Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Karaniya Metta Sutta

Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan. Untuk mencapai Keadaan Ketenangan Ia harus mampu jujur, sungguh jujur Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong

Karaniya Metta Sutta

Merasa puas, mudah disokong, Tiada sibuk, sederhana hidupnya, Tenang inderanya, berhati-hati, Tahu malu, tak melekat pada keluarga

Karaniya Metta Sutta

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para Bijaksana Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram, Semoga semua makhluk berbahagia

Karaniya Metta Sutta

Makhluk hidup apapun juga, Yang lemah atau kuat, tanpa kecuali, Yang panjang atau besar, Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk

Karaniya Metta Sutta

Jangan menipu orang lain, Atau menghina siapa saja, Jangan karena marah dan benci, Mengharap orang lain celaka

Saturday, November 18, 2006

POTTHAPADA SUTTA

Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Bhagava berada di Jetavana, arama Anathapindika, Savatthi. Pada suatu ketika pertapa pengembara Potthapada berada arama Millika, di sebuah ruangan yang dibuat untuk tempat berdiskusi. Ruangan ini dikelilingi oleh rangkaian pohon-pohon Tinduka, dan ruangan ini dikenal sebagai sala (ruangan). Bersama dia ada sebanyak tiga ratus pertapa.


2— Pada suatu pagi, setelah Bhagava mengenakan jubah bawah, membawa tempat makan (patta) dan jubah (civara) pergi ke Savatthi untuk menerima makanan (pindapata). Kemudian Bhagava berpikir: ‘Masih terlalu pagi untuk pindapata di Savatthi, sebaiknya saya pegi ke sala, ke ruangan diskusi, di arama Mallika, di situ ada Potthapada. Beliau ke tempat itu.

3— Ketika itu Potthapada sedang duduk bersama sekelompok pertapa dan sedang berbincang-bincang dengan suara yang nyaring, berteriak dan gaduh, membicarakan tentang cerita duniawi, seperti: cerita tentang raja-raja, menteri-menteri negara, pertempuran, teror, perampok; cerita tentang makanan dan minuman, pakaian, tempat tidur, bunga-bungaan dan parfum, cerita tentang hubungan; cerita tentang sarana perlengkapan; cerita tentang desa-desa, kampung-kampung, kota-kota, negara-negara; cerita tentang wanita dan kesatria; gosip di persimpangan jalan, di tempat pengambilan air; cerita hantu; cerita tak menentu; cerita legenda tentang terjadinya daratan dan lautan; dan spekulasi tentang eksistensi dan non-eksistensi.

4— Pertapa Potthapada melihat Bhagava di kejauhan sedang mendatangi. Setelah melihat beliau ia [Potthapada] berkata kepada para pertapa: “Saudara-saudara, diam! Jangan ribut! Samana Gotama datang. Dia adalah orang yang senang dengan ketenang-an, membanggakan ketenangan. Betapa baiknya jika ia melihat kita diam, maka ia akan berpikir pantas untuk bersama-sama dengan kita! Setelah berkata begitu, para pertapa diam”.

5— Bhagava mendatangi tempat pertapa pengembara Potthapada. Lalu Potthapada berkata kepada Bhagava: “Mari bhante. Selamat datang bhante. Bhante telah berjalan jauh hingga ke sini. Silahkan duduk. Ini tempat yang telah tersedia”.
Bhagava duduk, sedangkan Potthapada mengambil tempat duduk yang agak rendah dan duduk di samping beliau. Setelah ia duduk, Bhagava berkata kepadanya: “Potthapada, apa yang menjadi pokok pembicaraan anda sekalian dengan duduk di sini; percakapan apa yang sedang berlangsung di antara anda sekalian yang baru saja terhenti?”
6— Setelah beliau bertanya begitu, Potthapada berkata: “Bhante, tidak perlu dipersoalkan topik yang kami bicarakan dengan duduk di sini. Tidak ada kesulitan bagi Bhagava bila akan mendengarkannya nanti. Bhante, pada waktu yang telah lama, telah beberapa kali banyak macam guru, Samana dan Brahmana berkumpul dan mereka duduk di ruang diskusi, percakapan mereka mencekam, dan pertanyaannya adalah: “Saudara-saudara, bagaimana lenyapnya pencerapan / kesadaran (abhisañña nirodha)?”.
Pada waktu itu ada yang berkata: “Ide-ide muncul pada seseorang tanpa alasan dan tanpa sebab, begitu pula ide-ide itu lenyap. Ketika ide-ide itu muncul dalam dirinya, ia menjadi sadar; ketika ide-ide itu lenyap, ia menjadi tidak sadar. Begitulah mereka menerangkan tentang abhisañña nirodha”.
Ada beberapa orang lain berkata: “Saudara-saudara, itu tidak pernah seperti yang anda sekalian katakan. Kesadaran adalah jiwa manusia. Itu adalah jiwa yang datang dan pergi. Ketika jiwa itu masuk kedalam diri manusia, maka ia sadar; ketika jiwa keluar dari diri manusia, maka ia menjadi tidak sadar. Begitulah keterangan orang-orang lain tentang abhisañña nirodha”.
Orang-orang lain berkata: “Saudara-saudara, itu tidak pernah seperti yang anda sekalian katakan. Tetapi ada beberapa Samana dan Brahmana tertentu yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar. ‘Mereka yang memasukkan kesadaran ke dalam diri manusia dan mengeluarkan kesadaran dari diri manusia. Ketika mereka memasukkannya ke dalam diri manusia, maka ia menjadi sadar; namun ketika mereka mengeluarkan kesadaran dari diri manusia, maka ia menjadi tidak sadar’. Begitulah keterangan orang-orang lain tentang abhisañña nirodha”.
“Bhante, kemudian ingatan saya tentang Bhagava muncul dalam diriku, dan saya berpikir: ‘Apakah Bhagava, apakah Sugata ada di sini, beliau adalah yang ahli tentang dhamma dalam ini’. Karena Bhagava tahu tentang abhisanna nirodha. Bhante, bagaimana tentang lenyapnya kesadaran (abhisañña nirodha) ?”

7— [Kemudian Bhagava memberikan komentar] “Potthapada, baiklah. Para Samana dan Brahmana yang mengatakan bahwa ide-ide muncul dan lenyap pada diri seseorang adalah tanpa alasan dan tanpa sebab, adalah salah sejak dari mula. Sesungguhnya berdasarkan pada alasan dan sebab itulah, maka ide-ide muncul dan lenyap. Berdasarkan latihan (sikha) maka ide-ide muncul dan lenyap”. “Apakah latihan itu?” lanjut Bhagava.

8— “Potthapada, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, yang maha suci, yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuannya serta tindak tanduknya, sempurna menempuh jalan, pengenal segenap alam, pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan. Beliau mengajar-kan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usahanya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan. Beliau mengajar-kan pengetahuan yang telah di peroleh melalui usahanya sendiri kepada orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahmana; para pertapa, Brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan dhamma (kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup suci (brahmacariya) yang sempurna dan suci”.

9— “Kemudian, seorang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga rendah berbagai tingkat masyarakat; setelah mendengarkan Dhamma itu, ia memperoleh keyakinan terhadap Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan dalam dirinya [yaitu] : ‘Sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Bebas seperti udara bagi seseorang yang meninggalkan kehidupan duniawi. Betapa sulitnya seseorang yang hidup berumah-tangga untuk hidup tanpa berumah tangga (pabbajja). Sebaiknya saya mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup pabbajja’.

10— “Potthapada, setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan bhikkhu (patimokkha), sempurna peri-laku dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekali pun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-perhatian seksama dan pengertian jelas (sati sampajjana) dan hidup puas”

11— “Potthapada, bagaimanakah, seorang bhikkhu yang sempurna silanya?”
“Potthapada, dalam hal ini, seorang bhikkhu [melaksanakan hal-hal berikut] :
 menjauhi pembunuhan,
 Menahan diri dari pembunuhan mahkluk-makhluk.
 Setelah membuang alat pemukul dan pedang,
 Malu dengan perbuatan kasar;
 Ia hidup dengan penuh cinta kasih, kasih sayang dan bajik terhadap semua makhluk,
 Menjauhi pencurian,
 Menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan;
 Ia hanya mengambil apa yang tidak diberikan;
 Ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian;
 Ia hidup jujur dan suci.
 Menjauhi hubungan kelamin,
 Menjalankan hidup suci (brahma-cariya)
 Ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah.

Inilah sila yang dimilikinya”.

12— “[kemudian melanjutkan]
 Menjauhi kedustaan,
 menahan diri dari dusta,
 ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran,
 jujur dan dapat dipercaya, serta
 tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia,
 Menjauhi ucapan fitnah,
 menahan diri dari memfitnah;
 apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini.
 Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sana.
 Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah,
 pemersatu,
 mencintai persatuan,
 mendambakan persatuan;
 persatuan merupakan tujuan pembicaraannya.
 Menjauhi ucapan kasar,
 menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar;
 ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela,
 [berkata yang] menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang.

Inilah sila yang dimilikinya

 Menjauhi pembicaraan sia-sia,
 menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat;
 ia berbicara pada saat yang tepat,
 sesuai dengan kenyataan, berguna,
 berbicara tentang dhamma dan vinaya pada saat yang tepat,
 ia mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar,
 penuh dengan gambaran yang tepat,
 memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit.

Inilah yang dimilikinya”.

13— [Kemudian melanjtkan]
 Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan.
 Ia makan sehari sekali,
 tidak makan setelah tengah hari.
 Ia menahan diri dari menonton pertunjukkan-pertunjukkan, tari-tarian, nyanyian dan musik.
 Ia menahan dari penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan.
 Ia menahan diri dari penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah.
 Ia menahan diri dari menerima emas dan perak.
 Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak.
 Ia menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak.
 Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-perempuan muda.
 Ia menahan diri dari menerima budak belian lelaki dan budak belian perempuan.
 Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing,
 Ia menahan diri dari menerima bagi dan unggas,
 Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan kuda.
 Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian.
 Ia menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran.
 Ia menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan.
 Ia menahan diri dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.

Inilah sila yang dimilikinya”.

14— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya”

15— ”Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti: bahan makanan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

16— ”Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukkan, seperti:
‘tari-tarian, nyanyian-nyanyian, musik, pertunjukkan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang perangan, pawai, inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

17— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti: permainan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan luku mainan, permainan jungkir balik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain,
‘seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”

18— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti: dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna warni, selimut putih, seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup kepala dan kaki; namun seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

19— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri, seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak mata (bukan obat), bunga-bunga, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

20— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang mencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percapakan tentang wanita, percakapan tentang lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang eksistensi dan non eksistensi; namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

21— “Meskipun beberapa pertapa Brahmana hidup dari makanan yang disedikanan oleh umat yang berbakti, mereka disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti:
 “Bagaimana seharusnya engkau mengerti dhamma vinaya ini?
 “Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar”.
 “Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan”.
 “Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir”.
 “Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang”.
 Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau ternyata salah”.
 “Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu” .
Inilah sila yang dimilikinya”.

22— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, Brahmana, orang berkeluarga atau pemuda-pemuda, yang berkata: “Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana”; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

23— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir dengan tujuan mem-peroleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuan-nya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

24— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disedikan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah,
 seperti meramal dengan melihat guratan-guratan tangan,
 meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat,
 menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya,
 meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi,
 meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh,
 meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus,
 mengadakan korban pada api,
 mengadakan selamatan yang dituang dari sendok,
 memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa,
 memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa,
 memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa,
 memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa,
 mempersembahkan biji wijen dengan menyemburkannya dari mulut ke api,
 mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa,
 melihat dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial;
 menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak
 menasehati cara-cara pengukuran tanah;
 mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu,
 mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan] kelajengking,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan] tikus,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan]burung,
 [menggunakan] mantra untuk [mengusir/menjinakkan]burung gagak,
 meramal umur,
 mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-limu rendah semacam itu.

Inilah sila yang dimilikinya”.

25— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan gajah, kuda, kerbau , sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

26— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

27— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edarnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar, matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

28— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang popular dan ada kebiasaan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

29— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik baik mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk membuat per-musuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat-lihat kaca ajaib, mencari jawaban melalui seorang gadis yang kerasukan, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari memuja maha ibu (dewa tanah) mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewi Sri, atau dewi keberuntungan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

30— “Meskipun beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginannya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat bersin untuk mengobat sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberi collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya”.

31— “Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap sila. Potthapada, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Potthapada, demikianlah seorang Samana atau brahamana yang memiliki sila sempurna”.
32— “Potthapada, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya? Potthapada, bilamana seorang Samana atau barahamana melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya. Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengarannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pendengarannya. Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya”.
“Bilamana ia mengecap rasa lidahnya, Ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapan-nya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya”.
“Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya”.
“Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya”.
“Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. Potthapada, demikianlah, Potthapada, seorang Samana atau Brahmana yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya”

33— “Potthapada, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana memiliki perhatian-seksama dan pengertian jelas (sati-sampajana)? Potthapada, dalam hal ini seorang Samana atau Brahmana mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam. Potthapada, demikianlah seorang Samana atau Brahmana yang memiliki perhatian seksama dan pengertian jelas”

34— “Potthapada, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana merasa puas (santuttha)? Potthapada, dalam hal ini seorang Samana atau Brahmana merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan ke mana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Potthapada, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Potthapada, demikian pula seorang Samana atau Brahmana merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini. Potthapada, demikianlah seorang Samana atau Brahmana merasa puas”

35— “Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini (ariyena indriya-samvarena), memiliki perhatian seksama dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kuburan, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan”.
36— “Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap keduniawian, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkir-kan keragu-raguan, ia menjadi orang yang telah mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan”.
37— “Potthapada, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Dan ia berpikir: “Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri”. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”.

