Sign up for PayPal and start accepting 
credit card payments instantly.
Selamat Datang di Tipitaka Pali

Google
 

Friday, November 11, 2011

Penggolongan Dhamma - Dhamma Vibhanga - Kelompok Empat

DHAMMA VIBHAGA

(PENGGOLONGAN DHAMMA)
JILID II

KELOMPOK EMPAT

1. ALAM-ALAM SENGSARA (APAYA)
  1. Makhluk neraka (niraya)
  2. Binatang-binatang (tiracchanayoni)
  3. Hantu-hantu kelaparan (pittivisaya)
  4. Setan-setan, iblis (asurakaya)
Khu. Iti. 25/301
KETERANGAN
Dunia atau alam-alam yang tidak terdapat perkembangan atau kemajuan disebut alam-alam sengsara (apaya).
Niraya: menunjukkan alam-alam neraka yang mana hukuman diberikan kepada para pembuat kejahatan setelah meninggalnya mereka dari dunia. Hukuman tersebut mengambil bermacam-macam bentuk perwujudan, seperti dibakar dan disiksa atas perintah kepala neraka. Ini mencerminkan kepercayaan Brahminisme pada masa veda, yang menyatakan bahwa para pembuat kejahatan akan diadili oleh Yama atau kepala neraka dan para penghukum arwah, yang menghukum arwah-arwah jahat dengan hukuman-hukuman yang mengerikan. Akan tetapi, di dalam kitab-kitab belakangan, walaupun ada bermacam-macam bentuk penderitaan yang mengerikan, masih disebutkan sebagai corak dari alam-alam neraka, adanya kepala neraka telah dihilangkan, dengan mengemukakan kenyataan bahwa semua hukuman-hukuman demikian adalah manifestasi dari perbuatan jahat mereka sendiri.
Tiracchanayoni: alam binatang nampaknya tidak mempunyai tempat tersendiri, dengan demikian tergantung pada dunia manusia sebagai tempat hidup mereka. Tetapi kitab suci juga menyebutkan bahwa alam-alam binatang dalam dunia-dunia yang tidak terlihat dinamakan sebagai naga, ular-ular, garuda atau burung-burung yang sifatnya bermusuhan dengan ular-ular atau naga. Berbagai jenis binatang mistik ini dikatakan memiliki alam kehidupan mereka sendiri, dengan para raja mereka sendiri dan juga memiliki kekayaan yang menakjubkan serta kekuatan dan kekuasaan yang besar. Akan tetapi, mereka masih dianggap setengah manusia dan alam-alam mereka masih disebut alam sengsara atas dasar bahwa mereka tidak seperti manusia, mereka tidak pernah dapat mencapai keadaan Penerangan ke dalam Sang Jalan.
Pittivisaya: menunjukkan makhluk-makhluk yang disebut sebagai hantu-hantu tidak berbahagia, kelaparan atau pitti. Hal ini biasanya menunjukkan para pembuat kejahatan yang tidak begitu berat untuk menjerumuskan mereka ke dalam alam neraka. Tetapi, mereka dianggap amat jelek dan cacat bentuknya dan juga amat lapar serta menyedihkan. Jenis makhluk yang tidak terlihat ini terkadang juga bergantung pada dunia manusia. Ini dapat dilihat dalam khotbah yang disebut Tirokudda Sutta. Diceritakan bahwa sanak keluarga Raja Bimbisara sedang menantikan persembahan-persembahan dari dunia ini untuk menghilangkan rasa lapar dan haus mereka. Dari komentar khotbah ini, nampaknya hantu-hantu kelaparan itu mempunyai alam-alam tertentu mereka sendiri. Jenis yang disebutkan dalam khotbah yang disebut Janusasoni, adalah salah satu contoh dari kenyataan ini. Dan juga, di sana disebutkan macam-macam hantu lain yang amat dekat hubungannya dengan dunia manusia. Ini benar-benar aneh bahwa mereka harus mengalami banyak sekali kebahagiaan dan penderitaan secara bergantian. Jadi, mereka dikatakan menikmati kebahagiaan ke-dewa-an di dalam istana-istana mereka pada siang hari dan kemudian menderita hukuman seperti neraka pada malam hari sampai fajar menyingsing; yang mana mereka kembali lagi untuk menikmati kebahagiaan di alam ke-dewa-an mereka.
