Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Karaniya Metta Sutta

Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan. Untuk mencapai Keadaan Ketenangan Ia harus mampu jujur, sungguh jujur Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong

Karaniya Metta Sutta

Merasa puas, mudah disokong, Tiada sibuk, sederhana hidupnya, Tenang inderanya, berhati-hati, Tahu malu, tak melekat pada keluarga

Karaniya Metta Sutta

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para Bijaksana Hendaklah ia berpikir: Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram, Semoga semua makhluk berbahagia

Karaniya Metta Sutta

Makhluk hidup apapun juga, Yang lemah atau kuat, tanpa kecuali, Yang panjang atau besar, Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk

Karaniya Metta Sutta

Jangan menipu orang lain, Atau menghina siapa saja, Jangan karena marah dan benci, Mengharap orang lain celaka

Thursday, May 26, 2011

Samaññaphala-sutta

Digha Nikaya 2

SAMANNAPHALA SUTTA
(Faedah-faedah dari Kehidupan Seorang Petapa)

Sumber : Samanna Phala Sutta – Oleh : Team Penterjemah Kitab Suci Sutta Pitaka
Diterbitkan Oleh : Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta, 1993


Demikian yang telah kami dengar : Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di Hutan Mangga milik tabib Jivaka Komarabhacca bersama-sama dengan seribu dua ratus lima puluh bhikkhu. Pada waktu itu hari Uposatha tanggal lima belas dari bulan Kattika. Malam itu bulan purnama sedang bulatnya; Raja Ajatasattu dari Magadha, putra Ratu Videha, sedang duduk di teras istananya tingkat atas dengan dikelilingi oleh para menterinya. Pada hari Uposatha yang keramat itu, raja bersabda : “Betapa menyenangkan, Saudara-saudara, malam terang bulan ini! Betapa indahnya, dan menyenangkan bulan purnama ini, dan betapa sejuknya Saudara-saudara, malam terang bulan ini! Betapa agungnya, Saudara-saudara, pertanda dari malam terang bulan ini! Petapa atau Brahmana manakah kiranya yang dapat kita kunjungi malam ini, yang akan dapat memuaskan batin kita?”


Ketika Raja Ajatasattu selesai berkata demikian, salah seorang menteri berkata kepadanya : “Baginda, di sana ada Purana Kassapa; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai seorang sophi; dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.” Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja : “Baginda, di sana ada Makkhali Gosala; kepala suatu kelompok pertapa, mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai seorang sophi, dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.” Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
 

Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja: “Baginda, di sana ada Ajita Kesakambala; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai seorang sophi; dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.” Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja : “Baginda, di sana ada Pakudha Kaccayana; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termasyur dan terkenal sebagai seorang sophi, dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.” Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja : “Baginda, di sana ada Sanjaya Belattha-putta; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai seorang sophi; dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.” Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja: “Baginda, di sana ada Nigantha Natha-putta; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termasyur dan terkenal sebagai seorang sophi; dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.” Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.


Pada waktu itu tabib Jivaka Komarabhacca duduk berdiam diri, tidak jauh dari raja. Kemudian raja berkata kepada Jivaka Komarabhacca: “Jivaka, mengapa engkau tetap berdiam diri, tidak berkata apa pun?”"Baginda, Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, kini sedang berdiam di Hutan Mangga milik kita, bersama dengan anggota bhikkhu-sangha sebanyak seribu dua ratus lima puluh. Demikianlah berita baik mengenai Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas : ‘Sang Bhagava’, Yang Maha Suci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepada Sang Bhagava. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai.”"Bila demikian, Jivaka, siapkan gajah-gajah tunggangan.”
“Baiklah, Baginda!” kata tabib Jivaka Komarabhacca mematuhi perintah raja. Kemudian ia menyiapkan lima ratus ekor gajah betina serta gajah kerajaan yang biasa dinaiki oleh raja, dan melapor : “Baginda, gajah-gajah telah disiapkan dengan baik. Terserah kepada Baginda untuk memilih waktu keberangkatan yang sesuai.” Selanjutnya raja memerintahkan lima ratus orang wanitanya naik ke atas gajah betina, seekor untuk seorang, sedang ia sendiri naik gajah kerajaan. Tidak lama kemudian, berangkatlah rombongan raja dengan kebesaran kerajaan, serta diiringi oleh para pengikutnya yang membawa obor. Dari Rajagaha mereka menuju ke Hutan Mangga milik Jivaka Komarabhacca.
Ketika mendekati Hutan Mangga, tiba-tiba raja dicengkam oleh rasa takut dan khawatir, semua bulu badannya berdiri tegak. Dengan perasaan cemas dan gelisah, ia berkata kepada Jivaka: “Apakah kau tidak menipuku, Jivaka? Apakah kau tidak membohongiku? Apakah kau tidak mengkhianatiku kepada musuh-musuh? Bagaimana mungkin dapat terjadi bahwa di sana tidak ada suara sama sekali, tidak ada suara bersin atau pun batuk dalam sejumlah besar anggota bhikkhu sangha sebanyak seribu dua ratus lima puluh orang itu?”"Janganlah khawatir, Baginda. Aku tidak menipu, mendustai atau pun mengkhianatimu kepada musuh-musuh. Lanjutkanlah, O Baginda, berjalanlah terus ! Di sana, dalam ruang pertemuan, lampu-lampu telah menyala terang.”
Kemudian raja melanjutkan perjalanan dengan gajahnya sejauh jalan masih dapat dilalui oleh gajah-gajah, dan selanjutnya berjalan kaki sampai di pintu ruang pertemuan; dan berkata kepada Jivaka Komarabhacca : “Jivaka, tetapi dimanakah Sang Bhagava berada?”"Baginda, itulah Sang Bhagava. Baginda, itulah Sang Bhagava, sedang duduk bersandar pada tiang tengah dan menghadap ke Timur dengan dikelilingi oleh anggota bhikkhu Sangha.”
Kemudian Raja Ajatasatttu mendekati Sang Bhagava dan berdiri dengan hormat pada salah satu sisi-Nya. Ketika ia telah berdiri di sana dan melihat anggota anggota bhikkhu sangha duduk diam, tenang bagaikan sebuah danau tak berombak, ia berseru : “Dapatkah putraku, Udayi Bhadda, memiliki ketenangan seperti yang dimiliki oleh bhikkhu sangha sekarang ini ?”"Bila demikian, O Baginda, bagaimanakah engkau mengarahkan pikiran cinta-kasihmu ?” tanya Sang Buddha.”Bhante, aku mencintai putraku Udayi Bhadda dan mengharap agar ia dapat menikmati ketenangan seperti yang dimiliki bhikkhu sangha ini.”
Kemudian Raja Ajatasattu menyembah Sang Bhagava dan merangkapkan tangannya ke arah bhikkhu sangha sebagai tanda hormat, selanjutnya ia duduk di samping Sang Bhagava dan berkata : “Bhante, aku ingin bertanya kepada Sang Bhagava tentang suatu persoalan apabila Sang Bhagava berkenan.”"Tanyakanlah apa yang kau kehendaki, O Baginda.”