38— “Potthapada, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih’. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”.

39— “Potthapada, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas’. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”

40— “Potthapada, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tindak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka’. Dengan demikian ia merasa gembira dan senang atas hal itu”.

41— Potthapada, sema halnya seperti seorang yang dengan membawa harta dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman dan tidak ada bahaya. Dan ia berpikir: ‘Dahulu, dengan membawa harta dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman dan tidak ada bahaya’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”.

42— “Potthapada, demikianlah, selama lima rintangan batin (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang Samana atau Brahmana merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Potthapada, tetapi setelah lima rintangan itu disingkirkan, maka seorang Samana atau Brahmana merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari pebudakan, sampai di tempat yang aman.

43— “Ketika ia menyadari bahwa lima rintangan batin itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti); karena kegiuran, maka seluruh tubuhnya terasa tenang; karena tubuh diliputi ketenangan, maka ia merasa bahagia; karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, karena telah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan vitakka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Kemudian, pada saat itu dalam dirinya ide atau pencerapan nafsu indera (kama-sañña) yang telah ia miliki lenyap; sedangkan ide atau pencerapan (sañña) kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) yang nyata dan halus muncul karena kebebasan (viveka), ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sañña muncul; dan melalui latihan, semacam sanna lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

44(11)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu telah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai vitakka dan vicara, keadaan pikiran terpusat. Kemudian ide (sañña) kegiuran dan ketenangan karena kebebasan yang nyata, yang baru saja ia miliki, lenyap. Selanjutnya pada saat itu dalam dirinya muncul ide kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) yang halus dan nyata, yang muncul sebagai hasil meditasi (samadhi). Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sanna lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

45(12)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu membebaskan dirinya dari kegiuran dan nafsu indera, batin seimbang disertai perhatian seksama dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, keadaan ini yang dikatakan oleh para ariya sebagai “bahagia disertai perhatian seksama dan batin seimbang”. Ia masuk dan berada dalam Jhana Ketiga. Pada saat itu dalam dirinya, kegiuran lembut dan nyata yang telah muncul sebagai hasil samadhi, lenyap; sedangkan kebahagiaan (sukha) lembut dan nyata muncul sebagai hasil keseimbangan batin (upekkha). Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.

“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

46(13)— ”Potthapada, selanjutnya dengan menyingkirkan sukha-dukkha (kebahagiaan dan penderitaan fisik) dan somana-domana (kebahagiaan dan penderitaan mental) yang telah dirasakan sebelumnya, Samana atau Brahmana itu memasuki dan berdiam dalam Jhana Keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang (upekha), memiliki perhatian seksama yang murni (satiparisuddhi), bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Selanjutnya pada saat itu dalam dirinya, kebahagiaan lembut dan nyata yang ia miliki sebagai hasil dari upekha, lenyap; sedangkan keadaan batin yang adukkha-asukha (bukan penderitaan dan bukan kebahagiaan) lembut dan nyata, muncul. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

47(14)— Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu dengan melampaui semua ide bentuk jasmani (rupa-sañña), meninggalkan ketidak-senangan (patigha-sañña), dan tanpa memperdulikan ide membedakan, berpikir: “Ruang tanpa batas”, ia mencapai dan berdiam dengan pikiran yang hanya berkenaan dengan kesadaran tentang ruang tanpa batas. Kemudian kesadaran tentang jasmani yang ia telah miliki, lenyap; selanjutnya muncul kebahagiaan yang halus dan nyata, yang hanya berkenaan dengan ruang tanpa batas. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu. “Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan,” kata Bhagava.

48(15)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu dengan melampaui semua ide ruang tanpa batas (akasañancayatana), berpikir: “Kesadaran tanpa batas” (anantamviññanan), ia mencapai dan berdiam dengan pikiran yang hanya berkenaan dengan “kesadaran ruang tanpa batas” (viññanancayatana). Kemudian kesadaran tentang ruang tanpa batas yang halus dan nyata, ia telah miliki, lenyap; selanjutnya muncul kebahagiaan yang halus dan nyata, yang hanya berkenaan dengan kesadaran tanpa batas. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan,” kata Bhagava.

49(16)— ”Potthapada, selanjutnya seorang bhikkhu dengan melampaui semua ide kesadaran tanpa batas (vinnanancayatana), berpikir: “Tidak ada yang sesungguhnya ada” (n’atthi kinciti), ia mencapai dan berdiam dengan pikiran yang hanya berkenaan dengan “sesuatu itu tidak nyata atau kekosongan tanpa batas (akincañanacayatana)”. Kemudian kesadaran tentang kesadaran tanpa batas yang halus dan nyata, ia telah miliki, lenyap; selanjutnya muncul kebahagiaan yang halus dan nyata, yang hanya berkenaan dengan kekosongan tanpa batas. Ia menjadi seorang yang memiliki pikiran seperti itu”.
“Demikianlah, melalui latihan ide (sañña), semacam sanna muncul; dan melalui latihan, semacam sañña lenyap. Inlah latihan yang saya maksudkan, “kata Bhagava”.

50(17)— ”Potthapada, sejak saat bhikkhu itu menyadari pencapaian tingkat tertentu (sejak mencapai Jhana I), yaitu ia mencapai tingakat tertentu ke tingkat lain, hingga ia mencapai tingkat kesadaran tertinggi. Ketika ia berada di tingkat tertinggi, hal ini muncul dalam pikirannya: “Memikirkan segala sesuatu adalah tingkat rendah. Lebih baik tidak berpikir. Bilamana saya berpikir dan merenung, ide-ide ini, kesadaran-kesadaran ini, yang telah saya capai, akan lenyap; selanjutnya kesadaran-kesadaran lain yang kasar akan muncul. Sebaiknya saya tidak berpikir dan merenung lagi”. Maka ia tidak berpikir. Selanjutnya ia tidak berpikir lagi, tidak merenung; maka ide-ide dan kesadaran-kesadaran yang telah ia miliki, lenyap; dan tidak ada lagi ide-ide kasar lain yang muncul. Dengan demikian ia mencapai pelenyapan (nirodha)”.
“Potthapada, itulah pencapaian pelenyapan dari kesadaran ide-ide secara bertahap”.

51(18)— ”Potthapada, bagaimana pendapatmu? Apakah sebelumnya anda pernah mendengar pencapaian secara bertahap tentang pelenyapan ide-ide (sañña-nirodha)?”
“Tidak, bhante. Saya tidak pernah mendengarnya. Tetapi sekarang saya mengerti apa yang bhante katakan : “Potthapada, sejak saat bhikkhu itu menyadari pencapaian tingkat tertentu (sejak mencapai Jhana I), yaitu ia mencapai tingakat tertentu ke tingkat lain, hingga ia mencapai tingkat kesadaran tertinggi. Ketika ia berada di tingkat tertinggi, hal ini muncul dalam pikirannya: “Memikirkan segala sesuatu adalah tingkat rendah. Lebih baik tidak berpikir. Bilamana saya berpikir dan merenung, ide-ide ini, kesadaran-kesadaran ini, yang telah saya capai, akan lenyap; selanjutnya kesadaran-kesadaran lain yang kasar akan muncul. Sebaiknya saya tidak berpikir dan merenung lagi”. Maka ia tidak berpikir. Selanjutnya ia tidak berpikir lagi, tidak merenung; maka ide-ide dan kesadaran-kesadaran yang telah ia miliki, lenyap; dan tidak ada lagi ide-ide kasar lain yang muncul. Dengan demikian ia mencapai pelenyapan (nirodha)”.
“Potthapada, itulah pencapaian pelenyapan dari kesadaran ide-ide secara bertahap”.
“Begitulah, Potthapada”.

52(19)— ”Bhante, apakah Bhagava mengajarkan satu kesadaran tertinggi (sannagga) atau ada beberapa kesadaran tertinggi?”
“Potthapada, menurut pendapat saya ada satu, namun ada juga beberapa”.
“Tetapi, bagaimana mungkin Bhagava mengajar kedua-duanya yang satu dan juga beberapa?”
“Karena ia mencapai pelenyapan (dari sati ide, satu kesadaran) satu per satu, sehingga ia mencapai satu per satu tingkat-tingkat yang berbeda hingga ke tingkat tertinggi. Potthapada, begitulah maka saya nyatakan satu kesadaran tertinggi atau beberapa”.

53(20)— ”Bhante, apakah ide (sanna) lebih dahulu muncul dan pengetahuan (nana) muncul belakangan. Atau apakah nana lebih dahulu muncul dan sanna muncul belakangan. Atau keduanya muncul bersamaan, atau tidak ada satu di antaranya yang muncul lebih dahulu daripada yang lain.?”
“Potthapada, ide (sanna) lebih dahulu muncul, dan kemudian pengetahuan (ñana) muncul. Pemunculan nana tergantung pada pemunculan sanna. Hal ini dapat dingerti dari kenyataan bahwa seseorang mengetahui : “Berdasarkan sebab ini, maka pengeta-huan itu muncul padaku”.

54(21)— ”Bhante, apakah ide, kesadaran, pencerapan (sañña) identik dengan jiwa (atta); atau sañña hal yang lain, dan atta hal yang lain?”
“Potthapada, mengapa anda mempersoalkan tentang atta?”
Lalu Pottapada menjelaskan “Bante, sebagai pendapat [saya], materi jiwa (atta) memiliki tubuh (rupa), dibentuk oleh empat unsur dan ditunjang oleh makanan”.
“Potthapada, bila ada jiwa seperti itu, maka kesadaran (sañña)-mu satu hal, dan jiwamu hal yang lain. Potthapada, hal itu dapat anda ketahui dengan pertimbangan berikut”.
“Potthapada, bila materi jiwa memiliki tubuh yang dibentuk oleh empat unsur dan ditunjang oleh makanan; tetapi masih ada beberapa ide atau beberapa kesadaran muncul pada orang itu, sedangkan ide dan kesadaran lain lenyap”.
“Potthapada, dalam hal ini, anda dapat melihat bagaimana kesadaran adalah satu hal dan jiwa hal yang lain”.

55(22)— ”Bhante, dalam hal ini saya kembali pada pertanyaan tentang jiwa yang dibuat oleh pikiran, dengan semua bagian besar dan kecil yang utuh, tidak ada bagian yang kurang”.
“Potthapada, perhatikan, anda memiliki jiwa seperti itu, maka saya akan menggunakan argumentasi yang sama”.

56(23)— ”Bhante, dalam hal ini saya kembali pada pertanyaan tentang jiwa yang tanpa tubuh, yang dibuat oleh kesadaran (sañña)”.
“Potthapada, perhatikan, anda memiliki jiwa seperti itu, maka saya akan menggunakan argumentasi yang sama”.

57(24)— ”Bhante, apakah mungkin bagi saya mengerti bahwa kesadaran (sañña) adalah jiwa manusia, atau yang satu berbeda dengan yang lain?”
“Potthapada sulit bagimu untuk mengerti, karena anda berpendapat seperti itu, memiliki pandangan yang berbeda-beda, hal-hal lain menjadi kenyataan bagimu, membuat banyak tujuan berbeda-beda didepanmu, mengusahakan kesempurnaan yang berbeda, dilatih dalam sistem ajaran berbeda!”

58(25)— ”Bila demikian, bagaimana pendapat Bhante: “Apakah dunia ini kekal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari (avyakata)”.
“Apakah dunia ini tidak kekal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah dunia ini terbatas? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah dunia ini tidak terbatas? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.

59.(26)--- ”Bhante, Apakah jiwa sama dengan jasmani? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah jiwa berbeda dengan jasmani? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.

60.(27)-- “Apakah seorang Tathagata terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”.
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah seorang Tathagata tidak terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah seorang Tathagata terlahir kembali dan tidak terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
“Apakah seorang Tathagata bukan terlahir kembali dan bukan tidak terlahir kembali setelah meninggal? Apakah ini benar dan pandangan lain salah?”
“Potthapada, ini adalah hal yang saya tak perlu komentari”.
61.(28).-- “Bhante, mengapa Bhagava tidak memberi komentar?”
“Potthapada, pertanyaan ini tidak ada manfaatnya, tidak berkenaan dengan Dhamma, tidak berkaitan dengan penghidupan suci yang tinggi (adibrahmacariya), tidak mengarah pada pembebasan, tidak mensucikan diri dari nafsu, tidak membawa ke-pelenyapan kekotoran batin, tidak mengarah pada kedamaian batin, bukan pengetahuan kebenaran (abhiññaya), tidak mengarah pada penerangan sempurna (sambhodaya), tidak membawa ke-pencapaian nibbana. Itulah sebabnya saya tak perlu komentari”.

62.(29) ”Bhante, bila demikian, apakah yang Bhagava nyatakan (vyakata)?”.
“Potthapada, saya telah menyatakan tentang: Inilah dukkha Inilah penyebab dukkha (dukkha samudaya). Inilah lenyapnya dukkha (dukkha niroda). Inilah jalan atau cara melenyapkan dukkha (dukkha niroda gaminipatipada)”.

63. (30) “Bhante, tetapi mengapa Bhagava menyatakan hal ini?”
“Potthapada, karena hal ini pertanyaan ini ada manfaatnya, berkenaan dengan Dhamma, berkaitan dengan penghidupan suci yang tinggi (adibrahmacariya), mengarah pada pembebasan, mensucikan diri dari nafsu, membawa ke-pelenyapan kekotoran batin, mengarah pada kedamaian batin, menghasilkan pengetahu-an kebenaran (abhiññaya), mengarah pada penerangan sempurna (sambhodaya), membawa ke pencapaian nibbana. Itulah sebabnya saya nyatakan”.
“Demikianlah, Bhagava. Begitulah Sugata. Bhante, sekarang saatnya Bhagava melakukan apa yang pantas”.
Bhagava berdiri dari tempat duduk, dan meninggalkan tempat itu.

