Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Karaniya Metta Sutta

Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan. Untuk mencapai Keadaan Ketenangan Ia harus mampu jujur, sungguh jujur Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong

Karaniya Metta Sutta

Merasa puas, mudah disokong, Tiada sibuk, sederhana hidupnya, Tenang inderanya, berhati-hati, Tahu malu, tak melekat pada keluarga

Karaniya Metta Sutta

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para Bijaksana Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram, Semoga semua makhluk berbahagia

Karaniya Metta Sutta

Makhluk hidup apapun juga, Yang lemah atau kuat, tanpa kecuali, Yang panjang atau besar, Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk

Karaniya Metta Sutta

Jangan menipu orang lain, Atau menghina siapa saja, Jangan karena marah dan benci, Mengharap orang lain celaka

Friday, October 28, 2011

Kesehatan dan Penyakit dalam Buddhisme

Pinit Ratanakul, Ph.D. 
Direktur College of Religious Studies, Universitas Mahidol, Salaya, Puthamoltoll 4, Nakornpathom, 73170, Bangkok, Thailand 
Email: pinitratanakul2@hotmail.com


Eubios Jurnal Bioetika Asia dan Internasional 15 (2004), 162-4.



Kesehatan dan penyakit adalah salah satu pengalaman umum kehidupan manusia yang menjadi perhatian khusus dari agama. Agama, dalam setiap masyarakat, di setiap tahap sejarah, menjunjung tinggi nilai kesejahteraan dan kesehatan yang diperlukan untuk kehidupan yang bermakna, dan menyediakan pengikutnya dengan cara-cara dan sarana untuk meningkatkan kesehatan mereka dan memungkinkan mereka untuk berurusan dengan kerentanan manusia kreatif terhadap penyakit, rasa sakit dan penderitaan.
Ada konsensus bahwa kesehatan dan kesejahteraan tidak berarti hanya atau hanya tidak adanya rasa sakit dan penderitaan atau kurangnya penyakit, cacat kecacatan, dan kematian, namun memiliki makna positif. Ada perdebatan saat ini atas apa arti positif jauh. Artikel ini adalah pengenalan singkat untuk pendekatan Buddhis terhadap kesehatan dan penyakit. Setelah semua Buddhisme memiliki lebih dari 2.500 tahun sejarah keterlibatan dalam teori dan praktek medis. Sebagai agama yang hidup ajaran-ajarannya telah banyak dipengaruhi cara-cara Buddha berpikir dan bertindak dalam hal hidup dan mati. Karena kesehatan adalah nilai manusia yang kita semua prihatin dengan, diharapkan bahwa pengenalan ini akan berfungsi sebagai kontribusi Buddha untuk diskusi yang sedang berlangsung tentang bagaimana untuk mendefinisikan kesehatan dan oleh karena itu peran dan fungsi para profesional perawatan kesehatan modern yang mewakili dan melayani nilai manusia yang penting.

Buddhist pandangan dunia, originasi tergantung, dan kamma
Pandangan Buddhis adalah holistik dan terutama didasarkan pada keyakinan dalam saling ketergantungan semua fenomena dan saling korelasi antara sebab dan efek pengkondisian. Kepercayaan ini dirumuskan oleh prinsip originasi tergantung, juga disebut sebagai hukum persyaratan, perhubungan kausal yang beroperasi di semua fenomena - fisik, psikologis, dan moral. Dalam dunia fisik, misalnya, segala sesuatu di alam semesta adalah saling berkaitan erat sebagai penyebab dan efek tanpa awal dan akhir. Dan dunia adalah dunia di mana semua terstruktur organik bagian-bagiannya saling bergantung. Demikian pula dalam masyarakat manusia setiap komponen saling terkait. Hal yang sama juga ditemukan dalam lingkup psiko-fisik, di mana pikiran dan tubuh tidak unit terpisah tetapi merupakan bagian saling bergantung dari system1 manusia secara keseluruhan.
Pandangan Buddhis juga terdiri dari kepercayaan pada kamma, korelasi antara perbuatan dan konsekuensi selanjutnya, seperti dalam bidang moral yang prinsip dari originasi tergantung dioperasikan dengan nama hukum kamma menyatakan persyaratan ini relation2 kausal. Ini berarti bahwa hukum kamma Buddha tidak berarti determinisme lengkap. Jika seperti determinisme yang diterima tidak akan ada kemungkinan pemberantasan penderitaan. Seorang pria yang akan menjadi buruk karena itu adalah kamma untuk menjadi buruk. Tapi ini tidak begitu dan efek dari kamma dapat dikurangi tidak hanya dalam satu kehidupan, tapi bahkan lebih, seperti, menurut Buddhisme, hidup tidak terbatas pada eksistensi, tunggal individu. Kehidupan sekarang hanyalah bagian dari putaran keberadaan (samsara) yang membentang melintasi ruang dan waktu. Sebuah eksistensi tunggal dikondisikan oleh orang lain melanjutkan dan dalam kondisi gilirannya satu atau serangkaian keberadaan berturut-turut. Keberadaan demikian pada waktu yang sama dan efek dalam satu hal dan penyebab yang lain. Hal ini penjara di babak keberadaan adalah hasil dari perbuatan sendiri (kamma), baik atau buruk. Dikondisikan oleh perbuatan, bentuk eksistensi sekarang dapat diubah atau dibubarkan oleh perbuatan. Hal ini dimungkinkan karena saat ini tidak efek total dari masa lalu. Hal ini secara simultan sebab dan akibat. Sebagai efek, kita dikondisikan oleh matriks kausal terdiri dari kesinambungan sosial dan biologis dari kehidupan sendiri dan dengan demikian adalah efek dari perbuatan masa lalu kita. Apa yang kita sekarang adalah hasil dari apa yang telah kita sebelumnya. Tapi sebagai penyebab, kita adalah penguasa mutlak nasib kita. Saat ini, meskipun sulit, adalah blok bangunan masa depan. Apa yang kita akan tergantung pada apa yang kita dan akan lakukan, dengan pilihan kita sendiri.

Tergantung originasi, kesehatan, dan kamma
Dalam pandangan dunia ini, kesehatan dan penyakit melibatkan negara secara keseluruhan manusia dan terjalin dengan banyak faktor seperti ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya. Semua faktor ini bersyarat harus serius diperhitungkan dalam memahami kesehatan dan penyakit. Kesehatan karena itu harus dipahami dalam hal holisme. Ini adalah ekspresi harmoni - dalam diri sendiri, dalam hubungan sosial seseorang, dan dalam hubungannya dengan lingkungan alam. Untuk menjadi prihatin tentang kesehatan seseorang berarti peduli dengan seluruh pribadi, nya (nya) dimensi fisik dan mental, hubungan sosial, kekeluargaan, dan bekerja, sebagai Weel sebagai lingkungan di mana ia (dia) hidup dan yang bertindak pada dirinya (nya). Oleh karena itu kecenderungan untuk memahami kesehatan hanya dalam hubungannya dengan bagian-bagian tertentu dari organisme manusia seperti cacat dalam agama Buddha tidak dapat diterima. Dalam perspektif holistik Buddhis, penyakit adalah ekspresi dari keselarasan terganggu dalam kehidupan kita secara keseluruhan. Oleh gejala fisik, penyakit menarik perhatian kita pada harmoni ini terganggu. Oleh karena itu penyembuhan dalam Buddhisme bukan pengobatan hanya gejala-gejala terukur. Hal ini lebih dan ekspresi dari upaya gabungan dari pikiran dan tubuh untuk mengatasi penyakit dari pertarungan antara obat dan penyakit. Tujuan sebenarnya adalah untuk memungkinkan pasien untuk membawa kembali harmoni dalam dirinya sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan alam. Dalam konteks penyembuhan bukan merupakan tujuan itu sendiri, melainkan sarana yang membantu obat-obatan untuk melayani nilai kesehatan manusia dan kesejahteraan.
Terlepas dari pendekatan holistik, Buddhisme atribut kamma sebagai faktor penting untuk kesehatan dan penyakit. Dalam perspektif Buddhis kesehatan yang baik adalah efek berkorelasi dari kamma baik di masa lalu dan sebaliknya. Ini interpretasi kesehatan dan penyakit dalam hal kamma adalah untuk menekankan bahwa ada hubungan antara moralitas dan kesehatan. Kesehatan tergantung pada gaya hidup kita, yaitu cara kita berpikir, cara kita merasa, dan cara kita hidup. Penyakit adalah konsekuensi dari gaya hidup yang tidak sehat seperti-sebagai salah satu ditandai oleh pemanjaan indria, misalnya. Ini adalah komponen normativistic dari perspektif Buddhis pada kesehatan yang melibatkan praktek nilai-nilai moral dan keagamaan seperti kasih sayang, toleransi, dan pengampunan. Ini adalah alasan yang mendasari mengapa ajaran Buddha menyarankan mereka yang ingin menjadi sehat untuk berlatih moralitas (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna), di Bagian Ariya Berunsur Delapan.
Mungkin kita akan memahami peran dari kamma dalam kesehatan dan penyakit seperti yang kita lihat pada kasus berikut. Sebagai contoh, dalam waktu epidemi biasanya ada beberapa orang yang menyerah sementara yang lain melarikan diri meskipun kedua kelompok yang terkena kondisi yang sama. Menurut pandangan Buddhis perbedaan antara yang pertama dan yang terakhir ini karena sifat dari kamma masing-masing di masa lalu. Contoh lain adalah kasus di mana meskipun pengobatan yang diberikan berhasil pasien meninggal, dan di mana meskipun pengobatan tidak efektif pasien tinggal. Ada juga kasus-kasus pemulihan yang luar biasa dan tak terduga ketika obat-obatan modern telah memberikan semua harapan untuk remisi. Kasus-kasus seperti memperkuat keyakinan Budha bahwa selain penyebab fisik dari penyakit, penyakit bisa menjadi efek dari kamma buruk dalam kehidupan masa lalu. Sebuah penyakit dengan penyebab kamma tidak bisa disembuhkan sampai yang berakibat karma habis. Tetapi setiap orang kamma adalah suatu misteri baik untuk dirinya dan orang lain. Maka tidak ada orang biasa pasti bisa tahu mana penyakit ini disebabkan oleh kamma. Oleh karena itu orang harus berhati-hati dalam imputing kamma terutama untuk penyakit karena dapat mengakibatkan sikap fatalistik tidak mencari penyembuhan di semua atau menyerah pengobatan keluar dari keputusasaan. Buddhisme menyarankan kita bahwa untuk tujuan praktis kita harus memandang semua penyakit seolah-olah mereka diproduksi oleh penyebab fisik belaka. Dan bahkan jika penyakit memiliki penyebab kamma itu harus diobati. Sebagai kondisi permanen dan tidak ada sebagai hubungan kausal antara perbuatan dan konsekuensinya berkorelasi adalah lebih kondisional dari deterministik ada kemungkinan untuk penyakit yang akan sembuh selama hidup terus. Di sisi lain kita tidak bisa mengatakan pada titik apa efek dari kamma buruk akan habis. Oleh karena itu kita perlu mengambil keuntungan dari apa pun sarana menyembuhkan dan pengobatan yang tersedia. Pengobatan tersebut, bahkan jika tidak dapat menghasilkan obat, masih berguna karena kondisi fisik dan psikologis yang tepat diperlukan untuk efek karma untuk mengambil tempat. Kehadiran kecenderungan untuk penyakit tertentu melalui kamma masa lampau dan kondisi fisik untuk menghasilkan penyakit ini akan memberikan kesempatan bagi penyakit timbul. Tetapi memiliki pengobatan tertentu akan mencegah akibat kamma buruk mewujudkan sepenuhnya. Jenis perawatan ini tidak mengganggu kerja kamma individu tetapi mengurangi keparahan. Saran dari Buddhisme untuk seseorang dengan penyakit yang tak tersembuhkan dan harus sabar dan melakukan perbuatan baik untuk mengurangi dampak dari kamma buruk masa lalu. Setidaknya upaya individu untuk memelihara atau memulihkan itu sendiri kamma baik.
Kepercayaan pada karma dalam kaitannya dengan kesehatan dan penyakit tidak menyebabkan fatalisme, ataupun pesimisme. Seperti disebutkan sebelumnya, hukum kamma tidak memerintah dengan tangan besi atau membawa kutukan. Hukum ini hanya menekankan hubungan kausal antara sebab dan akibat. Ini tidak berarti determinisme lengkap. Te percaya pada kamma adalah untuk mengambil tanggung jawab pribadi untuk kesehatan. Kesehatan tidak diberikan. Ini harus diperoleh dengan usaha sendiri, dan satu tidak boleh menyalahkan orang lain untuk yang menderita akan melalui karena penyakit. Selain itu, mungkin nyaman untuk berpikir bahwa penyakit kita adalah bukan karena kesalahan tetapi hidup kita sekarang warisan masa lalu yang sangat jauh, dan bahwa dengan sikap kita sendiri dan upaya terhadap penyakit efek kamma baik dapat timbul. Kepercayaan pada karma juga memungkinkan kita untuk mengatasi aspek-aspek kehidupan yang menyakitkan, misalnya menderita penyakit terminal seperti leukemia atau bentuk yang lebih ganas dari kanker dengan ketenangan dan tanpa perjuangan sia-sia, atau keadaan mental negatif dan menyedihkan. Penerimaan tersebut juga akan memungkinkan kita untuk mengatasi putus asa, bertahan kondisi untuk hari-hari terakhir, dan dengan demikian mati kematian yang damai.
Penekanan pada penyebab kamma kesehatan dan penyakit menyiratkan tanggung jawab pribadi untuk kesehatan dan penyakit. Kamma diciptakan oleh pilihan-pilihan yang kita buat dalam kehidupan masa lalu. Kesehatan yang bisa diperoleh dengan melanjutkan upaya pribadi dalam kehidupan ini. Perbuatan baik (latihan egregular, nutrisi yang tepat, dll) mengarah pada kesehatan yang baik sedangkan perbuatan buruk (misalnya kebiasaan hidup yang buruk, menyalahgunakan tubuh dan pikiran) dalam hidup ini dan sebelumnya membawa penyakit. Rasa tanggung jawab yang sangat dibutuhkan dalam perawatan kesehatan. Saat ini, dengan penemuan "obat ajaib" dan pengembangan teknologi baru, banyak orang cenderung memiliki ilusi bahwa semua rasa sakit dan penderitaan dalam hidup dapat dihilangkan dan bahwa semua penderitaan itu buruk, baik secara fisik, mental, emosional, moral , atau spiritual. Dan dengan menyalahkan pada kekuatan eksternal orang mencari cara eksternal (misalnya pil, suntikan, terapi, dll) meringankan penderitaan daripada memeriksa diri mereka dan kehidupan mereka sendiri dan berusaha mengubah apa yang ada di dalam diri mereka yang mengakibatkan penyakit. Pandangan Buddhis kamma kesehatan dan penyakit, sebaliknya, mengakui kenyataan diri ditimbulkan penyakit yang dapat ditelusuri untuk memiliki gaya hidup individu dan kebiasaan, dan mendorong seseorang untuk mencari juga untuk penyebab penyakit kita, rasa sakit, dan penderitaan dalam diri sendiri, misalnya dalam kaitannya dengan sendiri gaya hidup, keputusan, sikap, dan hubungan yang harus diubah. Hal ini juga mengakui peran positif penyakit dan penderitaan dalam pemurnian roh kita dan memperkuat karakter moral kita, misalnya keberanian, pemahaman diri, dan simpati terhadap orang lain.
Namun, penekanan Buddhis pada kamma individu atau tanggung jawab pribadi untuk kesehatan tidak berarti bahwa Buddhisme memberikan tanggung jawab pribadi untuk semua penyakit. Dalam pandangan Buddhis kamma memiliki baik dimensi individual dan sosial. Komponen terakhir ini apa yang dapat disebut sebagai kamma sosial yang, dalam perawatan kesehatan, mengacu pada faktor-faktor lingkungan yang dapat memperburuk atau mengurangi dan kamma individu. Faktor-faktor seperti faktor sosial-ekonomi, misalnya kondisi kerja yang tidak sehat dan berbahaya, dapat bertindak sebagai lingkungan berbahaya / pendukung untuk kesehatan / penyakit dari dan individu. Dan masyarakat bisa menahan pengusaha dan bisnis bertanggung jawab jika mereka tidak menjaga lingkungan yang sehat bagi para pekerja mereka atau memberikan langkah-langkah keamanan. Konsep sosial kamma juga menyiratkan tanggung jawab pada bagian dari pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan yang memadai bagi semua warganya secara proporsional dengan kebutuhan kesehatan mereka dan kondisi medis.

