Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Karaniya Metta Sutta

Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan. Untuk mencapai Keadaan Ketenangan Ia harus mampu jujur, sungguh jujur Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong

Karaniya Metta Sutta

Merasa puas, mudah disokong, Tiada sibuk, sederhana hidupnya, Tenang inderanya, berhati-hati, Tahu malu, tak melekat pada keluarga

Karaniya Metta Sutta

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para Bijaksana Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram, Semoga semua makhluk berbahagia

Karaniya Metta Sutta

Makhluk hidup apapun juga, Yang lemah atau kuat, tanpa kecuali, Yang panjang atau besar, Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk

Karaniya Metta Sutta

Jangan menipu orang lain, Atau menghina siapa saja, Jangan karena marah dan benci, Mengharap orang lain celaka

Sunday, November 20, 2011

Meditasi Vipassana

Setiap orang mencari kedamaian dan keharmonisan, karena inilah yang kurang dalam kehidupan kita. Dari waktu ke waktu kita semua mengalami gejolak, gangguan, ketidakharmonisan, penderitaan; dan ketika seseorang menderita karena bergejolak, seseorang tidaklah menyimpan gejolak ini untuk seorang diri saja. Ia juga akan membagikannya ke orang lain. Gejolak akan menyelimuti atmosfir di sekeliling orang yang menyedihkan tersebut. Setiap orang yang berhubungan dengannya juga menjadi terganggu dan bermasalah. Ini pastilah bukan jalan yang tepat untuk hidup. Seseorang seharusnya hidup dalam damai dengan dirinya sediri, dan dengan orang lain. Lagipula, manusia adalah makhluk sosial. Ia perlu hidup dalam masyarakat -- untuk hidup dan berhubungan dengan yang lain. Bagaimanakah kita hidup dengan penuh kedamaian? Bagaimanakah kita tetap harmonis dengan diri kita sendiri dan memelihara kedamaian dan keharmonisan di sekeliling kita, sehingga yang lain juga hidup dalam kedamaian dan penuh dengan keharmonisan? Seseorang bermasalah. Untuk keluar dari permasalahan, seseorang harus mengetahui alasan dasarnya, penyebab dari penderitaan. Jika seseorang menyelidiki permasalahan, akan menjadi jelas bahwa kapan pun seseorang mulai membangkitkan kenegatifan atau kekotoran apapun dalam pikiran, seseorang menjadi bermasalah. Kenegatifan dalam pikiran, kekotoran atau ketidakmurnian batin tidak dapat eksis bersamaan dengan kedamaian dan keharmonisan. Bagaimanakah seseorang mulai membangkitkan hal-hal yang negatif? Sekali lagi, dengan penyelidikan, hal ini akan menjadi jelas. Saya menjadi sangat tidak bahagia ketika saya menemukan seseorang yang bersikap dengan cara yang tidak saya sukai, ketika saya bertemu dengan peristiwa yang tidak saya sukai. Hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan saya menciptakan tekanan dalam diri saya sendiri. Hal-hal yang diinginkan tidak terjadi, beberapa rintangan datang dalam perjalanan, dan lagi saya menciptakan tekanan dalam diri saya sendiri, saya mulai mengikat jerat dalam diri saya. Dan seluruh hidup saya, hal-hal yang tidak diinginkan tetap terjadi, hal-hal yang diinginkan bisa atau pun tidak bisa terjadi, dan proses atau reaksi mengikat jerat – jerat Gordius -- membuat seluruh struktur batin dan fisik begitu tegang, begitu penuh akan hal-hal negatif, segingga hidup menjadi menyedihkan. Sekarang sebuah cara untuk memecahkan masalah adalah dengan mengubah sehingga tak ada satu pun hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dalam hidup saya dan segalanya tetap terjadi persis seperti yang saya kehendaki. Saya harus mengembangkan sebuah kekuatan, atau orang lain harus memiliki kekuatan dan harus datang untuk membantu ketika saya memintanya, sehingga segala hal yang tidak diinginkan tidak terjadi dan segala yang saya inginkan terjadi. Tetapi hal ini tidak mungkin. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang keinginannya selalu terpenuhi, yang dalam hidupnya segalanya terjadi sesuai dengan keinginannya, tanpa terjadi adanya hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi pertanyaan yang muncul, bagaimanakah agar saya tidak bereaksi secara membabi buta dalam menghadapi segala hal yang tidak saya sukai? Bagaimanakah agar tidak tercipta suatu ketegangan? Bagaimanakah agar tetap penuh damai dan harmonis? Di India seperti halnya di negara-negara lain, para orang suci bijaksana pada masa lampau telah mempelajari masalah ini -- masalah dari penderitaan manusia--dan menemukan solusinya: jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dan seseorang mulai bereaksi dengan membangkitkan kemarahan, ketakutan atau hal-hal negatif lainnya, maka dengan sesegera mungkin ia harus mengalihkan perhatiannya ke hal yang lain. Sebagai contoh, berdiri, mengambil segelas air, dan meminumnya -- kemarahan Anda tidak akan berlipat ganda dan Anda dapat keluar dari kemarahan. Atau mulai berhitung: satu, dua, tiga, empat. Atau mengulang sebuah kata, atau kalimat, atau beberapa mantra, mungkin nama dewa atau seorang suciwan yang Anda puja; pikiran akan teralihkan, dan untuk lebih lanjut, Anda akan keluar dari kenegatifan, keluar dari kemarahan. Solusi ini sangat membantu: dan berhasil . Solusi ini tetap berhasil. Melatih hal ini, pikiran akan merasa bebas dari gejolak. Namun faktanya, solusi ini akan bekerja hanya pada tingkat kesadaran. Sebenarnya, dengan mengalihkan perhatian, seseorang mendorong kenegatifan masuk ke dalam bawah sadarnya, dan pada tingkatan ini seseorang terus membangkitkan dan melipat gandakan kekotoran yang sama. Pada tingkat permukaan ditemukan lapisan kedamaian dan keharmonisan, tetapi jauh di dalam pikiran terdapat gunung berapi yang tertidur berasal dari kenegatifan yang ditekan, yang cepat atau lambat akan meledak dengan letusan yang merusak. Para penjelajah kebenaran sejati tetap meneruskan pencarian mereka, dan dengan mengalami realita pikiran dan permasalahan dalam diri mereka sendiri mereka menyadari bahwa mengalihkan perhatian hanyalah merupakan pelarian diri dari permasalahan. Melarikan diri bukanlah sebuah solusi: seseorang harus mengadapi permasalahannya. Kapanpun kenegatifan bangkit dalam pikiran, cukup mengamatinya saja, hadapi dia. Setelah seseorang mengamati berbagai kekotoran batin, kekotoran batin tersebut akan kehilangan kekuatannya. Secara perlahan ia akan berkurang dan tercabut. Sebuah solusi yang baik: hindarkanlah kedua hal ekstrem -- menekan dan membiarkan bebas. Dengan tetap menyimpan kenegatifan dalam bawah sadar tidak akan menghilangkannya; dan dengan membiarkannya bermanifestasi (berwujud) menjadi perbuatan fisik ataupun ucapan hanya akan menciptakan masalah lebih banyak. Tetapi jika seseorang hanya mengamatinya saja, maka kekotoran akan musnah, dan seseorang telah menghilangkan kenegatifan tersebut, seseorang terbebaskan dari kekotoran batin. Hal ini kedengarannya sangat luar biasa, tetapi apakah benar-benar bisa dipraktikkan? Bagi kebanyakan orang, apakah mudah untuk menghadapi kekotoran batin? Ketika kemarahan bangkit, ia menguasai kita begitu cepat sehingga kita bahkan tidak menyadarinya. Kemudian dengan dikuasai oleh kemarahan, kita melakukan tindakan fisik atau ucapan tertentu yang menyakitkan bagi kita dan bagi pihak lain. Belakangan, setelah kemarahan berlalu, kita mulai menangis dan menyesal, memohon maaf kepada orang ataupun kepada tuhan: ”Oh, saya telah melakukan sebuah kesalahan, tolong maafkanlah saya!” Tetapi di lain waktu kita berada di dalam situasi yang sama, kita kembali bereaksi dengan cara yang sama. Semua penyesalan tersebut tidaklah menolong sama sekali. Kesulitannya adalah saya tidak sadar kapan kekotoran batin itu mulai muncul. Ia dimulai jauh di dalam tingkat bawah sadar pikiran, dan seiring dengan waktu mencapai pada tingkat kesadaran, ia memiliki begitu banyak kekuatan yang menguasai saya, dan saya tidak dapat mengamatinya. Maka saya harus mempekerjakan seorang sekretaris pribadi untuk saya, sehingga kapanpun kemarahan muncul, ia akan berkata, ”Lihat tuan, kemarahan mulai muncul!” Oleh karena saya tidak mengetahui kapan kemarahan ini akan mulai muncul, saya harus memiliki tiga sekretaris pribadi untuk tiga masa, selama 24 jam! Andai kata saya dapat melakukan hal itu dan ketika kemarahan mulai muncul, dengan segera sekretaris saya memberitahukan kepada saya, “Oh, tuan, lihatlah -- kemarahan mulai muncul!” Satu hal pertama yang akan saya lakukan adalah menampar dan menyerangnya: “Dasar bodoh! Kamu pikir kamu digaji untuk mengajari saya?” Saya begitu terlalu dikuasai oleh kemarahan dimana tidak ada nasihat yang baik yang akan membantu. Bahkan seandainya kata-kata bijak tersebut berhasil dan saya tidak menamparnya. Dan saya berkata, “Terima kasih banyak. Sekarang saya harus duduk dan mengamati kemarahan saya.” Apakah hal ini mungkin? Setelah saya menutup mata saya dan mencoba mengamati kemarahan, dengan cepat obyek kemarahan datang dalam pikiran saya, seseorang atau peristiwa yang membuat saya menjadi marah. Lalu saya tidak mengamati kemarahan itu sendiri. Saya justru mengamati rangsangan emosi luar. Ini hanya akan melipatgandakan kemarahan; ini bukanlah solusinya. Sangat sulit mengamati beragam kenegatifan yang abstrak (tidak kelihatan), emosi yang abstrak yang terpisah dari obyek luar yang menyebabkannya muncul. Namun, bagi seseorang yang telah mencapai kebenaran tertinggi menemukan solusi yang sebenarnya. Ia menemukan bahwa kapanpun kekotoran batin apapun muncul dalam pikiran, merangsang dua hal yang terjadi pada tingkat fisik. Pertama adalah napas yang kehilangan irama normalnya. Kita mulai sukar bernapas kapanpun kenegatifan datang pada pikiran. Ini mudah untuk diamati. Pada tingkat yang halus, suatu reaksi biokimia muncul dalam tubuh -- suatu perasaan. Setiap kekotoran batin akan membangkitkan sebuah perasaan atau yang lainnya di bagian dalam, di satu bagian tubuh atau yang lainnya. Ini merupakan solusi praktis. Orang awam tidak dapat mengamati kekotoran-kekotoran pikiran yang abstrak -- ketakutan, kemarahan, atau napsu yang abstrak. Tetapi dengan latihan dan praktek yang tepat, sangatlah mudah untuk mengamati pernapasan dan perasaan-perasaan jasmaniah -- dimana keduanya berhubungan langsung dengan kekotoran-kekotoran batin. Pernapasan dan perasaan jasmani akan membantu saya dengan dua cara. Yang pertama, keduanya seperti sekretaris pribadi saya. Segera saat kekotoran muncul dalam pikiran saya, napas saya kehilangan kenormalannya; napas saya akan mulai berteriak, ”Perhatikan, ada sesuatu yang tidak beres!” Saya tidak dapat menampar napas saya; saya harus menerimanya sebagai peringatan. Hal yang sama juga pada perasaan memberitahu kepada saya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Lalu setelah diperingatkan, saya mulai mengobservasi pernapasan saya, perasaan saya, dan saya menemukan dengan sangat cepat bahwa kekotoran batin menghilang. Fenomena jasmani-batin ini seperti halnya sebuah mata uang bersisi dua. Pada sisi yang satu merupakan pikiran atau emosi apapun yang muncul dalam pikiran. Di satu sisi yang lain merupakan pernapasan dan perasaan dalam tubuh. Pikiran atau emosi apapun, kekotoran batin apapun, memanifestasikan (mewujudkan) dirinya dalam napas dan perasaan saat itu. Jadi, dengan mengamati pernapasan atau perasaan, pada dasarnya saya sedang mengamati kekotoran batin. Daripada melarikan diri dari permasalahan, saya menghadapai realitas sebagaimana adanya. Lalu saya akan menemukan bahwa kekotoran batin kehilangan kekuatannya: ia tidak lagi menguasai saya sebagaimana terjadi di waktu lalu. Jika saya tetap melakukannya, kekotoran batin akhirnya akan menghilang secara keseluruhan, dan saya tinggal dalam penuh kedamaian dan kebahagiaan. Dengan cara ini, teknik-teknik pengamatan diri menunjukkan kepada kita realitas kedua aspeknya, di dalam dan luar. Sebelumnya, seseorang selalu melihat dengan mata terbuka, dan kehilangan kebenaran bagaian dalam. Saya selalu melihat ke luar untuk melihat penyebab dari ketidakbahagiaan saya; saya selalu menyalahkan dan mencoba untuk merubah realitas di luar. Dengan ketidaktahuan akan realitas di dalam diri, Saya tidak pernah memahami bahwa penyebab dari penderitaan terletak di dalamnya, dengan reaksi membuta saya yang mengarah pada perasaan senang dan tidak senang. Sekarang dengan latihan, saya dapat melihat sisi lain dari mata uang. Saya dapat menjadi sadar akan napas saya dan juga akan apa yang terjadi di dalam diri saya. Apapun itu, napas atau perasaan, saya belajar untuk hanya mengamatinya saja, tanpa kehilangan keseimbangan pikiran. Saya berhenti untuk bereaksi, berhenti melipatgandakan kesengsaraan saya. Sebaliknya, saya membiarkan kekotoran batin untuk muncul dan menghilang. Lebih sering seseorang berlatih dengan teknik ini, lebih cepat seseorang akan menemukan dan keluar dari kenegatifan. Secara berangsur-angsur pikiran menjadi bebas dari kekotoran-kekotoran batin; pikiran akan menjadi murni. Pikiran yang murni selalu penuh dengan cinta kasih -- cinta kasih tanpa pamrih untuk semua orang; penuh dengan belas kasih bagi kelemahan dan penderitaan orang lain; penuh dengan suka cita atas kebahagiaan dan kesuksesan mereka; penuh dengan keseimbangan dalam menghadapi berbagai situasi. Ketika seseorang mencapai tahap ini, seluruh pola hidupnya mulai berubah. Tidak lagi memungkinkan untuk melakukan ucapan maupun perbuatan fisik yang akan mengganggu kedamaian dan kebahagiaan pihak lain. Sebaliknya, keseimbangan pikiran tidak hanya membuat kedamaian bagi dirinya sendiri, tetapi membantu pihak lain menjadi penuh kedamaian. Atmosfir yang mengelilingi orang seperti itu akan menyebar dengan kedamaian dan keharmonisan, dan ini juga akan mulai mempengaruhi pihak lain. Dengan belajar untuk tetap seimbang dalam menghadapi segala pengalamannya dalam diri, seseorang mengembangkan ketidakpengaruhan menghadapi semua hal yang ia temukan dalam situasi-situasi eksternal (luar) apapun. Namun, ketidakpengaruhan bukanlah penghindaran ataupun ketidakacuan terhadap berbagai masalah dunia. Seorang meditator Vipassana menjadi lebih sensitif terhadap berbagai penderitaan orang lain, dan berusaha sepenuhnya membebaskan penderitaan mereka dengan cara apapun yang ia bisa lakukan -- bukan dengan berupa gejolak (agitasi) tetapi dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, belas kasih, dan keseimbangan batin. Ia belajar kesucian yang tanpa membedakan -- bagaimana melakukan sesuatu secara penuh, membantu orang lain secara penuh, sementara pada saat yang sama tetap menjaga keseimbangan pikirannya. Dengan cara ini ia tetap penuh kedamaian dan kebahagaian selagi ia bekerja untuk kedamaian dan kebahagiaan orang lain. Inilah yang Sang Buddha ajarkan; sebuah seni kehidupan. Beliau tidak pernah menyatakan atau mengajarkan agama apapun, “isme” apapun. Beliau tidak pernah menginstruksikan para pengikutNya untuk berlatih upacara atau ritual apapun, formalitas yang kosong dan membuta apapun. Sebaliknya Beliau hanya mengajarkan untuk mengamati alam sebagaimana adanya dengan mengamati realitasi di dalam diri. Dikarenakan kebodohan batin, seseorang tetap bereaksi dengan cara yang menyakitkan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Tetapi ketika kebijaksanaan muncul -- kebijaksanaan dari mengamati realita sebagaimana adanya -- seseorang keluar dari reaksi kebiasaannya ini. Ketika seseorang berhenti bereaksi secara membuta, maka seseorang mampu melakukan tindakan sesungguhnya, tindakan dari proses keseimbangan pikiran, pikiran yang melihat dan memahami kebenaran. Tindakan seperti itu hanya dapat menjadi positif, kreatif, sangat membantu bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Yang diperlukan setelah itu adalah “mengetahui diri sendiri” -- sebuah nasihat yang diberikan oleh setiap orang bijak. Seseorang harus mengetahui dirinya sendiri bukan hanya pada tingkat intelektual, tingkat ide-ide dan teori-teori. Ini juga bukan berarti hanya mengetahuinya pada tingkat emosional atau ketaatannya, menerima dengan mudah dan membuta apa yang ia dengar atau ia baca. Pengetahuan seperti itu tidaklah cukup. Sebaliknya seseorang harus mengetahui realitas pada tingkat yang sesungguhnya. Seseorang harus mengalami secara langsung realitas fenomena jasmani-batin ini. Hal ini saja yang akan membantu kita untuk keluar dari kekotoran batin, keluar dari penderitaan. Pengalaman langsung realitas akan diri sendiri ini, teknik pengamatan diri ini, disebut sebagai meditasi `Vipasana`. Dalam bahasa India pada masa Sang Buddha, passana berarti melihat dengan mata terbuka, dengan cara yang biasa, tetapi Vipassana adalah mengamati segala sesuatu seperti apa sesungguhnya mereka, bukan hanya seperti apa yang terlihat. Kebenaran nyata perlu ditembus, sampai seseorang mencapai kebenaran tertinggi dari seluruh struktur fisik dan batin. Ketika seseorang mengalami kebenaran ini, maka ia akan belajar berhenti bertindak secara membuta, berhenti menciptakan kekotoran batin -- dan secara alamiah kekotoran yang lama secara berangsur-angsur akan terhapus. Ia keluar dari kesengsaraan dan mengalami kebahagiaan. Ada tiga langkah untuk berlatih yang diberikan dalam pelajaran meditasi Vipassana. Pertama, seseorang harus menjauhkan diri dari tindakan, fisik atau ucapan apapun yang menggangu kedamaian dan keharmonisan pihak lain. Seseorang tidak bisa bekerja membebaskan diri sendiri dari kekotoran dalam pikiran ketika pada saat yang sama ia terus melakukan perbuatan fisik dan perkataan yang hanya melipatgandakan kekotoran batin tersebut. Oleh karena itu, aturan kemoralan merupakan awal yang penting dari latihan. Seseorang tidak melakukan pembunuhan, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang tidak dibenarkan, tidak berkata bohong, dan tidak menggunakan obat-obat yang memabukkan. Dengan tidak melakukan perbuatan seperti itu, seseorang membiarkan pikirannya cukup tenang sehingga ia dapat mulai melakukan tugas yang ada. Langkah selanjutnya adalah mengembangkan penguasaan atas pikiran yang liar ini, dengan melatihnya untuk tetap berada pada satu obyek yaitu napas. Seseorang berusaha untuk mempertahankan perhatiannya selama mungkin pada pernapasan. Ini bukanlah latihan bernapas: seseorang tidak mengatur napasnya. Sebaliknya ia mengamati pernapasan secara alami sebagaimana adanya, sebagaimana napas masuk dan keluar. Dengan cara ini seseorang lebih lanjut menenangkan pikirannya sehingga tidak lagi dikuasai oleh kenegatifan yang kuat. Pada saat yang sama, seseorang mengkonsentrasikan pikirannya, membuat pikirannya tajam dan menembus, sanggup untuk melakukan pekerjaan akan pemahaman mendalam (insight). Dua langkah awal ini yaitu hidup dalam kehidupan yang bermoral dan mengendalikan pikiran sangatlah diperlukan dan dengan sendirinya sangat menguntungkan; tetapi keduanya akan mengarah pada pengekangan diri, kecuali ia mengambil langkah ketiga -- memurnikan pikiran dari kekotoran batin dengan mengembangkan pengetahuan mendalam ke dalam sifat alami dirinya. Inilah Vipassana: mengalami realitas akan diri sendiri, dengan pengamatan yang sistematis dan tanpa emosi atas fenomena perubahan menerus dari fisik dan batin yang mewujudkan dirinya sebagai perasaan yang ada di dalam diri seseorang. Inilah puncak dari ajaran Sang Buddha: pemurnian diri sendiri dengan mengamati diri sendiri. Hal ini dapat dipraktikkan oleh semua orang. Setiap orang menghadapi masalah penderitaan. Ini adalah penyakit universal yang membutuhkan obat universal -- bukan obat sekelompok orang. Ketika seseorang menderita karena kemarahan, ini bukan kemarahan Buddhis, kemarahan Hindu, atau kemarahan Kristiani. Kemarahan adalah kemarahan. Ketika seseorang bergejolak sebagai akibat dari kemarahan ini, gejolak ini bukanlah Kristiani atau Hindu, atau Buddhis. Penyakit tersebut bersifat universal. Obatnya pun harus bersifat universal. Vipassana merupakan obat universal. Tak seorang pun akan merasa keberatan atas aturan hidup yang menghargai kedamaian dan keharmonisan orang lain. Tak seorang pun akan menolak untuk mengembangkan pengendalian atas pikiran. Tak seorang pun akan keberatan untuk mengembangkan pengetahuan mendalam ke dalam sifat alami dirinya, yang dengannya memungkinkan untuk membebaskan pikiran dari kenegatifan. Vipassana adalah jalan yang universal. Mengamati realitas sebagaimana adanya dengan mengamati kebenaran yang ada di dalam diri -- ini berarti mengetahu diri sendiri pada tingkat sebenarnya, tingkat pengalaman. Ketika seseorang berlatih, ia berangsur-angsur keluar dari kesengsaraan akan kekotoran batin. Dari kebenaran yang kasar, eksternal, nyata, seseorang menembus kepada kebenaran tertinggi dari pikiran dan fisik. Kemudian ia melampaui semuanya, dan mengalami sebuah kebenaran yang melampaui pikiran dan fisik, melampaui ruang dan waktu, melampaui kondisi medan relatifitas: kebenaran dari pembebasan total dari segala kekotoran batin, ketidakmurnian, penderitaan. Apapun nama yang seseorang berikan kepada kebenaran tertinggi ini adalah tidak relevan; ini merupakan tujuan akhir bagi semua orang. Semoga Anda semua mengalami kebenaran tertinggi ini. Semoga semua orang keluar dari kekotoran batin dan kesengsaraan mereka. Semoga mereka menikmati kebahagiaan, kedamaian, keharmonisan sejati. Semoga semua makhluk berbahagia. ____________________________________________________________________________________ Tulisan di atas berdasarkan pada permbicaraan yang diberikan oleh Mr. S.N. Goenka pada bulan Juli 1980 di Berne, Switzerland. Tentang Penulis: S.N. Goenka lahir di Mandalay, Myanmar pada tahun 1924. Beliau adalah seorang guru meditasi dengan metode Vipassana; Beliau telah memiliki beberapa pusat Vipassana di seluruh dunia. Beliau berasal dari keluarga India yang kaya di Myanmar dan dulunya Beliau sebagai pemimpin perusahaan yang terkenal di komunitas India. Pada tahun 1969, Beliau mengundurkan diri dari semua kegiatan bisnisnya dan mengabdikan seluruh kehidupannya untuk menyebarkan meditasi Vipassana. Beliau mempimpin ratusan pelatihan diseluruh dunia. Goenka menulis dalam bahasa Inggris, Hindi, dan Rajasthan. Sejauh ini pekerjaannya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Judul asli: The Art of Living: Vipassana Meditation Oleh: S.N. Goenka Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com

