Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Karaniya Metta Sutta

Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan. Untuk mencapai Keadaan Ketenangan Ia harus mampu jujur, sungguh jujur Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong

Karaniya Metta Sutta

Merasa puas, mudah disokong, Tiada sibuk, sederhana hidupnya, Tenang inderanya, berhati-hati, Tahu malu, tak melekat pada keluarga

Karaniya Metta Sutta

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para Bijaksana Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram, Semoga semua makhluk berbahagia

Karaniya Metta Sutta

Makhluk hidup apapun juga, Yang lemah atau kuat, tanpa kecuali, Yang panjang atau besar, Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk

Karaniya Metta Sutta

Jangan menipu orang lain, Atau menghina siapa saja, Jangan karena marah dan benci, Mengharap orang lain celaka

Thursday, January 12, 2012

TITTIRA-JĀTAKA259

“Anak-anakmu yang tidak bersalah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di puncak Gunung Burung Hering, tentang percobaan dari Devadatta untuk membunuh-Nya.

Pada waktu itu, para bhikkhu memulai suatu pembahasan di dalam balai kebenaran, dengan mengatakan, “Āvuso, betapa tidak tahu malu dan rendahnya Devadatta itu. Dengan bergabung bersama Ajātasattu, ia membuat suatu persekongkolan untuk membunuh Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha), menyewa para pemanah, menjatuhkan batu yang besar, dan melepaskan Gajah Nāḷāgiri.”

Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bahas.

Setelah diberi tahu apa yang sedang dibahas, Beliau berkata, [537] “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Devadatta (selalu) mencoba untuk membunuhku. Akan tetapi, ia tidak berhasil, bahkan untuk membuatku takut,” dan Beliau menghubungkannya dengan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala di bawah pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, hiduplah seorang guru yang termasyhur di kota Benares yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada lima ratus brahmana muda.

Suatu hari ia berpikir, “Selama saya tinggal di sini, saya menemui hambatan untuk menjalankan kehidupan suci dan siswa-siswaku tidak sempurna dalam pembelajaran mereka. Saya akan pensiun menjadi guru dan tinggal dalam hutan di landaian pegunungan Himalaya serta melanjutkan pengajaranku di sana.” Ia memberitahukan ini kepada para siswanya, dan meminta mereka membawakan wijen, beras, minyak, pakaian dan lain sebagainya.

Ia pergi ke dalam hutan, membangun gubuk daun sebagai tempat tinggalnya dekat jalan besar. Para siswanya juga masing-masing membuat sebuah gubuk. Sanak keluarga mereka mengirimkan nasi dan sebagainya, dan penduduk negeri tersebut berkata, “Seorang guru yang termasyhur hidup di tempat anu di dalam hutan dan mengajar ilmu pengetahuan di sana.”

Mereka juga membawakan nasi, dan penjaga hutan juga memberikan sesuatu, sedangkan ada seorang laki-laki yang memberikan seekor sapi perah dan anak sapi agar mereka dapat minum susu. Kemudian seekor kadal dan dua ekor anaknya datang untuk tinggal bersama guru itu, seekor singa dan harimau juga datang untuk mendengar ajarannya. Seekor burung ketitir260 juga tinggal di sana, dan dari mendengar guru mereka mengajarkan kitab suci kepada para siswanya, burung ketitir tersebut menjadi paham akan ajaran tiga kitab Weda. Dan brahmana itu pun menjadi sangat akrab dengan burung tersebut.

Tetapi sebelum para siswanya mendapatkan keahlian di dalam ilmu pengetahuan, guru mereka meninggal dunia. Para siswa mengkremasi jasadnya, membuat sebuah gundukan (stupa), dan dengan tangisan serta ratapan, mereka juga menghiasnya dengan beragam jenis bunga.

Burung ketitir menanyakan mengapa mereka menangis. “Guru kami,” jawab mereka, “sudah meninggal dunia, sedangkan pembelajaran kami masih belum selesai.” “Kalau itu masalahnya, jangan khawatir, saya yang akan mengajari kalian.” “Bagaimana Anda bisa mengetahuinya?” “Dahulu, saya biasa mendengarkan guru kalian sewaktu ia mengajar, dan saya dapat menghapal tiga kitab Weda luar kepala.” [538] Burung ketitir berkata, “Baiklah, dengarkan,” dan memaparkan inti sari pelajaran kepada mereka, semudah mengalirkan air ke bawah dari gunung.

Para brahmana muda tersebut menjadi sangat senang dan mendapatkan ilmu pengetahuan dari ketitir yang terpelajar itu. Burung itu berdiri di tempat yang dahulunya digunakan oleh guru yang termashyur tersebut dan memberikan ajaran tentang ilmu pengetahuan. Para brahmana muda itu membuatkan sebuah sangkar emas untuknya dan memberinya penutup (tempat teduh), mereka mempersembahkan kepadanya madu dan biji-bijian kering dalam piring emas dan memberikannya beraneka ragam warna bunga, mereka benar-benar memberikan kehormatan yang besar kepadanya.

Tersebar di seluruh India bahwasanya seekor burung ketitir di dalam hutan mengajarkan kitab suci kepada lima ratus orang brahmana.

Kala itu, orang-orang mengadakan sebuah festival besar—ini seperti berkumpulnya orang-orang di puncak sebuah gunung. Orang tua para brahmana muda tersebut mengirim pesan untuk anak-anak mereka agar datang dan melihat festival tersebut. Mereka memberitahukan burung ketitir akan hal ini, dan memercayakan tempat pertapaan mereka kepada burung terpelajar tersebut dan juga kepada kadal yang ada di sana. Mereka pun pergi ke kota.

Saat itu seorang petapa jahat yang tak berbelas kasihan261 yang sedang mengembara ke sana dan ke sini tanpa tujuan, tiba di tempat itu. Kadal yang melihatnya masuk ke dalam berbicara dengan ramah kepadanya sambil berkata, “Di tempat anu Anda bisa mendapatkan beras, minyak dan lain sebagainya; masaklah nasi dan nikmatilah,” sesudah berkata demikian, kadal itu pergi untuk mencari makanannya sendiri.