Tubuh dan kesehatan fisik
Dalam perspektif Buddhis tubuh unik dari masing-masing kita, baik dalam penampilan dan struktur, adalah hasil dari kamma masa lalu kita. Tubuh manusia adalah pada saat yang sama cara dimana kita kontak dunia dan manifestasi fisik dari pikiran kita. Menjadi seperti instrumen penting, tubuh harus diperhatikan sebagaimana mestinya, yaitu seseorang tidak boleh menyalahgunakan obat ini melalui makanan, alkohol, obat-obatan, atau dengan mengenakan pajak dengan lebih dari pemanjaan dan kekurangan. Bahkan pencerahan, tujuan tertinggi agama Buddha, tidak dapat dicapai oleh pembekuan tubuh, seperti yang disaksikan dalam pengalaman pribadi Sang Buddha. Hal ini disebabkan saling ketergantungan dari pikiran dan tubuh. Iluminasi intelektual dapat dicapai hanya ketika tubuh tidak kekurangan apapun yang diperlukan untuk berfungsi secara sehat dan efisien dari semua organ tubuh.
Menurut Buddhisme, setiap kehidupan hidup semata-mata untuk mencari keuntungan diri sendiri atau memanjakan diri adalah hidup yang tidak layak hidup. Oleh karena itu Buddhisme mendorong kita untuk menggunakan tubuh untuk tujuan yang lebih tinggi, terutama untuk mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, pembebasan dari siklus tak berujung dari kelahiran dan kelahiran kembali (samsara) sebagai subyek kontemplasi. Konstan praktek moralitas dan meditasi akan memungkinkan kita untuk memiliki kontrol diri atas nafsu, sensasi, dan drive egoistik.
Kesehatan fisik dipandang oleh Buddha sebagai dibentuk oleh fungsi normal dari tubuh dan organ organik saling terkait. Ketika salah satu dari mereka gagal berfungsi, kelemahan dan penyakit mengatur masuk Fungsi normal dari organ-organ tubuh adalah hasil dari keselarasan dan keseimbangan dari empat elemen utama dalam tubuh, yaitu bumi (pathavi), air (apo), angin (vayo), dan api (Tejo). Jika keseimbangan ini terganggu, fungsi normal terganggu dan keadaan penyakit muncul. Menyembuhkan adalah pemulihan keseimbangan ini, yaitu menempatkan seluruh tubuh fisik, dan bukan hanya bagian patologis menderita, dalam kondisi baik. Karena setiap bagian dari tubuh manusia adalah organis berhubungan dengan semua bagian lain, untuk kesehatan yang baik seluruh tubuh harus dalam kondisi baik. Mengingat fakta bahwa tubuh, seperti semua fenomena, selalu dalam keadaan perubahan, penurunan, dan membusuk, kesehatan fisik tidak dapat bertahan lama. Tidak mungkin bagi tubuh untuk menjadi sempurna sehat dan bebas dari semua penyakit di setiap saat. Kehidupan manusia rentan terhadap penyakit pada tahap yang sangat. Penyakit adalah pengingat kerapuhan manusia. Ini berarti bahwa (lengkap) kesehatan bukanlah sebuah negara benar-benar dicapai. Keutuhan manusia atau kesejahteraan, karena itu, tidak berarti tidak adanya semua rasa sakit dan penderitaan dalam hidup, tapi belajar untuk berurusan dengan rasa sakit dan penderitaan, bagaimana menggunakannya dan melampaui itu demi pertumbuhan pribadi dan pemahaman yang simpatik dari orang lain.
Pemahaman Buddha penyakit fisik dalam hal gangguan keselarasan dan keseimbangan dalam tubuh adalah berbeda dari pandangan militeristik penyakit difokuskan pada kuman bermusuhan. Menurut pandangan penyakit ini disebabkan oleh serangan dari kuman bermusuhan dalam lingkungan ke bagian tubuh tertentu. Pandangan-pandangan yang berbeda menyebabkan cara yang berbeda untuk menyembuhkan. Cara Buddhis adalah untuk membawa harmoni ke dalam tubuh di mana telah terjadi ketidakharmonisan baik dengan obat atau dengan perubahan dalam pikiran dan cara hidup. Kedokteran digunakan untuk meningkatkan penyembuhan diri yaitu kekuatan tubuh untuk dapat menangani penyakit ini, untuk mengembalikan keseimbangan dengan caranya sendiri. Penyembuhan lebih merupakan ekspresi dari upaya gabungan dari pikiran dan tubuh untuk mengatasi penyakit dari pertempuran antara obat dan penyakit. Sebaliknya cara lain adalah untuk melawan kuman dengan obat yang biasanya adalah kimia. Efektivitas obat ini tergantung pada kekuasaan mereka menyerang pada bagian ditimbulkan dan tidak pada kekuatan restoratif seperti dalam kasus Buddhisme.

Kesehatan pikiran dan mental yang
Kesehatan fisik sangat penting karena hal Buddhisme adalah menjadi sarana untuk pencerahan intelektual. Buddhisme tidak ingin orang-orang menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam kesehatan yang buruk atau mereka tidak akan mampu mengabdikan diri kepada tujuan tertinggi. Meskipun Buddhisme pandangan pikiran dan tubuh dalam saling ketergantungan, pengajaran memberi perhatian khusus pada pikiran dan kekuatannya. Hal ini dinyatakan dalam ayat pertama dari Dhammapada bahwa apa yang kita punya adalah hasil dari pikiran kita. Sumber kehidupan kita dan karenanya kebahagiaan kita atau ketidakbahagiaan terletak di dalam kekuasaan kita. Tidak ada yang bisa menyakiti kami, tapi diri kita sendiri. Ini adalah jenis pikiran kita menghibur yang meningkatkan fisik kita kesejahteraan atau melemahkan, dan juga memuliakan kami atau merendahkan kita. Ini alasan mengapa ajaran Buddha menunjuk berpikir sebagai penyebab baik fisik adalah tindakan-tindakan verbal dengan hasil kamma mereka dan menganggap kesehatan mental sangat penting dan pelatihan pikiran untuk mencapai tahap tertinggi sebagai kepedulian kesehatan sendiri. Hal ini keasyikan dengan kesehatan mental juga dianggap sebagai panggilan sejati biksu Budha. Pelatihan ini didasarkan pada keyakinan bahwa baik tubuh dan pikiran rentan terhadap penyakit. Tapi karena pikiran mampu melepaskan diri dari tubuh adalah mungkin untuk memiliki pikiran yang sehat dalam tubuh yang sakit.
Menurut agama Buddha bagi pikiran untuk menjadi sehat, pertama perlu untuk mengembangkan pandangan yang benar tentang dunia dan diri kita sendiri, yaitu penerimaan yang realistis dari tiga sifat keberadaan: ketidakkekalan, insubstantiality, ketidakpuasan dan penderitaan. Adopsi dari pandangan yang salah membuat kita melihat fana sebagai permanen, menyakitkan senang, tidak murni sebagai murni, dan apa yang bukan diri sebagai diri. Akibatnya kita mendambakan dan memperjuangkan apa yang tidak sesuatu yang tampaknya tidak berubah, misalnya diri dan identik ilusi permanen dan obyek permanen od keinginan-dan kami selalu menderita kekecewaan. Dengan menerima hal karena mereka tidak lebih dari realitas nama untuk kompleks psiko-fisik unsur-unsur (nama-rupa) - pikiran tidak lagi berusaha untuk kepuasan diri mencari impuls atau menempel pada objek. Akibatnya pikiran adalah saat istirahat dan dengan demikian penderitaan psikologis dihilangkan mengarah ke kesehatan mental ditingkatkan.
Selain mengubah pikiran kita oleh adopsi dari pandangan benar dan dengan mengembangkan sikap detasemen terhadap dunia dan diri kita sendiri, kesehatan mental kita tergantung pada kekuatan kita untuk mengendalikan nafsu kita dan untuk menahan dan / atau memberantas gerakan negatif sebanyak keserakahan (lobha), kebencian (dosa), kemarahan (moha), dan kecenderungan kita posesif dan agresif. Semua negara-negara ini tidak sehat dapat bertindak sebagai penyebab penyakit mental dan fisik. Kontrol tersebut dapat dicapai melalui praktek moralitas dan meditasi. Setiap set ajaran Buddha dan setiap jenis meditasi yang bertujuan untuk mengendalikan indra, impuls, dan naluri dan mengurangi ketegangan dan menghilangkan unwholesomeness pikiran yang cenderung membuat pikiran sakit.
Meditasi Buddhis tidak hanya sarana untuk menyembuhkan pikiran dari penyakit yang disebabkan oleh pandangan yang salah, memanjakan diri, kebencian, dan kemarahan dari segala bentuk, tetapi juga dirancang sebagai sarana untuk menginduksi keadaan mental yang sehat yang positif, terutama empat negara luhur : cinta kasih (metta), welas asih (karuna), kegembiraan simpatik (Mudita), dan keseimbangan batin (upekha). Cinta kasih memungkinkan kita untuk mencintai dan bersikap baik satu sama lain kasih sayang ketika ingin kita untuk membantu mereka dalam kesulitan. Kegembiraan simpatik adalah kemampuan untuk bersukacita dalam sukacita orang lain dan keseimbangan batin adalah temperamen equanimous tanpa gembira atau sedih baik dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan - keuntungan dan kerugian, ketenaran dan kurangnya ketenaran, pujian dan menyalahkan, kebahagiaan dan kesedihan . Budidaya terus-menerus dari kondisi mental yang sehat adalah cara Buddhis yang penting untuk membuat pikiran sehat. Tindakan ini muncul dari pikiran yang sehat yang selalu baik dan sehat dan dengan demikian konduktif untuk kesehatan holistik kami. Ini kesehatan selama-semua tercermin dalam semua aspek kehidupan termasuk berpikir, berbicara, hidup dan melakukan.