Asurakaya: terjemahan setan-setan agak kabur artinya, karena tidak pernah disebutkan dalam Pali Canon. Sekalipun demikian, komentar telah menyebutkannya secara sepintas lalu saja. Menurut kamus Sanskrit, setan adalah sejenis makhluk jahat tidak kelihatan yang menakuti manusia. Nampaknya ini menunjukkan suatu perbedaan antara hantu kelaparan dengan setan; yang pertama tidak mempunyai kehendak untuk menakuti manusia, sedangkan yang terakhir berbuat demikian dengan sengaja. Bahwasannya hantu kelaparan kadang-kadang terlihat oleh manusia adalah karena faktor-faktor lain, bukan atas kehendak mereka sendiri.

Mengenai makanan atau sesuatu yang mempertahankan makhluk-makhluk ini, dikatakan bahwa makhluk alam neraka dipertahankan dengan perbuatan-perbuatan jahat mereka sendiri. Mereka harus menderita sampai berakhirnya perbuatan jahat yang telah mengirim mereka kesana. Berkenaan dengan binatang (dalam dunia manusia), beberapa di antaranya, hidup dengan tumbuh-tumbuhan dan yang lainnya memangsa binatang lain. Dikatakan bahwa hantu-hantu kelaparan dipertahankan sebagian oleh sebab-sebab (kamma) yang mengirim mereka ke dalam kondisi itu dan sebagian dengan persembahan oleh manusia. Apa yang menjadi makanan untuk setan tidak jelas diketahui. Untuk kelompok yang lebih rendah di antara mereka, kemungkinan mereka memakan bagian-bagian tubuh binatang, apakah dalam kondisi yang baik atau yang sudah membusuk.
Akhimya, suatu persamaan dari empat golongan atau alam sengsara ini dapat dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Makhluk-makhluk neraka dapat dibandingkan dengan mereka yang dipenjarakan. Mereka menderita hukuman karena perbuatan jahat mereka sendiri, tetapi pada saat yang sama mereka diberi makanan dan tempat tinggal yang cukup memungkinkan untuk dapat menahan penderitaan mereka. Hantu-hantu kelaparan dapat dilihat seperti orang-orang malang, yang bebas tetapi mereka harus memperoleh nafkah dengan mengemis, jadi tergantung pada kemurahan hati orang lain. Setan-setan dalam persamaan ini adalah seperti perampok atau penjahat yang memperoleh nafkah dengan jalan merampok dan melakukan kejahatan serta kekerasan.
CATATAN :
  1. Makhluk-makhluk di alam sengsara seperti yang telah disebutkan di atas adalah makhluk-makhluk tidak terlihat yang dilahirkan secara spontan. Kelahiran yang langsung menjadi individu dewasa tanpa harus mulai dari masa kanak-kanak serta dilahirkan tanpa orang tua. Mereka disebut tidak terlihat hanya bagi mata biasa atau yang belum terlatih dan belum dikembangkan. Bagi mereka yang telah mengembangkan kemampuan bathin, memiliki mata bathin, mereka dapat dilihat dengan jelas dan nyata seperti manusia.
  2. Untuk jenis-jenis makhluk tidak terlihat lainnya dengan kelahiran spontan, lihat Kelompok Empat, No. 21 (alam-alam kehidupan) dan Kelompok Enam, No. 6, (alam-alam ke-dewa-an).
  3. Makhluk-makhluk yang tidak terlihat ini, baik mereka yang berada dalam alam-alam berbahagia (alam ke-dewa-an) maupun mereka yang berada di alam-alam sengsara, dimasukkan dalam jenis kelahiran ke-empat, yang disebut opapatika (lihat Kelompok Empat, No. 24: Kelahiran).