Pada awal pagi hari makhluk jahat itu memasak nasi, membunuh dan memakan dua ekor anak kadal tersebut, menjadikan mereka sebagai makanan yang enak. Pada siang hari ia membunuh dan memakan burung ketitir terpelajar serta anak sapi tersebut, dan pada sore hari, tidak lama setelah ia melihat induk sapi kembali, kemudian ia membunuh dan memakan dagingnya. Kemudian ia berbaring dengan mendengkur di bawah kaki sebuah pohon dan tertidur.

Pada malam hari kadal itu kembali dan karena merindukan anak-anaknya, ia pergi untuk mencari mereka.

Seorang dewa pohon melihat kadal ini gemetaran karena tidak dapat menemukan anak-anaknya. Dengan kesaktiannya, ia berdiri di lubang batang pohon dan berkata, “Berhentilah gemetaran, kadal. Kedua anakmu, burung ketitir, anak dan induk sapi tersebut telah dibunuh oleh orang yang jahat ini. Gigit lehernya, dan dengan itu ia akan menemui ajalnya.”

Dalam pembicaraan mereka yang demikian, dewa pohon mengucapkan bait pertama berikut:

[539] Anak-anakmu yang tidak bersalah
telah dimakannya, meskipun Anda telah memberikan
banyak makanan kepadanya;
Tusukkanlah gigimu di dalam dagingnya,
jangan biarkan makhluk itu hidup dan melarikan diri.
Kemudian kadal mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Jiwa tamaknya dipenuhi oleh kotoran,
tetapi ia seperti ditutupi oleh pakaian khusus,
tubuhnya kebal terhadap gigitanku.
Kesalahan yang diperbuat manusia
yang tidak tahu berterima kasih ini
dapat dilihat di mana-mana,
Tidak bisa ia dipuaskan dengan benda-benda duniawi.
Setelah berkata demikian, kadal itu berpikir, “Orang ini akan segera bangun dan memakanku,” dan ia pun lari untuk menyelamatkan dirinya.

Sebelumnya, singa dan harimau sudah berteman akrab dengan burung ketitir. Kadang kala mereka datang mengunjunginya dan sebaliknya, kadang kala ia yang mengunjungi mereka dan mengajarkan kebenaran kepada mereka.

Hari itu, singa berkata kepada harimau, “Sudah lama kita tidak bertemu dengan burung ketitir, sudah sekitar tujuh atau delapan hari. Pergilah dan cari tahu kabarnya.” Harimau mengiyakannya dan pergi ke sana. Sesampainya di tempat itu, ia tidak melihat kadal yang telah pergi dan melihat makhluk jahat yang sedang tidur itu. Di rambutnya yang kusut terlihat beberapa helai bulu burung ketitir, [540] dan di dekatnya juga terlihat tulang belulang induk dan anak sapi. Raja harimau yang melihat semua ini dan merasa kehilangan burung ketitir yang sudah tidak terlihat di sarang emasnya, berpikir, “Mereka semua pasti telah dibunuh oleh orang jahat ini,” dan menendangnya untuk membuat ia bangun.

Sewaktu melihat seekor harimau di hadapannya, petapa itu menjadi sangat ketakutan. Harimau bertanya, “Apakah Anda yang membunuh dan memakan mereka semua?” “Saya tidak membunuh maupun memakan mereka.” “Makhluk jahat, jika bukan Anda yang melakukannya, beri tahu saya siapa yang melakukannya? Dan jika tidak bisa menjawabku, Anda akan mati!” Merasa takut akan keselamatan dirinya, ia berkata, “Ya, Harimau, saya yang membunuh dan memakan anak kadal, anak sapi dan induk sapi itu. Akan tetapi saya tidak membunuh dan memakan burung ketitir.” Walaupun ia berbicara demikian, harimau tidak begitu saja memercayainya dan bertanya lagi, “Anda datang dari mana?” “Harimau, sebelumnya dengan berkeliling saya menjual barang dagangan seorang saudagar untuk bertahan hidup di Kerajaan Kāliṅga, dan setelah mencoba melakukan beberapa hal ini dan itu, saya baru datang ke sini.” Akan tetapi setelah laki-laki itu memberitahukan semua yang telah dilakukannya, harimau berkata, “Kamu adalah seorang yang jahat, jika bukan kamu yang membunuh burung ketitir, siapa lagi yang melakukannya? Ayo, saya akan membawamu untuk menjumpai singa, si raja rimba.”

Maka harimau pergi ke tempat singa, dengan berjalan di belakang petapa itu. Ketika singa melihat harimau kembali dengan membawa petapa itu, ia mengucapkan bait keempat berikut:

Mengapa demikian tergesa-gesanya, Subāhu 262, datang ke sini?
Dan mengapa pemuda ini terlihat bersamamu?
Ada keperluan penting ini?
Cepat, beri tahu saya selengkapnya,
jangan ditunda-tunda lagi.
[541] Setelah mendengar ini, harimau mengucapkan bait kelima berikut:

Singa, burung ketitir adalah teman kita yang sangat baik,
hari ini ia berakhir dengan buruk:
Kuragukan kata-kata dari orang ini yang membuatku takut,
kita mungkin akan mendengar berita buruk
tentang burung ketitir yang baik itu.
Kemudian singa mengucapkan bait keenam berikut:

kata-kata apa dari orang ini,
dan perbuatan apa yang telah diakuinya kepadamu,
yang membuatmu ragu bahwa hal yang buruk
telah menimpa unggas yang terpelajar itu hari ini?
Kemudian untuk menjawabnya, raja harimau mengucapkan sisa bait kalimat berikut:

Sebagai seorang pedagang keliling di negeri Kāliṅga
ia melewati jalan-jalan rusak,
dengan barang bawaan di tangannya;
Ia ditemukan berada dengan para pemain akrobat,
dan hewan-hewan tak bersalah
banyak ditemukan di dalam jaringnya;
Sering bermain dengan para penjudi,
dan membuat perangkap untuk unggas-unggas kecil;
Dalam keramaian berkelahi
dengan menggunakan pentungan kayu,
dan pernah mencari penghasilan dengan menjual jagung:
Tidak menepati sumpahnya,
dalam perkelahiannya di tengah malam,
ia terluka, ia mencuci noda darahnya:
Ia membuat tangannya terbakar
karena gegabah mengambil makanan
yang terlalu panas untuk dipegang.
[542] Demikianlah yang kudengar
tentang kehidupan yang pernah dijalaninya,
demikianlah keburukan yang ada di dalam dirinya,
sekarang karena kita tahu bahwa sapi telah mati,
dan ada beberapa helai bulu di sekitar rambutnya,
saya benar-benar takut dengan nasib teman kita.
Singa bertanya kepada pemuda itu, “Apa Anda membunuh burung ketitir yang terpelajar itu?” “Ya, Singa, saya membunuhnya.” Singa yang mendengarnya berkata benar, ingin melepaskan dirinya, tetapi raja harimau berkata, “Orang jahat ini pantas mati,” dan kemudian mengoyaknya dengan taringnya, menggali lubang dan melempar mayatnya ke dalam. [543] Ketika para brahmana muda itu kembali dan tidak menemukan burung ketitir, mereka meninggalkan tempat itu dengan tangisan dan ratapan.
____________________

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya dengan berkata, “Demikianlah percobaan Devadatta di masa lampau yang berusaha untuk membunuhku,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, petapa adalah Devadatta, kadal adalah Kisāgotamī, harimau adalah Moggallāna, singa adalah Sāriputta, guru yang termasyhur adalah Kassapa, dan burung ketitir yang terpelajar adalah saya sendiri.”

Catatan kaki :

259 Lihat R. Morris, Folk-lore Journal, III. 74.

260 tittira. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): ketitir adalah burung kecil yang suaranya nyaring dan panjang, biasa dipertandingkan suaranya; perkutut.

261 Teks aslinya agak meragukan. Ada yang menuliskan nikkāruṇika, “tak berbelas kasihan”: sedangkan Morris, untuk kata niggatiko menyebutkan nigaṇṭho, “petapa telanjang”.

262 Subāhu (lengan yang kuat) adalah harimau.

SARABHA-MIGA-JĀTAKA159

“Terus berusaha, O manusia,” dan seterusnya — Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, untuk menjelaskan secara lengkap sebuah pertanyaan singkat yang diajukan dirinya sendiri kepada Panglima Dhamma.

Pada waktu itu, Sang Guru menanyakan sebuah pertanyaan singkat kepada sang Thera. Ini adalah cerita lengkapnya, yang disingkat, tentang keturunan dari alam Dewa.

Ketika Yang Mulia Piṇḍola-Bhāradvāja dengan kekuatan supranaturalnya memperoleh patta yang terbuat dari kayu cendana di hadapan saudagar besar Rajagaha160, Sang Guru melarang para bhikkhu untuk menggunakan kekuatan gaib mereka.

Kemudian penganut pandangan salah itu berpikir, “Petapa Gotama ini telah mengeluarkan larangan dalam penggunaan kekuatan gaib; sekarang Beliau sendiri tidak akan menggunakan kekuatan gaibnya.” Para siswa mereka menjadi terganggu dan berkata kepada para pesalah tersebut, “Mengapa kalian tidak mengambil patta dengan kekuatan gaib?” Mereka menjawab, “Ini bukanlah hal yang sulit bagi kami, teman. Tetapi kami berpikir, siapa yang mau menunjukkan kekuatannya yang bagus dan hebat hanya untuk sebuah patta kayu yang tidak begitu berharga? jadi kami tidak mengambilnya. Para petapa dari kaum Sakya yang mengambilnya dan menunjukkan kekuatan gaib mereka dikarenakan keserakahan mereka belaka. Jangan pikir kami tidak bisa menggunakan kekuatan gaib. Katakanlah kami tidak mempertimbangkan murid petapa Gotama. Jika kami suka, kami akan menunjukkan kekuatan gaib kepada petapa Gotama sendiri. Jika petapa Gotama menggunakan satu kekuatan gaib, kami akan menggunakan dua kali yang lebih bagus daripadanya.”

Para bhikkhu yang mendengar ini, memberitahukan Sang Bhagava tentangnya, “Guru, para penganut pandangan salah itu mengatakan bahwa mereka akan membuat mukjizat.” Sang Guru berkata, “Biarkan mereka melakukannya, para bhikkhu, saya juga akan melakukan hal yang sama.”

Bimbisāra mendengar hal ini dan pergi bertanya kepada Sang Bhagava, “Apakah Anda akan menggunakan kekuatan gaib, Bhante?” “Ya, Paduka.” “Bukankah ada perintah larangan yang dikeluarkan berkaitan dengan masalah ini, Bhante?” “Perintah itu, Paduka, dikeluarkan untuk para siswaku; tidak ada perintah larangan bagi para Buddha. [264] Bunga dan buah di tamanmu tidak boleh diambil orang lain, tetapi peraturan ini tidak berlaku bagi dirimu sendiri.” “Kalau begitu, dimana Anda akan menunjukkan kekuatan gaib, Bhante?” “Di kota Savatthi, di bawah pohon mangga yang lebat.” “Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bhante?” “Tidak ada, Paduka.”

Keesokan harinya setelah sarapan pagi, Sang Guru pergi berpindapata. “Kemana Sang Guru pergi?” tanya orangorang. Para bhikkhu menjawab, “Ke gerbang kota Savatthi, di bawah pohon mangga yang lebat, Beliau akan menggunakan kekuatan gaibnya sebanyak dua kali kepada para pesalah yang membingungkan tersebut.” Orang-orang berkata, “Kekuatan gaib yang akan digunakan ini adalah yang disebut-sebut dengan karya agung. Kami akan pergi melihatnya.” Mereka pergi bersama dengan Sang Guru. Beberapa dari pesalah tersebut juga mengikuti Sang Guru, dengan para siswanya: “Kami juga akan menunjukkan suatu kekuatan gaib di tempat dimana petapa Gotama menunjukkan kekuatan gaibnya.”

Akhirnya Sang Guru tiba di Savatthi. Raja bertanya kepadanya, “Apakah benar, Bhante, Anda akan menunjukkan kekuatan gaib seperti yang dikatakan oleh orang-orang?” “Ya, benar.” “Kapan?” “Pada hari ketujuh, mulai dari hari ini, di saat bulan purnama di bulan Juni.” “Bolehkah saya membuat sebuah paviliun, Bhante?” “Tenang, Paduka. Tempat dimana saya akan menggunakan kekuatan gaib, akan dibangun oleh Sakka sebuah paviliun yang luasnya dua belas yojana.” “Boleh saya mengumumkannya di seluruh kota?” “Silahkan saja, Paduka.”