Penutup
Konsep Buddhis tentang kesehatan dan penyakit adalah dirumuskan dalam konteks prinsip Originasi Dependent dan hukum yang terkait kamma. Dengan demikian kesehatan dan penyakit yang harus dipahami secara holistik di lebih-semua negara mereka dalam kaitannya dengan seluruh sistem dan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya.
Pandangan ini sangat bertentangan dengan pandangan analitik yang cenderung untuk membedah manusia menjadi segmen-segmen yang berbeda baik di alam fisik dan mental. Sebagai hasilnya adalah kesehatan didefinisikan terlalu sempit sebagai tidak adanya gejala semata terukur penyakit. Dokter dan tenaga medis lainnya yang menganut pandangan seperti mengarahkan perhatian mereka ke bagian tertentu dari seseorang ketika mempertimbangkan apakah atau tidak seseorang sehat dan belum cukup peduli dengan pasien mereka sebagai manusia secara keseluruhan, mengurangi perawatan mereka dari mereka untuk kontrol diukur gejala fisik. Perspektif holistik Buddhis, sebaliknya, berfokus pada seluruh orang dan berpendapat bahwa karena manusia tidak hanya makhluk fisik tetapi mental, emosional, makhluk sosial dan spiritual juga dan bahwa, sebagai kesatuan psikosomatis, penyakit tubuh mempengaruhi pikiran dan emosi dan maladjustments emosional, mental dan sosial dapat mempengaruhi tubuh, kemudian khawatir tentang satu kesehatan seseorang harus prihatin tentang seluruh pikiran, tubuh seseorang, dan emosi, serta lingkungan sosialnya. Hal ini mungkin tampak tujuan utopis yang pelayanan kedokteran atau kesehatan saja tidak dapat menyelesaikan. Tetapi harus memikirkan dan berjuang untuk kesehatan secara keseluruhan Mungkin ini dapat dimungkinkan hanya melalui upaya bersama dari obat-obatan, lembaga individu dan sosial yang bersangkutan.

Catatan
1. Eksposisi sistematis yang paling rinci dan koheren prinsip Originasi Dependent diberikan dalam Visuddhi Magga: Jalan Pemurnian.
2. Hukum ini juga disebut sebagai hukum kausalitas menurut perbuatan yang disamakan dengan benih yang akan menghasilkan cepat atau lambat dalam buah-buahan tertentu.
Kembali ke EJAIB 14 (5) September 2004
Kembali ke EJAIB
Para Eubios Institut Etika adalah pada world wide web Internet:
http://eubios.info/index.html

artikel ini diterjemahkan oleh mesin, validasi dan keakuratan dapat dilihat dari sumber aslinya : http://www.eubios.info/EJ145/ej145b.htm

Saturday, October 22, 2011

31 (tigapuluh satu) alam kehidupan dalam Agama Buddha

31 alam kehidupan terdiri dari:


A. 11 Kamma Bhumi yaitu 11 alam kehidupan dimana makhluk-makhluknya masih senang dengan nafsu-nafsu indera dan terikat dengan panca indera
B. 16 Rupa Bhumi yaitu 16 alam kehidupan yg makhluk-makhluknya mempunyai Rupa Jhana
C. 4 Arupa Bhumi yaitu 4 alam kehidupan yg makhluk-makhluknya mempunyai Arupa Jhana

A. 11 Kamma Bhumi terdiri dari:

1. Apaya-Bhumi 4 (4 alam kehidupan yg menyedihkan) yaitu:

a. Niraya Bhumi (alam neraka) terbagi menjadi beberapa kelompok di antaranya ada yg disebut kelompok Maha Neraka 8 (sanjiva neraka, kalasutta neraka, sanghata neraka, roruva neraka, maharoruva neraka, tapana neraka, mahatapana neraka, avici neraka).

b. Tiracchana Bhumi (alam binatang). Binatang berkaki terbagi menjadi 4 kelompok yaitu:
  1. Apadatiracchana yaitu kelompok binatang yg tidak mempunyai kaki
  2. Dvipadatiracchana yaitu kelompok binatang yg berkaki 2
  3. Catupadatiracchana yaitu kelompok binatang yg berkaki 4
  4. Bahuppadatiracchana yaitu kelompok binatang yg berkaki banyak
c. Peta Bhumi (alam setan) terdiri dari beberapa kelompok yg disebut peta 4, peta 12 dan peta 21(dibahas tersendiri)

d. Asurakaya Bhumi (alam raksasa) terdiri dari:
  1. Deva asura yaitu kelompok dewa yg disebut asura
  2. Peta asura yaitu kelompok setan yg disebut asura
  3. Niraya asura yaitu kelompok makhluk neraka yg disebut asura
2. Kamasugati Bhumi 7 (7 alam kehidupan nafsu yg menyenangkan) yaitu:

Manussa Bhumi (alam manusia)
Catummaharajika Bhumi (alam 4 raja dewa: Dhatarattha, Virulaka, Virupakkha & Kuvera) terbagi dalam 3 kelompok yaitu:
  1. Bhumamattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di atas tanah (di gunung, sungai, laut, rumah, vihara,dll)
  2. Rukakkhattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di atas pohon
  3. Akasattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di angkasa (di bulan, bintang,dll)
  • Tavatimsa Bhumi (alam 33 dewa). Disebut alam 33 dewa karena dahulu kala ada sekelompok pria yg berjumlah 33 orang yg selalu bekerja sama dalam berbuat kebaikan. Sewaktu mereka meninggal dunia semuanya terlahir dalam satu alam dewa.
  • Yama Bhumi (alam dewa Yama). Para dewa di alam ini terbebas dari kesulitan, yg ada hanya kesenangan.
  • Tusita Bhumi (alam kenikmatan). Para dewa di alam ini terbebas dari "kepanasan hati", yg ada hanya kesenangan dan kenikmatan
  • Nimmanarati Bhumi (alam yg menikmati ciptaannya). Para dewa di alam ini menikmati kesenangan panca inderanya dari hasil ciptaannya sendiri.
  • Paranimmitavasavatti Bhumi (alam dewa yg menyempurnakan ciptaan dewa lain). Para dewa di alam ini di samping menikmati kesenangan panca indera juga mampu membantu menyempurnakan ciptaan dewa2 lainnya.
B. 16 Rupa Bhumi terdiri dari:

1. Pathama Jhana Bhumi 3 (3 alam kehidupan Jhana pertama) yaitu:
  1. Brahma Parissaja Bhumi (alam pengikut2nya Brahma)
  2. Brahma Purohita Bhumi (alam para menterinya Brahma)
  3. Maha Brahma Bhumi (alam Brahma yg besar)

2. Dutiya Jhana Bhumi 3 (3 alam kehidupan Jhana kedua) yaitu:
  1. Brahma Parittabha Bhumi (alam para brahma yg kurang cahaya)
  2. Brahma Appamanabha Bhumi (alam para Brahma yg tak terbatas cahayanya)
  3. Brahma Abhassara Bhumi (alam para Brahma yg gemerlap cahayanya)
3. Tatiya Jhana Bhumi 3 (3 alam kehidupan Jhana ketiga) yaitu:
  1. Brahma Parittasubha Bhumi (alam para Brahma yg kurang auranya)
  2. Brahma Appamanasubha Bhumi (alam para Brahma yg tak terbatas auranya)
  3. Brahma Sibhakinha Bhumi (alam para Brahma yg auranya penuh & tetap)
  4. Catuttha Jhana Bhumi 7 (7 alam kehidupan Jhana keempat) yaitu:
  • Brahma Vehapphala Bhumi (alam para Brahma yg besar pahalanya)
  • Brahma Asannasatta Bhumi (alam para Brahma yg kosong dari kesadaran)
  • Alam Suddhavasa 5 (5 alam kediaman yg murni) terdiri dari:
  1. Brahma Aviha Bhumi (alam para Brahma yg tidak bergerak atau alam bagi Anagami yg kuat dalam keyakinan/saddhindriya)
  2. Brahma Atappa Bhumi (alam para Brahma yg suci atau alam bagi Anagami yg kuat dalam usaha/viriyindriya)
  3. Brahma Sudassa Bhumi (alam para Brahma yg indah atau alam bagi Anagami yg kuat dalamkesadaran/satindriya)
  4. Brahma Sudassi Bhumi (alam para Brahma yg berpandangan terang atau alam bagi Anagami yg kuat dalam konsentrasi/samadindriya)
  5. Brahma Akanittha Bhumi (alam para Brahma yg luhur atau alam bagi Anagami yg kuat dalam kebijaksanaan/pannindriya)
C. 4 Arupa Bhumi terdiri dari:
  1. Akasanancayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi ruangan tanpa batas)
  2. Vinnanancayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi kesadaran tanpa batas)
  3. Akincannayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi kekosongan)
  4. Nevasannanasannayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi bukan pencerapan maupun bukan tidak pencerapan)
Catatan :
Rupa Brahma berarti Brahma bermateri yaitu Brahma yg mempunyai pancakhanda. Sedangkan Arupa Brahma berarti Brahma tak bermateri yaitu Brahma yg hanya mempunyai Nama Khanda (batin), tidak mempunyai Rupa Khanda (jasmani). .

Makhluk Setan ini terbagi dalam beberapa kelompok, diantaranya terdapat kelompok-kelompok setan yang disebut PETA 4, PETA 12 dan PETA 21 sebagai tertulis di bawah ini :

PETA 4 (terdapat dalam Kitab Petavatthu-Atthakatha)
  1. Paradattupajivika-Peta : Setan yang memelihara hidupnya dengan memakan makanan yang disuguhkan orang dalam upacara sembahyang.
  2. Khupapipasika-Peta: Setan yang selalu lapar dan haus.
  3. Nijjhamatanhika-Peta: Setan yang selalu kepanasan.
  4. Kalakancika-Peta:Setan yang sejenis Asura.
Penjelasan :

Hanya Paradattupajivika-Peta saja yang dapat menerima makanan yang diberikan orang dalam upacara sembahyang serta kiriman jasa dari keluarga. Para Bodhisattva, jika terlahir menjadi setan, akan menjadi Paradattupajivika-Peta, dan tidak akan menjadi setan (peta) yang lain.