Si Cacing

Kisah Buddhis Ada sepenggal cerita indah mengenai dua bhikkhu yang tinggal bersama dalam sebuah biara selama bertahun-tahun; mereka adalah teman baik. Kemudian mereka meninggal dunia selang beberapa bulan satu sama lain. Salah satu dari mereka lahir kembali di alam surga, bhikkhu yang lain lahir kembali sebagai cacing dalam tumpukan kotoran. Yang berada di alam surga itu bersenang-senang, menikmati semua kesenangan surgawi. Tetapi ia mulai berpikir tentang temannya, "Aku ingin tahu di mana sahabat lama saya berada sekarang?" Jadi ia memindai semua alam surga, tapi tidak bisa menemukan jejak temannya. Kemudian ia mengamati alam manusia, tetapi ia tidak bisa melihat jejak teman di sana. Jadi dia melihat ke dalam dunia hewan dan kemudian serangga. Akhirnya dia menemukannya, temannya d$ilahirkan kembali sebagai cacing dalam tumpukan kotoran ... Wah Dia berpikir: "Aku akan membantu teman saya. Aku akan pergi ke sana ke tumpukan kotoran dan membawanya ke alam surgawi sehingga ia juga bisa menikmati kenikmatan surgawi dan kebahagiaan hidup di alam indah ini." Jadi dia pergi ke tumpukan kotoran dan memanggil temannya. Dan cacing kecil merayap keluar dan berkata: "Siapa kau?" "Saya teman Anda. Kita pernah menjadi biarawan bersama di kehidupan sebelumnya, dan Aku datang untuk membawa Anda ke alam surga di mana kehidupan itu indah dan bahagia." Tetapi si cacing berkata: "Pergilah, pergi sana!" "Tapi saya teman Anda, dan aku tinggal di alam surga," dan ia menggambarkan keindahan alam surga kepadanya. Tetapi cacing berkata: "Tidak terima kasih, saya sangat bahagia di sini di tumpukan kotoran. Harap pergi." Kemudian dewa tersebut berpikir: "Yah kalau aku bisa menangkapnya dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri keindahan dan kebahagiaan di alam surga."  Jadi ia memegang si cacing dan mulai menarik-narik; dan semakin keras ia menarik, semakin keras si cacing melekat di tumpukan kotorannya.  Apakah Anda mendapatkan moral dari cerita ini? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita?