“Bhante, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir-gajah, kusir-kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang-tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah Bhante dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”
“Baginda, apakah kau ingat pernah mengajukan pertanyaan yang sama ini kepada para petapa dan brahmana lainnya ?”"Ya, Bhante, aku ingat pernah mengajukan pertanyaan yang sama ini kepada para petapa dan brahmana lainnya.”"Bila Baginda tidak keberatan, katakanlah kepada kita bagaimana mereka menjawabnya.” “Bhante, tidak ada keberatan bagiku terhadap Sang Bhagava atau pun terhadap para suci lainnya seperti Sang Bhagava.”"Bila demikian, katakanlah, O Baginda.”
“Bhante, pada suatu ketika aku pergi ke tempat kediaman Purana Kassapa. Setelah saling bertukar salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengannya, aku duduk di sebelahnya. Setelah duduk, aku bertanya kepadanya : “Sahabat Purana Kassapa, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir-gajah, kusir-kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit-rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang tua anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah sahabat Purana Kassapa dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”
“Bhante, kemudian Purana Kassapa berkata kepadaku : ‘O Baginda, ia yang berbuat atau menganjurkan orang lain berbuat; ia yang memotong atau menganjurkan orang lain berbuat memotong; ia yang menyiksa atau menganjurkan orang lain berbuat menyiksa; ia yang menyusahkan atau menganjurkan orang lain berbuat menyusahkan; ia yang menakut-nakuti atau menganjurkan orang lain berbuat menakut-nakuti; ia yang membunuh mahluk-mahluk hidup atau menganjurkan orang lain membunuh mahluk-mahluk hidup; ia yang mengambil apa yang tidak diberikan, membongkar rumah, melakukan pencolengan, perampokan, penyamunan, melakukan zinah atau menceritakan kebohongan, kepada ia yang berbuat demikian, tiada suatu tindakan kejahatan. Seandainya dengan cakram yang mempunyai pinggiran setajam pisau, ia menjadikan semua mahluk yang hidup di bumi ini satu tumpukan daging, satu timbunan daging, tiada suatu tindakan jahat akibat dari perbuatan itu, tidak ada penambahan kejahatan. Apakah ia pergi ke sepanjang tepi selatan sungai Gangga untuk memukul dan membantai; memotong atau menganjurkan orang lain berbuat memotong; menindas atau menganjurkan orang lain berbuat menindas; tiada suatu tindakan jahat akibat dari perbuatan itu, tidak ada penambahan kejahatan. Apakah ia pergi ke sepanjang tepi utara sungai Gangga, untuk memberi dana, mempersembahkan pengorbanan atau menganjurkan orang lain berbuat mempersembahkan pengorbanan; tiada suatu tindakan baik akibat dari perbuatan itu, tidak ada penambahan kebajikan. Dalam perbuatan dana, mengendalikan diri, menjaga indria-indria dan berbicara benar, tiada suatu tindakan dari perbuatan itu, tidak ada penambahan kebajikan.’
“Dengan demikian, Bhante, ketika Purana Kassapa ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘tiada-perbuatan’ (akiriya). Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Purana Kassapa. Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘tiada perbuatan’ (akiriya). Bhante, kemudian timbullah perenungan dalam diriku : “Apakah layak bagi seseorang seperti diriku untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku? Sesungguhnya, Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah dikatakan oleh Purana Kassapa itu, dan walaupun merasa tidak puas dengan jawabannya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima ataupun menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.”
Bhante, pada suatu ketika aku pergi ke tempat kediaman Makkhali Gosala. Setelah saling bertukar salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengannya, aku duduk di sebelahnya. Setelah duduk, aku bertanya kepadanya : “Sahabat Makkhali Gosala, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir gajah, kusir kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah sahabat Makkhali Gosala dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”
“Bhante, kemudian Makkhali Gosala berkata kepadaku : ‘O Baginda, tidak ada sebab ataupun dasar dari ternodanya mahluk-mahluk, mereka menjadi ternoda tanpa sebab dan dasar. Tidak ada sebab atau pun dasar dari sucinya mahluk-mahluk, mereka menjadi suci tanpa sebab dan dasar. Tidak ada akibat yang bergantung pada perbuatan diri sendiri, perbuatan orang lain atau perbuatan manusia. Tidak ada sesuatu yang disebut kemampuan atau usaha, kekuatan atau semangat manusia. Semua mahluk (satta), semua yang bernafas (pana), semua yang hidup (bhuta), semua yang memiliki pokok kehidupan (jiva) adalah tanpa kemampuan, kekuatan atau usaha. Mereka cenderung begini atau begitu adalah karena nasibnya, karena kondisi-kondisi yang perlu (dari kelompok di mana mereka tergolong), karena dasar mereka masing-masing; dan bahwasanya mereka merasakan kebahagiaan dan penderitaan itu adalah sesuai dengan kedudukannya dalam salah satu dari enam kelompok. Terdapat 1.400.000 macam kelahiran yang pokok, 6.000 serta 600 lagi. Terdapat 500 macam kamma, 5 macam kamma (menurut lima indria), 3 macam kamma (menurut perbuatan, ucapan dan pikiran), 1 macam kamma (seluruh keadaan kamma dari perbuatan atau ucapan), serta setengah macam kamma (kamma pikiran). Terdapat 62 cara (corak tingkah-laku), 62 jarak-masa (antarakappa), 6 kelompok (perbedaan di antara manusia), 8 tingkat kehidupan manusia, 4.900 macam penghidupan (ajiva), 4.900 paribbajaka (petapa pengembara), 4.900 tempat kediaman naga-naga, 2.000 kemampuan, 300 alam neraka, 36 unsur nafsu , 7 macam kelahiran mahluk berperasaan (sannigabbha), 7 macam kelahiran mahluk tanpa perasaan (asanni-gabbha), 7 macam kelahiran melalui tunas (niganthi-gabbha), 7 tingkat dewa, 7 tingkat manusia, 7 tingkat setan, 7 danau, 7 macam kepandaian utama (patuva), 700 macam kepandaian kecil, 7 macam tebing curam besar, 700 macam tebing curam kecil, 7 macam mimpi besar, 700 macam mimpi kecil. Terdapat 8.400.000 masa besar (maha-kappa); yang selama itu, baik orang bodoh maupun orang bijaksana, keduanya adalah sama, mereka mengembara dalam samsara (perputaran hidup) yang pada akhirnya akan bebas dari penderitaan. Tidaklah mungkin mengharap agar kamma yang belum masak menjadi masak atau bebas dari kamma yang sudah masak dengan cara menjalankan sila, kewajiban tapa atau dengan menjalankan kehidupan suci. Kebahagiaan dan penderitaan yang seolah-olah dapat diukur dengan ukuran tidak dapat diubah dalam proses samsara, di sana tidak ada penambahan atau pengurangan. Sama seperti sebuah bola benang yang apabila dilemparkan ke depan akan membentang hanya sepanjang benang itu saja; maka demikian pula orang bodoh dan orang bijaksana adalah sama, mereka mengembara dalam samsara hanya selama batas waktu tertentu, yang akhirnya akan dan pasti bebas dari penderitaan.