64.(31)--- Tak lama setelah Bhagava pergi, para pertapa mencemoohkan pertapa pengembara Potthapada, dari berbagai arah mereka mengejek dan mengatakan kata-kata pedas, dengan berkata:
“Sungguh, beginilah Potthapada, menerima apa saja yang dikatakan Samana Gotama”, dengan berkata: ‘Demikianlah Bhagava, begitulah Sugata’. Pada kami tidak melihat Samana Gotama memyatakan suatu ajaran yang jelas mengenai salah satu dari sepuluh pertanyaan:
 Apakah dunia ini kekal?
 Apakah dunia ini tidak kekal?
 Apakah dunia ini terbatas?
 Apakah dunia ini tidak terbatas?
 Apakah jiwa sama dengan jasmani?
 Apakah jiwa berbeda dengan jasmani?
 Apakah seorang Tathagata terlahir kembali setelah meninggal?
 Apakah seorang Tathagata tidak terlahir kembali setelah meninggal?
 Apakah seorang Tathagata terlahir kembali dan tidak terlahir kembali setelah meninggal?
 Apakah seorang Tathagata bukan terlahir kembali dan bukan tidak terlahir kembali setelah meninggal?
Setelah mereka berkata begitu, Potthapada berkata: “Saya juga tidak melihat ia menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal itu. Tetapi, Samana Gotama menguraikan sebuah metode sesuai dengan apa adanya sesuatu itu, benar dan tepat, berdasarkan dhamma, dan sesuai dengan dhamma (dhammaniyama). Bagaimana saya menolak untuk menyetujuinya sesuatu yang telah diuraikan dengan baik; apa yang telah dikatakan dengan jelas oleh Samana Gotama?”.

65.(32)— Setelah dua atau tiga hari berlalu, Citta Hatthisari-putta bersama pertapa Potthapada pergi ke tempat Bhagava berada. Setelah tiba, Citta Hatthisari-putta menghormat Bhagava dan duduk di tempat yang tersedia. Sedangkan pertapa Potthapada saling memberi salam dengan Bhagava, mengucapkan kata-kata santun dan bersahabat, lalu duduk di tempat yang tersedia. Setelah ia duduk, ia berkata kepada Bhagava tentang cemohan yang dikatakan oleh para pertapa kepadanya, dan jawabannya kepada para pertapa.

66.(33)— ”Potthapada, semua pertapa itu adalah buta dan tidak melihat. Anda seorang yang dapat melihat di antara mereka. Potthapada, ada beberapa hal yang telah saya nyatakan pasti, namun ada hal-hal lain yang saya nyatakan tidak pasti. Sepuluh pertanyaan yang anda ajukan, karena adanya alasan-alasan, saya nyatakan hal-hal itu adalah tidak pasti. Sedangkan Empat Kebenaran Mulia, yaitu inilah Dukkha, Dukkha Samudaya, Dukkha Nirodha dan Dukkha Nirodha Gaminipatipada, saya nyatakan pasti”.

67(34)— ”Potthapada, ada beberapa Samana dan Brahmana yang beraliran tertentu dan berpandangan tertentu menyatakan bahwa: “Jiwa adalah bahagia dan sehat sempurna setelah meninggal”.
Saya [Samana Gotama] mengunjungi mereka, dan menanyakan “apakah hal itu adalah pandangan mereka atau tidak?”.
Mereka menjawab “ya” yang berarti memberitahukan bahwa itu pandangan mereka.
Saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka, “Apakah seberapa jauh mereka biasa mengetahui atau mengerti tentang dunia (bahwa orang dalam dunia), kebahagiaan sempurna?”.
Mereka menjawab :”Tidak”.
Selanjutnya saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, lebih lanjut, dapatkah anda sekalian mempertahankan diri anda sekalian selama semalam, sehari penuh, atau setengah malam dan siang, tetap bahagia sempurna?”
Mereka menjawab : “Tidak”.
Saya [Samana Gotama] berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, apakah anda mengetahui cara atau jalan yang dengan itu anda dapat merealisasikan keadaan kebahagiaan sempurna?”
Mereka tetap menjawab : “Tidak”.
Lalu saya [Samana Gotama] berkata: “Saudara-saudara, apakah anda sekalian pernah mendengar suara-suara para dewa yang telah merealisasikan kelahiran kembali di alam kebahagiaan sempurna, dengan berkata: “Wahai manusia, berlakulah sungguh-sungguh, berusahalah dengan giat, untuk merealisasikan (kelahiran kembali) di alam kebahagiaan sempurna. Karena sebagai hasil dari usaha seperti itu, kami telah terlahir kembali di alam kebahagiaan sempurna”.
Mereka tetap menjawab; “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata para Samana dan Brahmana itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”

67(35)— Bagaimana jika ada seseorang berkata: “Betapa aku merindukan, betapa saya mencintai wanita tercantik di dunia?”
Kemudian orang-orang yang bertanya kepadanya: “Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia yang anda rindukan dan cintai, apakah anda ketahui bahwa wanita cantik itu dari keluarga kesatria, Brahmana, veisya atau sudra?”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Tidak”.
Lalu orang-orang bertanya kepadanya: “Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia yang anda rindukan dan cintai, apakah anda tahu namanya, atau nama keluarganya, atau apakah ia tinggi, atau pendek, atau tingginya lumayan; apakah ia berkulit hitam, putih atau kuning, atau ia tinggal di kampung, kelurahan atau kota apa?”
Setelah ditanya ia menjawab : “Tidak”.
Orang-orang berkata kepadanya: “Kawan yang baik, kalau begitu dia yang anda rindukan dan cintai adalah anda tidak tahu dan belum pernah lihat?
Ia menjawab : “Ya”.
“Potthapada, bagaimana pendapamu? Bukankah cerita dari orang itu tidak berguna?”
“Bhante, begitulah. Cerita dari orang itu adalah tidak berguna”.

68(36)— ”Potthapada demikinlah ada beberapa Samana dan Brahmana yang beraliran tertentu dan berpandangan tertentu: “Jiwa adalah bahagia dan sehat sempurna setelah meninggal”.
Saya [Samana Gotama] mengunjungi mereka, menanyakan “apakah hal itu adalah pandangan mereka atau tidak”.
Mereka menjawab “ya” berarti memberitahukan bahwa itu pandangan mereka.
Saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka, “seberapa jauh mereka biasa mengetahui atau mengerti tentang dunia (bahwa orang dalam dunia), kebahagiaan sempurna?”,
Mereka menjawab :”Tidak”.
Selanjutnya saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, lebih lanjut, dapatkah anda sekalian mempertahankan diri anda sekalian selama semalam, sehari penuh, atau setengah malam dan siang, tetap bahagia sempurna?”
Mereka menjawab : “Tidak”.
Saya [Samana Gotama] berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, apakah anda mengetahui cara atau jalan yang dengan itu anda dapat merealisasikan keadaan kebahagiaan sempurna?”
Dengan pertanyaan ini mereka tetap menjawab : “Tidak”.
Lalu saya [Samana Gotama] berkata: “Saudara-saudara, apakah anda sekalian pernah mendengar suara-suara para dewa yang telah merealisasikan kelahiran kembali di alam kebahagiaan sempurna, dengan berkata: ‘Wahai manusia, berlakulah sungguh-sungguh, berusahalah dengan giat, untuk merealisasikan (kelahiran kembali) di alam kebahagiaan sempurna. Karena sebagai hasil dari usaha seperti itu, kami telah terlahir kembali di alam kebahagiaan sempurna’”.
Mereka tetap menjawab; “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata para Samana dan Brahmana itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata mereka itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

69(37)-- “Potthapada, hal itu bagaikan seseorang mendirikan sebuah tangga di perempatan jalan untuk naik ke tingkat tertinggi sebuah gedung. Orang-orang bertanya kepadanya: “Kawan yang baik, anda membuat tangga untuk naik ke gedung, apakah anda tahu ini ada di timur, barat, utara atau selatan? Apakah itu tinggi, rendah atau setengah tinggi?”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Tidak”.
Orang-orang bertanya kepadanya: “Kawan, tetapi anda mendirikan sebuah tangga untuk naik ke gedung yang anda tidak tahu maupun anda tidak lihat?”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata orang itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata orang itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

70(38)— ”Potthapada demikinlah ada beberapa Samana dan Brahmana yang beraliran tertentu dan berpandangan tertentu: : “Jiwa adalah bahagia dan sehat sempurna setelah meninggal”.
Saya [Samana Gotama] mengunjungi mereka, menanyakan “apakah hal itu adalah pandangan mereka atau tidak”.
Mereka menjawab “ya”, yang berarti memberitahukan bahwa itu pandangan mereka.
Saya [Samana Gotama] bertanya kepada mereka, apakah seberapa jauh mereka biasa mengetahui atau mengerti tentang dunia (bahwa orang dalam dunia), kebahagiaan sempurna?”,
Mereka menjawab :”Tidak”.
Selanjutnya saya bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, lebih lanjut, dapatkah anda sekalian mempertahankan diri anda sekalian selama semalam, sehari penuh, atau setengah malam dan siang, tetap bahagia sempurna?”
Mereka menjawab : “Tidak”.
Saya berkata kepada mereka: “Saudara-saudara, apakah anda mengetahui cara atau jalan yang dengan itu anda dapat merealisasikan keadaan kebahagiaan sempurna?”
Dengan pertanyaan ini mereka tetap menjawab : “Tidak”.
Lalu saya berkata: “Saudara-saudara, apakah anda sekalian pernah mendengar suara-suara para dewa yang telah merealisasikan kelahiran kembali di alam kebahagiaan sempurna, dengan berkata: ‘Wahai manusia, berlakulah sungguh-sungguh, berusahalah dengan giat, untuk merealisasikan (kelahiran kembali) di alam kebahagiaan sempurna, Karena sebagai hasil dari usaha seperti itu, kami telah terlahir kembali di alam kebahagiaan sempurna”.
Mereka tetap menjawab; “Tidak”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata para Samana dan Brahmana itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata mereka itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

71(39)--- ”Potthapada, ada tiga macam pencapaian-pribadi (atta patilabha) yang diinginkan (manusia biasa), yaitu: pencapaian-pribadi materi (olarika), pencapaian-pribadi non-materi (manomaya) dan pencapaian-pribadi tanpa-bentuk (arupa). Potthapada, apakah yang dimaksud dengan pencapaian materi?”
[Potthapada menjawab] “pencapaian-pribadi materi adalah jasmani yang dibentuk oleh empat materi dasar (catummahabhuta) dan dipelihara oleh makanan keras (kabalinkarahara).
[Samana Gotama bertanya] “Apakah yang dimaksud dengan pencapaian-pribadi non-materi?”
[Potthapada menjawab] “Pencapaian-pribadi non-materi adalah dibentuk oleh pikiran, memiliki seluruh anggota tubuh besar dan kecil, serta orang-organ yang sempurna.
[Samana Gotama bertanya] “ “Apakah yang dimaksud dengan pencapaian-pribadi tanpa-bentuk?
[Potthapada menjawab] “Pencapaian-pribadi tanpa-bentuk adalah keadaan tanpa jasmani dan hanya memiliki kesadaran (saññamayo)”.

72.(40) ”Potthapada, berkenaan dengan pencapaian-pribadi materi ini, saya akan mengajarkan dhamma (damma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Potthapada, mungkin anda berpikir: ‘Karena kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’”.
“Potthapada, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna)”.

73. (41) “Potthapada, berkenaan dengan pencapaian non-materi ini, saya akan mengajarkan dhamma (Dhamma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Potthapada, mungkin anda berpikir: ‘maka kecenderu- ngan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’.
“Potthapada, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna).

74. (42) “Potthapada, berkenaan dengan pencapaian tanpa-bentuk ini, saya akan mengajarkan dhamma (Dhamma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Potthapada, [setelah saya berbicara demikian] mungkin anda berpikir: ‘maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’”.
“Potthapada, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna)”.

75. (43) Samana Gotama menjelaskan “Potthapada, orang lain mungkin bertanya kepada kita: ‘Saudara, apakah pencapaian-pribadi materi (olarika atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma yang anda ajarkan (desana) itu; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?’”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya [Samana Gotama] akan menjawab: “Itu adalah alorika atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.

76. (44) Samana Gotama menjelaskan: “Potthapada, orang lain mungkin bertanya kepada kita: “Saudara, apakah manomaya atta-patilabho (pencapaian-pribadi non-materi) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma yang anda ajarkan (desana) itu ; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya [Samana Gotama] menjawab: “Itu adalah manomaya atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.

77.(45)---”Potthapada, orang lain mungkin bertanya kepada kita: ‘Saudara, apakah pencapaian-pribadi tanpa-bentuk (arupo atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma anda ajarkan (desana) itu; sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya [Samana Gotama] menjawab: “Itu adalah arupo atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

78.(46)---”Potthapada, hal itu bagaikan seseorang mendirikan sebuah tangga untuk naik ke tingkat tertinggi dari sebuah gedung di bawah gedung itu. Orang-orang bertanya kepadanya: ‘Kawan yang baik, anda membuat tangga untuk naik ke gedung, apakah anda tahu ini ada di timur, barat, utara atau selatan? Apakah itu tinggi, rendah atau setengah tinggi?’”
Setelah ditanya, ia menjawab: “Mengapa? Ini adalah gedungnya! Di sini adalah bagian bawah gedung tempat saya mendirikan tangga dengan maksud untuk naik ke gedung”.
“Potthapada, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata orang itu memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata orang itu memiliki dasar yang baik”.