Raja memanggil Penggema Dhamma (dhammaghosaka), dengan berpakaian lengkap, untuk memberitahukan pengumuman berikut ini: “Pengumuman! Sang Guru akan menggunakan kekuatan gaib kepada para penganut pandangan salah yang membingungkan tersebut di gerbang kota Savatthi, di bawah pohon mangga yang lebat, tujuh hari lagi dimulai dari hari ini!” Setiap hari pengumuman ini diberitahukan. Ketika para pesalah tersebut mendengar berita ini, bahwasannya kekuatan gaib akan digunakan di bawah pohon mangga yang lebat, mereka membayar semua pemilik pohon mangga untuk menebang pohon mangganya yang ada di Savatthi.

Di malam bulan purnama, Sang Penggema Dhamma membuat pengumuman, “Pagi hari ini 161 akan ditunjukkan kekuatan gaib tersebut.” Dengan kekuatan para dewa, kejadian itu terlihat seolah-olah seperti semua penduduk India berada di depan pintu dan mendengarkan pengumuman ini; Siapa saja yang memiliki niat untuk pergi di dalam hatinya, mereka akan pergi dan dapat melihat sendiri di Savatthi karena kerumunan orang itu terbentang mencapai dua belas ribu yojana.

Pagi-pagi buta Sang Guru berkeliling untuk berpindapata. Tukang kebun kerajaan, yang bernama Gaṇḍa atau Lebat, baru saja membawa untuk raja sebuah mangga masak, benar-benar masak, sangat besar, ketika melihat Sang Guru di gerbang kota. “Buah ini pantas untuk Sang Guru,” katanya, sambil memberikannya.

Sang Guru mengambilnya kemudian memakannya setelah duduk di satu sisi. Setelah selesai makan, Beliau berkata, “Ananda, berikan batu ini kepada tukang kebun untuk ditanam di tempat ini; [265] ini yang akan tumbuh menjadi pohon mangga yang lebat.” Ananda melakukan perintah dari Beliau. Tukang kebun itu menggali lubang dan menanamnya.

Pada waktu itu juga, batunya pecah, keluar akar-akar, muncul batang pohon seperti tiang bajak yang merah dan tinggi. Bahkan ketika orang-orang melihatnya ini, pohon itu tumbuh menjadi sebuah pohon mangga yang sebesar seratus hasta, lebarnya lima puluh hasta dan cabang pohon yang tingginya lima puluh hasta juga. Pada waktu yang sama, bunga-bunga bermekaran, buah menjadi masak, pohon berdiri mengarah tinggi ke langit, tertutupi oleh lebah, dengan buah yang berwarna keemasan. Ketika angin berhembus di pohon ini, buah-buah manis tersebut jatuh, kemudian para bhikkhu datang ke pohon tersebut dan memakannya, serta beristirahat.

Di malam hari, raja para dewa yang sedang mengamati dunia ini mengetahui bahwa ada tugas baginya untuk membuat sebuah paviliun yang dibangun dengan tujuh benda berharga. Maka ia mengutus Vissakamma untuk membuat sebuah paviliun dengan tujuh benda berharga yang luasnya mencapai dua belas yojana dan ditutupi oleh bunga teratai berwarna biru. Demikian para dewa dari sepuluh ribu belahan bumi berkumpul bersama.

Setelah menggunakan kekuatan gaibnya kepada para pesalah yang membingungkan tersebut, Sang Guru berjalan melewati para siswa-Nya, membangkitkan keyakinan di dalam diri mereka, kemudian bangkit dan duduk di tempat duduk Buddha membabarkan hukum. Dua puluh juta umat menikmati air kehidupan.

Kemudian dengan bermeditasi untuk mencari tahu dimana para Buddha pergi setelah menggunakan kekuatan gaib, Beliau mengetahui bahwa tempat itu adalah alam Tavatimsa. Beliau bangkit dari duduknya, meletakkan kaki kanan-Nya di puncak Gunung Yugandhara dan yang sebelah kiri di puncak Gunung Sineru, dan memulai masa vassa di bawah pohon koral yang besar162, duduk di tahta batu berwarna kuning, selama tiga bulan memberikan khotbah tentang Abhidhamma kepada para dewa.

Orang-orang tidak mengetahui kemana Sang Guru pergi. Mereka melihat dan berkata, “Mari kita pulang,” dan tinggal di dalamnya selama musim hujan. Ketika masa vassa hampir berakhir dan pestanya telah dipersiapkan, Maha Moggallana pergi memberitahu Sang Bhagava.

Di sana Sang Guru bertanya kepadanya, “Dimanakah Sariputta berada sekarang?” “Bhante, setelah kekuatan gaib itu yang membuatnya menjadi gembira, ia menetap dengan lima ratus bhikkhu lainnya di kota Samkassa sampai sekarang.” “Moggallana, pada hari ketujuh mulai dari sekarang, saya akan turun ke depan gerbang kota Samkassa. Bagi siapa saja yang ingin melihat Sang Tathagata datang berkumpul di dalam kota Samkassa.” Siswa itu menyetujuinya, kemudian pergi memberitahu para penduduk.

Ia membawa semuanya dari Savatthi menuju ke Samkassa dengan secepat kedipan mata, yang berjarak sejauh tiga puluh yojana. Setelah semua persiapaannya selesai untuk perayaan, Sang Guru memberitahu Dewa Sakka bahwa sudah waktunya Beliau kembali ke alam Manusia.

Kemudian Sakka berkata kepada Vissakamma, “Buat tangga bagi jalan Sang Dasabala untuk turun ke alam Manusia. Ia meletakkan kepala tangga di puncak Gunung Sineru dan ujungnya di gerbang kota Samkassa. Di antara keduanya, ia membuat tiga tingkatan, yaitu satu tingkat dengan permata, satu dengan perak, dan satunya lagi dengan emas. [266] Bagian pegangan dan tiang tangga tersebut terbuat dari tujuh benda berharga. Setelah menggunakan kekuatan gaib-Nya untuk pembebasan dunia, Sang Guru turun dengan menggunakan tangga di udara yang terbuat dari batu permata. Sakka yang membawakan patta dan jubah, Suyāma membawa sebuah kipas ekor sapi, Brahmā yang merupakan pemimpin semua makhluk memberikan payung, dan para dewa dari sepuluh ribu belahan bumi memuja dengan kalung bunga dan minyak wangi. Sewaktu Sang Guru berdiri di anak tangga yang terakhir, pertama sekali Yang Mulia Sariputta memberikan salam hormat yang kemudian diikuti oleh rombongannya.