Kisah Upali Memeluk Agama Buddha

Kisah Buddhis Upali adalah salah satu pengikut utama guru Jain, Mahavira. Karena kecerdasannya, Upali sering muncul dalam debat umum mewakili Jain. Ada sebuah kejadian di mana Upali berdebat dengan Sang Buddha. Pada akhir perdebatan, Upali sangat terkesan dengan ajaran Buddha sehingga ia meminta untuk diijinkan menjadi seorang pengikut ajaran Buddha. "Yang Mulia, tolong izinkan saya untuk menjadi pengikut Anda". Menanggapi hal ini Sang Buddha menjawab, "Upali, Anda sedang berada di puncak emosi Anda. Pulanglah dan pertimbangkan dengan hati-hati sebelum Anda memohon pada Saya lagi". Upali sangat terkesan dengan jawaban tersebut, berkata, "Kalau seandainya guru lainnya, ia akan berpawai dan berkata, 'Murid utama Mahavira telah menjadi pengikut saya'. Tapi Anda, Yang Mulia, Anda memintaku untuk pulang dan kembali. Sekarang, saya bahkan sangat berkeinginan menjadi pengikut Anda. Saya tidak akan berdiri sampai Anda menerima saya ". Akhirnya, Buddha setuju menerima Upali namun dengan satu syarat, "Upali, selama anda sebagai seorang Jain, Anda selalu memberi sedekah kepada pendeta Jain. Ketika Anda menjadi pengikut Saya, Anda akan LANJUTKAN pemberian sedekah kepada para pendeta Jain. Ini adalah syarat dari Saya". Upali setuju dengan syarat ini. Ia kemudian menjadi salah satu murid utama Buddha. Upali dikenal sebagai orang yang kemudian menyusun Vinaya, aturan untuk para bhikkhu/bhikkhuni.

Mencari Sepotong Kebenaran

Suatu hari seorang pemuda buddhis sedang dalam perjalanan pulang tiba di sebuah tepi sungai yang luas. Menatap putus asa pada hambatan besar dihadapannya, ia merenung selama berjam-jam hanya memikirkan cara bagaimana untuk menyeberangi sungai lebar itu. Tepat ketika ia hendak menyerah melanjutkan perjalanannya, ia melihat seorang guru besar berada di seberang sungai. Si pemuda buddhis itu berteriak kepada guru tersebut, "Oh guru bijaksana, bisakah kau katakan padaku bagaimana cara berada di sisi lain dari sungai ini"? Guru itu merenungkan sejenak melihat ke atas dan ke bawah sungai dan berteriak kembali, "Anakku, engkau telah berada di seberang sungai".