79(47) “Potthapada, demikianlah ketika saya ditanya: “Saudara, berkenaan dengan pencapaian-pribadi tanpa-bentuk, anda akan mengajarkan dhamma (dhamma desana) yang mengarah pada pelenyapannya; sehingga bilamana seseorang melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna”.
“Saudara, mungkin anda berpikir: ‘maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna, tetapi seseorang tetap dukkha’”.
“Saudara, pendapat tersebut adalah tidak tepat. Karena bilamana hal itu dicapai, maka ia akan diliputi oleh kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha), kedamaian (passadhi), perhatian seksama (sati) dan pengertian jelas (sampajanna).
“Saudara, orang lain mungkin bertanya kepada kita: “Saudara, apakah pencapaian-pribadi materi (olarika atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma [yang] anda ajarkan (dhamma desana); sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya akan menjawab: “Itu adalah alorika atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Saudara, orang lain mungkin bertanya kepada kita: ‘Saudara, apakah pencapaian-pribadi non-materi (manomaya atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma [yang] anda ajarkan (dhamma desana); sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang selanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?’”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya akan menjawab: “Itu adalah manomaya atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Saudara, orang lain mungkin bertanya kepada kita: “Saudara, apakah pencapaian-pribadi tanpa-bentuk (arupo atta-patilabho) yang dilenyapkan berdasarkan pada dhamma anda ajarkan (desana); sehingga bilamana anda melaksanakan dhamma maka kecenderungan buruk yang telah dimiliki akan dapat dilenyapkan, sedangkan kecenderungan kesucian akan bertambah; yang se-lanjutnya seseorang akan dapat mengalaminya sekarang dan dapat merealisasikannya sendiri tentang kebijaksanaan sempurna?’”
Berkenaan dengan pertanyaan itu, saya akan menjawab: “Itu adalah arupo atta patilabho yang anda lihat di depan anda sendiri yang saya maksud”.
“Saudara, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Dengan demikian, bukankah kata-kata itu merupakan hal yang tak memiliki dasar yang baik?”
“Tentu, Bhante. Kata-kata itu merupakah hal yang tak memiliki dasar yang baik”.

80.(48)--- Ketika beliau telah berkata begitu, Citta Hatthisari-putta berkata kepada Bhagava: “Bhante, ketika seseorang memiliki pencapaian-pribadi materi (olarika atta-patilabho), maka manomaya atta-patilabho dan arupa atta patilabho adalah tidak nyata? Apakah hanya olarika atta-patilabho yang nyata?”
“Bhante, ketika seseorang memiliki pencapaian-pribadi non-materi (manomaya atta-patilabho), maka olarika atta-patilabho dan arupa atta patilabho adalah tidak nyata? Apakah hanya manomaya atta-patilabho yang nyata?”
“Bhante, pada waktu seseorang memiliki pencapain-pribadi materi (arupa atta-patilabho), maka olarika dan manomaya atta-patilabho adalah tidak nyata? Apakah hanya arupa atta-patilabho yang nyata?”

81.(49) [Sang Bhagava memberikan penjelasan kepada Citta Hatthisari-putta]. “Citta, ketika olarika atta-patilabho ada, maka olarika atta-patilabho tidak muncul dalam katagori manomaya atta-patilabho dan arupa atta-patilabho. Ketika olarika atta-patilabho ada, maka hanya olarika atta-patilabho yang nyata”.
“Citta, ketika manomaya atta-patilabho ada, maka manomaya atta-patilabho tidak muncul dalam katagori olarika atta-patilabho dan arupa atta-patilabho. Ketika manomaya atta-patilabho ada, maka hanya manomaya atta-patilabho yang nyata”.
“Citta, ketika arupa atta-patilabho ada, maka arupa atta-patilabho tidak muncul dalam katagori olarika atta-patilabho dan manomaya atta-patilabho. Ketika arupa atta-patilabho ada, maka hanya arupa atta-patilabho yang nyata”.
[Selanjutnnya Sang Bhagava bertanya kepada Citta Hatthisari-putta] “Citta, bilamana orang-orang bertanya kepada anda: ‘Apakah anda ada pada waktu lampau atau tidak?, Apakah anda akan ada di waktu akan datang?, Apakah anda ada sekarang atau tidak?” Bagaimana anda akan menjawabnya?”
[Citta Hatthisari-putta menjawab] “Saya akan berkata ‘saya ada pada waktu yang lampau dan bukan tidak ada; bahwa saya akan ada di waktu akan datang dan bukan tidak akan ada; bahwa saya sekarang ada dan bukan tidak ada’”.

82.(50)--- ”Kemudian, bilamana mereka bersama-sama bertanya:
(1) Pencapaian pribadi lampau (atita atta-patilabho) yang telah anda miliki, apakah itu nyata bagimu; sedangkan pencapaian pribadi akan datang (anagata atta-patilabho) dan pencapaian pribadi sekarang (paccuppanna atta-patilabho) adalah tidak nyata?
(2) Pencapaian pribadi akan datang yang akan anda miliki, apakah itu nyata bagimu, sedangkan pencapaian pribadi lampau dan pencapaian pribadi sekarang adalah tidak nyata?
(3) Pencapaian pribadi sekarang yang anda miliki, apakah itu nyata bagimu, sedangkan pencapaian pribadi lampau dan pencapaian pribadi akan datang adalah tidak nyata?”
“Citta, setelah ditanya seperti itu, bagaimana anda menjawabnya?”
“Saya akan menjawab bahwa pencapaian pribadi lampau yang telah saya miliki pada waktu itu adalah nyata; sedangkan yang dua lainnya adalah tidak nyata. Begitu pula saya menjawab dua hal yang lain”.
83.(51)--- ”Citta, begitulah. Ketika salah sebuah dari tiga pencapain itu didapat, pencapain itu tidak menjadi katagori salah satu dua pencapaian lain”.

84.(52)--- ”Citta, begitu pula dari sapi dihasilkan susu, dari susu dihasilkan dadih (curd), dari dadih dihasilkan mentega, dari mentega dihasilkan ghee, dari ghee dihasilkan susu kental asam; tetapi ketika sesuatu itu [disebut] susu, maka hal itu [saat itu] tidak disebut dadih atau mentega, atau ghee atau susu kental asam; ketika sesuatu itu [disebut] dadih, maka hal itu [saat itu] tidak disebut mentega … dst..

85.(53)--- ”Citta, begitu pula ketika salah sebuah dari tiga macam pencapaian dihasilkan, maka itu tidak disebut seperti nama dari dua yang lain. Citta, karena hal ini hanyalah nama, ekspresi, sebutan, pembentukan dalam penggunaan bahasa dalam dunia. Sehu-bungan dengan hal-hal ini Tathagata menggunakannya, tetapi tidak terbawa oleh hal-hal itu”.

86.(54)--- Setelah beliau berkata demikian, pertapa Potthapada berkata kepada Bhagava: “Bhante, sangat mengagumkan kata-kata yang telah diucapkan; sangat menakjubkan. Bagaikan seseorang yang mendirikan apa yang telah rebah, atau menemukan apa tersembunyi, atau menunjukkan jalan bagi mereka yang tersesat, atau memberikan penerangan bagi mereka yang ada dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat bentuk, demikian pula kebenaran yang telah dinyatakan dalam berbagai cara oleh Bhagava. Bhante, saya berlindung kepada Bhagava, kepada Dhamma dan Sangha. Semoga bhante menerima saya sebagai umat Buddha (upasaka), sejak sekarang ini sampai hidup berakhir; sebagi seseorang telah mengabil perlindungan”.

87.(55)-- Tetapi Citta Hatthisari-putta berkata kepada Bhagava: “Bhante, sangat mengaguman kata-kata yang telah diucapkan; sangat menakjubkan. Bagaikan seseorang yang mendirikan apa yang telah rebah, atau menemukan apa tersembunyi, atau menunjukkan jalan bagi mereka yang tersesat, atau memberikan penerangan bagi mereka yang ada dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat bentuk, demikian pula kebenaran yang telah dinyatakan dalam berbagai cara oleh Bhagava. Bhante, saya berlindung kepada Bhagava, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga bhante menerima [saya sebagai] pabbajja (meninggalkan kehidupan berumah tangga) dan ditahbiskan menjadi bhikkhu (upasampada) dibawah bimbingan Bhagava”.

88.(56)--- Permohonan Citta Hatthisari-putta untuk pabbajja dan di- upasampada dibawah bimbingan Bhagava dipenuhi. Tidak lama setelah Citta Hatthisari-putta ditahbiskan, ia menyendiri, berpisah dengan bhikkhu yang lain, dengan kesungguhan, bersemangat dan bertekad kuat. Sehingga tidak lama kemudian ia mencapai tujuan akhir dari penghidupan suci (brahmacariya), dalam kehidupan ini (sekarang), memiliki kemampuan batin, merealisasikan dan melihat secara langsung pencapaian itu. Ia menyadari bahwa kelahiran berikut tidak ada lagi, pencapaian tertinggi telah dicapai; segala sesuatu yang harus dikerjakan telah dilaksanakan; setelah kehidupan ini tidak ada lagi kehidupan berikut.
Demikianlah, Bhikkhu Citta Hatthisari-putta menjadi salah seorang arahat.

MAHASIHANADA SUTTA (KASSAPASIHANADA SUTTA)

1— Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Sang Bhagava berada di Ujuññaya/ Uruñña,Taman Rusa Kannakatthala. Ketika itu, seorang pertapa telanjang bernama Kassapa datang menemui Bhagava, setelah saling memberi salam, menyapa dengan kata-kata yang santun, ia berdiri di samping. Dengan berdiri ia berkata kepada Bhagava:


2— “Gotama, saya mendengar berita [bahwa] Samana Gotama meremehkan semua pertapaan, mencerca dan menyalahkan semua pertapa, semua mereka yang hidup dengan cara keras/menyksa diri (lukhajivi). Gotama, apakah mereka yang mengatakan hal ini adalah mengulangi kata-kata Gotama, dan tidak memberitakan yang salah?. Apakah mereka memberi-takan hal-hal sesuai dengan dhammanya demi ke-pentingan pahamnya?. Apakah dalam hal tersebut itu bukan pandanganya, untuk menutupi ajarannya?”
“Hal ini kami tanyakan agar kami tidak membuat tuduhan salah kepada pertapa Gotama”.

3— [Sang Bhagava memberikan penjelasan]: “Tidak Kassapa, mereka yang berkata begitu itu tidak sesuai dengan kata-kata saya. Sebaliknya mereka salah memberitakan tentang saya, dan apa yang dikatakan adalah berbeda dengan fakta”.
“Kassapa, saya menyadari, dengan pandangan terang dan jernih, melihat melampaui kemampuan manusia biasa, bagaimana ada orang yang hidup sebagai pertapa, hidup dengan cara keras, setelah meninggal dunia terlahir kembali dalam alam tidak bahagia, ke alam penderitaan dan buruk; sedangkan yang lain hidup biasa saja, setelah meninggal dunia terlahir kembali di alam bahagia atau di alam surga”.
“Bagaimana ada orang yang hidup sebagai pertapa, hidup dengan cara kurang keras, setelah meninggal dunia terlahir kembali di alam penderitaan dan buruk; sedangkan yang lain hidup biasa saja, setelah meninggal dunia terlahir kembali di alam bahagia atau di alam surga”.
“Wahai Kassapa, bagaimana saya yang menyadari apa adanya seperti itu tentang keadaan dari mana orang-orang itu datang, dan ke mana mereka pergi ketika mereka meninggal dari suatu alam lalu lahir kembali di alam yang lain. Bagaimana saya meremehkan semua pertapaan, mencerca dan menyalahkan semua per-tapa, semua mereka yang hidup dengan cara keras (lukhajivi)?”.

4— “Kassapa, ada beberapa pertapa dan Brahmana yang pintar, lembut, berpengalaman dalam perbedaan, cerdas, pergi ke mana-mana dan berpendapat dapat menghancurkan spekulasi lawan dengan kebijaksanaan mereka”.
“Antara mereka dan saya, ada hal-hal yang cocok tetapi ada juga hal-hal yang berbeda. Ada hal-hal yang mereka terima, juga kami terima. Tetapi ada hal-hal yang mereka tolak, juga kami tolak. Namun ada pula hal-hal yang mereka terima, kami tolak. Ada hal-hal yang mereka tolak, kami terima. Ada hal-hal yang kami terima, mereka terima. Tetapi ada hal-hal yang kami tolak, mereka tolak. Ada hal-hal yang kami terima, mereka tolak. Juga ada hal-hal yang kami tolak, mereka terima”.
5— Saya menemui mereka dan berkata: “Saudara-saudara, bagi hal-hal yang kita tidak setujui, kita biarkanlah itu, sedangkan untuk hal-hal yang kita semua setujui, sebaiknya bagi mereka yang bijak mempertanyakan hal-hal itu, tanyakan alasan mereka, bicarakan itu bersama atau tanpa guru mereka, bersama atau tanpa teman-teman siswa mereka”.
Dengan berkata: “Saudara-saudara, hal-hal yang salah (akusala-dhamma) anda sekalian harus nyatakan salah, hal-hal yang tidak baik anda sekalian harus nyatakan tidak baik, hal-hal yang tidak memenuhi syarat untuk mencapai kesucian (arahat) anda sekalian harus nyatakan sebagai hal-hal yang tidak memenuhi syarat, hal-hal yang buruk anda sekalian nyatakan sebagai hal-hal yang buruk. Siapa yang melakukan sendiri sebagai seseorang yang lebih mutlak membuang hal-hal itu dari dirinya, apakah Samana Gotama, saudara-saudara lain, atau para guru aliran-aliran?”