Dengan berada di antara kumpulan orang banyak itu, Sang Guru berpikir, “Moggallana telah menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekuatan gaib, Upāli (Upali) pandai dalam peraturan sila (vinaya), sedangkan kemampuan Sariputta dalam hal kebijaksanaan yang tinggi belum pernah ditunjukkan. Selain diriku, tidak ada orang lain yang memiliki kebijaksanaan yang demikian penuh dan lengkap. Saya akan membuat orang lain mengetahui tentang kebijaksanaanya.”

Pertama-tama Beliau menanyakan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada umat awam (upasaka) dan mereka dapat menjawabnya. Kemudian Beliau menanyakan sebuah pertanyaan yang ditujukan untuk mereka yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan mereka dapat menjawabnya, tetapi umat awam tidak dapat menjawabnya. Dengan cara yang sama, Beliau menanyakan pertanyaan-pertanyaan secara bergiliran kepada mereka yang telah mencapai tingkat kesucian Sakadagami, Anagami, Khīṇāsava 163 , dan Mahāsāvaka dan Aggasāvaka 164 ; dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, mereka yang berada di bawah tingkatan secara bergiliran tidak dapat menjawabnya, tetapi mereka yang berada di atas tingkatan dapat menjawabnya.

Kemudian Beliau menanyakan sebuah pertanyaan yang ditujukan pada tingkatan Sariputta; dan ini hanya bisa dijawab oleh Sariputta. Yang lain bertanya, “Siapakah murid yang dapat menjawab pertanyaan Sang Guru?” Mereka diberitahu bahwa orang tersebut adalah dhammasenāpati, namanya adalah Sariputta. “Betapa tinggi kebijaksanaannya!” kata mereka. Sejak saat itu, kebijaksanaan sang Thera yang tinggi itu pun diketahui oleh manusia dan para dewa. Kemudian Sang Guru berkata kepadanya,

“Sebagian orang masih harus melewati cobaan,
dan sebagian lagi telah mencapai tujuannya:
Katakan perbedaan tingkah laku mereka,
karena Anda mengetahui segalanya.”
Setelah menanyakan pertanyaan tersebut yang datang dari ruang lingkup seorang Buddha, Beliau menambahkan, “Di sini ada sebuah kesimpulan singkat, Sariputta . Apa maksud dari semua permasalahan dengan sikapnya?” Sang Murid memikirkan pertanyaan tersebut. Ia berpikir, “Guru menanyakan tentang sikap benar yang dimiliki seseorang seiring bertambahnya tingkat kesucian, baik mereka yang berada di tingkat yang lebih rendah maupun yang telah mencapai tingkat tinggi? Ia tidak memiliki keraguan terhadap pertanyaan yang umum. Tetapi ia kemudian berpikir, “Cara yang tepat untuk bertingkah laku dapat dijelaskan dalam banyak cara, sesuai dengan elemen penting dari orang tersebut165, dan seterusnya dimulai dari itu. Sekarang dengan cara yang mana baru dapat saya jawab maksud dari Guru?” Ia ragu akan maksud tersebut.

Sang Guru berpikir, “Sariputta tidak memiliki keraguan terhadap pertanyaan yang umum, tetapi ia ragu ketika berhubungan dengan dari sudut pandang mana saya melihatnya. Jika saya tidak memberikan petunjuk, ia tidak akan bisa menjawabnya. Jadi [267] saya akan memberinya satu petunjuk.” Beliau memberi petunjuk tersebut dengan berkata, “Lihat kemari, Sariputta, apakah menurutmu ini benar?” (sambil menyebutkan beberapa petunjuk). Sariputta membenarkan petunjuk tersebut.

Setelah petunjuk diberikan, Beliau mengetahui bahwa Sariputta telah mengetahui maksud-Nya dan akan mampu menjawabnya dengan lengkap, dimulai dari elemen manusia. Demikianlah pertanyaan tersebut diberikan kepada sang murid, kemudian dengan seratus petunjuk, bukan, seribu petunjuk yang diberikan oleh Sang Guru, ia dapat menjawab pertanyaan yang berada dalam ruang lingkup seorang Buddha.

Sang Buddha memaparkan Dhamma kepada kumpulan orang tersebut yang memenuhi tempat seluas dua belas yojana. Tiga puluh juta orang menikmati air kehidupan ini.

Setelah selesai, kumpulan orang tersebut membubarkan diri dan Sang Guru melanjutkan perjalanannya sambil berpindapata yang akhirnya sampai di kota Savatthi. Keesokan harinya setelah berpindapata di Savatthi, Beliau memberitahukan semua bhikkhu tentang kewajiban mereka dan kemudian masuk ke dalam gandhakuṭi.

Di malam hari, para bhikkhu duduk di dhammasabhā membicarakan tentang kebijaksanaan sang murid. “Kebijaksanaan tinggi, Āvuso, dimiliki Sariputta. Ia memiliki kebijaksanaan yang luas, cepat, tajam dan menarik. Sang Guru menanyakan sebuah pertanyaan singkat dan ia dapat menjawabnya secara panjang lebar dan benar.”

Sang Guru yang berjalan masuk menanyakan mereka apa yang sedang dibicarakan, dan mereka memberitahu-Nya. Beliau berkata, “Ini bukan pertama kali, para bhikkhu, Sariputta dapat menjawab dengan panjang lebar dan benar sebuah pertanyaan yang singkat, tetapi di masa lampau ia juga sudah pernah melakukannya,” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan yang tinggal di dalam hutan.

Waktu itu, raja sangat gemar berburu dan raja adalah orang yang kuat. Ia juga menganggap tidak ada yang lain yang pantas menyandang nama manusia selain manusia itu sendiri.