“Dengan demikian, Bhante, ketika Makkhali Gosala ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘penyucian melalui proses samsara’ (samsara-suddhi). Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Makkhali Gosala. Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah, menerangkan teorinya tentang ‘penyucian melalui proses samsara’ (samsara suddhi). Bhante, kemudian timbullah perenungan dalam diriku : “Apakah layak bagi seseorang seperti diriku untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku ? Sesungguhnya, Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah dikatakan oleh Makkhali Gosala itu; dan walaupun merasa tidak puas dengan jawabannya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima ataupun menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.”
“Bhante, pada suatu ketika aku pergi ke tempat kediaman Ajita Kesa-kambala. Setelah saling bertukar salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengannya, aku duduk di sebelahnya, setelah duduk, aku bertanya kepadanya : “Sahabat Ajita Kasa-kambala, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir-gajah, kusir-kuda, sais kereta perang, pemanah,pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah sahabat Ajita Kesa-kambala dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”
“Bhante, kemudian Ajita Kesa-kambala berkata kepadaku : “O Baginda, tidak ada hal yang dinamakan sedekah (dinnam), pengorbanan (yittham) atau persembahan (hutam). Tidak ada hasil atau pun akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Tidak ada hal yang dinamakan dunia sini maupun dunia sana (dunia yang akan datang). Tidak ada ibu, ayah atau pun mahluk-mahluk yang lahir tanpa melalui rahim orang tua (opapatika). Di dunia ini tidak ada petapa-petapa atau brahmana-brahmana yang telah mencapai kesempurnaan dalam cara praktek benar, memiliki kelakuan sempurna, telah menyadari dunia sini maupun dunia sana melalui usaha sendiri, dan memperkenalkan kebijaksanaannya yang sempurna kepada masyarakat. Manusia terbentuk dari empat unsur utama (maha-bhuta); pada waktu ia mati, sifat tanah dalam dirinya akan menjadi, kembali pada kelompok tanah; sifat cair dalam dirinya akan menjadi, kembali pada kelompok air, sifat panas dalam dirinya akan menjadi, kembali pada kelompok udara, dan indria-indrianya lenyap dalam angkasa (akasa). Empat orang pemikul dengan tandunya sebagai yang kelimat, membawa pergi mayatnya; mereka mengucapkan puji-pujian untuk dirinya hanya sejauh tanah kubur, di sana tulang-tulangnya berubah warnanya seperti sayap burung daya, dan pengorbanan-pengorbanan berakhir sebagai debu. Mereka yang mengajarkan tentang dana dan menyatakan bahwa ada manfaat dari perbuatan itu adalah orang bodoh, hanya merupakan kebohongan yang kosong, pembicaraan yang sia-sia belaka. Orang bodoh dan bijaksana adalah sama, setelah mati mereka akan hancur, musnah dan selanjutnya tidak akan hidup kembali (lahir kembali).
“Dengan demikian, Bhante, ketika Ajita Kesa-kambala ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘pemusnahan’ (uccheda-vada). Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Ajita Kesa-kambala. Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘pemusnahan’ (ucchedavada). Bhante, kemudian timbullah perenungan dalam diriku : ‘Apakah layak bagi seseorang seperti diriku untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku ? Sesungguhnya Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah dikatakan oleh Ajita Kesa-kambala itu; dan walaupun merasa tidak puas dengan jawabannya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima atau pun menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.”
“Bhante, pada suatu ketika aku pergi ke tempat kediaman Pakudha Kaccayana. Setelah saling bertukar salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengannya, aku duduk disebelahnya. Setelah duduk, aku bertanya kepadanya : ‘Sahabat Pakudha Kaccayana, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir-gajah, kusir-kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah sahabat Pakudha Kaccayana dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini?”
“Bhante, kemudian Pakudha Kaccayana berkata kepadaku : ‘O Baginda, tujuh kelompok dasar ini tidak dapat dibuat atau diperintahkan untuk dibuat, tidak diciptakan atau disebabkan untuk dicipta; tidak menghasilkan (mandul), teguh bagaikan puncak gunung, tetap bagaikan tiang yang terpancang kuat. Tujuh kelompok dasar ini tidak bergerak atau berkembang, tidak melukai satu sama lain, dan yang satu tidak menyebabkan keenakan, kesakitan maupun keduanya pada yang lain. Apakah tujuh kelompok dasar itu ? Ialah kelompok tanah, air, api, udara, kenikmatan, kesakitan dengan kehidupan (jiva) sebagai yang ketujuh. Tujuh kelompok dasar itu tidak dibuat atau diperintahkan untuk dibuat, tidak diciptakan atau disebabkan untuk dicipta; tidak menghasilkan (mandul), teguh bagaikan puncak gunung, tetap bagaikan tiang yang terpancang kuat. Tujuh kelompok dasar itu tidak bergerak atau berkembang, tidak melukai satu sama lain, dan yang satu tidak menyebabkan kenikmatan, kesakitan maupun keduanya pada yang lain. Maka tidak ada pembunuh atau penyebab pembunuhan, tidak ada pendengar atau pembicara, tidak ada orang yang tahu atau orang yang menerangkan. Apabila dengan sebilah pedang tajam seseorang membelah kepala orang lain, maka tidak ada orang yang menghancurkan kehidupan siapa pun; pedang itu hanya menembus di antara ketujuh kelompok dasar tersebut.’
“Dengan demikian, Bhante, ketika Pakudha Kaccayana ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan suatu pendapat yang sama sekali menyimpang dari persoalan itu. Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Pakudha Kaccayana. Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan suatu pendapat yang sama sekali menyimpang dari persoalan itu. Bhante, kemudian timbullah perenungan dalam diriku: “Apakah layak bagi seseorang seperti diriku untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku? Sesungguhnya, Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah dikatakan oleh Pakudha Kaccayana itu; dan walaupun merasa tidak puas dengan jawabannya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima atau pun menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.”