6— “Kassapa, mungkin ada orang bijaksana menanyakan beberapa pertanyaan tentang suatu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu”, mereka akan berkata: “Samana Gotama melaksanakan sendiri sebagai seorang yang telah secara mutlak membuang hal-hal itu dari dirinya, sedangkan saudara-saudara yang lain maupun para guru aliran-aliran telah melakukannya sebagian saja”.
“Wahai Kassapa, begitulah, bahwa orang bijaksana, menanyakan satu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu, dan sebagian besar dalam pembicaraan itu mereka memuji kami”.
7— “Kassapa, ada orang bijaksana menanyakan beberapa pertanyaan tentang suatu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu, dengan guru mereka, bersama atau tanpa teman-teman siswa mereka”,
dengan berkata: “Saudara-saudara, hal-hal yang baik (kusala-dhamma) anda sekalian harus nyatakan baik, hal-hal yang tak ternoda anda sekalian harus nyatakan tak ternoda, hal-hal yang memenuhi syarat untuk mencapai kesucian (arahat) anda sekalian harus nyatakan sebagai hal-hal yang memenuhi syarat, hal-hal yang suci, anda sekalian nyatakan sebagai hal-hal yang suci”.
“Siapa yang melakukan sendiri sebagai seseorang yang lebih mutlak telah melaksanakan itu untuk dirinya sendiri, apakah Samana Gotama, saudara-saudara lain, atau para guru aliran-aliran?”

8— “Kassapa, mungkin ada orang bijaksana, telah menanyakan beberapa pertanyaan dari satu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu”, lalu ia berkata:
“Samana Gotama melaksanakan sendiri sebagai seorang yang telah sempurna melakukannya, sedangkan saudara-saudara yang lain dan guru aliran-aliran hanya melakukan sebagian saja”.
“Wahai Kassapa, begitulah, bahwa orang bijaksana, menanyakan satu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu, dan sebagian besar dalam pembicaraan itu mereka memuji kami”.

9— Saya menemui mereka dan berkata: “Saudara-saudara, bagi hal-hal yang kita tidak setujui, kita biarkanlah itu. Sedangkan untuk hal-hal yang kita semua setujui, sebaiknya bagi mereka yang bijak mempertanyakan hal-hal itu, tanyakan alasan mereka, bicarakan itu bersama atau tanpa guru mereka, bersama atau tanpa teman-teman siswa mereka”, dengan berkata:
“Saudara-saudara, hal-hal yang salah (akusala-dhamma) anda sekalian harus nyatakan salah, hal-hal yang tidak baik anda sekalian harus nyatakan tidak baik, hal-hal yang tidak memenuhi syarat untuk mencapai kesucian (arahat) anda sekalian harus nyatakan sebagai hal-hal yang tidak memenuhi syarat, hal-hal yang buruk anda sekalian nyatakan sebagai hal-hal yang buruk”.
“Siapa yang melakukan sendiri sebagai seseorang yang lebih mutlak membuang hal-hal itu dari dirinya, apakah Sangha siswa Samana Gotama, saudara-saudara lain, atau sangha para siswa guru aliran-aliran?”

10— “Kassapa, mungkin ada orang bijaksana menanyakan beberapa pertanyaan tentang suatu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu”, akan berkata:
“Sangha siswa Gotama melaksanakan sendiri sebagai seorang yang telah secara mutlak membuang hal-hal itu dari dirinya, sedangkan saudara-saudara yang lain maupun sangha para siswa guru aliran-aliran telah melakukannya sebagian saja”.
“Wahai Kassapa, begitulah, bahwa orang bijaksana, menanyakan satu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu, dan sebagian besar dalam pembicaraan itu mereka memuji kami”.

11— “Kassapa, ada orang bijaksana menanyakan beberapa pertanyaan tentang suatu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu, dengan guru mereka, bersama atau tanpa teman-teman siswa mereka”, dengan berkata:
“Saudara-saudara, hal-hal yang baik (kusala-dhamma) anda sekalian harus nyatakan baik, hal-hal yang tak ternoda anda sekalian harus nyatakan tak ternoda, hal-hal yang memenuhi syarat untuk mencapai kesucian (arahat) anda sekalian harus nyatakan sebagai hal-hal yang memenuhi syarat, hal-hal yang suci, anda sekalian nyatakan sebagai hal-hal yang suci”.
”Siapa yang melakukan sendiri sebagai seseorang yang lebih mutlak telah melaksanakan itu untuk dirinya sendiri, apakah Sangha siswa Gotama, saudara-saudara lain, atau sangha para siswa guru aliran-aliran?”

12— “Kassapa, mungkin ada orang bijaksana, telah menanyakan beberapa pertanyaan dari satu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu”, lalu berkata:
“Sangha siswa Samana Gotama melaksanakan sendiri sebagai seorang yang telah sempurna melakukannya, sedangkan saudara-saudara yang lain dan sangha para siswa guru aliran-aliran hanya melakukan sebagian saja”.
“Wahai Kassapa, begitulah, bahwa orang bijaksana, menanyakan satu hal ke hal yang lain, menanyakan alasan-alasan, membahas hal-hal itu, dan sebagian besar dalam pembicaraan itu mereka memuji kami”.

13— “Kassapa, ada jalan, ada cara jika dilaksanakan oleh seseorang, maka ia akan melihat dan mengetahui: “Samana Gotama berbicara berdasarkan waktu, apa adanya, manfaat, dhamma dan vinaya”.
“Kassapa, apakah jalan itu, apakah cara itu yang jika dilaksanakan seorang ia akan melihat dan mengetahuinya? Itu adalah Jalan Berunsur Delapan, yaitu: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian bernar dan meditasi benar”.
“Kassapa, inilah jalan, inilah cara yang jika dilaksanakan oleh seseorang ia akan melihat dan mengetahui”
Samana Gotama berbicara berdasarkan waktu, apa adanya, manfaat, dhamma dan vinaya.

14— Setelah beliau [Sang Bhagava] berkata begitu, pertapa telanjang Kassapa berkata kepada Bhagava:
“Gotama, begitu pula yang berikut ini menurut pendapat para Samana dan Brahmana adalah termasuk praktek-praktek pertapaan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an, yaitu Ia telanjang, berkebiasaan tidak teratur (prilaku fisik, cara makan dengan berdiri, tidak jongkok atau duduk seperti masyarakat umum)”. [dan]
“Ia menjilati tangannya sampai bersih (setelah makan, tidak mencuci tangan seperti orang umum)”. [dan]
“Pada waktu ia pergi pindapata, jika dengan sopan dimohon untuk mendekat, atau menunggu sebentar agar makanan dimasukkan ke dalam pattanya, ia pergi begitu saja, sehingga menyebabkan orang lain mengatakan hal-hal yang salah”. [dan]
“Ia menolak makanan yang diberikan kepadanya, sebelum ia melakukan pindapatta”. [dan]
“Ia menolak menerima makanan, jika dikatakan bahwa makanan itu telah disiapkan untuknya”. [dan]
“Ia menolak menerima suatu undangan untuk berhenti agar menerima makanan dari rumah tertentu, atau pergi melalui jalan tertentu, atau pergi ke tempat tertentu”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan yang langsung diambil dari belanga (tempat makanan itu dimasak; barangkali belanga itu digaruk-garuk dengan sendok untuk dia)”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan yang ditempatkan di ambang pintu (kemungkinan makanan itu telah ditempatkan di situ khusus untuk dia)”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan yang ditempatkan di antara alat penumbuk (alu, antan) (kemungkinan makanan itu telah ditempat-kan di tempat itu khusus untuk dia)”. [dan]
“Bilamana ada dua orang makan bersama, ia tidak akan menerima makanan yang diambil dari apa yang mereka makan, jika diberikan kepadanya oleh salah seorang dari dua orang itu”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan dari wanita hamil (nanti anaknya menderita)”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan dari seorang wanita yang sedang menyusui (nanti susunya berkurang)”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan dari wanita yang masih melakukan hubungan seks (nanti hubungan seksnya terganggu)”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan yang dikumpulkan oleh umat yang berbakti pada waktu musim panas”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan di mana ada anjing yang berdiri di dekat pemberi, (nanti anjing kekurangan makanan)”. [dan]
“Ia tidak akan menerima makanan di mana lalat-lalat berterbangan (nanti lalat-lalat akan menderita)”. [dan]
“Ia tidak menerima ikan, daging, minuman keras, minuman me-mabukkan atau minuman yang telah difermentasikan”. [dan]
“Ia menerima makanan dari satu rumah saja (ia segera balik bila telah menerima dana makanan dari sebuah rumah), juga ia hanya makan sesuap”. [dan]
“Ia menerima makanan dari dua rumah, juga hanya makan dua suap”. [dan]
“Ia menerima makanan dari tujuh rumah, juga hanya makan tujuh suap”. [dan]
“Ia tetap menerima hanya satu dana makanan, hanya dua atau sampai tujuh dana”. [dan]
“Ia makan sekali sehari, atau makan sekali dua hari, hingga ia hanya makan setiap tujuh hari. Begitulah ia hidup terikat dengan praktik makan menurut peraturan, secara biasa bertahap, hingga setiap setengah bulan”.
“Gotama, begitu pula yang berikut ini menurut pendapat para Samana dan Brahmana adalah termasuk praktek-praktek pertapaan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an, yaitu:
“Ia hidup dari berbagai tumbuhan, nasi kasar, biji-bijian (nivara), semacam tubuhan air (daddulai), semacam tubuhan air (hata), dedak beras, buih yang ada di atas nasi, tepung dari minyak biji-bijian, rerumputan, tahi sapi, buah-buahan dan akar-akaran dari hutan, buah-buahan yang jatuh sendiri”.
“Gotama, begitu pula yang berikut ini menurut pendapat para Samana dan Brahmana adalah termasuk praktek-praktek pertapaan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an, yaitu:
• “Ia mengenakan baju dari kain rami kasar”.
• “Ia mengenakan baju dari kain rami kasar yang dipintal dengan materi-materi lain”.
• “Ia mengenakan pakaian yang dibuat kain bekas pembungkus mayat (pamsukula)”.
• “Ia mengenakan pakaian yang dibuat kulit pohon Tiritaka”.
• “Ia mengenakan kulit kijang hitam”.
• “Ia mengenakan pakaian yang dibuat dari pintalan kulit kijang hitam”.
• “Ia mengenakan pakaian yang dibuat dari serat rumput Kusa”.
• “Ia menganakan jubah dari kulit pohon”.
• “Ia mengenakan jubah dibuat dari kayu yang disusun”.
• “Ia mengenakan jubah yang dibuat dari rambut manusia”.
• “Ia mengenakan jubah yang dibuat dari rambut ekor kuda”.
• “Ia mengenakan jubah yang dibuat dari bulu-bulu burung hantu”.
• “Ia seorang pencabut rambut dan janggut, terikat pada praktik mencabut rambut dan janggut”.
• “Ia seorang yang selalu berdiri, menolak untuk duduk”.
• “Ia seorang yang jongkok pada lututnya, ia terikat pada praktik untuk jongkok pada lutut-lututnya”.
• “Ia seorang yang tidur di atas paku, ia tidur di atas tikar yang dibuat dari tonjolan paku-paku”.
• “Ia menggunakan tempat tidur papan”.
• “Ia tidur di atas tanah (tanpa alas)”.
• “Ia tidur dengan posisi miring saja”.
• “Ia seorang yang “mengenakan debu dan tanah”, (membedaki tubuh debu dan membiarkan debu melengket ditubuhnya)”.
• “Ia hidup dan tidur di alam terbuka”.
• “Tempat duduk apa pun yang diberikan kepadanya ia terima (tanpa merasa bersalah seolah-olah itu pantas baginya)”.
• “Ia pemakan kotoran, terikat pada praktik makan empat macam kotoran (tahi sapi, kencing sapi, debu dan tanah liat)”.
• “Ia seorang ‘yang tidak minum’, terikat dengan praktik tidak pernah minum air dingin (nanti ada makhluk di air yang terluka atau mati)”.
• “Ia ‘seorang semalam tiga kali’, ia terikat ada praktik pergi mandi tiga kali sehari untuk mencuci dosa-dosanya”.