PETA 12 (terdapat dalam Kitab Gambhilokapannatti).
  1. Vantasa-Peta: Setan yang makan air ludah, dahak dan muntah.
  2. Kunapasa-Peta : Setan yang makan mayat manusia dan binatang.
  3. Guthakhadaka-Peta: Setan yang makan berbagai kotoran.
  4. Aggijalamukha-Peta : Setan yang dimulutnya selalu ada api.
  5. Sucimuja-Peta : Setan yang mulutnya sekecil lobang jarum.
  6. Tanhattika-Peta: Setan yang dikendalikan oleh napsu keinginan rendah sehingga lapar dan haus.
  7. Sunijjhamaka-Peta : Setan yang berbulu hitam seperti arang.
  8. Suttanga-Peta : Setan yang mempunyai kuku tangan kaki yang panjang dan tajam seperti pisau.
  9. Pabbatanga-Peta: Setan yang bertubuh setinggi gunung.
  10. Ajagaranga-Peta : Setan yang bertubuh seperti ular.
  11. Vemanika-Peta : Setan yang menderita pada waktu siang, dan senang pada waktu malam dalam kahyangan.
  12. Mahidadhika-Peta: Setan yang mempunyai ilmu gaib.
PETA 21 (terdapat dalam Kitab Suci Vinaya dan Lakkhanasanyutta).
  1. Attisankhasika-Peta : Setan yang mempunyai tulang bersambungan, tetapi tidak mempunyai daging.
  2. Mansapesika-Peta : Setan yang mempunyai daging terpecah-pecah, tetapi tidak mempunyai tulang.
  3. Mansapinada-Peta : Setan yang mempunyai daging berkeping-keping.
  4. Nicachaviparisa-Peta : Setan yang tidak mempunyai kulit.
  5. Asiloma-Peta: Setan yang berbulu tajam.
  6. Sattiloma-Peta : Setan yang berbulu seperti tombak.
  7. Usuloma-Peta : Setan yang berbulu panjang seperti anak panah.
  8. Suciloma-Peta: Setan yang berbulu sepertijarum.
  9. Dutiyasuciloma-Peta: Setan yang berbulu seperti jarum kedua (lebih tajam).
  10. Kumabhanda-Peta : Setan yang mempunyai kemaluan sangat besar.
  11. Guthakupanimugga-Peta : Setan yang bergelimangan dengan kotoran.
  12. Guthakhadaka-Peta: Setan yang makan berbagai macam kotoran.
  13. Nicachavitaka-Peta: Setan perempuan yang tidak mempunyai kulit.
  14. Dugagandha-Peta : Setan yang baunya sangat busuk.
  15. Ogilini-Peta: Setan yang badannya seperti bara api.
  16. Asisa-Peta: Setan yang tidak mempunyai kepala.
  17. Bhikkhu-Peta : Setan yang berbadan seperti bhikkhu. .
  18. Bhikkhuni-Peta : Setan yang berbadan seperti bhikkhuni.
  19. Sikkhamana-Peta: Setan yang berbadan seperti Setan yang berbulu seperti pelajar wanita atau calon bhikkhuni.
  20. Samanera-Peta : Setan yang berbadan seperti samanera.
  21. Samaneri-Peta : Setan yang berbadan seperti samaneri. 

Perhitungan Kappa / Kalpa

 

Maha Kappa adalah perhitungan umur dunia/tatasurya
1 Maha Kappa = 4 Asankheyya Kappa
1 Asankheyya Kappa = 20 Antara Kappa
1 Maha Kappa = 80 Antara Kappa
- 1 Antara Kappa -> lamanya proses perubahan batasan umur manusia dari rata2 10 tahun lalu naik hingga rata-rata 84.000 tahun, kemudian turun lagi hingga rata-rata 10 tahun
- 1 Asankheyya Kappa -> lamanya proses siklus 20 kali Antara Kappa
- 1 Maha Kappa -> lamanya proses siklus 4 kali Asankheyya Kappa

Maha Kappa adalah waktu satu masa dunia. Artinya setiap belangsung 1 Maha Kappa, maka dunia akan mengalami kehancuran/kiamat.



Thursday, October 20, 2011

Digha Nikaya


Pembagian khotbah-khotbah panjang disusun dalam tiga vagga atau rangkaian. Dalam koleksi yang sama dalam bahasa Cina ada tiga puluh khotbah, yang dua puluh enam di antaranya telah dipersamakan oleh Anesaki dengan versi Pali. Khotbah-khotbah yang dianggap berasal dari para siswa diberi tanda asterik (*).

SILAKANDHA-VAGGA

(Rangkaian ini berisikan hal mengenai tata susila. Dalam setiap bagiannya dimasukkan tulisan yang dikenal sebagai Sila, daftar berbagai jenis perbuatan susila).
  1. Brahmajala-sutta. “Jala Brahma”. Sang Buddha bersabda bahwa beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau memberikan sebuah daftar berisi enam puluh dua bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi dari guru-guru lain.
  2. Samaññaphala-sutta. “Pahala yang dimiliki oleh setiap pertapa”. Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat Arahat.
  3. Ambattha-sutta. Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.
  4. Sonadanda-sutta. Percakapan dengan Brahmana Sonadanda mengenai sifat-sifat Brahmana sejati.
  5. Kutadanta-sutta. Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.
  6. Mahali-sutta. Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi daripada ini ialah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.
  7. Jaliya-sutta. Perbincangan apakah jiwa sama dengan badan jasmani, suatu persoalan yang tidak diterangkan dan dianggap tidak tepat bagi seorang yang mengikuti latihan sebagai bhikkhu.
  8. Kassapasihanada-sutta. Percakapan dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.
  9. Potthapada-sutta. Perbincangan dengan Potthapada mengenai jiwa; Sang Buddha menolak memberi jawaban karena persoalan ini tidak membawa kepada penerangan dan Nibbana.
  10. *Subha-sutta. Pelajaran tentang cara melatih diri yang diberikan oleh Ananda kepada siswa Subha tidak lama setelah Sang Buddha mangkat.
  11. Kevaddha-sutta. Sang Buddha menolak permintaan seorang bhikkhu untuk mempertunjukkan kegaiban. Beliau hanya menyetujui kegaiban dari ajaran. Cerita tentang seorang bhikkhu yang mengunjungi para dewa untuk mencari jawaban atas suatu masalah dan dipersilahkan menghadap Sang Buddha.
  12. Lohicca-sutta. Percakapan dengan Brahmana Lohicca mengenai kewajiban seorang guru untuk memberi bimbingan.
  13. Tevijja-sutta. Tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.

    MAHA – VAGGA

  14. Mahapadana-sutta. Penjelasan Sang Buddha mengenai enam orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon Bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu, dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Buddha Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.
  15. Mahanidana-sutta. Mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.
  16. Maha-Parinibbana-sutta. Cerita tentang hari-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.
  17. Mahasudassana-sutta. Cerita tentang kehidupan lampau Sang Buddha sebagai Raja Sudassana, dituturkan oleh Sang Buddha menjelang akhir hayatnya.
  18. Janavasabha-sutta. Sambungan khotbah kepada rakyat Nadika, sebagaimana diberikan pada No. 16, di mana Sang Buddha mengulangi cerita yang beliau peroleh dari Yakkha Javanasabba.
  19. Maha-Govinda-sutta. Pañcasikha pemusik dari surga menghadap Sang Buddha dan menceritakan kunjungannya ke surga di mana ia bertemu dengan Brahma Sanamkumara yang mengisahkan cerita Mahagovinda. Pancasikha bertanya kepada Sang Buddha apakah beliau ingat akan cerita ini dan Sang Buddha berkata bahwa beliau sendirilah Mahagovinda itu.
  20. Maha-Samaya-sutta. Khotbah mengenai Pertemuan Agung. Para dewa dari Sukavati mengunjungi Sang Buddha, yang menyebutkan mereka dalam sebuah syair berisi 151 baris.
  21. Sakkapañha-sutta. Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan sepuluh persoalan, dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.
  22. Maha-Satipatthana-sutta. Khotbah mengenai empat macam meditasi (mengenai badan jasmani, rangsangan indria, perasaan, pikiran) disertai penjelasan mengenai Empat Kesunyataan.
  23. *Payasi-sutta. Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di Surga dan melihat keadaannya.

    PATIKA – VAGGA

  24. Patika-sutta. Cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula benda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.
  25. Udumbarikasihanada-sutta. Perbincangan antara Sang Buddha dengan pertapa Nigrodha di Taman Ratu Udumbarika mengenai dua macam cara bertapa.
  26. Cakkavattisihanada-sutta. Cerita tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta ramalan tentang Buddha Metteyya yang akan datang.
  27. Agañña-sutta. Perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.
  28. Sampasadaniya-sutta. Percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Buddha. Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.
  29. Pasadika-sutta. Berita kematian Nataputta (pemimpin Jaina) disampaikan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkhotbah mengenai guru yang sempurna dan guru yang tidak sempurna serta tingkah laku para bhikkhu.
  30. Lakkhana-sutta. Penjelasan mengenai tiga puluh dua tanda Orang Besar (raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi dua puluh bagian; tiap bagian dimulai dengan “Di sini dikatakan”.
  31. Sigalovada-sutta. Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu ialah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, dan lain-lain).
  32. *Atanatiya-sutta. Empat Maha Raja mengunjungi Sang Buddha dan memberikan sebuah mantera (dalam syair) untuk dipakai sebagai perlindungan terhadap roh jahat. Sang Buddha mengulanginya kepada para bhikkhu.
  33. *Sangiti-sutta. Sang Buddha meresmikan sebuah balai pertemuan baru di Pava dan setelah lelah, beliau memerintahkan Sariputta untuk memberi penerangan-penerangan kepada para bhikkhu. Sariputta memberikan suatu daftar ajaran tunggal disusul dengan penjelasan kelompok dua dan seterusnya hingga menjadi kelompok sepuluh.
  34. *Dasuttara-sutta. Sariputta didampingi Sang Buddha memberikan khotbah “Tambahan hingga sepuluh” yang berisi sepuluh pelajaran tunggal, sepuluh pelajaran rangkap dua dan seterusnya hingga menjadi sepuluh rangkap sepuluh.