2. PERENUNGAN YANG MEMBANTU (APASSENADHAMMA)
  1. Perenungan sebelum mempergunakan atau berhubungan.
  2. Perenungan sebelum menahan penderitaan yang ada.
  3. Perenungan sebelum menahan diri.
  4. Perenungan sebelum mengurangi.
Di. Pati. 11/236
KETERANGAN
  1. Sebelum mempergunakan kebutuhan-kebutuhan hidup (pakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan) atau berhubungan dengan siapapun atau mempergunakan suatu metode praktek apapun, bagi mereka pencari kebenaran dianjurkan untuk berhenti dan merenungkan faedah-faedah dan kerugian yang timbul dari hal itu, pertimbangan dengan hati-hati akan timbul dan perkembangan kebaikan dan kejelekan dapat diharapkan dengan berbuat demikian. Ini adalah pembantu pertama; perenungan sebelum mempergunakan atau berhubungan.
  2. Di hadapan pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti rasa panas, dingin, lapar, haus, kesakitan, atau hinaan, dianjurkan untuk mengadakan perenungan pada sifat berubah. Mengalami kelahiran dan kematian, kemudian pada keburukan-keburukan dengan diseret atau dipengaruhi oleh sifat fenomena demikian, dirangkaikan dengan faedah apabila tidak terseret tetapi mampu menahan secara bijaksana dihadapan pengaruh-pengaruh mereka. Ini adalah perenungan sebelum menahan penderitaan yang ada.
  3. Dalam menghadapi godaan-godaan, seorang pencari kebenaran dianjurkan berhenti untuk merenungkan kejahatan-kejahatan yang timbul. Ia sebaiknya merenungkan bagaimana mereka akan membawa perkembangan kejahatan yang telah ada, menimbulkan kejahatan-kejahatan baru yang belum ada, juga keruntuhan dari kesucian-kesucian yang telah ada dan mencegah timbulnya kesucian baru. Kemudian ia berusaha untuk menghindari mereka atau menahan diri untuk tidak menjadi mangsa pengaruh mereka yang menggoda. Ini adalah perenungan sebelum menahan diri.
  4. Apabila diganggu oleh pikiran-pikiran tidak baik (pikiran yang dipengaruhi oleh keserakahan, kebencian, dan kemauan jahat), yang menjadikan pikiran gelisah dan kalut, seorang pencari kebenaran dianjurkan untuk merenungkan keburukan-keburukan yang dapat diharapkan dari mereka dan kemudian mencoba untuk menguranginya sampai sekecil mungkin, sehingga mereka hilang dari pikiran. Ini adalah perenungan sebelum mengurangi atau menghilangkan.
Empat praktek ini membantu seorang pencari kebenaran pada Jalannya. Ia menjaganya dari kesukaran dan penderitaan yang tidak perlu dan memperkuatnya dengan perkembangan kekuatan serta kesucian yang perlu. Karena itulah maka mereka disebut ‘pembantu-pembantu’.
CATATAN :
Praktek-praktek diatas memerlukan gabungan fungsi dari kesadaran dan kebijaksanaan (sati dan pañña). Pada saat yang sama, seorang yang menjalankan praktek ini dapat dikatakan telah mengikuti meditasi untuk mencapai ketenangan dan meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang (samatha dan vipassana). Lihat Kelompok Dua, No. 2.
3. TIDAK TERBATAS ATAU TIDAK TERUKUR (APPAMAÑÑA)
  1. Cinta kasih (metta)
  2. Kasih sayang (karuna)
  3. Simpatik (mudita)
  4. Keseimbangan (upekkha)
Di. Si. 9/310
KETERANGAN
Pemancaran empat kesucian ini kepada semua makhluk tanpa batas atau pembedaan disebut ‘tidak terbatas atau tidak terukur’. Itu harus dibedakan dari kelompok empat kesucian yang sama, yang dipancarkan kepada seseorang atau kelompok orang-orang tertentu. Praktek ini disebut ‘keadaan-keadaan pikiran mulia’ (brahma vihara) seperti yang telah diterangkan dalam Jilid I.