Suatu hari ketika sedang pergi berburu, raja berkata kepada para pejabat istananya, “Barang siapa yang membiarkan seekor rusa lewat di depannya, ia akan mendapatkan hukuman tertentu.” Mereka berpikir, “Seseorang mungkin saja berdiri di dalam rumah dan tidak dapat menemukan lumbung padi166. Ketika melihat seekor rusa, dengan cara apapun kita harus mengarahkannya ke tempat dimana raja berada.”

Mereka membuat suatu kesepakatan untuk dapat melakukannya dan menempatkan raja di ujung jalan. Kemudian mereka mulai mengepung tempat semak-belukar yang lebat dan memukul-mukul tanah dengan tongkat kayu dan sebagainya. Yang pertama kali muncul adalah rusa jantan tersebut. Ia mencoba berkeliling di dalam semak tersebut sebanyak tiga kali untuk mencari kesempatan menyelamatkan diri. Di semua sisi ia melihat orang-orang yang berdiri tanpa berhenti bergerak, lengan yang terus mengayun-ayun dan memukul-mukul; hanya di tempat raja ia melihat ada kesempatan. [268]

Dengan kedua mata yang terbuka lebar, ia berlari dengan cepat menuju ke arah raja, menyilaukannya seolah-olah seperti melempar pasir ke arah matanya. Dengan cepat raja menembakkan anak panah, tetapi tidak mengenainya. Anda harus mengetahui bahwa rusa jenis ini sangat pintar dalam mengelakkan anak panah. Ketika anak panah datang dari arah lurus menuju ke arah mereka, rusa-rusa ini akan diam di tempat dan biarkan anak panah itu melewatinya; jika anak panah datang dari arah belakang, mereka dapat lari melebihi kecepatannya; jika anak panah datang dari atas, mereka akan menekuk bagian belakang mereka; jika anak panah diarahkan ke perut, mereka akan dengan cepat berbaring dan ketika anak panah itu telah lewat, rusa-rusa ini akan lari secepat awan yang dipencarkan oleh angin.

Demikian halnya yang terjadi kepada raja ketika melihat rusa jantan ini berbaring, ia mengira bahwa rusa itu terkena panah dan menyerukan kemenangan. Rusa jantan itu kemudian bangun dan secepat angin ia menghilang dengan melewati kepungan orang-orang tersebut.

Para pengawal istana dari kedua arah yang melihat rusa jantan itu lolos berkumpul bersama dan bertanya, “Di tempat manakah rusa itu pergi tadi?” “Tempatnya raja!” “Tetapi tadi raja meneriakkan bahwa ia telah mengenainya! Apa yang telah dikenainya? Raja kita membuat rusa tersebut lolos, saya beritahu kalian! Anak panahnya mengenai tanah!” Demikian mereka mengolok-olok raja dan tidak henti-hentinya. “Orang-orang ini sedang menertawaiku. Mereka tidak tahu kemampuanku,” pikir raja.

Kemudian sambil membawa perlengkapannya, berjalan kaki dengan pedang di tangannya, ia pergi dengan meneriakkan, “Saya akan menangkap rusa itu!” Raja tetap mengikuti jejaknya dan mengejarnya sampai sejauh tiga yojana. Rusa jantan tersebut masuk lagi ke dalam hutan dan raja mengikutinya.

Saat itu, di depan jalan rusa tersebut ada sebuah lubang besar yang terjadi karena sebuah pohon yang telah mati, sedalam enam puluh hasta dan berisi air sedalam tiga puluh hasta, tetapi tertutup oleh dedaunan. Rusa yang dapat mencium bau air mengetahui bahwa itu adalah sebuah lubang, berbelok ke samping dari jalurnya. Sedangkan raja tetap lurus dan masuk ke dalamnya. Rusa yang tidak mendengar suara kaki di belakangnya lagi menoleh ke belakang dan melihat tidak ada siapa-siapa, mengetahui bahwa orang tersebut pasti telah jatuh ke dalam lubang itu. Maka ia pergi ke sana dan melihat raja di dalam lubang air yang mengerikan itu berusaha untuk menyelamatkan diri.

Rusa tidak menaruh dendam kepada raja atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya, [269] dengan sedih ia berpikir, “Jangan biarkan raja mati di depan mataku sendiri. Saya akan menyelamatkannya dari kesulitan ini.” Dengan berdiri di tepi lubang, ia berteriak, “Jangan takut, O raja, karena saya akan menyelamatkanmu dari kesulitanmu itu.” Kemudian dengan usaha yang sungguh-sungguh seperti sedang menyelamatkan anaknya sendiri, ia menahan dirinya pada sebuah batu besar dan menarik raja yang tadi mengejarnya dengan tujuan membunuhnya keluar dari lubang sedalam enam puluh hasta itu. Kemudian menenangkannya dan meletakkannya di atas punggungnya, rusa membawanya keluar dari dalam hutan dan menempatkannya tidak jauh dari pasukan pengawalnya. Kemudian ia menasehati raja dan mengajarkan kepadanya Pancasila (Buddhis).

Tetapi raja tidak dapat berpisah dengan Sang Mahasatwa dan berkata kepadanya, “Raja para rusa, ikutlah bersamaku ke Benares. Saya akan memberikanmu kekuasaan atas kota Benares, sebuah kota yang memiliki luas dua belas yojana, Anda boleh memilikinya.” Tetapi rusa berkata, “Raja yang agung, saya adalah hewan dan saya tidak menginginkan sebuah kerajaan. Jika Anda benar-benar peduli denganku, lakukan saja hal kebajikan yang telah saya ajarkan kepadamu dan ajarkan rakyatmu untuk melakukannya juga.” Setelah memberikan nasehat ini, rusa kembali masuk ke dalam hutan.

Dan raja kembali ke tempat pasukan pengawalnya, ketika mengingat akan sifat mulia dari rusa jantan itu, air mata mengalir dari mata raja. Dikelilingi dengan barisan pengawalnya, raja masuk ke dalam kota dan membuat pengumuman dengan membunyikan drum: “Mulai hari ini, semua penduduk kota harus mematuhi Pancasila (Buddhis).”