Suttavibhanga


227 PATIMOKKHA SIKKHAPADA – PERATURAN KE-BHIKKHUAN

(Sumber : Navakovada,
Oleh : HRH The Late Supreme Patriarch Prince Vajirañãnavarorasa,
Alih Bahasa : Bhikkhu Jeto, Penerbit : Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta 1989)
Peraturan-peraturan ke-Bhikkhu-an yang ditentukan oleh Sang Buddha (Sikkhapada) meliputi :
  1. Yang ada didalam Patimokkha.
  2. Yang tidak ada dalam Patimokkha.
Yang ada dalam Patimokkha meliputi:
  1. Empat Parajika.
  2. Tiga belas Sanghadisesa.
  3. Tiga puluh Nissaggiya-pacittiya.
  4. Dua Aniyata.
  5. Sembilan puluh dua Pacittiya.
  6. Empat Patidesaniya.
  7. Tujuh puluh lima Sekhiyavatta.
Tujuh peraturan tersebut di atas meliputi 220 dan ditambah 7 Adhikarana Samatha, semuanya berjumlah 227 peraturan.
EMPAT PARAJIKA.
  1. Seorang Bhikkhu yang melakukan hubungan sex maka ia melakukan Parajika.
  2. Seorang Bhikkhu yang mengambil sesuatu yang belum diberikan oleh yang mempunyai/pemilik dan mempunyai nilai seharga 5 masaka atau lebih, maka ia melakukan Parajika.
  3. Seorang Bhikkhu yang secara sengaja membunuh seorang manusia/ menyebabkan seorang manusia terbunuh, maka ia melakukan Parajika.
  4. Seorang Bhikkhu yang menyombongkan Uttarimanusadhamma (tingkatan perkembangan bathin, yang lebih tinggi daripada tingkat manusia biasa) yang sebenarnya belum dicapainya, melanggar Parajika.
TIGA BELAS MACAM SANGHADISESA.
  1. Seorang Bhikkhu yang secara sengaja menyebabkan dirinya mengeluarkan air mani (rancap), melakukan Sanghadisesa.
  2. Seorang bhikkhu yang terangsang birahinya, mengucapkan kata-kata yang merayu dan tidak sopan di hadapan seorang wanita, melakukan Sanghadisesa.
  3. Seorang Bhikkhu yang terangsang nafsu birahinya menyentuh tubuh seorang wanita, melakukan Sanghadisesa.
  4. Seorang Bhikkhu yang terangsang nafsu birahinya, mengucapkan kata-kata secara menggoda bahwa seorang wanita seharusnya menikmati hubungan kelamin/sex dengan seorang laki-laki, melakukan Sanghadisesa.
  5. Seorang Bhikkhu yang memainkan peranan sebagai tukang mencarikan jodoh yang membuat seorang pria dan seorang wanita menjadi suami istri, melakukan Sanghadisesa.
  6. Jika seorang Bhikkhu sedang mendirikan gubuk, yang dari tanah hat/ campuran semen, dan yang ditempatinya sendiri tanpa ada penghuni lain, harus memenuhi praturan-peraturan tertentu seperti berikut : Panjang gubuk = 12 ukuran segitiga dan lebarnya harus = 7 Sugata, dan letak gubuk tersebut harus mendapat persetujuan dari Sangha akan letaknya. Jika lebih luas dari peraturan tersebut tadi, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
  7. Jika gubuk tadi dibangun dengan seorang dayaka yang menjadi pemiliknya, ukurannya dapat dibuat lebih besar dari peraturan tersebut di atas, tetapi letaknya harus mendapat persetujuan dari Sangha terlebih dahulu. Jika Sangha tidak dimintai persetujuan mengenai letaknya, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
  8. Jika seorang Bhikkhu yang marah dan jengkel secara sengaja menuduh Bhikkhu lain melakukan pelanggaran Parajika apatti, yang tidak berdasarkan atas bukti dan kenyataan, maka ia melakukan Sanghadisesa.
  9. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah dan jengkel secara dengan alasan yang dibuat-buat maupun dengan tipu muslihat, menuduh Bhikkhu lain melakukan pelanggaran Parajika appati, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
  10. Jika seorang Bhikkhu memecah belah Sangha dan menimbulkan pertentangan dalam Sangha walaupun Bhikkhu-bhikkhu lain melarang berbuat demikian, tetapi Bhikkhu tersebut tidak mau mematuhi, maka Sangha harus mengumumkan KAMMA VACA dengan maksud untuk memperingatkan Bhikkhu tersebut, supaya menghentikan sikap-sikapnya itu, bila Bhikkhu tersebut tetap tidak mematuhi, dia melakukan Sanghadisesa.
  11. Jika seorang Bhikkhu mengikuti sikap seorang Bhikkhu yang berusaha memecah belah Sangha tadi (seperti nomor 10) dan walaupun Bhikkhu lain telah melarangnya tapi Bhikkhu itu tak mau mematuhinya, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA, dengan maksud memperingatkannya supaya menghentikan sikap-sikapnya itu, jika ia tetap tidak mau menghentikan sikapnya, maka ia melakukan Sanghadisesa.
  12. Jika seorang Bhikkhu sukar diajar dan dibetulkan sikapnya yang salah dan Bhikkhu-bhikkhu yang lain telah memperingatkannya bahwa seharusnya dia jangan seperti itu tetapi Bhikkhu itu tidak mau mematuhi, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA dengan maksud memperingatkannya supaya menghentikan sikapnya itu, bila Bhikkhu tersebut tetap tidak mau mematuhi maka ia melakukan Sanghadisesa.
  13. Jika seorang Bhikkhu memuji dan menyinggung-nyinggung orang awam dengan maksud untuk menarik keuntungan dari mereka, dan Bhikkhu lain mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan sebaliknya lalu mengkritik mereka, dan walaupun seorang Bhikkhu lain memperingatkannya agar supaya dia tak berbuat demikian, tetapi dia tak mematuhinya, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA dengan maksud untuk memperingatkan Bhikkhu tersebut, jika Bhikkhu tersebut tetap tidak mau mematuhi maka ia melakukan Sanghadisesa.
DUA ANIYATA.
  1. Jika seorang Bhikkhu duduk dengan seorang wanita di suatu tempat yang terpencil (dimana mereka mengira tak dapat terlihat) dan seorang umat biasa yang dapat dipercaya mengatakan Bhikkhu tersebut telah melakukan Parajika, Sanghadisesa atau Pacittiya dan bhikkhu tersebut membenarkan pernyataan tersebut, maka hal tersebut harus diselesaikan sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan menurut golongan pelanggaran peraturan yang telah disebutkan oleh umat awam tadi.
  2. Jika seorang Bhikkhu duduk berdua dengan seorang wanita di suatu tempat yang terpencil (dimana ia mengira tak dapat terlihat) atau tidak memungkinkan orang lain mendengarkan pembicaraannya. Dan seorang umat awam yang dapat dipercaya mengatakan bahwa bhikkhu tersebut telah melakukan Parajika, Sanghadisesa atau Pacittiya dan Bhikkhu itu membenarkan pula pernyataan tersebut maka persoalan ini harus diselesaikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan atau menurut golongan pelanggaran peraturan yang disebutkan di atas/yang disebutkan umat awam tadi.
TIGA PULUH NISAGGIYA PACITTIYA.
Terbagi atas tiga kelompok yang masing-masing terdiri atas 10 peraturan.
KELOMPOK PERTAMA : CIVARAVAGGA – Mengenai Jubah.
  1. Seorang Bhikkhu diperbolehkan menyimpan jubah baru/ekstra paling lama sepuluh hari, jika menyimpan jubah tersebut lebih dari sepuluh hari, maka ia melakukan pelanggaran Nissaggiya Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu terpisahkan dari jubah utamanya selama 1 malam, kecuali telah memperoleh izin dari Sangha, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  3. Jika kain yang dimiliki seorang Bhikkhu untuk membuat sebuah jubah tidaklah cukup, dan jika ia mengharap kain tambahan lagi, dia boleh menyimpan kain yang dimilikinya itu satu bulan lamanya, jika ia menyimpan kain tersebut lebih dari satu bulan, sekalipun ia masih berharap kain tambahan, dia tetap melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu menyuruh seorang Bhikkhuni yang tidak ada hubungan kekeluargaan dengannya untuk mencucikan/mencelup jubahnya, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu menerima jubah dari tangan seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya kecuali atas dasar tukar menukar, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu meminta dan memperoleh sebuah jubah dari umat biasa yang bukan keluarganya ataupun tidak memberikan pavarana dia melakukan Nissagiya Pacittiya.
  7. Pavarana : “Suatu istilah yang digunakan dalam Sangha, yang berarti seorang umat biasa telah menawarkan/mengundang seorang Bhikkhu untuk meminta kepadanya kebutuhan apa saja yang diinginkan kecuali umat biasa memberikan batas tawaran tersebut. Berlaku sebulan seperti yang tertulis dalam peraturan Pacittiya no. 7 di dalam acelaka vagga.
    Bila memperoleh Pavarana seperti ini, seorang Bhikkhu boleh meminta paling banyak satu jubah dalam (antaravasaka) dan sebuah jubah luar (Otarasangha). Jika ia minta/memperoleh lebih banyak dari ketentuan itu, maka ia melakukan Nissagiya Pacittiya.
  8. Jika seorang umat biasa yang bukan keluarga dan belum memberikan Pavarana mengatakan bahwa ia merencanakan memberikan jubah kepada seorang Bhikkhu tertentu, dan setelah Bhikkhu tersebut mengetahui, lalu meminta umat tersebut memberikan jubah yang bagus dan lebih mahal daripada yang direncanakan oleh umat tersebut, dan memberikannya kepada Bhikkhu itu, sehingga Bhikkhu tersebut memperolehnya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  9. Jika beberapa umat biasa, yang bukan sanak keluarga maupun belum memberikan Pavarana dan telah merencanakan memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikkhu dan jika Bhikkhu tersebut mengatakan sesuatu yang menyebabkan mereka bersama-sama pergi membeli jubah untuk diberikan kepada Bhikkhu tersebut, apabila permintan itu dipenuhi, maka Bhikkhu tersebut melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  10. Jika seorang umat mengirim uang dengan maksud untuk membeli jubah bagi seorang Bhikkhu, dan ia ingin mengetahui siapa yang bertugas sebagai pembantu Bhikkhu (Veyyavacca) dan bila Bhikkhu tersebut belum membutuhkan sebuah jubah dia harus menunjuk pembantunya dengan mengatakan: “Orang ini adalah sebagai pembantu Bhikkhu di Vihara ini.” Kemudian umat tersebut memberikan penjelasan kepada pembantu tersebut mengenai tugasnya dan juga memberitahukan kepada Bhikkhu yang bersangkutan, bila membutuhkan jubah baru dapat memintanya kepada pembantu tersebut. Bila Bhikkhu yang bersangkutan telah meminta sebanyak tiga kali dan masih belum juga menerima dari pembantu tersebut walau permintaannya tersebut sampai enam kali, dan setelah meminta lebih dari itu ia lalu baru mendapatkannya, maka ia telah melakukan Nissaggiya Pacittiya.
KELOMPOK KE DUA: KOSIYAVAGGA – Mengenai Kain Sutra.
  1. Jika seorang Bhikkhu menerima sebuah permadani yang terbuat dari bulu domba (wol) yang bercampur dengan kain sutra, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu menerima permadani yang keseluruhannya terbuat dari wol berwarna hitam, maka ia melakukan Nissagiya Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu akan membuat sebuah permadani (kain untuk duduk bersila) yang baru, dia harus mempergunakan sebagian wol putih sebagian wol merah dan dua bagian wol hitam. Dan jika ia mempergunakan lebih dari dua bagian wol hitam, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  4. Seorang Bhikkhu yang telah menerima sebuah permadani baru harus mempergunakannya selama enam tahun, apabila ia memakai permadani tersebut lebih dari enam tahun, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu akan menerima permadani lain yang baru (setelah enam tahun) dia harus mengambil sebagian permadani yang lama dan menggabungkannya pada permadani yang baru dengan maksud untuk mengurangi keindahan permadani yang baru itu, jika ia tidak menjalankannya maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu sedang bepergian dan di pedalaman seorang memberikan kain wol dan ia menginginkannya dan menerimanya, jika tak ada seorangpun yang membawakannya dia boleh membawanya sejauh 3 yojana (15 Km), jika ia membawa sendiri lebih dari 3 yojana maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu menyuruh seorang Bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya, mencuci, mencelup, atau menggosok kain wol, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  8. Jika seorang Bhikkhu menerima uang/emas/perak dengan tangannya sendiri atau menyuruh orang lain menerimanya, atau merasa gembira dengan uang yang disimpannya untuk Bhikkhu tersebut, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu terlibat dalam jual beli dengan mempergunakan uang (apa saja yang dapat dipergunakan dengan uang) maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu mengadakan tukar menukar barang tanpa mempergunakan uang, dengan orang awam, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
KELOMPOK KE TIGA : PATTAVAGGA – Mengenai Mangkok/bowl/Pata.
  1. Sebuah mangkok yang disimpan oleh seorang Bhikkhu, di samping mangkok yang telah ditetapkannya, untuk dipergunakan selama hidup (di adhittana) disebut bowl atau mangkok extra, seorang Bhikkhu dapat menyimpannya selama 10 hari, dan bila ia menyimpannya lebih dari 10 hari, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah mangkok yang telah retak, dan tak perlu diperbaiki lagi dengan keseluruhan retak yang lebarnya kurang dari 10 jari, kemudian dia meminta sebuah mangkok yang baru dari seorang umat biasa yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan belum memberikan Pivarana, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  3. Bila seorang Bhikkhu telah menerima secara langsung dengan tangannya, salah satu dari lima macam obat-obatan …. (ghee) mentega, minyak, madu dan sirup boleh menyimpannya untuk dipergunakan, paling lama 7 hari, jika dia menyimpannya lebih dari 7 hari, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  4. Bila masih ada 1 bulan musim panas, seorang Bhikkhu boleh mencari sebuah jubah untuk mandi yang dipakai untuk musim hujan, dalam jangka waktu setengah bulan musim panas, diperbolehkan untuk mandi atau mempergunakannya. Jika menggunakan sebelum waktunya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu telah memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikkhu lain, kemudian karena merasa marah lalu memintanya kembali/ menyuruh orang lain untuk mengambilnya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu meminta benang tenun dari seorang umat biasa yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan juga tidak memberikan Pavarana kemudian menyuruh memintal benang tenun tersebut menjadi sebuah jubah, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  7. Jika seorang umat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dan juga tidak memberikan Pavarana, menyuruh orang lain memintal sebuah jubah untuk seorang Bhikkhu, dan kemudian Bhikkhu ini mengatakan pada tukang pintal itu bila ia mengerjakannya buatlah yang lebih bagus, dan Bhikkhu akan memberikan hadiah tertentu, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  8. Jika selama sepuluh hari sebelum Pavarana seorang dayaka memberikan sehelai kain untuk Vassa, maka seorang Bhikkhu boleh menerimanya dan menyimpannya, jika ia menyimpannya lebih dari waktu yang disebut ‘waktu jubah’ maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu ingin menjalani musim Vassa di suatu tempat dalam hutan yang terpencil dan ingin menyimpan salah satu dari jubah utamanya di sebuah rumah yang terpisah darl tempat tinggal di mana ia menjalani Vassa itu, dia boleh berbuat demikian paling lama 6 malam dan harus disertai dengan alasan yang cukup. Jika ia menyimpan jubah utamanya di sana lebih dari 6 malam tanpa seizin Sangha, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu menyuruh secara sengaja seorang untuk memberikan hadiah kepadanya yang sebetulnya diperuntukkan bagi Sangha, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