  1. Cinta kasih ditandai dengan kemauan baik yang bebas dari nafsu.
  2. Kasih sayang adalah suatu perasaan kasihan atas penderitaan mahluk-mahluk lain. Itu juga menyatakan atau menyelamatkan makhluk-makhluk lain dari suatu kondisi sedemikian.
  3. Simpatik, sesuai dengan namanya, menyatakan suatu perasaan simpatik atas kegembiraan atau kesedihan orang lain. Secara negatif, itu menunjukkan pikiran yang bebas dari iri hati atau kemauan jahat.
  4. Keseimbangan adalah perasaan netral, bebas dari perasaan simpatik di mana perasaan simpatik adalah tidak mungkin atau tidak dapat dilaksanakan, seperti membantu (mereka yang membutuhkan atau mereka yang berada dalam bahaya) tidak mungkin dapat dilaksanakan dan juga di mana suatu perasaan simpatik terhadap satu pihak akan menimbulkan prasangka dan karena itu merugikan pada pihak lain. Kesucian ini berdasarkan atas pengertian terhadap hukum Kamma; akibat mengikuti sebab atau memetik apapun yang telah ditanam. Sikap bathin ini dianjurkan apabila, seperti telah disebutkan sebelumnya, bantuan atau simpatik adalah tidak mungkin atau tidak dapat dilaksanakan.

Praktek-praktek ini juga disebut sikap kediaman dewa brahma apabila mereka dipancarkan dalam suatu batas tertentu seperti telah diterangkan sebelumnya. Alasan ini adalah bahwasanya brahma, apakah diartikan sebagai para makhluk agung atau sebagai manusia yang berkedudukan tinggi dengan bawahan atau pembantu yang berada dibawah tanggung jawab mereka, adalah diharuskan untuk selalu memiliki Empat Kesucian ini untuk menunjukkan nama dan kedudukan mereka.
Sebagai kesucian-kesucian yang tidak terbatas atau tidak terukur, mereka dimaksudkan untuk menjadi kesucian dasar para bhikkhu. Setelah meninggalkan kehidupan duniawi, seharusnya tidak terikat pada seorang atau kelompok tertentu.
CATATAN :
  1. Istilah Pali: upekkha diterjemahkan sebagai keseimbangan (baik sebagai keadaan pikiran mulia maupun sebagai keadaan tidak terbatas) juga dapat mempunyai arti lain. Haruslah diketahui agar tidak membingungkan bahwa upekkha sebagai salah satu dari tiga macam perasaan yang diterjemahkan dengan ‘ke-netral-an’ (bukan menyenangkan dan bukan tidak menyenangkan). Upekkha juga sebagai salah satu dari tujuh faktor Penerangan Sejati yang juga diterjemahkan dengan keseimbangan, tetapi memiliki suatu arti yang lebih luas dan lebih dalam, karena sebagai salah satu dan yang terakhir dari tujuh faktor Penerangan Sejati. Keseimbangan (upekkha) adalah puncak dari enam kesucian yang terdahulu dan menunjukkan tingkat Pandangan Terang yang tertinggi. Dalam hal ini, seorang peninjau yang bebas dihadapan semua manifestasi fenomena kelompok kehidupan.
  2. Di mana upekkha telah disebutkan:
    1. Sebagai salah satu dari tiga atau lima macam perasaan (vedana). Lihat Jilid I, Kelompok Lima: perasaan-perasaan; atau Jilid I, Kelompok Lima: Kelompok-kelompok Kehidupan. Upekkha diterjemahkan dengan: ‘kenetralan’, suatu perasaan yang bukan menyenangkan dan bukan tidak menyenangkan.
    2. Sebagai salah satu dari empat keadaan pikiran mulia (brahma vihara), diterjemahkan dengan ‘keseimbangan’ (lihat Jilid I).