“Bhante, pada suatu ketika aku pergi ke tempat kediaman Nigantha Natha-putta. Setelah saling bertukar salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengannya, aku duduk di sebelahnya. Setelah duduk, aku bertanya kepadanya : ‘Sahabat Nigantha Natha-putta, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir gajah, kusir kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit-rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakain, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang-tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan, sebagai hasilnya. Apakah sahabat Nigantha Natha-putta dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini?”
“Bhante, kemudian Nigantha Natha-putta berkata kepadaku : ‘O Baginda, dalam dunia ini, seorang Nigantha terkendali dengan empat macam pengendalian diri. Bagaimanakah, O baginda, seorang Nigantha yang terkendali dengan empat macam pengendalian diri itu ? Dalam dunia ini, seorang Nigantha hidup mengendalikan diri terhadap semua air, mempergunakan semua air, menyingkirkan semua air dan melumuri dengan semua air. Demikianlah, O Baginda, seorang Nigantha, terkendali dengan empat macam pengendalian diri ini, ia disebut seorang Nigantha (bebas dari ikatan-ikatan), Gatatta (orang yang batinnya telah berada dalam pencapaian tujuannya), Yatatta (orang yang batinnya terkendali), dan Thitatta (orang yang batinnya terpusat).’
“Dengan demikian, Bhante, ketika Nigantha Natha-putta ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘empat macam pengendalian diri’ (catu-yama-samvara). Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Nigantha Natha-putta. Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang ‘empat macam pengendalian diri’ (catu-yama-samvara). Bhante, kemudian timbullah perenungan dalam diriku : ‘Apakah layak bagi seseorang seperti diriku untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku ? Sesungguhnya, Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah dikatakan oleh Nigantha Natha-putta itu; dan walaupun merasa tidak puas dengan jawaban nya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima atau pun menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.”
“Bhante, pada suatu ketika aku pergi ke tempat kediaman Sanjaya Belattha-putta. Setelah saling bertukar salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengannya, aku duduk di sebelahnya. Setelah duduk, aku bertanya kepadanya : ‘Sahabat Sanjaya Belattha-putta, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti: kusir gajah, kusir kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit-rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah sahabat Sanjaya Belattha-putta dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini?”
“Bhante, kemudian Sanjaya Belattha-putta berkata kepadaku : ‘Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘ada dunia lain’ – baiklah, bila aku pikir, ‘ada dunia lain’, aku akan menjawab ‘ada dunia lain’ Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘tidak ada dunia lain’ – baiklah, bila aku pikir ‘tidak ada dunia lain’, aku akan menjawab ‘tidak ada dunia lain’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘ada dan tidak ada dunia lain’ baiklah, bila aku pikir ‘ada dan tidak ada dunia lain’, aku akan menjawab ‘ada dan tidak ada dunia lain’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘bukan ada maupun bukan tidak ada dunia lain’ – baiklah, bila aku pikir ‘bukan ada maupun bukan tidak ada dunia lain’, aku akan menjawab ‘bukan ada maupun bukan tidak ada dunia lain’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘ada mahluk opapitika’ (lahir tanpa melalui kandungan) – baiklah, bila aku pikir ‘ada mahluk opapatika’, aku akan menjawab ‘ada mahluk opapatika’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘tidak ada mahluk opapitika’ baiklah, bila aku pikir ‘tidak ada mahluk opapatika’, aku akan menjawab ‘tidak ada mahluk opapatika’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya. Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘ada dan tidak ada mahluk opapitika’ baiklah, bila aku pikir ‘ada dan tidak ada mahluk opapatika’, aku akan menjawab ‘ada dan tidak ada mahluk opapatika’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.
Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘bukan ada maupun bukan tidak ada mahluk opapatika’ – baiklah, bila aku pikir ‘bukan ada maupun bukan tidak ada mahluk opapatika’, aku akan menjawab ‘bukan ada maupun bukan tidak ada mahluk opapatika’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’ – baiklah, bila aku pikir ‘ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’, aku akan menjawab ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’ – baiklah, bila aku pikir ‘tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’, aku akan menjawab ‘tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘ada dan tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’ – baiklah, bila aku pikir ‘ada dan tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’, – aku akan menjawab ‘ada dan tidak ada buah’, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’ Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘bukan ada maupun bukan tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’ baiklah, bila aku pikir ‘bukan ada maupun bukan tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’, aku akan menjawab ‘bukan ada maupun bukan tidak ada buah, akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘setelah meninggal Tathagata tetap ada’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘setelah meninggal Tathagata tidak ada’, baiklah, bila aku pikir ‘setelah meninggal Tathagata tidak ada’, aku akan menjawab ‘setelah meninggal Tathagata tidak ada’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘setelah meninggal Tathagata ada dan tidak ada’ -baiklah, bila aku pikir ‘setelah meninggal Tathagata ada dan tidak ada’, aku akan menjawab ‘setelah meninggal Tathagata ada dan tidak ada’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini atau begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