SEMBILAN PULUH DUA PACITTIYA.
Dibagi menjadi (9) kelompok.
KELOMPOK PERTAMA : MUSAVADAVAGGA – Mengenai perkataan yang tidak benar.
  1. Jika seorang Bhikkhu berdusta/berbohong maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu berbicara dengan kata-kata kasar dan tidak sopan kepada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang bhikkhu menjelek-jelekkan bhikkhu yang lain, ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang bhikkhu mengajar Dhamma kepada seorang biasa (yang bukan bhikkhu) dengan mengulangi kata demi kata, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang bhikkhu tidur dengan seorang biasa (yang bukan bhikkhu) di suatu tempat yang ada dinding yang mengelilinginya dan di bawah atap yang sama, selama lebih dari 3 malam, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang bhikkhu tidur di bawah satu atap bersama seorang wanita, sekalipun hanya semalam, ia telah melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada seorang wanita, dan berbicara lebih dari enam kata, dia melakukan Pacittiya. Kecuali ada orang laki-laki yang hadir dan mengikuti apa yang dibicarakan.
  8. Jika seorang bhikkhu berbicara, bahwa ia telah mencapai tingkat-tingkat di atas manusia biasa (Uttarimanusa-dhamma) yang kenyataannya memang demikian kepada seorang biasa (yang bukan bhikkhu) dia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang bhikkhu memberitahukan kepada seorang biasa (bukan bhikkhu) tentang apatti yang berat dari bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang bhikkhu menggali tanah atau menyuruh pada orang lain untuk menggali tanah, maka ia melakukan Pacittiya.
KELOMPOK KE DUA : BHUTAGAMAGGA – Mengenai Tumbuh-tumbuhan.
  1. Jika seorang bhikkhu memetik dari bagian manapun dari suatu tumbuh- tumbuhan hingga lepas dari tempat tumbuh maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang bhikkhu bersikap secara tidak pantas dan sopan, lalu Sangha memanggilnya untuk dimintakan pertanggungan jawab, tapi ia menjawab secara menghindar atau tidak mau menjawab sama sekali, dan Sangha lalu mengumumkan Kammavaca, maka ia melakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang bhikkhu merendahkan seorang bhikkhu yang lain yang telah ditunjuk oleh Sangha untuk menjalankan tugas-tugas Sangha, dan jika bhikkhu tersebut ternyata dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan penghinaannyapun tidak mempunyai dasar, maka ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang bhikkhu mengambil tempat tidur, bangku, kasur, kursi kepunyaan Sangha dan meletakkannya di tempat terbuka dan kemudian dia terus pergi tanpa mengembalikan/dia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertugas mengurus barang-barang tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang bhikkhu mengambil perlengkapan untuk tidur kepunyaan Sangha, dan menempatkannya di sebuah gubuk milik Sangha, kemudian pergi tanpa mengembalikan perlengkapan-perlengkapan tersebut, atau pun dia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertanggung jawab atas peralatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang bhikkhu yang mengetahui bahwa sebuah gubuk telah didiami oleh bhikkhu yang lain yang datang lebih dahulu, lalu secara sengaja berbaring di situ dengan harapan supaya bhikkhu yang lain itu berlalu karena melihat tak ada ruang/tempat lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang bhikkhu merasa tidak senang dan marah kepada bhikkhu yang lain lalu menyeret, mendorong atau mengusirnya keluar dari gubuk milik Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika seorang bhikkhu dengan tidak mengindahkan tubuhnya, (berat tubuhnya) duduk di atas tempat tidur yang kakinya tidak begitu kokoh, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu bermaksud memperoleh tanah liat untuk melapis atap sebuah gubuk, dia harus melapis atap itu setebal tiga lapis saja. Bila ia melapis lebih dari jumlah tersebut di atas, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang bhikkhu mengetahui akan adanya makhluk-makhluk hidup dalam suatu tempat yang bisa diisi air lalu menuangkannya di atas tanah atau rumput, maka ia melakukan Pacittiya.
KELOMPOK KE TIGA : OVADAVAGGA – Kelompok mengenai cara mengajar.
  1. Jika seorang Bhikkhu mengajar para Bhikkhuni tanpa memperoleh izin dari Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Sekalipun memperoleh izin dari Sangha, apabila seorang Bhikkhu mengajar Bhikkhuni setelah matahari terbenam, maka ia melakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu yang pergi mengunjungi tempat tinggal Bhikkhuni, kecuali ada seorang Bhikkhuni yang sakit, maka ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu merendahkan Bhikkhu lain dengan mengatakan bahwa Bhikkhu tersebut mengajar para Bhikkhuni sebab dia mengharapkan hadiah, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu memberikan jubah kepada seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya, kecuali bila atas dasar tukar menukar, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu menjahit Jubah seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya, ataupun menyuruh orang lain untuk menjahit jubah Bhikkhuni tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu meminta seorang Bhikkhuni menemaninya di suatu perjalanan akhir sebuah desa, kecuali bila jalan yang akan ditempuh berbahaya, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika scorang Bhikkhu mengajar seorang Bhikkhuni naik perahu dengannya bepergian ke hulu/hilir sungai, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu makan makanan yang diperoleh seorang Bhikkhuni dengan jalan memaksa umat biasa untuk memberinya, kecuali bila umat biasa tersebut telah berniat untuk memberikan makanan kepada Bhikkhu tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu duduk/berbaring di suatu tempat terpencil dengan seorang wanita, tanpa ada orang lain hadir, maka ia melakukan Pacittiya.
KELOMPOK KE EMPAT : BHOJANAVAGGA – mengenai makanan.
  1. Kecuali jika seorang bhikkhu sedang sakit, dia diperbolehkan makah sekali untuk sehari saja di tempat makan umum di mana makanan disediakan kepada siapa saja tanpa ada keistimewaan.
    Untuk ini dia harus berpantang makan di tempat tersebut, sedikit-dikitnya sehari dan kemudian boleh makan lagi di sana. Jika ia makan di sana selama 2 hari/lebih berturut-turut, maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang Dayaka mengundang seorang bhikkhu untuk makan salah satu dari lima macan makanan, nasi, kue, ikan atau daging, dan jika empat orang Bhikkhu atau lebih pergi menerima undangan itu/memakannya di sana, maka ia melakukan Pacittiya. Terkecuali
    1. sedang sakit,
    2. waktu jubah,
    3. waktu membuat jubah,
    4. sedang menempuh perjalanan jauh,
    5. sedang bepergian dengan kapal,
    6. jika banyak Bhikkhu yang Pindapata, sehingga makanannya tak cukup untuk dimakan.
    7. makanan yang diberikan oleh petapa.
  3. Jika seorang Bhikkhu diundang untuk makan di suatu tempat tertentu tetapi bukannya pergi menerima undangan tersebut, melainkan pergi menerima di tempat lain, maka ia melakukan Pacittiya.
    Kecuali yaitu bila sebelumnya, dia menyampaikan undangan tersebut kepada Bhikkhu lain yang akan pergi sebagai gantinya, atau ia sedang sakit, atau pula bila waktu tersebut merupakan waktu untuk membuat jubah.
  4. Jika seorang Bhikkhu pergi Pindapata ke sebuah rumah dan seorang umat awam memberikan sejumlah besar makanan, dia diperbolehkan menerimanya, hingga tiga mangkok penuh.
    Jika ia menerimanya lebih dari jumlah tersebut, maka ia melakukan Pacittiya. (makanan yang diterimanyapun harus dibagi-bagikan kepada Bhikkhu yang lain).
  5. Jika seorang Bhikkhu telah makan di suatu tempat tertentu dan kemudian masih menerima undangan untuk makan dan ditolaknya, dan kemudian ia pergi dari tempat itu untuk makan di tempat lain yang belum dimakan oleh seorang Bhikkhu yang sakit, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu mengetahui bahwa Bhikkhu yang lain telah menolak undangan makan (karena mematuhi peraturan) yang di atas dan keinginan mencari kesalahan Bhikkhu yang jujur itu, lalu makan yang belum dimakan oleh seorang Bhikkhu yang sakit dan juga mengajak Bhikkhu yang jujur itu untuk ikut makan dan jika ia berhasil dalam usahanya itu, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu makan diluar jangka waktu yang telah ditentukan yaitu dari tengah hari hingga fajar pada keesokan harinya, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika seorang Bhikkhu makan makanan yang telah diberikan kepadanya/ secara langsung diterima dengan tangannya sendiri/Bhikkhu lain, pada hari sebelumnya, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu meminta makanan-makanan dari salah satu makanan berikut ini, nasi, mentega, minyak, madu, air jeruk, ikan, daging, susu sapi, dari seorang umat awam yang tidak mempunyai kekeluargaan/tidak memberikan Pavarana dan jika ia menerima dan memakannya, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu makan makanan dari seorang umat awam, tanpa menyerahkannya secara langsung ke tangannya/kepada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
    Kecuali air murni/air hujan yang belum dimasak serta tusuk gigi.
KELOMPOK KE LIMA : ACELAKAVAGGA – Mengenai petapa telanjang.
  1. Jika seorang Bhikkhu memberikan makan kepada orang lain dengan tangannya sendiri, sedang orang itu ditabiskan dalam agama yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu mengajak Bhikkhu lain pergi Pindapata dengannya, karena keinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak pantas lalu mengusir Bhikkhu lain itu, maka ia rnelakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu duduk bersama (bercampur) dengan keluarga yang sedang makan, maka ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu duduk bercakap-cakap dengan seorang wanita di suatu tempat/ruangan tanpa ada seorang laki-laki yang hadir, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu duduk di suatu tempat terbuka dengan seorang wanita dan hanya mereka berdua, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu telah menerima undangan untuk makan di suatu tempat dan mau pergi ke tempat yang lain, baik sebelum/sesudahnya makan di tempat tersebut, dia harus memberitahukan kepada bhikkhu lain yang bertugas dalam hal ini dimana ia bertinggal, jika ia tidak memberitahukan, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang awam memberikan Pavarana mengenai empat macam kebutuhan, seorang Bhikkhu diperbolehkan meminta kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam jangka waktu empat bulan terhitung dari saat tawaran tersebut diumumkan, jika ia minta barang-barang kebutuhan tersebut setelah empat bulan berlalu, kecuali bila tawarannya diperpanjang untuk seumur hidup, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika seorang Bhikkhu melihat sepasukan tentara yang berbaris menyiapkan diri untuk berperang, kecuali bila ada alasan yang kuat, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Seandainya ada alasan kuat yang mendesaknya untuk pergi tinggal bersama tentara, ia diperbolehkan tinggal selama tiga hari, lebih dari itu ia melakukan Pacittiya.
  10. Selagi tinggal bersama tentara bila ia pergi melihat pertempuran, melihat mereka berlatih, melihat mereka untuk berperang/melihat tentara berbaris dan bersiap-siap untuk berperang, maka ia melakukan Pacittiya.
KELOMPOK KE ENAM : SURAPANAVAGGA – mengenai minuman keras.
  1. Jika seorang Bhikkhu minum minuman keras yang memabukkan, maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu mengkritik Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu berenang di air untuk bersenang-senang, maka ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu menunjukkan sifat/memperlihatkan keras kepala akan pelaksanaan Vinaya, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu menakut-nakuti bhikkhu yang lain, membuatnya takut pada hantu, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu tidak menderita sesuatu demam menyalakan api dan menyuruh orang lain untuk menyalakan api untuk maksud menghangatkan tubuhnya, maka ia melakukan Pacittiya. Jika menyalakan api baik tidak merupakan pelanggaran.
  7. Jika seorang Bhikkhu tinggal di Majjhima desa (tempat yang terletak di propinsi tengah di India yang sulit airnya) dia diperbolehkan mandi setiap lima belas hari saja. Jika ia mandi lebih dari jangka waktu tersebut, kecuali dalam soal-soal yang penting/mendesak, maka ia melakukan Pacittiya. Di negara-negara lain diperbolehkan mandi tanpa ada pelanggaran.
  8. Jika seorang Bhikkhu baru saja memperoleh kain jubah yang baru, dia harus memberi tanda pada kain tersebut dari salah satu 3 warna yang diizinkan sebelum memakai kain yang berwarna yang diperbolehkan meliputi : biru, coklat tua atau warna lumpur. Jika tidak memberikan tanda sebelum mempergunakan maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu menggabungkan sebuah jubah/yang lebih dari ketentuan dengan Samanera yang lain/Bhikkhu, lalu memakainya tanpa setahu kawan/yang menggabungkan tersebut/tanpa memberikan izin memakainya, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu menyembunyikan salah satu milik Bhikkhu yang lain, berupa mangkok, jubah, kain untuk duduk, jarum, ikat pinggang sekalipun untuk bermain-main, maka ia melakukan Pacittiya.
KELOMPOK KE TUJUH : SAPPANAVAGGA – Mengenai makhluk-makhluk Hidup.
  1. Jika seorang Bhikkhu membunuh dengan sengaja makhluk hidup apapun, maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu mengetahui ada makhluk-makhluk hidup di dalam air, tetap mempergunakan air itu, dalam mangkuk/gelas, maka ia melakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu telah mengetahui bahwa sesuatu pasal yang sah dalam Sangha telah diselesaikan dan dirundingkan dengan teliti lalu membicarakannya lagi untuk dirundingkan kembali, maka ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu mengetahui akan suatu apatti yang berat bagi seorang bhikkhu yang lain, dan lalu menyembunyikannya, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu secara sadar bertindak sebagai seorang Upajjhaya di dalam suatu Upasampada dari seorang pemuda yang belum berusia dua puluh tahun, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu secara sadar mengajak seorang pedagang yang menghindari pemungutan bea dan cukai/seperti penyelundup untuk menempuh suatu perjalanan bersama sekalipun hanya sejauh sejarak desa kecil, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu membujuk seorang wanita untuk menempuh suatu perjalanan, dengan bersama-sama sekalipun hanya sejauh sejarak desa kecil, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan sesuatu khotbah dari Sang Buddha, dan kemudian Bhikkhu-Bhikkhu yang lain melarangnya berbuat demikian, tetapi dia tetap tidak mau mempedulikannya, dan jika Sangha mengumumkan Kammavaca sebanyak 3X, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu bergaul rapat dengan Bhikkhu semacam itu/ nomor 8, yang berarti mereka makan sama-sama menjalankan Uposatham Sanghakamma sama, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu bergaul rapat dengan seorang Samanera yang telah dicela oleh Bhikkhu lain karena Samanera tersebut telah membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan Dhammadesana Sang Buddha, maka ia melakukan Pacittiya. (bergaul secara rapat di sini berarti Sang Bhikkhu menyuruh Samanera semua tugas-tugasnya/Upathaka = makan bersama ataupun tidur bersama, maka ia melakukan Pacittiya).