Saturday, November 19, 2011

Hiduplah Dengan Hati-Hati

Saudara, kita sering mendengar ungkapan HATI-HATI. Kita pun sering memberi nasihat kepada orang lain untuk berhati-hati. Tetapi sesungguhnya, hampir dari kita semua tidak mengerti dengan jelas, apakah sesungguhnya yang disebut dengan ‘hati-hati’ itu. Hati-hati itu memang perlu. Di mana saja kalau hati-hati itu memang baik, tetapi kalau orang yang saudara beri nasihat itu bertanya, yang disebut hati-hati itu yang bagaimana? Saudara mau jawab bagaimana? Apakah kalau mengendarai mobil 140 km/jam, itu sembrono? Tapi kalau mengendarai mobil 40 km/jam, itu kelewat takut! Apakah yang hati-hati itu kalau 90 km/jam? Apakah begitu? Tidak begitu saudara.
Saudara, menurut Dhamma, yang dimaksud dengan hati-hati adalah suatu sikap yang didasari dengan Kusala Cetana. Kusala Cetana adalah niat yang baik. Cetana artinya niat, kehendak, dorongan pikiran, motivasi, yang mendasari pemikiran kita. Dan Kusala artinya baik, positif, bersih. Bersih artinya bersih dari kehendak yang tidak baik. Menurut pandangan Dhamma, apapun yang menjadi sikap kita, perbuatan kita, yang kita lakukan dengan jasmani atau ucapan, sebelum kita melakukannya, itu akan muncul dalam pikiran kita sebagai “kehendak”.
Menurut pandangan agama Buddha, seperti yang disebutkan dalam Dhammapada, pikiran itu adalah awal, pikiran itu adalah pemula, pikiran itu adalah pendahulu, pikiran itu adalah pemimpin. Apapun yang akan kita ucapkan, yang kita lakukan, sebelum kita melakukan, sebelum kita mengucapkan, ia telah muncul lebih dahulu di dalam pikiran kita.
Misalnya pohon yang ada di sana itu. Memang saudara tidak bisa membuat pohon ini. Dia tumbuh secara alami. Tetapi agar pohon ini bisa ada di sini, sebelumnya ada seseorang yang mempunyai niat, “Saya akan menaruh pohon ini didepan patung Buddha itu”. Setelah niat itu muncul kemudian dia berpikir lebih mendalam, di mana pohon itu harus diambil, pohon jenis apa yang cocok, kemudian dia berpikir yang lebih detail. Juga, sebelum patung ini muncul, ia muncul terlebih dahulu di dalam ide seseorang. Saya ingin membuat patung Buddha. Dari ide itu kemudian muncul rencana. Patung Buddha yang seperti apa, yang sebesar apa, yang model apa, bahan apa, sikapnya seperti apa, kalau dijual harganya berapa, dll. Dan kemudian muncul patung seperti ini. Sebelum bangunan ini muncul, sebelum gedung-gedung itu muncul, muncul lebih dahulu dalam pikiran seseorang. Saya akan membangun gedung 4 lantai, kemudian dibuat detailnya, dibuat rencananya, dipanggil arsitek, dihitung konstruksinya, dihitung biayanya, berapa lama bisa dilakukan, dan sebagainya, lalu dilaksanakan dan kemudian jadi.
Yang memutuskan adalah pikiran kita. Jadi betapa pentingnya peranan kehendak itu. Oleh karena itu, orang yang ingin bersikap hati-hati, minimal dia harus mempunyai kehendak yang baik. Kehendak yang bersih dari kehendak tidak baik, bersih dari unsur-unsur yang tidak baik.
Kehendak yang negatif, yang tidak baik, akan melahirkan atau menghasilkan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan yang tidak baik itu adalah selain merugikan diri sendiri juga akan merugikan orang lain. Niat yang tidak baik itu, yang akan merugikan orang lain, tidak mempunyai dukungan kuat. Dengan kalimat yang lain, tidak masuk akal, tidak sah. Mengapa demikian? Karena, bukankah semua makhluk, setidak-tidaknya sesama manusia, setiap orang, semuanya, agama apapun yang dianut, suku bangsa apapun, bagaimanapun profesi sosialnya, apakah orang kaya, orang miskin atau sangat miskin, semuanya menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tujuan, obsesi, dan keinginan setiap orang. Bahkan pencuri sekali pun kalau ditangkap dan ditanya, “Kamu mencuri itu apa sih tujuannya?” Pencuri itu menjawab: “Saya mencuri itu karena saya ingin bahagia”. Tidak ada pencuri yang mencuri untuk sengsara, “Saya mencuri supaya nanti saya ditangkap, supaya digebuki”, tidak ada. Pencuri pun seperti saudara, seperti kita, dia mencuri itu sesungguhnya juga ingin bahagia, hanya caranya yang salah. Apakah ada alasan kita untuk membencinya? Sesungguhnya, tidak. Justru kasihan.
Alangkah lemahnya orang yang mempunyai kehendak yang mengandung unsur untuk mencelakakan, memojokkan, menghancurkan, atau melenyapkan orang lain, alangkah lemahnya dia, tidak masuk di akal, tidak bernalar. Mengapa harus mempunyai niat yang menghancurkan, memojokkan, atau melenyapkan orang lain? Mengapa? Bukankah semua orang termasuk saudara, ingin bahagia? Mengapa saudara berbuat begitu? Oleh karena itu saudara, saya ingin memberi garis bawah yang tebal untuk ini. Kalau saudara ingin berhati-hati, cobalah berusaha untuk mengamat-amati, memeriksa, mengintip, mengecek setiap kehendak saudara, apakah kehendak saya ini mengandung unsur yang negatif ataukah positif? Itu adalah sikap hati-hati yang minimal. Itulah kriteria hati-hati yang pertama.
Kalau saya boleh mengumpamakan, “kehendak” itu seperti produsen. Karma, ucapan dan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan —yang baik pun yang tidak baik? itu seperti produk (hasil produksinya). Kalau produsen itu memproduksi barang-barang dengan bahan-bahan yang baik, pasti hasil produksinya itu baik. Jadi saudara, bagaimana menjaga ucapan, perbuatan kita agar tidak menghancurkan, merugikan orang lain, melenyapkan, membunuh orang lain atau makhluk lain, sebetulnya tidak perlu saudara pusing kalau saudara bisa menjaga kehendak saudara, pasti ucapan dan tingkah laku yang muncul itu akan baik.
Kadang-kadang walau kita sudah punya niat yang baik, masih saja ada orang yang salah mengerti. Salah mengerti adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Karena kita tidak bisa membuat orang lain mempunyai pandangan seperti yang kita harapkan. Tetapi saudara, minimal sudah punya itukad baik, niat baik, kehendak baik, itu sudah positif.
Saya ingin memberikan satu contoh dengan cerita. Di negara mayoritas umat Buddha itu patung Buddha ada di mana-mana, kadang-kadang di perempatan jalan, di depan kantor, sekolah-sekolah, di tepi jalan. Ada yang kecil, ada yang sedang, ada yang besar. Suatu hari ada umat Buddha yang berjalan di tengah hujan yang lebat, dia melihat patung Buddha yang kecil kehujanan. Dia pikir, wah tidak pantas ini. Air hujan membasahi patung Buddha yang tidak ada tutupnya. Tapi dia sendiri tidak membawa payung, pakaiannya basah, mau diangkat dari semen, patung itu melekat dengan alasnya. Dia melihat ke kanan ke kiri, terlihat ada sebuah sepatu yang sudah dibuang, yang sudah jebol, baunya mungkin tidak karu-karuan. Sepatu yang jebol itu diambil, lalu ditaruh di atas kepala patung Buddha, supaya tidak kehujanan. Kemudian dia pergi. Pada waktu hujan sudah berhenti, ada orang lain lewat dan dia juga umat Buddha. “Siapa ini, sepatu jebol ditumpangi di kepalanya patung Buddha. Tidak betul caranya ini, tidak masuk akal, penghinaan ini”, lalu diambilnya sepatu jebol itu dan dibuang.
Saudara, menurut psikologi Buddhis, menurut jiwa Dhamma, atau menurut ajaran Dhamma, kedua orang ini sama-sama memiliki cetana yang positif. Kedua orang ini sama-sama mempunyai tindakan yang positif, meskipun caranya yang berbeda. Orang yang pertama mengerudungi kepala patung dengan sepatu yang jebol, orang yang kedua mengatakan; perbuatan ini tidak baik, meskipun ini penilaiannya. Orang yang pertama tetap mempunyai nilai yang positif, meskipun orang yang kedua salah paham dan mengira orang yang pertama itu mempunyai niat yang tidak baik. Niat yang positif itu tidak berubah menjadi niat yang negatif, meskipun orang lain menilai itu negatif. Kalau saya menanam jagung, kemudian tumbuh. Sebelum berbuah, orang melihat apa yang ditanam ini; “Ini bukan jagung, ini jali”. Tidak menjadi soal saudara, meskipun orang menilai jagung ini jali, pada waktunya nanti dia berbuah dia tetap akan menjadi jagung. Dan saudara tidak usah pusing dengan apa yang akan saudara hasilkan nanti. Benih itu, bibit itu seperti cetana. Kalau saudara sudah memastikan bahwa kehendak saudara itu baik, maka tidak usah pusing. Ucapan dan perbuatan saudara, sekalipun orang lain akan salah paham, nilainya tetap positif. Apakah orang kedua yang melemparkan sandal yang jebol itu menghancurkan niat positif orang yang pertama? Tidak. Dan apa yang dia lakukan itu apakah negatif, karena dia merusak hasil orang yang pertama? Juga tidak. Orang yang kedua juga melakukan hal yang positif, karena dia membuang sepatu yang jebol itu dengan niat yang positif.
Kalau kita bisa memeriksa dan memastikan bahwa tidak ada unsur yang negatif maka itu menjadi positif. Sekalipun orang lain salah paham kepada kita, sekalipun kita sudah lakukan namun tidak berhasil, tetap harganya positif. Itulah yang disebut dengan ‘Hati-hati’. Orang yang hati-hati adalah orang yang selalu memeriksa kehendaknya, mengamat-amati kehendaknya, jangan sampai menimbulkan kehendak yang negatif, yang merugikan orang lain. Tetapi ini tidak cukup. Memang berhati-hati itu harus mempunyai niat yang baik, kehendak yang positif, tetapi tidak hanya asal mempunyai kehendak yang positif, tidak hanya asal mempunyai niat baik. Saya ingin menguraikan faktor yang lain, yaitu sati dan sampajanna. Apakah yang disebut dengan sati? Menurut Sutta, sati mempunyai banyak arti. Yang pertama yaitu kemampuan mengingat. Jadi apa-apa yang pernah anda temui, kenalan-kenalan lama, begitu ketemu saudara ingat, ini menunjukkan satinya kuat, ingatannya kuat, tidak lemah. Banyak mempelajari, dan yang dipelajarinya itu tidak dilupakan, itu satinya bagus. Tetapi sati juga berarti pengenalan. Memang ingatan dan pengenalan tidak bisa dipisahkan. Mengenali bentuk-bentuk, mengenali sesuatu, mengenali keadaan, mengenali orang-orang. Tetapi sati juga berarti kesadaran, sati juga berarti kewaspadaan, sati juga berarti perhatian. Jadi itulah arti dari sati. Ingatan, pengenalan, kesadaran, kewaspadaan, atau perhatian; mewaspadai setiap saat kehendak-kehendak yang muncul. Kewaspadaan misalnya: dari berdiri sudah agak lama saya ingin duduk. Saya harus tahu dengan jelas kehendak ini apakah positif atau negatif. Kalau hanya dari berdiri ingin duduk, dari duduk ingin berdiri, dari duduk ingin berjalan itu netral (tidak positif, tidak negatif). Tetapi juga selain duduk, berdiri dan berjalan, kita juga mempunyai kehendak lain, misalnya ingin menemui dia, ingin melakukan ini, ingin melakukan itu. Mengamat-amati kehendak itu adalah fungsi dari sati. Makin kuat sati kita, kita tidak akan kecolongan. Makin lemah sati kita, kehendak kita akan muncul tidak karu-karuan. Lalu bagaimana agar sati ini menjadi kuat? Ia harus dilatih. Tidak ada atlet yang langsung mempunyai otot yang kuat, nafas yang panjang, daya tahan fisik yang kuat, tetapi itu harus dilatih. Demikian juga sati yang kuat, kewaspadaan yang kuat, perhatian yang kuat, yang tidak lengah, tidak sembrono, itu harus dilatih. Kalau sati saudara baik, maka cetana saudara akan terseleksi. Tidak akan muncul begitu saja, tanpa diketahui, tanpa dilihat, tanpa diamat-amati.
Sampajanna terjemahannya yang paling tepat adalah ‘Pengertian lengkap’ (pengertian atau pengetahuan lengkap). Apakah yang dimaksud dengan pengertian lengkap? Sampajanna meliputi 4 hal, yaitu:
a. Sathaka Sampajanna,
b. Sappaya Sampajanna,
c. Gocara Sampajanna, dan
d. Asammoha Sampajanna.