Bilamana engkau bertanya kepadaku apakah ‘setelah meninggal Tathagata bukan ada maupun bukan tidak ada’ – baiklah, bila aku pikir ‘setelah meninggal Tathagata bukan ada maupun bukan tidak ada’, aku akan menjawab ‘setelah meninggal Tathagata bukan ada maupun tidak ada’. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak berpendapat begini dan begitu. Aku tidak berpendapat lain. Aku tidak membantahnya. Dan aku tidak mengatakan kedua-duanya.

“Dengan demikian, Bhante, ketika Sanjaya Belattha-putta ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan pandangannya yang berbelit-belit. Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Sanjaya Belattha-putta. Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan pandangannya yang berbelit-belit. Bhante, kemudian timbullah perenungan dalam diriku : ‘Apakah, layak bagi seseorang seperti diriku untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku ? Sesungguhnya, Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah dikatakan oleh Sanjaya Belattha-putta itu; dan walaupun merasa tidak puas dengan jawabannya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima atau pun menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.’
“Dan sekarang, Bhante, aku bertanya kepada Sang Bhagava : “Bhante, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir-gajah, kusir-kuda, sais kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan, prajurit dalam pakaian kulit-rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue, perangkai bunga, tukang cuci pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya sendiri, orang tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya. Apakah Bhante dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”
“Aku dapat, O, Baginda. Akan tetapi sebelumnya aku akan bertanya kepadamu. Jawablah dengan apa yang kau anggap paling sesuai.”
“Sekarang, bagaimana pendapatmu, O Baginda. Seandainya di antara orang-orang yang tinggal dalam kerajaanmu ada seorang budak yang bekerja untukmu, bangun sebelummu dan istirahat setelahmu, gembira untuk melaksanakan perintahmu, berusaha membuat ucapan dan kelakuannya menyenangkan, seorang yang dapat mengerti. Kemudian ia berpikir : ‘Sungguh mengagumkan dan luar biasa tumbuhnya amal ibadah (punna) ini, akibat dari amal-ibadah ini! Raja Ajatasattu dari Magadha, putra Ratu Videha ini adalah seorang manusia, dan aku juga manusia. Tetapi, Raja Ajatasattu hidup dalam kenikmatan, dikaruniai dengan lima macam kesenangan indria seperti gambarannya seorang dewa; sedang aku sendiri adalah seorang budak, bekerja untuknya, bangun sebelumnya dan istirahat setelahnya, gembira untuk melaksanakan perintahnya, berusaha membuat ucapan dan kelakuanku menyenangkan, seorang yang dapat mengerti. Seandainya aku seperti dirinya, maka aku juga dapat memperoleh amal-ibadah. Mengapa aku tidak mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup sebagai petapa (pabbaja) ?’Beberapa waktu kemudian ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup sebagai petapa. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat-tempat sunyi.Kemudian seandainya orang-orangmu berkata demikian: ‘Semoga hal ini berkenan di hati Baginda. Tahukah Baginda bahwa seseorang yang dahulunya sebagai budakmu, yang bekerja untukmu, bangun sebelummu dan istirahat setelahmu, gembira untuk melaksanakan perintahmu, berusaha membuat ucapan dan perbuatannya menyenangkan, seorang yang dapat mengerti; sekarang ia telah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat- tempat sunyi ?’Dan selanjutnya apakah kau akan berkata: ‘Suruh orang itu kembali, biar ia menjadi budak lagi dan kembali bekerja untukmu.’
“Tidak, Bhante. Bahkan sebaliknya kita harus memberikan sembah dan menyambutnya dengan berdiri dari tempat duduk atas dasar rasa hormat terhadap dirinya serta mempersilahkan ia duduk. Kita harus menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidup petapa, yaitu : jubah, mangkuk, tempat tinggal dan obat-obatan untuk orang sakit memohon agar ia menerimanya. Kita harus memberikan penjagaan, pengawasan dan perlindungan hukum kepadanya.”"Dan bagaimana pendapatmu, O baginda. Apakah ada atau tidak faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”"Sesungguhnya, Bhante, ada faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.”
“Bila demikian, O Baginda, inilah yang Ku-katakan sebagai faedah nyata yang pertama dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.”
“Bhante, apakah engkau dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata lainnya dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”"Aku dapat, O Baginda. Akan tetapi sebelumnya aku akan bertanya kepadamu. Jawablah dengan apa yang kau anggap paling sesuai. Sekarang, bagaimana pendapatmu, O Baginda. Seandainya di antara orang-orang yang tinggal dalam kerajaanmu ada seorang petani yang mengerjakan tanahnya sendiri, orang berkeluarga, yang membayar pajak untuk meningkatkan penghasilan negara. Kemudian ia berpikir : ‘Sungguh mengagumkan dan luar biasa tumbuhnya amal-ibadah (punna) ini, akibat dari amal-ibadah ini! Raja Ajatasattu dari Magadha, putra Ratu Videha ini adalah seorang manusia, dan aku juga manusia. Tetapi, Raja Ajatasattu hidup dalam kenikmatan, dikaruniai dengan lima macam kesenangan indria seperti gambarannya seorang dewa; sedang aku sendiri adalah seorang petani yang mengerjakan tanahku sendiri, orang berkeluarga, yang membayar pajak untak meningkatkan penghasilan negara. Seandainya aku seperti dirinya, maka aku juga dapat memperoleh amal-ibadah. Mengapa aku tidak mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup-keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja ?”Beberapa waktu kemudian ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat-tempat sunyi. Kemudian seandainya orang-orangmu berkata demikian: ‘Semoga hal ini berkenan di hati Baginda. Tahukah Baginda bahwa seorang yang dahulunya sebagai petani, yang mengerjakan tanahnya sendiri, orang berkeluarga, yang membayar pajak untuk meningkatkan penghasilan negara; sekarang ia telah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat-tempat sunyi.’Dan selanjutnya apakah kau akan berkata : ‘Suruh orang itu kembali, biar ia menjadi petani yang mengerjakan tanahnya sendiri, orang berkeluarga, dan membayar pajak untuk meningkatkan penghasilan negara lagi.’
“Tidak, Bhante. Bahkan sebaliknya kami harus memberikan sembah dan menyambutnya dengan berdiri dari tempat duduk atas dasar rasa hormat terhadap dirinya serta mempersilahkan ia duduk. Kami harus menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidup petapa, yaitu : jubah, mangkuk, tempat tinggal dan obat-obatan untuk orang sakit, memohon agar ia menerimanya. Kami harus memberikan penjagaan, pengawasan dan perlindungan hukum kepadanya.”
“Dan bagaimana pendapatmu, O Baginda. Apakah ada atau tidak faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?”"Sesungguhnya, Bhante, ada faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.”
“Bila demikian, O Baginda, inilah yang kukatakan sebagai faedah nyata yang kedua dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.”