KELOMPOK KE DELAPAN : SAHADHAMMIKAVAGGA – Mengenai hal yang sesuai dengan Dhamma
  1. Jika seorang Bhikkhu mempunyai tingkah laku yang salah dan seorang Bhikkhu lain mengingatkannya tetapi ia tak mau menerima peringatan dengan menunda-nunda, dengan mengatakan bahwa ia harus lebih dahulu menanya seseorang lain yang ahli dalam Vinaya sebelum dia menerima peringatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
    Biasanya seorang bhikkhu yang masih di bawah bimbingan, bila menemukan sesuatu yang tidak diketahui, padahal harus diketahuinya, dia harus segera menanyakan hal tersebut kepada Bhikkhu yang lain yang ahli Vinaya.
  2. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang terlalu berat dan tidak ada gunanya peraturan-peraturan yang dalam Patimokha pada saat Bhikkhu lain sedang membacakan peraturan-peraturan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu terbukti melakukan apatti; tetapi pada saat membacakan Patimokha pura-pura berkata: “baru sekarang ini saya mengetahui apa bila ada peraturan sedemikian itu dalam Patimokha” dan jika Bhikkhu yang lain mengetahui peraturan tersebut, maka ia segera mengumumkan ini, ternyata ia masih pura-pura tidak tahu lagi, maka ia melakukan Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah, lalu memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu yang merasa seolah-olah mau memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu tidak berdasarkan bukti yang kuat menuduh seorang Bhikkhu lain melakukan Sanghadisesa, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu dengan sengaja menimbulkan kekuatiran/kecemasan pada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika sekelompok Bhikkhu sedang bertengkar, lalu seorang Bhikkhu pergi mendengarnya dengan diam-diam apa yang sedang mereka perdebatkan dengan maksud untuk mengetahui apa yang mereka katakan, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu telah menyetujui dan bersedia memegang peranan dalam suatu pengumuman resmi Sangha yang sesuai dengan Dhamma, tapi kemudian berbalik dan malahan mengkritik dan mencela Sangha yang menginginkan pengumuman resmi tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Bila Sangha mengadakan pertemuan membicarakan suatu pokok persoalan dan jika seorang Bhikkhu yang hadir dalam pertemuan tersebut meninggalkan pertemuan sebelum pokok persoalan itu diselesaikan, atau pula tanpa memberikan pendapat (suaranya) sebelum meninggalkan pertemuan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
  11. Jika seorang Bhikkhu bersama-sama Bhikkhu yang lain, membentuk suatu kelompok yang menyetujui akan memberikan sebuah jubah sebagai hadiah Bhikkhu yang lain dan kemudian berbalik mencela dan mengkritik Bhikkhu-bhikkhu lain dalam kelompok itu dengan mengatakan: “mereka memberikan jubah dengan suatu maksud”, maka ia melakukan suatu Pacittiya.
  12. Jika seorang Bhikkhu sengaja mengatur pemberian hadiah kepada seorang yang lain, sedang dayaka tersebut akan memberikan hadiah itu untuk Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
KELOMPOK KE SEMBILAN: RATANAVAGGA – Mengenai kekayaan.
  1. Jika seorang Bhikkhu tanpa terlebih dahulu mendapat izin memasuki suatu ruangan dimana seorang Raja dan para pengiringnya berada di dalamnya, maka ia melakukan Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu melihat barang-barang kepunyaan seorang umat awam yang tercecer di atas tanah lalu mengambilnya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri ataupun dia menyuruh orang lain untuk memungutnya, maka ia melakukan Pacittiya.
    Kecuali bila barang tersebut jatuh di dalam lingkungan Vihara atau di tempat dia tinggal, dia harus memungut dan menyimpan untuk dikembalikan kepada si pemiliknya. Bila ia tidak menyimpannya dan membiarkan barang tersebut di situ, maka ia melakukan Dukkata.
  3. Jika seorang Bhikkhu tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada Bhikkhu yang lain yang tinggal di vihara atau di tempat yang sama, pergi ke suatu tempat dimana ada umat awam tinggal, maka ia melakukan Pacittiya. Kecuali ada urusan yang tiba-tiba dan sangat mendesak hingga ia harus pergi dengan segera.
  4. Jika seorang Bhikkhu membuat sendiri/meminta dibuatkan sebuah tempat penyimpanan jarum yang terbuat dari tulang, gading/tanduk binatang lainnya, maka ia melakukan Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu ingin mempergunakan sebuah tempat tidur/bangku harus diperhatikan bahwa tingginya tidak boleh lebih dari delapan sugata (sembilan inci)/22 ½ cm, jika tinggi kakinya melebihi ini maka ia melakukan Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah tempat tidur atau bangku yang dilapisi kapuk, maka ia melakukan Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu membuat kain tempat duduk/nisidana harus diperhatikan bahwa ukurannya adalah sebagai berikut : panjang dua sugata, lebar 1 ½ sugata dan mempunyai sisi sebagai batasnya satu sugata. Jika ukurannya melebihi ukuran yang telah ditentukan, maka ia melakukan Pacittiya.
  8. Jika seorang Bhikkhu membuat kain untuk menutupi luka, harus diperhatikan bahwa ukurannya sebagai berikut : panjang empat sugata, lebar dua sugata, jika dibuat lebih dari yang telah ditentukan, maka ia melakukan Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu membuat kain untuk mandi selama musim vassa/ hujan harus diperhatikan bahwa ukurannya sebagai berikut : panjang enam sugata, lebar dua setengah sugata. Jika ia membuat yang melebihi ukuran yang telah ditentukan maka ia melakukan Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu membuat jubah yang lebih besar dari ukuran yang telah ditentukan, maka ia telah melakukan Pacittiya. Ukuran panjang sebenarnya sembilan sugata dan lebar enam sugata.
EMPAT PATIDESANIYA.
  1. Jika seorang Bhikkhu menerima makanan dengan secara langsung dengan tangannya sendiri dari seorang Bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya, maka ia melakukan Patidesaniya.
  2. Jika sekelompok Bhikkhu sedang makan makanan di suatu tempat di mana mereka diundang, kemudian seorang Bhikkhuni muncul dan memerintahkan memindahkan makanan itu dari tempat ke tempat lain, maka ia harus memerintahkan pada Bhikkhuni tersebut untuk menghentikan tindakan itu. Bila mereka tak melakukan hal ini, maka ia melakukan Patidesaniya.
  3. Jika seorang Bhikkhu yang tidak sakit dan juga tidak diundang menerima makanan dari satu keluarga yang dianggap oleh Sangha sebagai SEKHA (telah mencapai tingkat kesucian tertentu)/ariya, tapi masih di bawah latihan dan makan makanan yang diberikan, maka ia melakukan Patidesaniya.
  4. Jika seorang Bhikkhu tinggal di suatu hutan lebat dan ia tidak sakit dan ia tak menerima makanan dengan tangannya sendiri dari seseorang pembantunya dan memakannya tanpa memberitahukan dahulu bahwa ia akan datang dan tanpa terlebih dahulu si pembantu tersebut, mengetahui keadaan tempatnya, maka ia melakukan Patidesaniya.
75 SEKHIYA VATTA – peraturan untuk melatih diri.
Latihan yang harus dilaksanakan oleh para Bhikkhu untuk melatih diri disebut Sekhiya – vatta.
Sekhiya vatta ini terdiri dari 4 kelompok.
Kelompok pertama disebut Saruppa – mengenai sikap tingkah laku yang tepat.
Kelompok kedua disebut Bhojanapatisamyuta – mengenai makanan.
Kelompok ketiga disebut Dhammadesana-patisamyuta – mengenai cara mengajarkan Dhamma.
Kelompok keempat disebut Pakinnaka – mengenai berbagai peraturan.
KELOMPOK PERTAMA : SARUPPA – mengenai sikap tingkah laku yang tepat.
  1. Saya akan mengenakan jubah dalam secara rapih.
  2. Saya akan mengenakan jubah luar secara rapih.
  3. Saya menutupi jubah saya dengan rapi, bila pergi ke tempat masyarakat umum.
  4. Saya menutupi tubuh saya dengan rapi, bila duduk, di tempat masyarakat umum.
  5. Saya mengendalikan segala gerakan-gerakan tubuh saya dengan hati-hati sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
  6. Saya mengendalikan segala gerakan tubuh saya sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  7. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
  8. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  9. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas sewaktu pergi ke tempat suatu masyarakat umum.
  10. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas, sewaktu duduk di tempat suatu masyarakat umum.
  11. Saya takkan tertawa dengan keras, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
  12. Saya tak tertawa dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  13. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu pergi ke tempat umum.
  14. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  15. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu pergi ke tempat umum.
  16. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu duduk di tempat umum.
  17. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan sewaktu ke tempat masyarakat umum.
  18. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  19. Saya takkan menggoyang-goyangkan kepala, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
  20. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk bersama di tempat umum.
  21. Saya tak bertolak pinggang, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  22. Saya takkan bertolak pinggang, sewaktu ke tempat umum.
  23. Saya takkan menutupi kepala saya dengan kain, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
  24. Saya takkan menutupi kepala saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  25. Saya takkan berjalan berjingkat-jingkat sewaktu berjalan di tempat masyarakat umum.
  26. Saya takkan memeluk lutut sewaktu duduk bersama masyarakat umum.
KELOMPOK KEDUA : BH0JANAPATISAMYUTA – mengenai peraturan.
  1. Saya akan menerima makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
  2. Pada waktu menerima makanan pindapatta, saya akan melihat ke arah mangkok pindapata saja.
  3. Saya akan menerima lauk pauk dalam jumlah yang sesuai dengan nasi yang saya terima.
  4. Saya akan menerima makanan sesuai dengan mangkok saya/tidak berlebih-lebihan sehingga tumpah.
  5. Saya akan makan makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
  6. Saya akan melihat mangkok saya sendiri sewaktu makan.
  7. Saya akan makan makanan pindapata dengan merata.
  8. Saya akan makan lauk pauk berimbang dengan nasi.
  9. Saya takkan mengambil makanan/nasi dari atas ke bawah.
  10. Saya takkan menyembunyikan lauk pauk di bawah nasi dengan maksud untuk mendapat lebih banyak.
  11. Saya takkan meminta nasi atau lauk pauk untuk kepentingan diri sendiri kecuali sedang sakit.
  12. Saya tidak akan melihat dengan iri hati pada mangkuk orang lain.
  13. Saya takkan membuat sebuah suapan yang besar.
  14. Saya akan membuat sebuah suapan yang bulat.
  15. Saya takkan membuka mulut saya sebelum suapan makanan dekat sekali dengan mulut.
  16. Saya takkan memasuki jari tangan saya ke dalam mulut sewaktu menyuap makanan.
  17. Saya takkan bicara dengan mulut penuh makanan.
  18. Saya takkan makan dengan melemparkan makanan ke dalam mulut.
  19. Saya takkan makan dengan menggigit-gigit bongkahan nasi.
  20. Saya takkan makan dengan menggembungkan pipi.
  21. Saya takkan menggoyang-goyangkan tangan pada saat sedang makan.
  22. Saya takkan menjatuhkan/menghambur-hamburkan butir-butir nasi di waktu makan.
  23. Saya takkan menjulurkan lidah selagi makan.
  24. Saya takkan menimbulkan bunyi kecap selama sedang makan.
  25. Saya takkan makan dengan menimbulkan bunyi seolah-olah mengisap (karena berkuah).
  26. Saya takkan menjilat tangan sewaktu makan.
  27. Saya takkan mengeruk dasar mangkok dengan jari-jari tangan, untuk menimbulkan kesan sudah hampir habis makan.
  28. Saya takkan menjilat bibir sewaktu makan.
  29. Saya takkan membuang air pencuci mangkok, yang berisi butir nasi di daerah yang ada penduduknya.
  30. Saya takkan menerima mangkok dari barang pecah belah/yang berisi minuman selagi tangan kotor dengan makanan.
KELOMPOK KETIGA: DHAMMADESANAPATISAMYUTA – mengenai cara mengajarkan Dhamma.
Seorang Bhikkhu harus melatih diri mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut :
Saya takkan mengajarkan Dhamma kepada, orang yang tak sakit, tatkala :
  1. Memegang sebuah payung di tangannya.
  2. Memegang sebuah tongkat/pemukul di tangannya.
  3. Memegang pisau/senjata tajam di tangannya.
  4. Memegang sebuah senjata/apapun di tangannya.
  5. Memegang sandal di kakinya.
  6. Memegang/memakai sepatu di kakinya.
  7. Berada di atas sebuah kendaraan yang sempit sekali.
  8. Berbaring di atas tempat tidur.
  9. Duduk dengan memeluk lutut.
  10. Memakai penutup/ikat kepala/turban.
  11. Kepalanya terbungkus.
  12. Duduk di atas kursi sedang saya duduk di atas tanah.
  13. Duduk di atas tempat duduk yang tinggi sedang saya duduk di tempat yang rendah.
  14. Sedang bejalan di depan sedangkan saya berjalan di belakang.
  15. Sedang duduk sedang saya berdiri.
  16. Sedang berjalan di jalan, sedangkan saya berjalan di luar/di tepi jalan.
KELOMPOK KEEMPAT: PAKINNAKA – aneka macam peraturan.
Seorang Bhikkhu harus melatih diri, sebagai berikut :
Jika saya tidak sakit,
  1. Saya tidak akan membuang air besar/air kecil sambil berdiri.
  2. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau pun meludah pada tumbuh-tumbuhan.
  3. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau meludah di dalam/ di luar air.
7 ADHIKARANA SAMATHA
Adhikarana Samatha adalah sidang Sangha yang harus dihadiri sekurang-kurangnya oleh 20 orang Bhikkhu, untuk mengadili/memutuskan kesalahan/ pelanggaran yang telah dilakukan oleh seorang Bhikkhu, atau dengan pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha.
  1. Penyelesaian Adhikarana tersebut di atas di hadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma.
  2. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bahwa seseorang yang telah mencapai Arahat, adalah orang yang penuh kesadaran, agar tak seorang pun menuduhnya melakukan Apatti.
  3. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bagi seorang Bhikkhu yang sudah sembuh dari sakit jiwa agar tidak seorang pun menuduhnya melakukan Apatti yang mungkin ia lakukan ketika ia masih sakit jiwa.
  4. Penyelesaian suatu Apatti sesuai dengan pengakuan yang diberikan oleh si tertuduh yang mengakui secara jujur apa yang telah dilakukannya.
  5. Keputusan dibuat sesuai dengan suara terbanyak.
  6. Pemberian hukuman kepada orang yang melakukan kesalahan.
  7. Pelaksanaan perdamaian antara dua pihak yang berselisih tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan tentang perselisihan itu.
source : samaggi-phala.co.id