    3. Sebagai salah satu dari empat keadaan yang tidak terbatas (appamañña), juga diterjemahkan dengan ‘keseimbangan’.
    4. Sebagai salah satu dari dua sisa faktor jhana ke-empat kesadaran dan keseimbangan (Kelompok Empat, No. 13).
    5. Sebagai salah satu dari tujuh faktor Penerangan Sejati (bojjhanga), juga diterjemahkan dengan ‘keseimbangan’ (lihat Jilid I).
    6. Sebagai tingkat kedelapan dari sembilan tingkat Pandangan Terang (vipassana-ñana). Disini disebut keseimbangan Pandangan Terang yang merenungkan pada ciptaan-ciptaan (sankharupekkhañana).
  3. Pembagian upekkha -dalam satu arti, dapat dibagi sebagai berikut:
    1. Perasaan (vedana) yang disebut upekkha terdiri atas dua macam:
      1. Kenetralan tidak berhubungan dengan Pandangan Terang atau aññanupekkha.
      2. Kenetralan yang berhubungan dengan Pandangan Terang atau ñanupekkha.
        Dari kedua macam ini, yang pertama menunjuk pada upekkha milik orang duniawi biasa adalah merupakan yang terendah, karena tidak berhubungan dengan kebijaksanaan atau Pandangan Terang.
    2. Keseimbangan sebagai salah satu keadaan pikiran Mulia, berhubungan dengan suatu tingkat kebijaksanaan.
    3. Keseimbangan sebagai salah satu dari keadaan tidak terbatas, berhubungan dengan suatu tingkat kebijaksanaan yang lebih luas.
    4. Keseimbangan dalam jhana keempat, merupakan suatu bentuk perasaan yang telah meninggalkan kegiuran dan mengatasi perasaan bahagia. Mereka yang dari permulaan merangkaikan praktek ini dengan meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang yang tinggi, sedangkan mereka yang mengembangkannya semata-mata untuk memperoleh ketenangan atau samatha, (Kelompok Dua, No. 2) keseimbangan akan memiliki sedikit kebijaksanaan atau tanpa disertai dengan kebijaksanaan sebagai faktor bagiannya.
    5. Terakhir, keseimbangan sebagai suatu faktor Penerangan Sejati dan keseimbangan terhadap ciptaan-ciptaan, yaitu tingkat kesembilan dari Pandangan Terang. Keduanya ini dapat dianggap berada pada tingkat perkembangan yang sama, yang telah berada pada ambang pintu Penerangan Sejati.
    6. No. 1.b., kenetralan yang berhubungan dengan Pandangan Terang, dapat memiliki suatu jangkauan arti yang bermacam-macam, tergantung pada latar belakang orang yang mengembangkannya dan kesempatan atau tujuan dari perkembangannya. Sebenarnya, istilah ‘keseimbangan akan lebih sesuai, karena artinya lebih dekat dengan kebijaksanaan atau Pandangan Terang daripada semata-mata suatu perasaan (vedana). Dan sesungguhnya istilah Pali nya adalah sama, yaitu upekkha.
4. PARA ARAHAT (ARAHANTA)
  1. Para arahat yang memiliki pandangan terang saja (sukkhavissako)
  2. Para arahat yang memiliki tiga rangkaian pengetahuan (tevijjo)
  3. Para arahat yang memiliki enam rangkaian kekuatan bathin (chalabhiñño)
  4. Para arahat yang memiliki empat rangkaian pengalaman (patisambhidappatto)
KETERANGAN
Istilah arahanta menunjukkan tingkatan siswa mulia yang tertinggi, berarti seorang yang telah sempurna, telah menyucikan bathin dengan sempurna, telah mencapai tingkat perkembangan bathin yang tertinggi dan telah menyelesaikan pekerjaannya sejauh berkenaan dengan perkembangan bathin. Jadi, ia telah mencapai Penerangan Sempurna, tidak dilahirkan kembali lagi. Ini adalah corak umum dari semua arahanta, tetapi mengenai individu arahanta terdapat beberapa perbedaan berkenaan dengan hasil-hasil tambahan sebagai berikut:
Yang pertama, mereka telah mencapai Penerangan Sempurna tanpa memiliki hasil tambahan lain apa pun. Jadi, mereka telah menyucikan bathin secara sempurna, telah menyempurnakan kehidupan suci dan telah menyelesaikan tugas mereka berkenaan dengan perkembangan bathin. Mereka tidak memiliki kelahiran kembali lagi. Dengan kata lain, mereka telah memenuhi syarat minimum bagi pencapaian Penerangan Sempurna dan tidak memiliki kecakapan-kecakapan tambahan lainnya. Jenis ini merupakan golongan mayoritas dari arahanta pada masa kehidupan Sang Buddha.