15— [Sang Bhagava kemudian berkata] “Kassapa, jikalau seseorang telanjang dan berkebiasaan tidak teratur, menjilati tangannya, dan melakukan semua hal yang anda uraikan dengan rinci, hingga …, Ia makan sekali sehari, atau makan sekali dua hari, hingga ia hanya makan setiap tujuh hari. Begitulah ia hidup terikat dengan praktik makan menurut peraturan, secara biasa bertahap, hingga setiap setengah bulan”
“Jika ia melakukan semua hal ini, dan bila memiliki sila sempurna, kesadaran sempurna, dan kebijaksanaan (pañña) sempurna belum dilaksanakan olehnya, dan belum direalisasikan olehnya, maka ia jauh dari ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an”.
“Kassapa, tetapi ketika seorang bhikkhu telah mengembangkan batin diliputi cinta kasih yang bebas dari kekejaman, yang tanpa iri hati, dan pada saat ia melenyapkan semua kekotoran batin (asava), batin suci, kebijaksaan suci, bebas dari kotoran batin, maka ia walaupun masih dalam kehidupan ini telah merealisasikan dan mengetahui, Kassapa pada saat itu, bhikkhu itu disebut sebagai Samana atau Brahmana”.
“Kassapa, jika seseorang hanya hidup dari berbagai tumbuhan, nasi kasar, biji-bijian nivara, semacam padi-padian daddula, semacam tumbuhan air hata, dedak beras, buih yang ada di atas nasi, tepung dari minyak biji-bijian, rerumputan, tahi sapi, buah-buahan dan akar-akaran dari hutan, buah-buahan yang jatuh sendiri -- jika ia melakukan semua hal ini, namun pencapaian kesempurnaan sila, kesadaran (citta) dan kebijaksanaan (pañña) belum dilaksanakan olehnya, dan belum direalisasikan olehnya, maka ia jauh dari ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an”.
“Kassapa, tetapi ketika seorang bhikkhu telah mengembangkan batin diliputi cinta kasih yang bebas dari kekejaman, yang tanpa iri hati, dan pada saat ia melenyapkan semua kekotoran batin (asava), kesucian melalui pengembangan batin, kesucian melalui pengembangan kebijaksaan, bebas dari kotoran batin, maka ia walaupun masih dalam kehidupan ini telah merealisasikan dan mengetahui, Kassapa pada saat itu, bhikkhu itu disebut sebagai Samana atau Brahmana”.
“Kassapa, jika seseorang mengenakan baju dari kain rami kasar, mengenakan baju dari kain rami kasar yang dipintal dengan materi-materi lain, mengenakan pakaian yang dibuat kain pamsukula, …, ia ‘seorang semalam tiga kali’, ia terikat ada praktik pergi mandi tiga kali sehari untuk mencuci dosa-dosanya, jika ia melakukan semua hal ini, namun pencapaian kesempurnaan sila, kesadaran (citta) dan kebijaksanaan (panna) belum dilaksanakan olehnya, dan belum direalisasikan olehnya, maka ia jauh dari ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an”.
“Kassapa, tetapi sejak seorang bhikkhu telah mengembangkan batin diliputi cinta kasih yang bebas dari kekejaman, yang tanpa iri hati, dan pada saat ia melenyapkan semua kekotoran batin (asava), batin suci, kebijaksaan suci, bebas dari kotoran batin, maka ia walaupun masih dalam kehidupan ini telah merealisasikan dan mengetahui, Kassapa, pada saat itu, bhikkhu itu disebut sebagai Samana atau Brahmana”.

16— Setelah beliau berkata, pertapa telanjang Kassapa berkata kepada Bhagava: “Betapa sulit ke-Samana-an itu, betapa sulit ke-Brahmana-an itu”.
“Kassapa, itu merupakan ungkapan biasa di dunia bahwa kehidupan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an adalah sulit. Tetapi, bilamana kesulitan-kesulitan yang sangat dari kehidupan hanya tergantung pada pertapaan untuk melaksanakan salah satu atau semua praktik yang telah anda uraikan dengan rinci, maka tidak tepat mengatakan bahwa kehidupan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an adalah sulit dilaksanakan. Agak mungkin bagi perumah-tangga atau anak perumah-tangga, atau seseorang termasuk anak perempuan yang membawa tempayan-air, berkata: “Saya ke mana-mana telanjang, biarlah saya berprilaku liar, … dst. melakukan praktik seperti yang telah anda uraikan dengan rinci itu, Kassapa, tetapi karena agak terpisah dari hal-hal ini, agak terpisah dari semua macam pertapaan, kehidupan adalah sulit, adalah sulit untuk dihayati; maka adalah tepat mengatakan: “Betapa sulit mencapai ke-Samana-an, betapa sulit mencapai ke-Brahmana-an!
“Kassapa, tetapi sejak seorang bhikkhu telah mengembangkan batin diliputi cinta kasih yang bebas dari kekejaman, yang tanpa irihati – dan pada saat ia melenyapkan semua kekotoran batin (asava), kesucian melalui pengembangan batin, kesucian melalui pengembangan kebijaksanaan, bebas dari kotoran batin, maka ia walaupun masih dalam kehidupan ini telah merealisasikan dan mengetahui – Kassapa pada saat itu, bhikkhu itu disebut sebagai Samana atau Brahmana”.

17— Setelah beliau [Sang Bhagava] berkata, pertapa telanjang Kassapa berkata kepada Bhagava: “Betapa sulit ke-Samana-an itu, betapa sulit ke-Brahmana-an itu!”
Kemudian Sang Baghava berkata “Kassapa, itu merupakan ungkapan biasa di dunia bahwa kehidupan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an adalah sulit. Tetapi, bilamana ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an hanya tergantung pada pertapaan untuk melaksanakan salah satu atau semua praktik yang telah anda uraikan dengan rinci, maka tidak tepat mengatakan bahwa kehidupan ke-Samana-an dan ke-Brahmana-an adalah sulit dikenal [dicapai, dilaksanakan]. Agak mungkin bagi perumah-tangga atau anak perumah-tangga, atau seseorang termasuk anak perempuan yang membawa tempayan-air, berkata: “Orang ini ke mana-mana telanjang, biarlah dia berprilaku liar, … dst. melakukan praktik seperti yang telah anda uraikan dengan rinci. Kassapa, tetapi karena agak terpisah dari hal-hal ini, agak terpisah dari semua macam pertapaan, adalah sulit mengenal seorang Samana, sulit mengenal seorang Brahmana; maka adalah tepat mengatakan: “Betapa sulit mengenal bila seseorang itu Samana, betapa sulit mengenal bila seseorang itu Brahmana”.
“Kassapa, tetapi sejak seorang bhikkhu telah mengembangkan batin diliputi cinta kasih yang bebas dari kekejaman, yang tanpa irihati, dan pada saat ia melenyapkan semua kekotoran batin (asava), mengembangkan kesucian melalui pengembangan batin, kesucian melalui pengembangan kebijaksaan, bebas dari kotoran batin, maka ia walaupun masih dalam kehidupan ini telah merealisasikan dan mengetahui, Kassapa pada saat itu, bhikkhu itu disebut sebagai Samana atau Brahmana”.

18— Setelah beliau berkata demikian, pertapa telanjang Kassapa berkata kepada Bhagava: “Gotama, apa yang dimaksudkan dengan memiliki sila (sila-sampada), kesadaran (citta-sampada) dan kebijaksanaan (panna-sampada)?

19— Sang Bhagava menjelaskan “Kassapa, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, yang maha suci, yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak tanduknya, sempurna menempuh jalan, pengenal segenap alam, pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan, Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usahanya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan, Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah di peroleh melalui usahanya sendiri kepada orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para Dewa, Mara dan Brahma; para pertapa, Brahmana, raja beserta rakyatnya, Beliau mengajarkan dhamma (kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup pertapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.

20— “Kemudian, seorang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga rendah berbagai tingkat masyarakat; setelah mendengarkan Dhamma itu, ia memperoleh keyakinan terhadap Sang Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan itu, dan timbullah perenungan dalam dirinya:
“Sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Bebas seperti udara bagi seseorang yang meninggalkan kehidupan duniawi. Betapa sulitnya seseorang yang hidup berumah-tangga untuk hidup tanpa berumah tangga (pabbajjā). Sebaiknya saya mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup pabbajja.

21— “Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan bhikkhu (patimokkhā), sempurna prilaku dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-perhatian seksama dan pengertian jelas (sati sampajjana); dan hidup puas”

22— “Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk, menyebabkan semua orang memuji Sang Tathagata”.
Atau ia berkata: “Tidak mengambil apa yang tidak diberikan, Samana Gotama tidak mau memiliki apa yang bukan kepunyaan-nya. Ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian. Ia hidup dengan jujur dan suci”. Atau ia berkata: “Tidak melakukan hubungan kelamin, Samana Gotama hidup membujang. Ia menjauhkan diri dari perbuatan yang ternoda dan tidak melakukan hubungan kelamin”.

23— Atau ia berkata: “Tidak berdusta, Samana Gotama telah menjauhkan diri dari dusta. Ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, dan tidak mengingkari kata-katanya di dunia”.
Atau ia berkata: “Tidak memfitnah, Samana Gotama menjauhkan diri dari fitnah. Apa yang Ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain yang dapat menyebabkan timbulnya pertentangan dengan orang di tempat ini. Apa yang Ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga tidak menyebabkan timbulnya pertentangan dengan orang di tempat lain. Dalam hidupnya Ia menyatukan mereka yang berlawanan, mengembangkan persahabatan di antara mereka, pemersatu, mencintai persatuan, menyenangi persatuan, membicarakan kesatuan.
Atau ia berkata: “Tidak mengucapkan kata-kata kasar, Samana Gotama menjauhkan diri dari ucapan-ucapan kasar. Ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, yang menyenangkan, menarik, mengena di hati, sopan, menggembirakan dan disukai orang”.
Atau ia berkata: “Tidak menghabiskan waktu dengan cerita yang tidak berguna, Samana Gotama menjauhkan diri dari obrolan tentang hal-hal yang tidak berguna. Ia berbicara pada waktu yang tepat, sesuai dengan kenyataan, bermanfaat, yang berhubungan dengan dhamma dan vinaya. Ia berbicara pada saat yang tepat dengan kata-kata yang bermanfaat bagi pendengar dan dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tepat”.

24— Atau ia berkata: “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan. Ia makan sekali sehari, tidak makan setelah tengah hari atau tidak makan di malam hari. Ia tidak menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan, tari-tarian, nyanyian dan musik. Ia tidak mengguna-kan alat-alat merias, bunga-bunga, wangi-wangian dan perhiasan. Ia tidak menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah. Ia tidak menerima: emas, perak, padi daging mentah, wanita, budak, biri-biri atau kambing, babi, gajah, sapi, kuda dan unggas. Ia tidak bertani. Ia tidak melakukan perdagangan, penipuan dengan timbangan atau dengan ukuran, penyogokan, penipuan atau pemalsuaan, melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya”.

25— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang di sediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap merusak: biji-bijian yang masih dapat tumbuh, akar yang masih dapat tumbuh, potongan, ruas, tunas yang masih dapat tumbuh. Tetapi Samana Gotama hidup dengan tanpa merusak biji-bijian maupun tumbuh-tumbuhan”.

26— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap melakukan penimbunan makanan, minuman, jubah, alat-alat tidur, alat-alat lainnya, wangi-wangian, bumbu makanan. Tetapi Samana Gotama sama sekali tidak mau menimbun barang-barang demikian”.

27— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mengunjungi pertunjukkan-pertunjukkan seperti: tari-tarian, nyanyi-nyanyian, musik tontonan, nyanyian epis, musik, pelafalan syair, permainan tam-tam, drama, akrobat yang dimainkan oleh orang-orang mengadu gajah, kerbau, sapi, kambing, domba, kuda, ayam dan burung; pertandingan dengan menggunakan pemukul, tinju, gulat; perang-perangan, pawai dan parade. Tetapi Samanera Gotama sama sekali tidak mau melihat pertunjukkan demikian”.

28— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap melakukan permainan-permainan atau rekreasi sebagai berikut: permainan dengan papan yang berpetak-petak delapan atau sepuluh baris, permainan dengan melangkah pada diagram yang digariskan di tanah dengan cara hanya melangkah sekali; permainan dengan cara memindahkan benda atau orang dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tanpa melepaskan benda atau orang tersebut; main dadu, kayu pendek dipukul dengan kayu panjang, mencelupkan tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, main bola, meniup pipa yang dibuat dari daun, menggali dengan alat mainan, bersalto, main kincir angin yang dibuat dari daun palem, main kereta-keretaan atau panah-panahan, menebak tulisan di udara atau di punggung seseorang, menebak pikiran orang lain, atau bertingkah laku seperti orang cacad. Tetapi Samana Gotama tidak pernah melakukan permainan-permainan tersebut”.
29— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah sebagai berikut: dipan yang tinggi, panjang enam kaki dan dapat dipindah-pindahkan; dipan dengan tiang-tiangnya diukir bergambar binatang; menggunakan selimut putih; menggunakan sepreti disulam dengan motif bunga-bunga-bungaan; mengunakan seprei yang disulam dengan gambar singa atau harimau; menggunakan seprei dengan bulu binatang disalah satu tepinya; menggunakan seprei yang disulam dengan permata; menggunakan seprei dari sutra; menggunakan selimut yang dapat digunakan oleh enam belas orang; menggunakan selimut gajah, kuda atau kereta; menggunakan selimut antelope yang dijahit; menggukanan selimut dari kulit sebangsa kijang; menggunakan permadani yang berpenutup di atasnya; menggunakan tempat duduk dengan bantal merah untuk kepala dan kaki. Tetapi Samana Gotama tidak menggunakan barang-barang tersebut”.

30— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap menggunakan perhiasan dan mempercantik diri dengan cara: menggunakan bedak harum, shampoo, mandi dengan bunga-bungaan; tubuh dipukul-pukul secara perlahan dengan tongkat seperti tukang gulat; menggunakan cermin meminyaki diri (bukan untuk obat); menggunakan bunga-bungaan, pemerah pipi, kosmetik, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaaya saja), kotak bulu untuk obat, pedang, penahan sinar matahari, sandal bersulam, turban, perhiasan di dahi, alat mengkebut dibuat dari ekor yak, jubah putih berumbai. Tetapi Samana Gotama tidak menggunakan benda-benda tersebut”.

31— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap membicarakan hal-hal yang rendah seperti berikut: ceritera tentang kepala negara, menteri, pencuri, peperangan, teror, makanan dan minuman, pakaian, tempat tidur, bunga kalung, wangi-wangian, keluarga, kendaraan, desa, kampung, kota, negara, pertempuran, pahlawan, gosip di jalanan, di tempat pengambilan air, setan, yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan dan lautan atau tentang eksistensi dan non eksistensi. Tetapi Samana gotama tidak membicarakan hal-hal tersebut”.

32— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap menggunakan kata-kata bantahan seperti :
“Anda tidak mengerti dhamma vinaya ini, seperti apa yang saya ketahui. Bagaimanakah anda dapat mengetahui dhamma vinaya ini?” atau
“Anda berpandangan salah. Saya benar”, atau
“Saya bicara langsung ke pokok persoalan, anda tidak”. atau
“Anda membicarakan bagian akhir lebih dahulu daripada bagian permulaan”, atau
“Apa yang telah lama anda persiapkan untuk dibicarakan, itu telah usang”, atau
“Kata-kata bantahanmu diterima” atau
“Anda terbukti salah”, atau
“Bebaskanlah dirimu bila anda sanggup”.
Tetapi Samana Gotama tidak melakukan bantahan-bantahan seperti itu”.

33— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh, perantara raja-raja, menteri, kesatria, Brahmana, atau pemuda dengan berkata, ‘pergilah kesana, kesitu, bawalah ini, dan bawalah itu dari sana’. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

34— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap melakukan penipuan dengan cara: berkomat-kamit dengan kata-kata tertentu berlaku seperti orang suci, mengusir setan atau kesialan, dan kehausan untuk menambah keuntungan karena serakah. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

35— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, yaitu dengan cara yang rendah seperti: meramal nasib orang dengan melihat garis-garis telapak tangan untuk mengetahui umur dan kebahagiaan dan seterusnya; meramal dengan melihat [tanda-tanda tertentu] untuk mengetahui keadaan yang akan datang; meramalkan alamat yang baik dengan mendengarkan halilintar; meramal mimpi, meramal tanda-tanda yang diakibatkan oleh gigitan tikus; melakukan persembahan dengan sekam, bekatul, beras, mentega dan minyak untuk dewa; mempersembahkan biji sesame dengan cara menyemburkannya dari mulut ke api; mengeluarkan darah dari lutut untuk dipersembahkan kepada dewa; melihat pada ruas jari-jari dan lain-lain sesudah itu membaca mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur atau sial; menentukan lokasi rumah supaya baik; menasehati cara-cara untuk mengerjakan ladang; mengusir hantu atau setan di kuburan; mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah; mantra ular, mantra tikus; mantra burung; mantra gagak; meramal untuk panjang umur; mantra melepaskan panah; atau membicarakan kehidupan rusa. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

36— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang bebakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah seperti: membicarakan tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dengan benda-benda, dan alamat-alamat dan tanda-tanda yang berkenaan dengan kesehatan atau keberuntungan bagi mereka yang memiliki: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, gendewa, senjata-senjata lainnya: wanita, pria, anak pria, anak perempuan, budak pria atau wanita, gajah, kuda, kerbau, sapi jantan atau betina, biri-biri, biawak, kura-kura, itik, burung-anting. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

37— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara yang rendah yaitu meramalkan akibat dari keberangkatan pemimpin, akan tibanya pemimpin, rumah pemimpin akan diserang dan musuh akan mundur, pemimpin kita akan menang, musuh kalah, pemimpin kita akan kalah, musuh menang, salah satu pihak akan menang dan pihak lain kalah. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

38— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, juga masih tetap mencari pendapatan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah, yaitu meramalkan: adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari dan bulan akan menyimpang dari orbitnya, matahari dan bintang akan kembali pada orbitnya, bintang-bintang akan menyimpang dari orbitnya, bintang-bintang akan kembali pada orbitnya, meteor akan jatuh, hutan akan terbakar, akan terjadi gempa bumi, dewa akan membuat halilintar, matahari, bulan dan bintang-bintang akan terbit atau terbenam, bersinar; kurang bercahaya; atau meramalkan limabelas hal tersebut akan terjadi dan akan mengakibatkan sesuatu. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut.

39— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, juga masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah, yaitu meramalkan: akan ada hujan yang lebat, kurang hujan, panen akan baik atau akan buruk, akan ada kedamaian, akan terjadi kekacauan, akan ada penyakit sampar, akan ada musim yang baik, meramal tanpa cara menjumlah dengan cepat; menyusun lagu sanjak, atau membuat masalah menjadi kabur. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

40— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah sebagai berikut: menentukan hari baik untuk perkawinan, menentukan hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk pergi, menentukan hari baik untuk keharmonisan, menentukan hari baik untuk perpisahan, menentukan hari baik untuk menagih hutang, menentukan hari baik untuk memberikan pinjaman, menggunakan mantra untuk keber-untungan, menggunakan mantra kesialan, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk menyebabkan orang lain menjadi bisu, menggunakan mantra untuk menggunakan untuk menggoyang-goyangkan orang lain, menggunakan mantra untuk menyebabkan orang lain menjadi tuli, mencari inspirasi dengan melihat kaca, mencari inspirasi dengan melihat gadis, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari, memuja maha ibu, mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewa atau dewi keberuntungan. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

41— Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari pendapatan dengan mata pencaharian yang salah, dengan cara-cara yang rendah sebagai berikut: berjanji akan berdana bila keinginannya terkabul, melaksanakan janji itu, mengucapkan mantra dalam rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menambah kejantanan laki-laki, mengucapkan mantra untuk membuat laki-laki menjadi impoten, menentukan tempat tinggal, mensucikan tempat, melakukan upacara suci mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, melakukan cara untuk menyebabkan orang muntah dan mengosongkan perut, melakukan suatu cara untuk mengurangi sakit kepala, meminyaki telinga orang, merawat mata orang lain, memberikan obat ke hidung orang lain, memberikan obat ke mata orang lain, berpraktek seperti ocultis, berpraktek seperti dokter bedah, berpraktek seperti dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari akar-akaran, atau membuat obat-obatan. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut”.

42— “Kassapa, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap sila”.
“Kassapa, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila”.
“Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Kassapa, demikianlah seorang Samana atau brahamana yang memiliki sila sempurna”.

43— “Kassapa, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya?
“Kassapa, [seorang Samana atau Brahmana memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya] bilamana seorang Samana atau Brahmana [dalam] melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk sebagian atau keseluruhannya, Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk [objek] yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya, ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya”.
“[Demikian pula] bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk [suara] sebagian atau keseluruhan-nya, ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengar-annya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pendengaran-nya”.
“[Demikian pula] bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk sebagian atau keseluruhan. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk [bau] yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera pencium-annya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya”.
“[Demikian pula] bilamana ia mengecap rasa lidahnya, Ia tidak terpikat dengan bentuk sebagian atau keseluruhan. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk [rasa] yang dapat memberi-kan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapan-nya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya”.
“[Demikian pula] bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk sebagian atau keseluruhan. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk [sentuhan] yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya”.
“[Demikian pula] bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau sebagian, ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk [dhamma] yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya”.
“Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. Kassapa, demikianlah seorang Samana atau Brahmana yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya”

44— “Kassapa, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana memilki perhatian-murni dan pengerti jelas?”
“Kassapa, dalam hal ini seorang Samana atau Brahmana mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air besar atau sewaktu buang air kecil; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam”.
“Kassapa, demikianlah seorang Samana atau Brahmana yang memiliki perhatian-perhatian murni dan pengertian jelas”

45— “Kassapa, bagaimanakah seorang Samana atau Brahmana merasa puas?
“Kassapa, dalam hal ini seorang Samana atau Brahmana merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan ke mana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini”.
“Kassapa, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya”.
“Kassapa, demikian pula seorang Samana atau Brahmana merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini”.
Kassapa, demikianlah seorang Samana atau Brahmana merasa puas”

46— “Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki perhatian murni dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan”.

47— “Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap dunia, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu”.
“Dengan menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat”.
“Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan”.
“Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran”.
“Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan”.

48— “Kassapa, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”.

49— “Kassapa, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehinga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”.

50— “Kassapa, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Dan ia berpikir: “Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas”. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”

51— “Kassapa, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”.

52— “Kassapa, sema halnya seperti seorang yang dengan membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Dan ia berpikir: ‘Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya’. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu”.

53— “Kassapa, demikianlah, selama lima rintangan (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang Samana atau Brahmana merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir”.
“Kassapa, tetapi setelah lima rintangan itu disingkirkan, maka seorang Samana atau Brahmana merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari pebudakan, sampai di tempat yang aman”.

54— “Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan pengarahan pikiran pada obyek (vitakka) dan mempertahankan pikiran pada obyek (vicara). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebesan (viveka)”.

55— “Kassapa, sama halnya seperti tukang memandikan yang pandai atau pembantunya akan menebarkan bubuk sabun wangi dalam sebuah mangkuk logam, memercikinya dengan air setetes demi setetes dan kemudian ia meramasnya bersama sehingga bubukan sabun itu dapat menyerap seluruh cairan; dibasahi, diserapi dan diliputi dengannya, baik dalam maupun luar, dan tidak ada yang mengalir keluar”.
“Kassapa, demikian pula Samana atau Brahmana itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan itu”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.

56— “Kassapa, selanjutnya seorang Samana atau Brahmana yang telah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya di penuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi, dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi”.

57— “Kassapa, bagaikan sebuah kolam yang dalam, yang mempunyai sumber air di bawahnya, tanpa lubang masuk dari Timur atau Barat, waktu ke waktu tidak turun hujan; namun arus air yang sejuk, yang berasal dari sumber itu akan tetap memenuhi, menggenangi, meresapi dan meliputi kolam itu, sehingga tidak ada satu bagian pun dari kolam itu, yang tidak diliputi oleh air yang sejuk itu”
“Kassapa, demikian pula, Samana atau Brahmana itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari konsentrasi itu”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan seorang Samana atau Brahmana dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.

58— “Kassapa, selanjutnya seorang Samana atau Brahmana yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para Ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dikatakan oleh para ariya sebagai kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni’; ia memasuki dan berdiam dalam Jhana Ketiga. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu”

59— “Kassapa, seperti dalam sebuah kolam yang berisi bunga-bunga teratai: merah, putih atau biru, yang beberapa di antaranya bunga-bunga teratai merah, putih atau biru yang bersemi dalam air, tumbuh dalam air, tidak muncul di atas permukaan air serta menghisap makanan dari dalam air itu adalah dipenuhi, digenangi diresapi serta diliputi dengan air dingin: sehingga tidak ada satu bagian pun dari bunga-bunga teratai merah, putih atau biru itu mulai dari ujung daun sampai ke akarnya yang tidak diliputi dengannya”.
“Kassapa, demikian pula Samana atau Brahmana itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu”.

60— “Kassapa, selanjutnya dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Samana atau Brahmana itu memasuki dan berdiam dalam Jhana keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, memiliki perhatian murni (satiparisuddhi), bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih”.

61— ”Kassapa, sama seperti seorang yang sedang duduk, diselubungi dengan jubah putih mulai dari kepala sampai ke kaki, sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak bersentuhan dengan jubah putih itu”.
“Kassapa, demikian pula Samana atau brahamana itu duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi dengan perasaan batin yang bersih dan jernih itu”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan keSamanaan atau keBrahmanaan dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.

62— ”Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan dan penglihatan (ñana dassana). Demikianlah ia mengerti: “tubuhku ini mempunyai bentuk, yang terdiri atas empat unsur dasar (maha bhuta), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran, dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (viññana) yang terikat dengannya”.

63— “Kassapa, sama seperti halnya dengan permata veluriya, yang gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Dan di tengahnya dimasuki seutas benang, yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning. Seandainya seseorang yang memiliki mata meletakannya di atas tangannya, maka ia akan merenung: ‘Permata veluriya ini adalah gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Sekarang permata itu diikatkan pada seutas benang yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning’.
“Kassapa, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Samana atau Brahmana itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan. Dan demikianlah ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri empat unsur dasar, berasal ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus mengalami kerusakan, kelapukan, kehan-curan dan kematian. Begitu pula halnya dengan kesadaranku yang terikat dengannya”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu”.

64— “Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh-ciptaan-batin” (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan “tubuh-ciptaan-batin” melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggauta-anggauta dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu apapun”.

65— ”Kassapa, sama seperti halnya seseorang menarik sebatang ilalang keluar dari pelepahnya. Maka ia akan mengerti: ‘Inilah ilalang, inilah pelepah. Ilalang adalah satu hal. Pelepah adalah hal yang lain. Adalah dari pelepah maka ilalang itu telah ditarik ke luar’”.
“Kassapa, sama seperti halnya seorang mengeluarkan ular dari kulitnya. Maka ia akan tahu: ‘Inilah ular, inilah kulit. Ular adalah satu hal, kulit adalah hal yang lain. Adalah dari kulit maka ular itu telah dikeluarkan’ ”.
“Kassapa, sama seperti halnya seseorang menghunus pedang dari sarungnya. Maka ia akan tahu: ‘Inilah pedang, inilah sarung pedang, Pedang adalah satu hal, sarung pedang adalah hal yang lain. Adalah dari sarung pedang maka pedang itu telah dihunus’”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Samana atau Brahmana itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh ciptaan batin melalui pikirannya’; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun”.
“Kassapa, inilah, faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu”.

66— “Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk ‘perbuatan-perbuatan gaib’ (iddhi), Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya: dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia dapat pergi mengunjungi ‘alam-alam dewa brahma’ dengan membawa tubuh kasarnya”.

67— “Kassapa, sama seperti halnya seorang pembuat barang-barang tembikar atau pembantunya, dapat membuat, berhasil menciptakan berbagai bentuk barang tembikar yang mengkilap menurut keinginannya”.
“Kassapa, sama seperti halnya pemahat gading atau pembantunya, dapat memilih gading serta berhasil memahatnya menjadi berbagai bentuk pahatan-gading menurut keinginannya”.
“Kassapa, sama seperti halnya tukang emas atau pembantunya, dapat menjadikan, berhasil membuat berbagai bentuk barang dari emas, menurut keinginannya”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Samana atau Brahmana itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk perbuatan gaib (iddhi) Demikianlah ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya: dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembus dinding, benteng atau gunung, seolah olah berjalan melalui ruang kosong; Ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berenang, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia pergi mengunjungi alam-alam dewa, brahma dengan membawa tubuh kasarnya”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.
68— “Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasota (telinga dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasotta yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat”.