Raja tidak memberitahu kepada siapapun tentang kebaikan yang dilakukan oleh rusa terhadap dirinya. Setelah selesai makan berbagai jenis pilihan daging, di malam harinya raja berbaring di dipan yang sangat indah. Dan di saat hari menjelang fajar, raja teringat kembali akan sifat mulia dari Sang Mahasatwa, kemudian ia bangkit dari tidurnya, duduk dengan menyilangkan kakinya, dan dengan hati yang penuh dengan kegembiraan melantunkan pujiannya dalam enam bait kalimat berikut:

“Terus berharap O manusia, jika Anda bijak,
jangan biarkan semangatmu melemah:
Saya melihat diriku sendiri,
yang telah mendapatkan tujuan dari keinginanku.
“Terus berharap O manusia, jika Anda bijak,
jangan melemah meskipun rasa sakit mengganggu:
Saya melihat diriku sendiri,
yang telah berjuang dalam ombak mencapai daratan.
“Terus berusaha O manusia, jika Anda bijak,
jangan biarkan semangatmu melemah:
Saya melihat diriku sendiri,
yang telah mendapatkan tujuan dari keinginanku.
“Terus berusaha O manusia, jika Anda bijak,
jangan melemah meskipun rasa sakit mengganggu:
Saya melihat diriku sendiri,
yang telah berjuang dalam ombak mencapai daratan.
“Ia yang bijak, walaupun dilanda rasa sakit,
Tidak akan pernah berhenti
untuk berharap mendapatkan kebahagiaan.
[270] Ada banyak perasaan dalam diri manusia,
baik kebahagiaan maupun penderitaan:
Mereka tidak memikirkannya, bagaimanapun juga
mereka akan tetap mengalami kematian.”
“Perasaan yang datang tanpa dipikirkan;
dan yang dipikirkan, tidak ada gunanya:
Karena kebahagiaan laki-laki dan wanita
yang tidak dipikirkan adalah yang berguna.”
Di saat raja menyanyikan pujian dalam bait kalimat di atas, matahari mulai terbit. Pendeta kerajaannya datang awal di pagi hari tersebut untuk menanyakan tentang kesehatan raja dan ia mendengar pujian tersebut ketika berdiri di depan pintu, kemudian berpikir dalam dirinya sendiri, “Kemarin raja pergi berburu. Semua orang tahu kalau raja tidak dapat menangkap rusa jantan itu dan karena ditertawakan oleh pengawal istana, raja mengatakan bahwa ia sendiri akan menangkap dan membunuh hewan buruannya tersebut. Kemudian tanpa rasa ragu raja mengejar rusa tersebut karena terluka harga dirinya sebagai seorang ksatria, dan terjatuh ke dalam lubang sedalam enam puluh hasta. Pastinya rusa yang welas asih itu telah menariknya keluar tanpa memikirkan tentang perbuatan jahat yang dilakukan raja terhadap dirinya. Menurutku, inilah sebabnya raja mengucapkan kalimat-kalimat pujian tersebut.”

Demikianlah brahmana itu mendengar setiap kata dalam pujian raja; dan apa yang terjadi di antara raja dan rusa jantan menjadi jelas seperti wajah yang tercermin di dalam kaca yang mengkilap. Ia mengetuk pintu dengan ujung jari tangannya. “Siapa itu?” tanya raja. “Saya, Paduka, pendeta kerajaanmu.” “Masuklah, guru,” kata raja dan membuka pintunya. Brahmana tersebut masuk, mendoakan kejayaan bagi raja, dan berdiri di satu sisi. Kemudian ia berkata, “O raja yang agung! Saya tahu apa yang telah terjadi kepadamu di dalam hutan kemarin. Di saat mengejar rusa itu, Anda terjatuh ke dalam sebuah lubang dan rusa itu dengan bertahan pada batu yang ada di dekat lubang tersebut, [271] menarikmu keluar. Jadi di saat mengingat kemurahan hatinya, Anda menyanyikan kalimat pujian.” Kemudian ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:

“Rusa jantan yang tadinya adalah buruanmu di atas gunung yang tinggi,
Dengan beraninya ia menyelamatkanmu,
karena ia tidak memiliki keserakahan dan kebencian.
“Keluar dari lubang yang mengerikan, dari cengkeraman maut.
Dengan bertahan pada satu batu karang (seorang teman sejati)
Rusa agung itu menyelamatkanmu:
demikian yang Anda ucapkan dengan alasannya,
Pikirannya bebas dari kebencian atau keserakahan.”
“Apa!” pikir raja ketika mendengar ini—“orang ini tidak ikut pergi berburu denganku waktu itu, tetapi ia mengetahui semua kejadiannya! Bagaimana ia dapat mengetahuinya? Saya akan bertanya kepadanya,” dan raja mengucapkan bait kesembilan berikut ini:

“O brahmana! Apakah Anda berada di sana hari itu?
Atau apakah Anda mendengarnya dari orang yang melihat kejadiannya?
Anda telah melenyapkan nafsu keinginan
Anda dapat melihat segalanya:
kebijaksanaanmu membuatku takut.”
Tetapi brahmana itu berkata, “Saya bukan seorang Buddha, yang Maha Tahu. Saya hanya kebetulan mendengar pujian yang Anda nyanyikan, dengan mengetahui artinya, kenyataan yang terjadi menjadi jelas bagiku.” Untuk menjelaskannya, ia mengucapkan bait kesepuluh berikut ini:

“O Paduka! Saya tidak mendengar hal tersebut,
Maupun berada di sana melihatnya hari itu:
[272] Tetapi dari syair yang Anda nyanyikan dengan merdu
Orang bijak dapat mengetahui kejadiannya saat itu.”
Raja merasa gembira dan memberinya sebuah hadiah istimewa.

Sejak saat itu, raja selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan. Demikian juga dengan rakyat-rakyatnya yang melakukan kebajikan, sehingga terlahir di alam Surga setelah meninggal dunia.

Terjadilah pada suatu hari, raja pergi ke taman bersama dengan pendeta kerajaannya untuk latihan memanah. Waktu itu, Dewa Sakka memikirkan tentang darimana datangnya para putra dan putri dewa tersebut yang berjumlah sangat banyak, kemudian mengetahui semua ceritanya: bagaimana raja diselamatkan dari lubang oleh rusa jantan, bagaimana ia dapat mengabdikan dirinya dalam kebajikan, bagaimana dikarenakan kekuatan dari raja ini, rakyat-rakyatnya melakukan kebajikan sehingga alam Surga menjadi banyak penghuninya; dan ia juga mengetahui bahwa raja sedang berada di taman untuk memanah.