Untuk keterangan mengenai yang kedua, ketiga, dan keempat, lihat Kelompok Tiga, Kelompok Enam, dan Kelompok Empat secara berturut-turut.
5. MAHLUK-MAHLUK SUCI (ARIYAPUGGALA)
  1. Pemasuk arus (Sotapanna)
  2. Seorang yang hanya kembali sekali (sakadagami)
  3. Seorang yang tidak kembali lagi (anagami)
  4. Seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna (arahanta)
Di. Si. 9/199
KETERANGAN
Makhluk-makhluk suci (ariyapuggala) adalah mereka yang telah menghancurkan sekurang-kurangnya beberapa dari sepuluh rintangan bathin (lihat Kelompok Tiga). Di sini tekanan harus diletakkan pada ‘penghancuran’, yang menyatakan penghilangan secara mutlak, dan dapat disamakan dengan sebatang pohon yang telah dicabut sehingga tidak dapat tumbuh kembali.
Pemenang arus (sotapanna) berarti seseorang yang telah memasuki arus nibbana. Ia pasti maju dengan teguh sepanjang ‘Sang Jalan’ tanpa adanya kemungkinan kemunduran atau berhenti dalam perkembangan bathinnya. Ia ditandai dengan penghancuran tiga dari sepuluh rintangan bathin. Bagi seorang siswa mulia demikian, tidak akan ada kelahiran kembali lebih dari tujuh kali sebelum pencapaian Penerangan Sempurna.
Ia yang kembali sekali (sakadagami) adalah setingkat lebih tinggi dari pemasuk arus. Ia juga dikatakan telah menghancurkan tiga dari sepuluh rintangan bathin, tetapi pada saat yang sama juga telah memperkecil sisanya dalam jumlah yang lebih besar dari pemasuk arus. Seperti namanya menyatakan, ia akan dilahirkan kembali kedunia manusia sekali lagi (setelah kelahirannya di alam ke-dewa-an) dan kemudian mencapai Penerangan Sempurna disini.
Ia yang tidak kembali lagi (anagami) telah menghancurkan lima dari sepuluh rintangan bathin. Ia tidak akan kembali lagi kedunia ini. Itulah sebabnya, mengapa ia disebut demikian, tetapi ia akan berdiam di suatu alam ke-dewa-an tertentu dan akan mencapai Penerangan Sempurna di sana.
Arahanta adalah kelompok siswa mulia yang tertinggi. Ia telah menghancurkan kesepuluh rintangan bathin. Kehidupannya yang sekarang adalah kelahirannya yang terakhir, karena setelah kehancuran badan jasmani tidak ada kelahiran lagi baginya dalam suatu alam kehidupan apapun.
CATATAN :
  1. Seringkali terdapat suatu pertanyaan berkenaan dengan di manakah arahanta atau menjadi apakah ia setelah kematiannya. Jawaban yang paling baik untuk pertanyaan ini adalah kata-kata Sang Buddha sendiri sebagai jawaban-Nya kepada enam belas pemuda yang dinamakan Upasiya, yang mengajukan pertanyaan sama kepada Beliau, di mana Beliau menjawab dengan berkata: “Tidak ada keterangan mengenai kelahiran seorang suci yang telah terbebas dari nama dan rupa, mencapai pemadaman mutlak (dari kekotoran dan bentuk), seperti juga halnya tidak ada yang tahu ke mana perginya api yang ditiup padam oleh kekuatan angin.”