a. Sathaka Sampajanna
Artinya “Pengertian yang lengkap tentang kebenaran”. Ini maksudnya adalah, kalau saudara mempunyai kehendak yang baik, saudara harus melihat ‘baik’ itu dari berbagai segi. Yang pertama dari segi Dhamma. Apakah betul niat saya ini baik dari segi Dhamma, tidak bertentangan dengan Dhamma. Yang kedua, tidak bertentangan dengan hukum negara. Yang ketiga, juga tidak bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang berlaku di lingkungan sekitar.
Di daerah saya ada kepercayaan begini: Kalau baru selesai melayat orang mati ke kuburan atau ke krematorium, tidak boleh langsung menengok orang sakit. Kalau habis melayat orang mati lalu menengok orang sakit itu nanti membuat si sakit cepat mati. Apakah betul, Bhante? Oh jelas tidak betul. Tidak sesuai dengan kebenaran. Mati, sehat, atau sakit itu tergantung dari berbagai macam faktor, singkat kata adalah karena KARMA masing-masing. Tetapi kalau menurut Dhamma, menengok orang sakit itu memang baik. Hukum negara juga tidak ada yang melarang. Tetapi kalau di lingkungan atau di daerah orang itu, kalau menengok orang sakit ini, akan menjadi kesalah-pahaman. Sebagai bhikkhu, saya tidak ingin memperbaiki pandangan yang salah itu? Ya saya ingin, tetapi caranya harus bijaksana, tidak radikal. Kalau radikal nanti jadi bumerang. Itu namanya sikap tidak hati-hati.
Saudara tidak perlu menjadi pahlawan, menjadi orang pertama yang memulai, dengan resiko akan membuat keonaran, kekacauan, ketidak-harmonisan. Jadi memang, punya niat baik itu syarat mutlak, tetapi dia tidak boleh berdiri sendiri. Tidak asal niat baik. Tetapi baik itu harus sathaka sampajanna, kita harus melihat tidak hanya dari satu arah, tetapi dari berbagai arah, sehingga sikap kita tidak akan membuat keonaran, kekacauan, dan sebagainya. Itulah yang disebut dengan hati-hati. Kalau saudara tidak mau melihat kiri kanan, tidak mau melihat suasana di sekitar, “pokoknya niatku apik”, ini juga termasuk ceroboh.
b. Sappaya Sampajanna
Artinya “Pengertian lengkap tentang kelayakan”. Apakah yang dimaksud dengan kelayakan? Kalau saya mempunyai niat yang seperti ini, jelas sekali itu baik, bersih, saya sudah cek berkali-kali, periksa berkali-kali, dari segala arah, dari Dhamma, dari hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Tetapi, kita perlu Sappaya Sampajanna, yaitu apakah saya mampu melaksanakan niat itu? Saudara harus mengukur pada diri sendiri. Satu contoh, seorang ibu-ibu yang sudah berumur 65 tahun, pendidikannya sampai kelas 5 SD, bisa baca dan tulis. Nah, kalau ibu berumur 65 tahun, dengan pendidikan formal hanya SD kelas 5, sekarang kok punya cita-cita ingin menjadi menteri —Menteri Sosial?misalnya, apakah mampu? Saya pernah mendapatkan penjelasan dari seseorang yang sering memberi pelajaran tentang manajemen. Menurut ilmu manajemen modern, seorang pemimpin itu harus bisa mengira-ngira. Jadi kalau mempunyai program atau cita-cita itu harus bisa mengira-ngira, mengukur, saya mampu mencapainya atau tidak? Persis sih memang tidak bisa, halangan pasti muncul, tetapi cita-citanya itu yang bernalar, jangan yang muluk-muluk. Pemimpin yang tidak mempunyai atau tidak melihat visi/gambaran, kira-kira tujuan apa yang mampu ia capai, maka orang itu tidak bisa menjadi pemimpin. Nanti cita-cita, programnya itu meskipun baik, tetapi terlalu idealis, tidak bakal terlaksana, karena tidak mampu. Nah, itu namanya sembrono, bukan orang yang berhati-hati.
c. Gocara Sampajanna
Artinya “Pengertian yang lengkap tentang ruang lingkup”. Apa yang dimaksud dengan Ruang Lingkup? Saudara boleh melakukan apa saja, yang sudah tentu dengan niat yang baik dan benar dari segala arah, asal apa yang saudara lakukan itu mempunyai hubungan dengan apa yang ingin saudara capai. Contohnya bagaimana? Misalnya kita mau membangun vihara, lalu kita bikin arisan? Tidak apa. Karena hasil arisannya nanti akan masuk ke panitia pembangunan. Jual parcel, tidak apa. Apa hubungannya parcel dengan vihara? Karena keuntungan dari jual parsel ini masuk ke panitia pembangunan. Bikin malam kesenian, lho vihara belum jadi kok malah senang-senang bikin acara malam kesenian. Tidak apa, asal ada keuntungannya, lalu keuntungannya masuk ke panitia pembangunan. Arisan, jual parcel, bikin malam kesenian, sepertinya tidak ada hubungannya dengan pembangunan vihara, tetapi kalau itu ditujukan untuk cita-cita supaya tercapai, itu termasuk Gocara Sampajanna.
Sesungguhnya, dalam hidup bermasyarakat, saudara cukup sampai di sini, yaitu: niat baik, sathaka sampajanna, sampaya sampajanna, dan gocara sampajanna. Nah, inilah bekal atau pedoman untuk membawa diri saudara di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai macam rangsangan, bujukan, dan sebagainya. Tetapi di sini, kalau saudara ingin meningkatkan batin saudara menjadi ke tingkat yang lebih tinggi, tidak di level yang biasa, ada yang nomor empat, ini yang paling sulit.
d. Asammoha Sampajanna
Yang dimaksud dengan asammoha sampajanna adalah “Pengertian yang lengkap, bebas dari kegelapan batin, bebas dari moha”. Apakah yang dimaksud ini saudara? Kalau saudara mempunyai niat baik, sathaka sampajanna, dari segala arah dicek dengan baik, dan niat itu memungkinkan untuk dicapai, dan berhasil. Pada waktu saudara mencapai niat itu, kemudian saudara berhasil, kalau saudara menginginkan Asammoha Sampajanna untuk meningkatkan kualitas mental saudara agar naik ke level yang tinggi, saudara tidak boleh punya perasaan atau pengertian bahwa: “Saya sudah melakukan tujuan yang baik dan sudah berhasil”. Tidak boleh sama sekali. “Saya sudah menolong dia, saya sudah berkhotbah dan selesai, saya sudah membuat orang lain puas, saya sudah menyelesaikan kewajiban”. Tidak boleh. Mengapa? Karena ada ‘aku yang sesungguhnya’ yang melakukan, yang merasakan keberhasilan itu. Padahal tidak ada ‘aku yang sesungguhnya’ itu. Kalau saudara tanya, Bhante, ini siapa yang memberikan Dhammaclass? Saya mengatakan: ‘Saya, aku’. Itu kok boleh, Bhante? Itu supaya kita berbicara tidak bingung. Ini tas siapa? Ini tas saya, bukan tas anda. Tetapi pengertian saya sendiri ke dalam, harus dimengerti bahwa tidak ada aku yang benar-benar memiliki tas ini, tidak ada aku yang memberi khotbah yang sudah selesai dan membuat anda puas. Mengapa kok tidak ada? Sebab, khotbah ini bisa terjadi karena banyak macam sebab! Misalnya: ada lampu/penerangan. Ada saudara, kalau tidak ada saudara, saya mau berkhotbah kepada siapa. Ada bahan, ada kehendak untuk berkhotbah, ada yang dikhotbahi. Jadi seperti ada orang sakit, ada kehendak untuk mengobati, dan ada obat, obatnya lalu diberikan kepada yang sakit. Yang sakit merasa senang, sembuh. Kalau ditanya: “Siapa yang menolong dia, yang memberikan obat?” “Saya”. Itu boleh. Tetapi pengertian untuk kemajuan batin harus dimengerti bahwa tidak ada ‘saya’ yang menolong mengambil obat. Mengapa? Kalau tidak ada yang sakit, siapa yang mau diambili obat? Kalau ada yang sakit, tidak ada obat, apa yang akan diberikan? Kalau saya sudah mengatakan, saya sudah menolong dia, mengatakan begitu dan merasa begitu menang, itu namanya menang-menangan, mendiskreditkan, menganggap orang sakit dan obat itu tidak ada. Yang ada, aku sudah berbuat menolong. Lalu, yang ada itu apa, Bhante? Yang ada adalah proses, proses yang baik, mata melihat itu, “Kok ia sakit”, timbul kehendak, melihat obat ada di sini, tangannya bergerak, lalu obat ini diangkat, diberikan pada dia. Dianya lalu senyum-senyum, senang, ya sudah. Hanya begitu saudara —proses. Itu namanya proses yang baik. Aku yang berbuat baik itu tidak ada. Ini hanya salah satu faktor. Untuk bercakap-cakap, membuat orang agar tidak bingung, boleh kita mengatakan “Dia yang memberikan obat”. Tetapi untuk kepentingan batin, ini tidak boleh. ‘Aku’ yang sejati itu yang mana? Pikirannya, jasmaninya, perasaannya, hidungnya, matanya?
Sering saya bertanya, saudara melihat ini sebagai apa? Bentuk ini apa? Rumah. Siapa yang diantara saudara melihat ini lalu bilang: “Oh, ini nagasari”. Tidak ada. Tetapi coba saudara tunjukkan, mana yang intinya rumah, mana yang disebut rumah yang sejati, yang betul-betul rumah? Kalau yang lain-lain dipisah-pisahkan, intinya rumah yang mana? Tidak ada. Coba saudara tunjuk yang mana? Ini lantai, ini dinding, ini plafon, itu atap. Mana yang disebut rumah? Kalau bentuk ini dirobohkan, ditumpuk-tumpukkan di sini, tidak dibuang, tidak diambil, utuh tapi diroboh dan ditumpuk-tumpukkan di sini; rumahnya hilang. Orang melihat apa? Oh, itu puing-puing. Jadi rumah itu apa Bhante? Rumah itu adalah sebutan saja, supaya kita tidak bingung. Ini rumah, ini gelas.
Kalau saya pelan-pelan jalan, saudara mengatakan ini jalan. Tapi kalau nanti lebih cepat, disebut lari. Apakah ini jalan, atau sungguh-sungguh jalan? Ini hanya kaki yang bergerak begini. Proses kaki ini bergerak, itu yang betul.
Faktor-faktor berkumpul menjadi satu, cocok, lalu jadi, dan itu tidak kekal. Kalau saudara bisa punya pengertian seperti begitu, batin saudara akan naik menuju ke level yang tertinggi. Kalau hanya menjaga niat tidak negatif, tidak jahat, baik dari segala arah, punya cita-cita yang masuk akal, tidak muluk-muluk, dan berusaha mencapai sukses, dan bahagia, itu biasa saudara. Dan itu sudah cukup untuk hidup bermasyarakat. Jadi kalau saudara tidak bisa mengerti yang nomor 4, jangan pusing. Tinggalkan saja, buang! Tidak usah dipikir-pikir, buang saja! Yang penting saya menginginkan saudara minimal mempunyai sikap yang disebut hati-hati.
Hati-hati itu menurut ajaran agama Buddha adalah punya kehendak baik. Dan itu harus sengaja dilihat, diteliti dan betul-betul kita mengerti itu sebagai baik. Yang baik itu dari segala arah. Dari Dhamma, dari undang-undang, dari lingkungan, dan dari sama sekali bukan baik karena saya merasa baik. Kemudian Sappaya Sampajanna, niat itu yang masuk akal, yang mampu kita lakukan dan capai, kemudian berusaha dengan tidak meninggalkan niat yang telah kita sepakati – gocara sampajanna-cukup. Kusala Cetana, Sathaka Sampajanna, Sappaya Sampajanna, Gocara Saampajanna; cukup! Kalau saudara tidak mengerti yang nomer 4, buang saja. Tetapi kalau saudara bisa mengerti, saudara membawa sikap mental saudara ke tingkat level yang paling tinggi, yang mungkin itu adalah ciri khas dari apa yang menjadi ajaran agama Buddha.

