambah panjang, Visakha berjalan mengelilingi vihara disertai anak-anak, cucu-cucu dan buyutnya. Kemudian ia berpikir: “Sekarang semua harapanku telah terpenuhi, harapan yang saya tekadkan pada masa yang lampau.” Dalam lima syair, dengan suaranya merdu, ia menyatakan Ungkapan Syadhu sebagai berikut:

Kapankah saya akan memberikan dana sebuah vihara, sebuah tempat yang menyenangkan yang diplester deng semen dan adukan pasir? Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana perabotan sebuah tempat tinggal, tempat-tempat tidur, tempat duduki, tikar dan bantal?
Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana makanan, makanan tertentu yang dibumbuhi dangan sup daging murni? Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana jubah, kain Baranasi, linan dan katun? Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana obat-obatan, dadi susu, madu, minyak, dan jaggery? Memenuhinya adalah keinginanku.

Para bhikkhu yang mendengar suaranya, berkata kepada Guru: “Bhante, selama ini kami tidak pernah tahu Visakha dapat menyanyi. Tetapi hari ini, dengan di kelilingi oleh para anak, para cucu dan para buyutnya, ia berkeliling-keliling vihara sambil bernyanyi. Apakah empedunya tidak normal atau ia telah gila?” Guru menjawab: “Para bhikkhu, anakku tidak menyanyi. Namun tekadnya yang luhur sekarang terpenuhi, dan hatinya diliputi kegembiraan dengan pikiran: ‘Harapan yang saya harapkan, sekarang terpenuhi,’ dan ia menyatakan Ungkapan Syadhu selagi ia berjalan.” “Tetapi, Bhante, kapan ia mengharapkan keingian ini?” “Apakah anda sekalian mau mendengarnya, para bhikkhu?” “Ya, Bhante, kami mau mendengarnya.” Karena itu Guru menceritakan hal berikut ini.

Cerita yang lampau
Keinginan Mulia Visakha

Para bhikkhu, 100.000 kappa yang lampau, Samma Sambuddha Padumuttara muncul di dunia. Usia rata-rata pada masa itu adalah 100.000 tahun, para arahat pengikutnya sebanyak 100.000 orang, kotanya adalah Hamsavati, ayahnya bernama Sunanda, dan ibunya bernama Sujata Devi. Upasika yang menjadi donatur utamanya mendapat 8 berkah (boon) darinya, pasika ini masih ada hubungan kerabat melalui ibunya, ia menyediakan Empat Kebutuhan pokok (catu paccaya) Guru, upasika pun melayani Guru di waktu pagi dan sore.

53. Harumnya kayu cendana, bunga melati dan bunga tagara tidak
dapat melawan arah angin, tetapi harumnya nama para pembuat kebajikan dapat melawan tiupan angin, dan tersebar di segala penjuru.

54. Harumnya kebajikan dapat mengalahkan harumnya kayu cendana, bunga tagara, teratai atau melati.

55. Tak seberapa harumnya bunga melati dan kayu cendana; jauh lebih harum mereka yang memiliki sila (kebajikan), nama harum mereka tersebar di antara para dewa di surga.

56. Mereka yang sempurna tingkah lakunya, selalu penuh kesadaran,
terbebas dari noda; jejak para orang suci ini tidak dapat diikuti oleh Dewa Kematian (Mara).

57. Seperti bunga teratai yang tumbuh di atas tumpukan sampah yang
dibuang di tepi jalan raya, indah, harum serta menimbulkan perasaan
senang.

58. Demikian pula siswa Sang Buddha bersinar karena kebijaksa-
naannya, di antara para manusia yang hidup tertutup
oleh kegelapan.