“Bhante, apakah engkau dapat menunjukkan faedah-faedah nyata lainnya dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, faedah-faedah yang lebih indah dan lebih tinggi daripada ini ?”"Aku dapat, O Baginda. Dengarkan dan perhatikanlah, O Baginda, aku akan berbicara.”"Baiklah, Bhante,” jawab Raja Ajatasattu. Kemudian Sang Bhagava berkata :
“O Baginda, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahma-nya; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup petapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.”
“Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan terhadap Sang Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya : ‘Sesungguhnya, hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran nafsu. Bebas seperti udara adalah hidup Pabbaja. Sungguh sukar bagi seorang yang hidup berkeluarga untuk menempuh hidup Brahmacariya secara sungguh-sungguh, suci serta dalam seluruh kegemilangan kesempurnaannya. Maka, biarlah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja.’
“Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu indrianya. Ia memiliki perhatian murni dan pengertian jelas (sati-sampajanna); dan hidup puas.”
“Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu yang sempurna silanya ? Dalam hal ini, O Baginda, seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan mahluk-mahluk. Setelah membuang alat pemukul dan pedang, malu dengan perbuatan-kasar; ia hidup dengan penuh cinta-kasih, kasih sayang dan bajik terhadap semua mahluk, semua yang hidup. Inilah sila yang dimilikinya.”‘Menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian; ia hidup jujur dan suci. Inilah sila yang dimilikinya.”Menjauhi hubungan kelamin, menjalankan Brahmacariya (tidak kawin); ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hubungan kelamin. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Menjauhi kedustaan, menahan diri dari dusta, ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia.’ ‘Menjauhi ucapan fitnah, menahan diri dari memfitnah; apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah, pemersatu, mencintai persatuan, mendambakan persatuan; persatuan merupakan tujuan pembicaraannya. Inilah sila yang dimilikinya.”Menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar; ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang. Inilah sila yang dimilikinya.”Menjauhi pembicaraan sia-sia, menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat; ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan Vinaya. Pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan. Ia makan sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari. Ia menahan diri dari menonton pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian, nyanyian dan musik. Ia menahan diri dari penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan. Ia menahan diri dari penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah. Ia menahan diri dari menerima emas dan perak. Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-perempuan muda. Ia menahan diri dari menerima budak-belian lelaki dan budak-belian perempuan. Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing. Ia menahan diri dari menerima babi dan unggas. Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan kuda. Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian. Ia menahan diri dari berlaku sebagai duta atau pesuruh. Ia menahan diri dari membeli dan menjual. Ia menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran. Ia menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan. Ia menahan diri dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti : tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari dahan-dahanan, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti : bahan makan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, alat-alat tidur simpanan, wangi-wangian simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukan, seperti : tari-tarian, nyanyi-nyanyian musik, pertunjukan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu-gajah, adukuda, adu-sapi, adu-banteng, pertandingan bela diri dengan menggunakan tongkat, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang-perangan, pawai, inpeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti : permainan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan luku mainan, permainan jungkir-balik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang-mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain, menirukan gerak-gerik orang cacat; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat, yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti: dipan tingi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang, seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna-warni, selimut putih, seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup di atasnya, sofa dengan bantal merah untuk kepala dan kaki; namun, seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri, seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak-mata (bukan obat), bunga-bunga, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang pencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran-pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percakapan tentang wanita, percakapan tentang lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan di tempat-tempat pengambilan air, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang perwujudan dan bukan perwujudan (eksitensi dan non-eksistensi); namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti: ‘Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma Vinaya ini?’ ‘Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar.’ ‘Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan.’ Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir.’ ‘Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang.’ ‘Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau ternyata salah.’ ‘Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.”
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, brahmana, orang berkeluarga atau pemuda-pemuda, yang berkata: ‘Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana’; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir setan dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya, meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi, meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan beras untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa-dewa, mempersembahkan biji wijen dengan cara menyemburkannya dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat pada buku jari, setelah itu mengucapkan mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak menasehati cara-cara pengukuran tanah; mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu, mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk kalajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan, gajah, kuda, kerbau, sapi jantan, sapi betina, kambing, biri-biri, burung hantu, burung gereja, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edarnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar; matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik, meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari, ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang populer dan adat kebiasaan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti : mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk menyebabkan kebisuan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat kaca-ajaib, mencari jawaban melalui seorang gadis yang kerasukan, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari, memuja maha-ibu (dewa tanah), mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewi Sri, atau dewi keberuntungan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti : berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginannya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat tumpah dan penguras perut, memberikan obat bersin untuk mengobat sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberikan collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.’
‘Selanjutnya, O Baginda, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap sila, O Baginda, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuhnya telah dikalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukham). Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu yang memiliki sila sempurna.’
‘Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu indrianya? O Baginda, bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indria pengelihatannya. Ia menjaga indria pengelihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria pengelihatannya.Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indria pendengarnya. Ia menjaga indria pendengarannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria pendengarannya.Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indria penciumannya. Ia menjaga indria penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria penciumannya.Bilamana ia mengecap rasa dengan lidahnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indria pengecapannya. Ia menjaga indria pengecapannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria pengecapannya.Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk-perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indria perabanya. Ia menjaga indria perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indria perabanya.Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indria pikirannya. Ia menjaga indria pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria pikirannya.
Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indria-indrianya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apa pun. Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu indrianya.’