  2. Disebutkan di dalam kitab-kitab suci bahwa para Sotapanna dan Sakadagami masih dapat menikah, berumah tangga dan kadang-kadang menjadi marah, sedih dan bergembira. Tetapi, mereka tidak mempunyai kemauan jahat, tidak melakukan perbuatan seks yang melanggar atau melakukan kejahatan. Dengan kata lain, mereka telah sempurna di dalam kemoralan (sila) tetapi masih lunak di dalam meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (pañña).
  3. Para anagami telah menghancurkan kenafsuan dan rangsangan, dikatakan telah bebas dari rangsangan nafsu seks apapun juga. Akan tetapi, pada masa kehidupan Sang Buddha, ada beberapa Anagami yang hidup sebagai kepala rumah tangga. Merekapun merawat pembantu-pembantu, hidup bersama dengan suami atau istri mereka dan mencari nafkah mereka seperti orang lain. Tetapi ada perbedaan penting dan pokok di bawah persamaan yang samar-samar itu. Walaupun mereka tinggal dengan suami atau istri mereka masing-masing, tidak ada pergaulan seks atau perasaan seks di antara mereka. Hubungan mereka hanya bersifat hubungan sebagai teman atau sahabat, bukan antara suami dan istri. Ini disebut Gehasitapema atau kekariban dan persahabatan yang ada antara mereka yang lama telah hidup sebagai suami istri dalam kehidupan. Dan juga, dalam mencari nafkah, mereka agak menyerupai orang-orang lain, tetapi cara mereka berbuat demikian adalah lebih terbatas, terbatas dalam lingkungan macam-macam pekerjaan yang dapat dibenarkan. Mereka tidak pernah mencari nafkah dengan cara-cara yang terlarang (lihat lima macam perdagangan yang terlarang bagi umat awam menurut hukum kemoralan, Jilid I). Seorang upasaka bernama Ghatikara yang pekerjaannya adalah seorang pembuat pot adalah satu gambaran dari kenyataan ini. Dengan kata lain, para anagami dikatakan telah sempurna dalam kemoralan (sila) dan meditasi (samadhi) tetapi masih lunak dalam kebijaksanaan (pañña).
  4. Arahanta yang dikatakan telah sempurna dalam kemoralan, meditasi, dan kebijaksanaan.
6. PRAKTEK-PRAKTEK MULIA (ARIYAVAMSA)
  1. Puas dengan jubah apapun yang telah diperoleh.
  2. Puas dengan makanan apapun yang dapat diperoleh.
  3. Puas dengan tempat tinggal apapun yang dapat diketemukan.
  4. Selalu bergembira (bukan puas) dalam mengembangkan kebaikan dan meninggalkan kejahatan.
An. Ca. 20/35
KETERANGAN
Praktek-praktek mulia ini adalah dimaksudkan bagi seorang bhikkhu yang menempuh kehidupan tanpa rumah dan kebutuhan hidupnya tergantung pada orang lain. Jadi ia harus merasa puas, dan untuk itu tidak seharusnya meminta sesuatu yang tertentu atau memilih apa yang dipersembahkan oleh para umat awam kepadanya. Jubah, makanan atau tempat tinggal apapun (yang sudah tentu bukan bentuk yang dilarang oleh peraturan kedisiplinan) adalah cukup baginya. Merasa puas, berarti disamping tidak rewel juga tidak mencarinya dalam cara yang dilarang oleh vinaya atau peraturan kedisiplinan ke-vihara-an. Dan juga, apabila ia tidak dapat memperoleh apa yang diinginkannya, seharusnya tidak ada kesukaran dan kekhawatiran baginya. Seandainya ia dapat memperolehnya, ia tidak akan terlalu bergembira atau terpengaruh oleh hal itu, tetapi tetap seimbang dan mempergunakannya dengan kebijaksanaan serta dengan sikap pikiran yang tidak melekat.
Akan tetapi, praktek yang keempat, secara perbandingan adalah lebih bersifat positif, karena itu menganjurkan suatu semangat yang sungguh-sungguh (bukan kepuasan) dalam berbuat kebajikan dan menghilangkan atau mengurangi kejahatan.