Festivals and Special Days

There are many special or holy days held throughout the year by the Buddhist community. Many of these days celebrate the birthdays of Bodhisattvas in the Mahayana tradition or other significant dates in the Buddhist calendar. The most significant celebration happens every May on the night of the full moon, when Buddhist all over the world celebrate the birth, enlightenment and death of the Buddha over 2,500 years ago. It has become to be known as Buddha Day. Buddhist Festivals are always joyful occasions. Typically on a festival day, lay people will go the the local temple or monastery and offer food to the monks and take the Five Precepts and listen to a Dharma talk. In the afternoon, they distribute food to the poor to make merit and in the evening join perhaps in a ceremony of circumambulation a stupa three time as a sign of respect to the Buddha, Dhamma, Sangha. The day will conclude with evening chanting of the Buddha's teachings and meditation. The Thai Buddhist Calendar (similar if not the same as the Laotian and Cambodian) Some holy days are specific to a particular Buddhist tradition or ethnic group (as above). There are two aspects to take into consideration regarding Buddhist festivals: Most Buddhists, with the exception of the Japanese, use the Lunar Calendar and the dates of Buddhist festivals vary from country to country and between Buddhist traditions. There are so many Buddhist festivals, here are some of the more important ones:

Buddhist New Year

In Theravadin countries, Thailand, Burma, Sri Lanka, Cambodia and Lao, the new year is celebrated for three days from the first full moon day in April. In Mahayana countries the new year starts on the first full moon day in January. However, the Buddhist New Year depends on the country of origin or ethnic background of the people. As for example, Chinese, Koreans and Vietnamese celebrate late January or early February according to the lunar calendar, whilst the Tibetans usually celebrate about one month later.

Vesak or Visakah Puja ("Buddha Day")

Traditionally, Buddha's Birthday is known as Vesak or Visakah Puja (Buddha's Birthday Celebrations). Vesak is the major Buddhist festival of the year as it celebrates the birth, enlightenment and death of the Buddha on the one day, the first full moon day in May, except in a leap year when the festival is held in June. This celebration is called Vesak being the name of the month in the Indian calendar. Magha Puja Day (Fourfold Assembly or "Sangha Day")

Magha Puja Day takes places on the full moon day of the third lunar month (March). This holy day is observed to commemorate an important event in the life of the Buddha. This event occurred early in the Buddha's teaching life. After the first Rains Retreat (Vassa) at the Deer Park at Sarnath, the Buddha went to Rajagaha city where 1250 Arahats,(Enlightened saints) who were the Buddha's disciples, without prior appointment, returned from their wanderings to pay respect to the Buddha. They assembled in the Veruvana Monastery with the two chief disciples of the Buddha, Ven. Sariputta and Ven. Moggalana. The assembly is called the Fourfold Assembly because it consisted of four factors: (1) All 1250 were Arahats; (2) All of them were ordained by the Buddha himself; (3) They assembled by themselves without any prior call; (4) It was the full moon day of Magha month (March).

Asalha Puja Day ("Dhamma Day")

Asalha Puja means to pay homage to the Buddha on the full moon day of the 8th lunar month (approximately July). It commemorates the Buddha's first teaching: the turning of the wheel of the Dhamma (Dhammacakkappavattana Sutta) to the five ascetics at the Deer Park (Sarnath) near Benares city, India. Where Kondanna, the senior ascetic attained the first level of enlightenment (the Sotapanna level of mind purity). Uposatha (Observance Day) The four monthly holy days which continue to be observed in Theravada countries - the new moon, full moon, and quarter moon days. Known in Sri Lanka as Poya Day. [ Web Link: Uposatha or Observance Days ]

Pavarana Day

This day marks the conclusion of the Rains retreat (vassa). In the following month, the kathina ceremony is held, during which the laity gather to make formal offerings of robe cloth and other requisites to the Sangha.

Kathina Ceremony (Robe offering ceremony) Is held on any convenient date within one month of the conclusion of the Vassa Retreat, which is the three month rains retreat season (Vassa) for the monastic order. It is the time of the year when new robes and other requisites may be offered by the laity to the monks.

Anapanasati Day

At the end of one rains retreat (vassa), the Buddha was so pleased with the progress of the assembled monks that he encouraged them to extend their retreat for yet another month. On the full-moon day marking the end of that fourth month of retreat, he presented his now-famous instructions on mindfulness of breathing (anapanasati), which may be found in the Anapanasati Sutta (MN 118) - The Discourse on Mindfulness of Breathing.

Abhidhamma Day In the Burmese tradition, this day celebrates the occasion when the Buddha is said to have gone to the Tushita Heaven to teach his mother the Abhidhamma. It is held on the full moon of the seventh month of the Burmese lunar year starting in April which corresponds to the full moon day in October.

Songkran

This Thai Buddhist festival goes on for several days during the middle of April. People clean their houses and wash their clothes and enjoy sprinkling perfumed water on the monks, novices and other people for at least two or three days. They gather around the riverbank, carrying fishes in jars to put into the water, for April is so hot in Thailand that the ponds dry out and the fish would die if not rescued. People go to the beach or river bank with jars or buckets of water and splash each other. When everyone is happily wet they are usually entertained by boat races on the river.

Loy Krathong (Festival of Floating Bowls)

At the end of the Kathin Festival season, when the rivers and canals are full of water, the Loy Krathong Festival takes place in all parts of Thailand on the full moon night of the Twelfth Lunar month. People bring bowls made of leaves (which contain flowers) candles and incense sticks, and float them in the water. As they go, all bad luck is suppose to disappear. The traditional practice of Loy Krathong was meant to pay homage to the holy footprint of the Buddha on the beach of the Namada River in India.

The Ploughing Festival

In May, when the moon is half-full, two white oxen pull a gold painted plough, followed by four girls dressed in white who scatter rice seeds from gold and silver baskets. This is to celebrate the Buddha's first moment of enlightenment, which is said to have happened when the Buddha was seven years old, when he had gone with his father to watched the ploughing. (Known in Thailand as Raek Na)

The Elephant Festival

The Buddha used the example of a wild elephant which, when it is caught, is harnessed to a tame one to train. In the same way, he said, a person new to Buddhism should have a special friendship of an older Buddhist. To mark this saying, Thais hold an elephant festival on the third Saturday in November.

The Festival of the Tooth

Kandy is a beautiful city in Sri Lanka. On a small hill is a great temple which was especially built to house a relic of the Buddha - his tooth. The tooth can never be seen, as it is kept deep inside may caskets. But once a year in August, on the night of the full moon, there is a special procession for it.