‘Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu memiliki perhatian murni dan pengertian jelas ? Dalam hal ini, O Baginda, seorang bhikkhu mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam. Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu yang memiliki perhatian murni dan pengertian jelas.’
‘Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu merasa puas ? Dalam hal ini, O Baginda, seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. O Baginda, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, kemana pun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Demikian pula, O Baginda, seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu merasa puas.’
‘Setelah memiliki kelompok-sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indria-indria yang mulia ini, memiliki perhatian murni dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan.’
‘Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap dunia, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua mahluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan.’
‘O Baginda, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Dan ia berpikir : ‘Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri.’ Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.’
‘O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Dan ia berpikir: ‘Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih.’ Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.’
‘O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Dan ia berpikir : ‘Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas.’ Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.’
‘O, Baginda, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi kemana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas pergi ke mana ia suka. Dan ia berpikir : ‘Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi kemana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas pergi kemana aku suka.’ Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.’
‘O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang dengan membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Dan ia berpikir : ‘Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya.’ Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.’
‘Demikianlah, O Baginda, selama lima rintangan (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Tetapi, O Baginda, setelah lima rintangan itu disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari perbudakan, sampai di tempat yang aman.’
‘Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan Vitakka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebasan (viveka).
‘O Baginda, sama halnya seperti tukang memandikan yang pandai atau pembantunya akan menebarkan bubuk-sabun wangi dalam sebuah mangkuk logam, memercikinya dengan air setetes demi setetes dan kemudian ia meramasnya bersama sehingga bubukan sabun itu dapat menyerap seluruh cairan; dibahasi, diresapi dan diliputi dengannya, baik dalam maupun luar, dan tidak ada yang mengalir keluar.”Demikian pula O Baginda, bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dcngan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan itu.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Selanjutnya, O Baginda, seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi.’
‘O Baginda, bagaikan sebuah kolam yang dalam, yang mempunyai sumber air di bawahnya, tanpa lubang masuk dari Timur atau Barat, waktu ke waktu tidak turun hujan; namun, arus air yang sejuk, yang berasal dari sumber itu akan tetap memenuhi, menggenangi, meresapi dan meliputi kolam itu, sehingga tidak ada satu bagian pun dari kolam itu, yang tidak diliputi oleh air yang sejuk itu.”Demikian pula, O Baginda, bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia, yang timbal dari konsentrasi; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari konsentrasi itu.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Selanjutnya, O Baginda, seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian-murni’; ia memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu.’
‘O Baginda, seperti dalam sebuah kolam yang berisi bunga-bunga teratai : merah, putih atau biru, yang beberapa di antara bunga-bunga teratai merah, putih atau biru yang bersemi dalam air, tumbuh dalam air, tidak muncul di atas permukaan air serta menghisap makanan dari dalam air itu adalah dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan air dingin; sehingga tidak ada satu bagian pun dari bunga-bunga teratai merah, putih atau biru itu mulai dari ujung daun sampai ke akarnya yang tidak diliputi dengannya.”Demikian pula, O Baginda, bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Selanjutnya, O Baginda, dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam jhana keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian-murni (satiparisuddhi), bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.’
‘O Baginda, sama seperti seorang yang sedang duduk, diselubungi dengan jubah putih mulai dari kepala sampai ke kaki, sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak bersentuhan dengan jubah putih itu.”Demikian pula, O Baginda, bhikkhu itu duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi dengan perasaan batin yang bersih dan jernih itu.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Demikianlah ia mengerti : ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat unsur-pokok (maha-bhuta), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran, dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya.’
‘O Baginda, sama seperti halnya dengan permata Veluriya, yang gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Dan di tengahnya dimasuki seutas benang, yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning. Seandainya seseorang yang memiliki mata meletakkannya di atas tangannya, maka ia akan merenung: ‘Permata Veluriya ini adalah gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Sekarang, permata itu diikatkan pada seutas benang yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning.”Demikian pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan. Dan demikianlah ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri empat unsur-pokok, berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian. Begitu pula halnya dengan kesadaranku, yang terikat dengannya.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh-ciptaan-batin’ melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggauta-anggauta dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun.’
‘O Baginda, sama seperti halnya seseorang menarik sebatang ilalang keluar dari pelepahnya. Maka ia akan mengerti : ‘Inilah ilalang, inilah pelepah. Ilalang adalah satu hal, pelepah adalah hal yang lain. Adalah dari pelepah bahwasanya ilalang itu telah ditarik keluar.”O Baginda, sama seperti halnya seseorang mengeluarkan ular dari selongsongnya. Maka ia akan tahu : ‘Inilah ular, inilah selongsong. Ular adalah satu hal, selongsong adalah hal yang lain. Adalah dari selongsong bahwasanya ular itu telah dikeluarkan.”O Baginda, sama seperti halnya seseorang menghunus pedang dari sarungnya. Maka ia akan tahu : ‘Inilah pedang, inilah sarung pedang. Pedang adalah satu hal, sarung pedang adalah hal yang lain. Adalah dari sarung-pedang bahwasanya pedang itu telah dihunus.”Demikian Pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘wujud-ciptaan-batin’ (manomaya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh-ciptaan-batin’ melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggauta-anggauta dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apa pun.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib). Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya : dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia dapat pergi mengunjungi alam-alam dewa Brahma dengan membawa tubuh kasarnya.’
‘O Baginda, sama seperti halnya seorang pembuat barang-barang tembikar atau pembantunya, dapat membuat, berhasil menciptakan berbagai bentuk barang tembikar yang mengkilap menurut keinginannya.”O Baginda, sama seperti halnya pemahat gading atau pembantunya, dapat memilih gading serta berhasil memahatnya menjadi berbagai bentuk pahatan-gading menurut keinginannya.”O Baginda, sama seperti halnya tukang emas atau pembantunya, dapat menjadikan, berhasil membuat berbagai bentuk barang dari emas menurut keinginannya.”Demikian pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan gaib). Demikianlah ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya : dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berenang dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa; ia pergi mengunjungi alam-alam dewa Brahma dengan membawa tubuh kasarnya.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu.’
‘Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasota (telinga-dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.’