Vinaya Pitaka

Aturan-aturan disiplin yang disusun dalam dua himpunan berdiri sendiri, yang kemudian mendapat penambahan.

I. Suttavibhanga.
Penggolongan pelanggaran dalam delapan kelompok dimulai dengan empat aturan parajika mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dapat menyebabkan seorang bhikkhu dikeluarkan dari Sangha. Pelanggaran-pelanggaran ini meliputi pelanggaran seks, pencurian, pembunuhan dan pembujukan untuk membunuh diri, kesombongan palsu akan kemampuan gaib diri sendiri.
Aturan-aturan ini berjumlah 227. Seluruhnya sama dengan peraturan-peraturan Patimokkha yang diucapkan pada pertemuan Uposatha dari Sangha. Bagian ini dilanjutkan dengan Bhikkhuni-suttavibhanga, suatu rangkaian aturan untuk para bhikkhuni.

II Khandhaka-khandhaka, yang disusun dalam dua seri.
1. Mahavagga
  1. Khandhaka-khandhaka, yang disusun dalam dua seri.
  2. Aturan-aturan untuk memasuki Sangha.
  3. Pertemuan Uposatha dan pengucapan Patimokkha.
  4. Tempat tinggal selama musim hujan (vassa).
  5. Upacara penutupan musim hujan (Pavarana).
  6. Aturan untuk menggunakan pakaian dan perabot hidup.
  7. Upacara Kathina, pembagian jubah tahunan.
  8. Bahan jubah, aturan tidur dan aturan bagi bhikkhu yang sedang sakit.
  9. Cara menjalankan keputusan oleh Sangha.
  10. Cara menyelesaikan perselisihan dalam Sangha.
2. Cullavagga
  1. Aturan-aturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran yang dihadapkan kepada Sangha.
  2. Penerimaan kembali seorang bhikkhu.
  3. Aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.
  4. Berbagai aturan untuk mandi, berpakaian, dan lain-lain.
  5. Tempat tinggal, perabot, penginapan-penginapan.
  6. Perpecahan.
  7. Perlakuan pada berbagai golongan bhikkhu dan kewajiban para guru dan samanera.
  8. Pengucilan dari Patimokkha.
  9. Pentahbisan dan petunjuk bagi para bhikkhuni.
  10. Sejarah Sidang Agung pertama di Rajagaha.
  11. Sejarah Sidang Agung kedua di Vesali.
lll Parivara.
Ringkasan dan penggolongan aturan-aturan. Aturan-aturan dalam Suttavibhanga dan Khandhaka-khandhaka disertai cerita mengenai terjadinya aturan ini. Beberapa di antaranya benar-benar formal, yang semata-mata menunjukkan bahwa bhikkhu atau sekelompok bhikkhu telah melakukan pelanggaran atau mengikuti kebiasaan tertentu yang karenanya Sang Buddha menetapkan suatu keputusan. Akan tetapi, cerita-cerita nyata dimasukkan teristimewa dalam Mahavagga dan Cullavagga, serta khotbah-khotbah dari Nikaya-nikaya.
Aturan-aturan penerimaan dalam Sangha didahului oleh cerita mengenai kejadian setelah mencapai penerangan, awal pembabaran Dhamma dan penerimaan siswa-siswa pertama. Cerita mengenai Rahula diberikan sehubungan dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk penerimaan, dan aturan-aturan mengenai perpecahan adalah cerita tentang komplotan Devadatta.

Wednesday, October 19, 2011

Digha Nikaya

 


Pembagian khotbah-khotbah panjang disusun dalam tiga vagga atau rangkaian. Dalam koleksi yang sama dalam bahasa Cina ada tiga puluh khotbah, yang dua puluh enam di antaranya telah dipersamakan oleh Anesaki dengan versi Pali. Khotbah-khotbah yang dianggap berasal dari para siswa diberi tanda asterik (*).

SILAKANDHA-VAGGA

(Rangkaian ini berisikan hal mengenai tata susila. Dalam setiap bagiannya dimasukkan tulisan yang dikenal sebagai Sila, daftar berbagai jenis perbuatan susila).

Brahmajala-sutta. “Jala Brahma”. Sang Buddha bersabda bahwa beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau memberikan sebuah daftar berisi enam puluh dua bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi dari guru-guru lain.
Samaññaphala-sutta. “Pahala yang dimiliki oleh setiap pertapa”. Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat Arahat.
Ambattha-sutta. Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.
Sonadanda-sutta. Percakapan dengan Brahmana Sonadanda mengenai sifat-sifat Brahmana sejati.
Kutadanta-sutta. Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.
Mahali-sutta. Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi daripada ini ialah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.
Jaliya-sutta. Perbincangan apakah jiwa sama dengan badan jasmani, suatu persoalan yang tidak diterangkan dan dianggap tidak tepat bagi seorang yang mengikuti latihan sebagai bhikkhu.
Kassapasihanada-sutta. Percakapan dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.
Potthapada-sutta. Perbincangan dengan Potthapada mengenai jiwa; Sang Buddha menolak memberi jawaban karena persoalan ini tidak membawa kepada penerangan dan Nibbana.
*Subha-sutta. Pelajaran tentang cara melatih diri yang diberikan oleh Ananda kepada siswa Subha tidak lama setelah Sang Buddha mangkat.
Kevaddha-sutta. Sang Buddha menolak permintaan seorang bhikkhu untuk mempertunjukkan kegaiban. Beliau hanya menyetujui kegaiban dari ajaran. Cerita tentang seorang bhikkhu yang mengunjungi para dewa untuk mencari jawaban atas suatu masalah dan dipersilahkan menghadap Sang Buddha.
Lohicca-sutta. Percakapan dengan Brahmana Lohicca mengenai kewajiban seorang guru untuk memberi bimbingan.
Tevijja-sutta. Tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.

MAHA – VAGGA

Mahapadana-sutta. Penjelasan Sang Buddha mengenai enam orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon Bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu, dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Buddha Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.
Mahanidana-sutta. Mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.
Maha-Parinibbana-sutta. Cerita tentang hari-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.
Mahasudassana-sutta. Cerita tentang kehidupan lampau Sang Buddha sebagai Raja Sudassana, dituturkan oleh Sang Buddha menjelang akhir hayatnya.
Janavasabha-sutta. Sambungan khotbah kepada rakyat Nadika, sebagaimana diberikan pada No. 16, di mana Sang Buddha mengulangi cerita yang beliau peroleh dari Yakkha Javanasabba.
Maha-Govinda-sutta. Pañcasikha pemusik dari surga menghadap Sang Buddha dan menceritakan kunjungannya ke surga di mana ia bertemu dengan Brahma Sanamkumara yang mengisahkan cerita Mahagovinda. Pancasikha bertanya kepada Sang Buddha apakah beliau ingat akan cerita ini dan Sang Buddha berkata bahwa beliau sendirilah Mahagovinda itu.
Maha-Samaya-sutta. Khotbah mengenai Pertemuan Agung. Para dewa dari Sukavati mengunjungi Sang Buddha, yang menyebutkan mereka dalam sebuah syair berisi 151 baris.
Sakkapañha-sutta. Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan sepuluh persoalan, dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.
Maha-Satipatthana-sutta. Khotbah mengenai empat macam meditasi (mengenai badan jasmani, rangsangan indria, perasaan, pikiran) disertai penjelasan mengenai Empat Kesunyataan.
*Payasi-sutta. Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di Surga dan melihat keadaannya.

PATIKA – VAGGA

Patika-sutta. Cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula benda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.
Udumbarikasihanada-sutta. Perbincangan antara Sang Buddha dengan pertapa Nigrodha di Taman Ratu Udumbarika mengenai dua macam cara bertapa.
Cakkavattisihanada-sutta. Cerita tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta ramalan tentang Buddha Metteyya yang akan datang.
Agañña-sutta. Perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.
Sampasadaniya-sutta. Percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Buddha. Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.
Pasadika-sutta. Berita kematian Nataputta (pemimpin Jaina) disampaikan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkhotbah mengenai guru yang sempurna dan guru yang tidak sempurna serta tingkah laku para bhikkhu.
Lakkhana-sutta. Penjelasan mengenai tiga puluh dua tanda Orang Besar (raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi dua puluh bagian; tiap bagian dimulai dengan “Di sini dikatakan”.
Sigalovada-sutta. Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu ialah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, dan lain-lain).
*Atanatiya-sutta. Empat Maha Raja mengunjungi Sang Buddha dan memberikan sebuah mantera (dalam syair) untuk dipakai sebagai perlindungan terhadap roh jahat. Sang Buddha mengulanginya kepada para bhikkhu.
*Sangiti-sutta. Sang Buddha meresmikan sebuah balai pertemuan baru di Pava dan setelah lelah, beliau memerintahkan Sariputta untuk memberi penerangan-penerangan kepada para bhikkhu. Sariputta memberikan suatu daftar ajaran tunggal disusul dengan penjelasan kelompok dua dan seterusnya hingga menjadi kelompok sepuluh.
*Dasuttara-sutta. Sariputta didampingi Sang Buddha memberikan khotbah “Tambahan hingga sepuluh” yang berisi sepuluh pelajaran tunggal, sepuluh pelajaran rangkap dua dan seterusnya hingga menjadi sepuluh rangkap sepuluh.

source : samaggi-phala.or.id