69— “Kassapa, sama seperti halnya seseorang yang sedang berada di jalan raya, dapat mendengar suara genderang besar, suara tambur, suara tiupan terompet kulit kerang, suara genderang kecil. Maka ia akan tahu: ‘Inilah suara genderang besar, ini suara tambur, ini suara tiupan terompet kulit kerang, ini suara genderang kecil’”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan telinga dewa (dibbasotta). Dan dengan kemampuan dibbasotta yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.

70— “Kassapa, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain (cetopariyañana). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang-orang lain”.
Ia mengetahui:
“Pikiran yang disertai sebagai pikiran yang disertai nafsu.
Pikiran tanpa nafsu sebagai tanpa nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
Pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas”.

71— ”Kassapa, sama halnya seperti seorang wanita, lelaki atau anak kecil, yang ingin memperindah diri dengan melihat wajahnya pada permukaan sebuah kaca yang bersih dan jernih atau pada sebuah tempayan yang berisikan air jernih; maka apabila wajahnya memiliki tahi lalat, ia tahu bahwa wajahnya memiliki tahi lalat; apabila wajahnya tidak memiliki tahi lalat, ia tahu bahwa wajahnya tidak memiliki tahi lalat”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Samana atau Brahmana itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ‘pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain’ (cetopariyañana). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang-orang lain”
dan ia mengetahui:
“Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu.
Pikiran tanpa napsu sebagai pikiran tanpa nafsu.
Pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.

72— ”Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau (pubbenivasanussati)”.
“Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan pembentukan bumi (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran bumi (vivatta-kappa) dan masa perkembangan-kehancuran bumi (samvata-vivatta-kappa)”.
“Di suatu tempat demikian, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu (meninggal) dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian: di sana namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini”.
“Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk-beluknya dalam seluruh macamnya”.

73— ”Kassapa, sama halnya seperti seseorang yang pergi dari desanya menuju ke lain desa, dan dari desa itu ia pergi ke desa lainnya lagi, serta dari desa itu ia pulang kembali ke desanya sendiri; maka ia akan tahu: Dari desaku sendiri, aku pergi ke lain desa. Di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian. Dari tempat itu aku datang ke desa lainnya; di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian. Dan sekarang, dari desa itu aku pulang ke desaku sendiri”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau (pubbenivasanussati)”.
“Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, duapuluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa-perkembangan (samvatta kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kappa), dan melalui banyak masa perkembangan kehancuran (samvata-vivatta-kappa)”.
“Di suatu tempat kelahiran, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana, namaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini”.
“Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya, dalam seluruh macamnya”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu”.

74— ”Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbulnya dan lenyapnya mahkluk-makhluk (cutupapattañana).
“Dan dengan kemampuan mata dewa (dibbacakkhu) yang jernih, yang melebihi mata manusia biasa, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk meninggal dari satu perwujudan dan lahir kembali dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: “Makhluk-makhluk ini, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan bensar dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga”.
“Demikianlah, dengan kemampuan dibbacakku yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk meninggal dari satu perwujudan dan lahir kembali dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah jelek, bahagia dan menderita”.

75— ”Kassapa, sama halnya seperti di sana terdapat sebuah rumah bertingkat, terletak di suatu tempat yang menghadap ke perempatan jalan; dan seandainya seseorang yang memilki mata berdiri di atasnya, mengamati orang-orang memasuki rumah, keluar dari rumah, berjalan hilir mudik sepanjang jalan, duduk di tengah perempatan jalan; maka ia akan tahu: “Orang-orang itu memasuki rumah; orang-orang itu keluar dari rumah; orang-orang itu berjalan hilir mudik sepanjang jalan; orang-orang itu duduk di tengah perempatan jalan”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Samana atau Brahmana itu mempergunakan dan mengarahkannya pada pe-ngetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapatañana)”.
“Dan dengan kemampuan dibbacakku yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk meninggal dari satu perwujudan dan lahir kembali dalam perwujudan lain, rendah mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya”:
“Makhluk-makhluk ini, saudara [Kassapa] memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan-perbuatan menurut pandangan-pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam dewa, alam sengsara, alam neraka, tetapi, makhluk-makhluk lain, saudara [Kassapa], memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut perbuatan menurut tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga”.
“Demikianlah, dengan kemampuan dibbacakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk meninggal dari satu perwujudan dan lahir kembali dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita”.
“Kassapa, inilah faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu”.
76— ”[Kassapa], dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncang-kan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran kekotoran batin (asava)”.
“Demikianlah, ia mengetahui sebagai-mana adanya: 'Inilah dukkha’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah sebab dukkha’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah akhir dukkha’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah sebab asava’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah akhir akhir asava’”.
“Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah jalan yang menuju pada lenyapnya asava”.
Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari kekotoran batin karena nafsu (kamasava), pikirannya terbebas dari kekotoran batin karena perwujudan (bhavasava), pikirannya terbebas dari kekotoran batin karena ketidaktahuan (avijjasava).
Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui:“Berakhirlah kelahiran kembali, tercapailah kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini”.

77— ”Kassapa, sama halnya seperti dalam satu lekukan gunung terdapat sebuah kolam yang bersih, jernih dan terang airnya; dan seandainya seseorang yang memiliki mata dewa berdiri pada tepinya, melihat di dalam kolam itu terdapat tiram-tiram, kerang-kerang, batu–batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian kemari; maka ia akan tahu: ‘Kolam ini bersih, jernih dan tenang airnya. Didalamnya terdapat tiram-tiram, kerang-kerang, batu-batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian kemari”.
“Kassapa, demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran kekotoran batin (asava).
• “Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah dukkha’”.
• “Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab dukkha’ ” .
• “Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir dukkha’ ”.
• “Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’ ”.
• ‘Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’ ”.
• ‘Ia mengetahu sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab asava’ ”.
• “Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’ ”.
• “Ia mengetahui sebagaimana adanya: ’Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya asava’”.
“Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari kekotoran batin karena nafsu (kamasava), pikirannya terbebas dari kekotoran batin karena perwujudan (bhavasava), maka pikiran-nya terbebas dari kekotoran batin karena ketidaktahuan (avijjasava).
“Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: “Berakhirlah kelahiran kembali, tercapailah kehiduan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini”.
“Kassapa, inilah, faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu. Tidak ada faedah nyata dari kehidupan ke-Samana-an atau ke-Brahmana-an dalam masa sekarang ini yang lebih mulia dan lebih tinggi daripada ini”.
“Kassapa inilah pemilikan sila, citta dan pañña; tidak ada pemilikan sila, citta dan pañña yang lebih indah dan lebih tinggi daripada ini”.

78.(21)—”Kassapa, ada beberapa Samana dan Brahmana menitikberatkan pada ajaran sila. Dalam berbagai cara mereka memuji sila. Namun, sehubungan dengan ke-ariya-an, sila tertinggi, saya menyadari tidak ada seorang pun yang setara dengan diriku, karena saya telah mencapainya. Itulah sila tertinggi (adhisila)”.
“Kassapa, ada beberapa Samana dan Brahmana yang menitikberatkan pada ajaran tapa penyiksaan diri dan memperhatikan orang lain dengan cermat (tapojigucchaya). Dalam berbagai cara mereka memuji tapa menyiksa diri memperhatikan orang lain dengan cermat. Namun sehubungan dengan ke-ariya-an, tapojigucchaya tertinggi, saya menyadari tidak ada seorang pun yang setara dengan diriku, karena saya telah mencapainya. Itulah tapa penyiksaan diri dan memperhatikan orang lain dengan cermat tertinggi (adhijiguccha)”.
“Kassapa, ada beberapa Samana dan Brahmana yang menitikberatkan ajaran tentang kebijaksanaan (pañña). Dalam berbagai cara mereka memuji kesucian. Namun sehubungan dengan ke-ariya-an, vimutti tertinggi, saya menyadari tidak ada seorang pun yang setara dengan diriku, karena saya telah mencapainya. Itulah kebijaksanaan tertinggi (adhipañña)”.
“Kassapa, ada beberapa Samana dan Brahmana yang menitikberatkan ajaran tentang kesucian (vimutti). Dalam berbagai cara mereka memuji kesucian. Namun sehubungan dengan ke-ariya-an, vimutti tertinggi, saya menyadari tidak ada seorang pun yang setara dengan diriku, karena saya telah mencapainya. Itulah kesucian tertinggi (adhimutti).

79.(22)—”Kassapa, mungkin beberapa pertapa aliran lain berkata: Samana Gotama menyatakan auman singa, tetapi ia mengatakan itu di tempat yang sepi, bukan di tempat yang ada banyak orang”. Mereka harus diberikan jawaban: “Jangan berkata begitu. Samana Gotama menyatakan auman singa, beliau menyatakan itu di tengah-tengah kelompok banyak orang”.
“Kassapa, mungkin ada beberapa pertapa dari aliran lain, secara bergiliran menyatakan masing-masing keberatan sebagai berikut”:
“Tetapi beliau menyatakan itu bukan dalam keyakinan penuh”.
“Tetapi tidak ada orang yang bertanya kepadanya”.
“Tetapi ketika beliau ditanya, beliau tidak dapat menjawab”.
“Tetapi ketika beliau menjawab, ia tidak memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan yang ditanyakan”.
“Tetapi orang-orang tidak memperhatikan karena jawabannya tidak pantas didengar”.
“Tetapi ketika mereka mendengar ucapannya, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda mereka meyakininya”.
“Tetapi ketika mereka mengerti kebenaran itu, mereka tidak dapat menghayatinya”.
“Kassapa, untuk setiap pertanyaan itu, harus dijawab seperti tersebut tadi, hingga jawaban itu adalah :
“Jangan berkata begitu. Karena Samana gotama menyatakan auman singanya ditengah kelompok banyak orang, dalam keyakinan penuh, adil dalam pernyataannya; banyak orang yang bertanya kepada beliau, dan ketika ditanya beliau menjawab sesuai dengan pertanyaan, uraian jawabananya memuaskan para pendengar, para pendengar menerima jawaban dengan penuh perhatian, ketika mereka mendengar jawaban beliau, mereka mengerti; ketika mereka mengerti, mereka menunjukkan tanda-tanda meyakinkan; mereka pun menembus kebenaran, setelah menghayatinya mereka dapat melaksanakan ke-benaran itu.!”

80.(23)—”Kassapa. Pada suatu waktu saya berada di puncak Gijjhakuta. Ada seorang pengikut aliran anda, bernama Nigrodha, menanyakan sebuah pertanyaan tentang tapa menyiksa diri tertinggi kepadaku. Setelah pertanyaan ditanyakan, saya menjawab pertanyaan tersebut. Setelah saya menjawab apa yang ia tanyakan, ia sangat senang, bagaikan ketika ia sangat gembira”.
“Bhante, siapakah yang setelah mendengar ajaran Bhagava tidak akan senang, bagaikan ketika ia sangat gembira?, Saya juga, yang sekarang mendengar ajaran Bhagava, merasa sangat senang, bagaikan ketika saya gembira. Bhante, menakjubkan dan mengagumkan kata-kata yang keluar dari mulut anda; bagaikan seseorang menemukan apa yang hilang, atau menemukan apa yang disembunyikan, menunjukkan jalan kepada orang yang tersasar, atau menerangi tempat yang gelap sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat benda – demikian pula, Bhagava telah membukakan kebenaran dengan bermacam cara kepada saya. Maka saya, saya mohon berlindung kepada Bhagava, dhamma dan sangha. Bhante, saya mohon kepada Bhagava untuk meninggalkan kehidup-an berumah tangga (pabbajja) dan ditahbiskan menjadi bhikkhu (upasampada)”.

81.(24)—”Kassapa, siapa saja yang dahulu adalah pengikut aliran (agama) lain ingin pabbajja dan upasampada pada dhamma-vinaya ini, ia harus mengikuti mengikuti masa percobaan selama empat bulan. Setelah empat bulan masa percobaan selesai, maka para bhikkhu memutuskan (araddha-citta) melaksanakan pabbajja dan upasampada. Namun, saya ketahui bahwa penentuan ada pada para individu”.
“Bhante, karena empat bulan percobaan merupakan peraturan kebiasaan, maka saya sendiri akan melaksanakan masa percobaan itu. Semoga para bhikkhu memutuskan untuk melaksanakan pabbajja dan upasampada bagi saya untuk menjadi bhikkhu”.
‘Demikianlah pertapa telanjang Kassapa di-pabbajja dan di-upasampada dibawah bimbingan Bhagava. Segera setelah dia di-upasampada, bhikkhu Kassapa hidup menyendiri, terpisah, berusaha sungguh-sungguh dan menguasai dirinya sendiri. Tidak lama kemudian ia mencapai tujuan tertinggi yang merupakan tujuan dari orang berumah-tangga meningggalkan kehidupan berumah-tangga (pabbajja); tujuan akhir dicapainya sendiri, oleh dirinya sendiri; masih dalam kehidupan di dunia ini ia mencapai pengetahuan, dan selanjutnya merealisasikan dan melihatnya secara nyata. Baginya kelahiran kembali telah lenyap, penghidupan suci telah dicapai, semua tugas yang harus dikerjakan telah dilaksanakan, setelah kehidupan ini tidak ada kehidupan selanjutnya lagi Bhikkhu Kassapa adalah salah seorang dari para arahat. ☼