‘O Baginda, sama seperti halnya seseorang yang sedang berada di jalan raya, dapat mendengar suara genderang-besar, suara tambur, suara tiupan terompet kulit-kerang, suara genderang-kecil. Maka ia akan tahu : ‘Ini suara genderang besar, ini suara tambur, ini suara tiupan terompet kulit-kerang, ini suara genderang kecil.”Demikian pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibba-sota (telinga dewa). Dan dengan kemampuan-kemampuan dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa yang jauh atau yang dekat.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran mahluk lain, pikiran orang-orang lain.Ia mengetahui:Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu.
Pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
Pikiran tanpa-kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
Pikiran yang disertai ketidak tahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa-ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang raga-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas.’
‘O Baginda, sama halnya seperti seorang wanita, lelaki atau anak kecil, yang ingin memperindah diri dengan melihat wajahnya pada permukaan sebuah kaca yang bersih dan jernih atau pada sebuah tempayan yang berisikan air jernih; maka apabila wajahnya memiliki tahi-lalat, ia tahu bahwa wajahnya memiliki tahi-lalat; apabila wajahnya tidak memiliki tahi-lalat, ia tahu bahwa wajahnya tidak memiliki tahi-lalat.”Demikian pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran mahluk lain, pikiran orang-orang lain. Dan ia mengetahui pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu.
Pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa-nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
Pikiran tanpa-kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa-ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa-ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak-bebas sebagai pikiran yang tidak-bebas.
‘Inilah, OBaginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti : satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa-perkembangan (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kappa), melalui banyak masa-perkembangan-kehancuran (samvatta-vivatta-kappa). ‘Di suatu tempat demikian, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku-bangsaku adalah demikian aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku-bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk-beluknya, dalam seluruh macamnya.’
‘O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang pergi dari desanya menuju ke lain desa, dan dari desa itu ia pergi ke desa lainnya lagi, serta dari desa itu ia pulang kembali ke desanya sendiri; maka ia akan tahu : ‘Dari desaku sendiri, aku pergi ke lain desa. Di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian. Dari tempat itu aku datang ke desa lainnya; di sana aku berdiri di tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian. Dan sekarang, dari desa itu aku pulang ke desaku sendiri !’Demikian pula, O Baginda, dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti : satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan (samvatta kappa), melalui banyak masa-kehancuran (vivatta-kehancuran), dan melalui banyak masa-perkembangan-kehancuran (samvatta-vivatta-kappa). ‘Di suatu tempat kelahiran, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk-beluknya, dalam seluruh macamnya.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan mahluk-mahluk (cutupapata-nana). Dan dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata-dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana mahluk-mahluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: ‘Mahluk-mahluk ini, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para Suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, mahluk-mahluk yang lain, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para Suci, pengikut pandangan-pandangan benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga.’ Demikianlah, dengan kemampuan dibba cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita.’
‘O Baginda, sama halnya seperti di sana terdapat sebuah rumah bertingkat, terletak di suatu tempat yang menghadap ke perempatan jalan; dan seandainya seseorang yang memiliki mata berdiri di atasnya, mengamati orang-orang memasuki rumah, keluar dari rumah, berjalan hilir mudik sepanjang jalan, duduk di tengah perempatan jalan; maka ia akan tahu: ‘Orang-orang itu memasuki rumah; orang-orang itu keluar dari rumah; orang-orang itu berjalan hilir mudik sepanjang jalan; orang-orang itu duduk di tengah perempatan jalan.”Demikian pula, O Baginda, dengan pikirannya yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya mahluk-mahluk (cutupapata nana). Dan dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana mahluk-mahluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: ‘Mahluk-mahluk ini, saudara memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina Para Suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan-pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, mahluk-mahluk lain, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina Para Suci, pengikut pandangan-pandangan benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga.’Demikianlah, dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.’
‘Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava). Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya asava’. Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini’.
‘O Baginda, sama halnya seperti dalam satu lekukan gunung terdapat sebuah kolam yang bersih, jernih dan terang airnya; dan seandainya seseorang yang memiliki mata berdiri pada tepinya, melihat di dalam kolam itu terdapat tiram-tiram, kerang-kerang, batu-batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian-kemari; maka ia akan tahu: ‘Kolam ini bersih,’ jernih dan tenang airnya. Di dalamnya terdapat tiram-tiram, kerang-kerang, batu-batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian-kemari’.'Demikian pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava). Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah dukkha.’ Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah sebab asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya asava.’ Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.”Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu. Tidak ada faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini yang lebih mulia dan lebih tinggi daripada ini.’
Setelah beliau selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu berkata kepada Sang Bhagava: ‘Sungguh mengagumkan, Bhante ! Sungguh mengagumkan, Bhante ! Sama seperti halnya seseorang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada ia yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan: agar mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula, dengan berbagai macam cara Dhamma telah dibabarkan, oleh Sang Bhagava kepadaku. Dan sekarang, Bhante, aku menyatakan berlindung kepada Sang Bhagava, Dhamma serta Sangha: Semoga Sang Bhagava sudi menerima aku sebagai seorang upasaka, yang mulai hari ini sampai selama-lamanya, telah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma serta Sangha.’Bhante, aku mengaku telah melakukan perbuatan salah; telah begitu bodoh, lemah dan jahatnya aku, sehingga hanya karena menginginkan tahta kerajaan aku sampai membunuh ayahku sendiri, seorang raja yang setia pada Kebenaran, manusia Kebenaran. Bhante, semoga Sang Bhagava mengetahui kesalahanku itu sebagai suatu kesalahan, sehingga di masa yang akan datang aku dapat menahan diri.’
‘O Baginda, sesungguhnyalah itu suatu perbuatan salah; bahwasanya kau telah begitu bodoh, lemah dan jahatnya, sehingga hanya karena menginginkan tahta kerajaan, engkau sampai membunuh ayahmu sendiri, seorang raja yang setia pada Kebenaran, manusia Kebenaran. Tetapi, karena engkau telah melihat perbuatan salah itu sebagai suatu perbuatan salah dan mengakui hal itu sebagaimana adanya, maka kita mengetahui pengakuanmu itu sebagaimana adanya.’Sesungguhnya, O Baginda, adalah merupakan suatu kebiasaan dalam disiplin para Ariya, bahwasanya, siapa pun juga yang dapat melihat kesalahannya sendiri sebagai suatu kesalahan dan mau mengakuinya, maka di masa yang akan datang ia akan dapat menahan diri.’
Setelah Beliau berkata demikian, Raja Ajatasattu berkata kepada Sang Bhagava: ‘Bhante, sekarang kita akan mohon diri. Kita masih banyak tugas. Banyak hal yang harus kita kerjakan.”Silakan, O Baginda, kerjakanlah apa yang nampaknya pantas bagimu.’Demikianlah Raja Ajatasattu merasa gembira dan puas dengan kata-kata Sang Bhagava. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat pada Sang Bhagava dan berjalan lewat samping kanan Beliau, dan meninggalkan tempat itu.
Tidak berapa lama setelah Raja Ajatasattu pergi meninggalkan tempat itu, Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu-bhikkhu : ‘O para bhikkhu, sang raja merasa amat terpengaruh; ia merasa tersentuh hatinya. Dan seandainya, O para bhikkhu, sang raja tidak membunuh ayahnya sendiri, seorang raja yang setia pada Kebenaran, manusia Kebenaran; pastilah Mata Dhamma (dhamma-cakkhu) yang bersih tanpa noda akan timbul dalam dirinya.’Demikianlah sabda Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas dan bersuka cita mendengar sabda Sang Bhagava itu.