Kemudian Sakka pergi ke taman raja, yang dengan suara singa memberitahukan kembali sifat mulia rusa jantan itu, memberitahukan bahwa ia adalah Dewa Sakka, dengan berdiri melayang di udara memberikan wejangan, memaparkan tentang kebaikan dari cinta kasih dan Pancasila (Buddhis), kemudian kembali ke kediamannya. Sewaktu raja bermaksud untuk memanah dengan menarik busur dan meletakkan anak panah di tali busurnya, Sakka dengan kekuatannya membuat rusa jantan tersebut muncul di antara raja dan sasaran panah. Dan raja yang melihat kejadian ini tidak jadi melepaskan anak panahnya. Kemudian dengan masuk ke dalam tubuh pendeta kerajaan itu, Sakka mengucapkan bait kalimat berikut ini yang ditujukan kepada raja:

“Anak panahmu adalah kematian bagi banyak benda:
Mengapa Anda hanya menahannya di busur sekarang?
Tembakkan anak panah itu dan bunuh rusa itu:
Dagingnya dapat diberikan untuk Paduka, O raja yang sangat bijak!”
[273] Untuk menjawabnya, raja mengucapkan bait berikut ini:

“Saya tahu akan hal itu, brahmana, tidak kurang darimu:
Rusa jantan itu adalah makanan bagi para ksatria,
Tetapi saya berhutang budi atas jasa yang diberikannya,
Oleh sebab itu, tanganku tertahan untuk membunuh sekarang ini.”
Kemudian Sakka mengucapkan dua bait kalimat berikut:

“Ini bukanlah rusa jantan biasa,
O Paduka! tetapi ini adalah Titan.
Anda adalah raja para manusia,
tetapi Anda akan menjadi raja para dewa
jika Anda membunuhnya.
“Jika Anda ragu, O raja yang gagah berani!
Untuk membunuh rusa ini, karena ia adalah temanmu:
Ke sungai kematian yang dingin167 dan raja kematian yang mengerikan168
Anda, istri dan anak-anakmu akan masuk ke sana.”
Setelah mendengar ini, raja mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:

“Biarlah begitu; ke sungai kematian yang dingin dan raja kematian
Bawa saja diriku ke sana beserta istri dan anak-anakku,
Semua temanku; Saya tidak akan melakukan hal ini.
Rusa ini tidak boleh mati di tanganku.
[274] “Suatu ketika di dalam hutan mengerikan yang penuh dengan maut
Rusa jantan ini yang menyelamatkanku dari penderitaan yang tiada harapan lagi.
Bagaimana bisa saya membunuh penyelamatku
Setelah usaha penyelamatan yang dilakukannya?”
Kemudian Sakka keluar dari tubuh pendeta kerajaan itu dan muncul dalam rupanya sendiri, berdiri melayang di udara sambil mengucapkan dua bait kalimat berikut yang menunjukkan tentang sifat mulia raja:

“Semoga Anda panjang umur, O teman yang setia dan sejati!
Kerajaan ini dipenuhi dengan kebenaran dan kebaikan;
Kumpulan wanita akan mengelilingi Anda
Jika Anda menjadi dewa Indra, raja para dewa.
“Bebas dari nafsu keinginan, dengan hati yang selalu damai,
Ketika orang datang memohon bantuan,
Anda memberikan segala benda kebutuhan mereka;
Sebagaimana kekuasaan yang diberikan kepadamu,
berikan dan jalankan bagianmu169,
Tanpa melakukan dosa, sampai akhirnya
alam Surga menjadi hadiah terakhirmu.”
[275] Setelah berkata demikian, Sakka, raja para dewa melanjutkan perkataannya sebagai berikut: “Saya datang kemari untuk mengujimu, O raja, dan Anda tidak memberikan pegangan kepadaku. Hanya berwaspadalah (jangan lengah).” Dan dengan nasehat ini, ia kembali ke tempat kediamannya sendiri.

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Ini bukan pertama kalinya, para bhikkhu, Sariputta mengetahui dengan terperinci apa yang dikatakan hanya pada bagian umumnya saja, tetapi juga di masa lampau hal yang sama terjadi.”

Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah raja, Sariputta adalah pendeta kerajaan, dan saya sendiri adalah rusa jantan.”


Catatan kaki :

159 Bandingkan Jayaddīsa-Jātaka, Vol. V. No. 513.

160 Kisah ini diceritakan di dalam Culla-Vagga, v. 8 (Vinaya Texts, III. hal. 18, di dalam buku Sacred Books of the East). Seṭṭhi telah meletakkan sebuah patta dari kayu sandal di tiang yang tinggi dan menantang semua orang suci untuk mengambilnya. Piṇḍola terbang ke udara dengan kekuatan gaibnya dan mengambil patta tersebut. Sang Guru menyalahkannya atas masalah ini karena menggunakan kekuatan yang didapatkannya untuk hal yang tidak sepantasnya.

161 Hari di negara-negara timur dihitung mulai dari matahari terbenam sampai matahari terbenam.

162 Pohon itu bernama Erythmia Indica; satu pohon yang besar yang tumbuh di alam Dewa Indra (Tavatimsa).

163 Dalam The Pali Text Society’s (PTS) Pali-English Dictionary, oleh Rhys Davids, kata ini diartikan sebagai ‘Ia yang kotoran batinnya telah lenyap’, dan diberi contoh seperti misalnya seorang Arahat.

164 Dalam PTS Pali-English Dictionary, oleh Rhys Davids, kata Sāvaka diartikan sebagai ‘seorang pendengar, seorang siswa (bukan seorang Arahat).

165 Pancakhanda.

166 Adalah sebuah perumpamaan, yaitu misalnya seseorang mungkin saja dapat melewatkan benda yang seharusnya sangat jelas terlihat.

167 Vetaraṇī

168 Yama

169 bhutvā, ‘telah menghabiskan,’ yang ditujukan kepada waktu, maksudnya adalah untuk ‘melewati’ : bhutvā dvādasa vassāni.