Ulambana (Ancestor Day)

Is celebrated throughout the Mahayana tradition from the first to the fifteenth days of the eighth lunar month. It is believed that the gates of Hell are opened on the first day and the ghosts may visit the world for fifteen days. Food offerings are made during this time to relieve the sufferings of these ghosts. On the fifteenth day, Ulambana or Ancestor Day, people visit cemeteries to make offerings to the departed ancestors. Many Theravadins from Cambodia, Laos and Thailand also observe this festival. Ulambana is also a Japanese Buddhist festival known as Obon, beginning on the thirteenth of July and lasting for three days, which celebrates the reunion of family ancestors with the living.

Avalokitesvara’s (Kuan Yin) Birthday

This is a festival which celebrates the Bodhisattva ideal represented by Avalokitesvara. Who represents the perfection of compassion in the Mahayana traditions of Tibet and China. It occurs on the full moon day in March.

Friday, November 11, 2011

Jilid I Tika – Kelompok Tiga - Dhamma Vibhanga

DHAMMA VIBHAGA

(PENGGOLONGAN DHAMMA)
JILID I

TIKA – KELOMPOK TIGA


1. Tiga permata (TIRATANA):
  1. BUDDHA,
    Orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna dan mengajar para pengikutnya untuk melatih pikiran, perbuatan dan ucapan sesuai dengan Dhamma dan Vinaya, yang dinamakan Buddha – Sasana.
  2. DHAMMA,
    Ajaran (Dhamma) dan peraturan-peraturan disiplin (Vinaya) yang diajarkan oleh Sang Buddha.
  3. SANGHA,
    Sekelompok orang yang telah mendengar ajaran-Nya dan menjalani kehidupan sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.
2. Sifat-sifat mulia Sang Tiratana:
  1. Sang Buddha, setelah mencapai Pengetahuan Sempurna kemudian mengajar orang lain sehingga mereka dapat mengikuti dan mencapai tingkat kesucian yang sama.
  2. Dhamma, menjaga mereka yang melaksanakan ajaran agar mereka tidak jatuh ke jalan yang sesat.
  3. Sangha, persaudaraan para Bhikkhu yang mempraktikkan Dhamma secara tepat dan merupakan penjaga dari Dhamma Sang Buddha.
3. Tiga cara Sang Buddha mengajar:
  1. Beliau mengajarkan Dhamma agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
  2. Beliau mengajar dengan alasan-alasan sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
  3. Beliau mengajar dengan cara yang luar biasa sehingga mereka yang mengikuti jalan itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka.
    A. I. 276; M. II. 9.
4. Tiga nasihat-nasihat Sang Buddha:
  1. Menghentikan duccarita – dengan kata lain, menghentikan praktek-praktek jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran.
  2. Mengembangkan Succarita – dengan kata lain, mengembangkan praktek-praktek yang benar melalui badan, ucapan dan pikiran.
  3. Membuat hati (pikiran) menyingkir dari hal-hal yang menimbulkan kekotoran, yaitu: keserakahan, kebencian dan kebodohan.
5. Tiga Duccarita – cara-cara kelakuan buruk:
  1. Kaya-duccarita : kelakuan buruk dengan badan jasmani
  2. Vaci-duccarita : kelakuan buruk dengan ucapan.
  3. Mano-duccarita : kelakuan buruk dengan pikiran.
  1. Tiga macam Kaya-duccarita :
    1. membunuh makhluk-makhluk hidup.
    2. mencuri dan menipu.
    3. kelakuan seks yang tidak pantas.
  2. Empat macam Vaci-duccarita:
    1. berbohong.
    2. ucapan yang dapat menimbulkan rasa marah dan permusuhan.
    3. kata-kata kasar.
    4. berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna dan tidak bertujuan (omong-kosong).
  3. Tiga macam Mano-duccarita:
    1. Lobha : menginginkan harta orang lain.
    2. Byapada : pikiran ingin menyakiti orang lain.
    3. Micchaditthi : pengertian keliru yang tidak sesuai dengan Dhamma.
Semua tiga Duccarita ini adalah hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Mereka harus dihentikan secara mutlak.
A.V. 281.
6. Tiga Succarita – cara-cara kelakuan baik:
  1. Kaya-succarita : kelakuan baik dengan badan jasmani.
  2. Vaci-succarita : kelakuan baik dengan ucapan.
  3. Mano-succarita : kelakuan baik dengan pikiran.
  1. Tiga macam Kaya-succarita:
    1. menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk hidup.
    2. menahan diri dari mencuri dan menipu.
    3. menahan diri dari kelakuan seks yang tidak pantas.
  2. Empat macam Vaci-succarita:
    1. menahan diri dari pembohongan.
    2. menahan diri dari pembicaraan yang dapat menimbulkan rasa marah dan rasa permusuhan.
    3. menahan diri dari kata-kata kasar.
    4. menahan diri dari pembicaraan tentang hal-hal yang tidak berguna dan tidak bertujuan.
  3. Tiga macam Mano-succarita:
    1. Alobha : tidak menginginkan harta orang lain.
    2. Abyapada : pikiran-pikiran yang tidak ingin menyakiti orang lain.
    3. Samma-ditthi : pikiran benar yang sesuai dengan Dhamma.
Semua tiga succarita ini adalah hal-hal yang harus dilakukan dan harus dipraktekkan.
A. V. 281.
7. Tiga Akusalamula – akar-akar buruk:
Asal atau sumber dari apa yang buruk adalah disebut Akusalamula. Semuanya ada tiga macam.

  1. Lobha : keserakahan atau menginginkan harta orang lain.
  2. Dosa : berpikir akan menyakiti orang lain karena tidak senang.
  3. Moha : ketidaktahuan atau mengetahui secara salah.
Jika salah satu dari tiga akusalamula ini muncul maka hal-hal buruk lainnya (Akusala) yang belum timbul akan timbul, dan apa yang telah timbul akan berkembang dengan banyak. Untuk alasan ini, maka mereka harus ditinggalkan secara mutlak.
D. III. 273; Iti. 45.
8. Tiga Kusalamula – akar-akar baik:
Asal atau sumber dari apa yang baik disebut Kusalamula. Semuanya ada tiga macam:

  1. Alobha : tidak serakah atau tidak ingin memiliki barang orang lain.
  2. Adosa : tidak ingin menyakiti orang lain, tidak membenci.
  3. Amoha : kebijaksanaan.
Jika salah satu dari tiga kusalamula ini muncul, maka hal-hal lain yang baik (Kusala) yang belum muncul akan muncul, dan apa yang telah timbul akan berkembang dengan subur. Untuk alasan ini, maka mereka harus dikembangkan sehingga menjadi watak seseorang.
D. III. 275.
9. Tiga Sappurisapaññatti: hal-hal yang patut dilakukan.
  1. Dana : pelepasan barang milik sendiri sehingga mereka dapat berguna bagi orang lain.
  2. Pabbajja : meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk terbebas dari perjuangan dan keruwetan-keruwetan dunia.
  3. Matapitu upatthana : merawat ibu dan ayah sehingga mereka berbahagia.
    A. I. 151.
10. Tiga Apannaka patipada : praktek-praktek yang bebas dari kesalahan.
  1. Indriyasamvara : mengendalikan enam indria, yaitu: mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran, tidak membiarkan diri terlalu senang atau tidak senang pada saat melihat, mendengar, mencium, merasakan sentuhan-sentuhan pada badan jasmani dan menerima obyek-obyek dari luar melalui pikiran.
  2. Bhojane mattaññuta : mengetahui jumlah yang tepat pada saat menikmati makanan dan mengambil secukupnya, tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit.
  3. Jagariyanuyoga : berusaha sekuat tenaga untuk menyucikan pikiran dan menjadikannya murni tanpa noda serta tidak membiasakan diri untuk berbaring dengan malas.
    A.I. 113.
11. Tiga Puññakiriyavatthu – lapangan-lapangan perbuatan berjasa.
Diterangkan dengan ringkas, yaitu:

  1. Danamaya : Jasa yang diperoleh dengan memberikan dana (kemurahan hati yang mempunyai dasar pelepasan).
  2. Silamaya : Jasa yang diperoleh dengan mempertahankan kelakuan bermoral.
  3. Bhavanamaya : Jasa yang diperoleh dengan mengembangkan bhavana (melatih bathin dan pikiran).
    A.IV. 241.
12. Tiga Samaññalakhana – corak-corak umum dan semua sankhara (hal-hal yang berkondisi).
  1. Aniccata : mereka adalah hal-hal yang tidak kekal.
  2. Dukkhata : mereka adalah hal-hal yang tidak memuaskan (menderita).
  3. Anattata : mereka adalah hal-hal yang tidak mempunyai inti dan bukan ‘aku’.
    S. IV. 1