Empat praktek mulia ini harus selalu dirangkaikan dengan suatu perasaan rendah hati, bebas dari keinginan untuk menyakiti perasaan orang lain dengan jalan menonjolkan diri dan juga harus disertai dengan usaha terus-menerus serta selalu mengoreksi diri sendiri dengan hati-hati.
7. MEDITASI TANPA BENTUK (ARUPA)
  1. Meditasi berdasarkan perenungan terhadap udara (akasanañcayatana)
  2. Meditasi berdasarkan perenungan terhadap kesadaran (viññanañcayatana)
  3. Meditasi berdasarkan perenungan terhadap kekosongan (akiñcaññanayatana)
  4. Meditasi yang menghasilkan suatu kondisi bukan pencerapan maupun bukan tidak pencerapan (nevasaññanasaññayatana).
Sam. Sala. 326
KETERANGAN
Istilah ‘tanpa bentuk’, secara harafiah, diterjemahkan dari arupa, menunjukkan bentuk meditasi lebih tinggi yang berdasarkan pada suatu obyek abstrak, yang berlawanan dengan meditasi ‘bentuk’ atau rupa, yang berdasarkan pada obyek nyata. Istilah ini (tidak berbentuk atau arupa) dapat dipergunakan sebagai nama alam kehidupan juga sebagai obyek meditasi (demikian pula, meditasi ‘bentuk’ atau rupa, dapat dipergunakan untuk menyatakan obyek meditasi dan alam kehidupan).
Meditasi tanpa bentuk adalah dianggap sebagai kelanjutan dari meditasi ‘bentuk’ (yang terdiri dari empat tingkat). Seorang siswa meditasi atau yogi, setelah mencapai tingkat ke-empat dari meditasi bentuk, mengalihkan pikirannya dari obyek bentuk yang dibayangkan dan kemudian menempatkan pikiran dengan teguh pada kekosongan udara (ruang). Ini dikatakan masuk ke dalam meditasi tidak berbentuk (arupa) yang pertama.
Kemudian apabila ia memusatkan pikirannya pada ketidak-terbatasan dari kesadaran, yang mengatasi kekosongan ruang, ia dikatakan telah memasuki tingkat kedua. Demikian pula tingkat ketiga dicapai apabila tingkat kedua telah diatasi dengan pikiran terpusatkan pada perenungan terhadap kekosongan mutlak. Apabila tingkat inipun telah dilalui, sang yogi dikatakan telah mencapai tingkat meditasi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, sehingga secara samar-samar dan kabur diterangkan sebagai “bukan pencerapan maupun bukan tidak pencerapan”.
Keempatnya ini, disamping sebagai nama dari tingkat-tingkat meditasi yang berbeda juga dipergunakan untuk menunjukkan tingkat-tingkat alam kehidupan ke-dewa-an yang tinggi, secara kolektif disebut alam-alam Brahma. Alasan untuk ini adalah bahwa seorang yogi yang telah mencapai salah satu dari empat meditasi tidak berbentuk akan masuk ke alam kehidupan tidak berbentuk masing-masing sesuai dengan tingkat meditasi yang telah dicapainya.
8. KETIDAK-TAHUAN (AVIJJA)
  1. Ketidaktahuan mengenai kebenaran mulia tentang penderitaan.
  2. Ketidaktahuan mengenai kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan.
  3. Ketidaktahuan mengenai kebenaran mulia tentang akhir penderitaan.
  4. Ketidaktahuan mengenai kebenaran mulia mengenai jalan yang membawa menuju lenyapnya penderitaan.
Sam. Sala. 18/315
KETERANGAN
Adalah jelas bahwa istilah ketidaktahuan di sini dipergunakan untuk menyatakan ketidaktahuan terhadap Empat Kebenaran Mulia, untuk keterangan lebih lanjut, lihat Kelompok Empat, Jilid I.
CATATAN :
  1. Ada juga pengertian lain dari ketidaktahuan yang dibagi menjadi delapan macam (lihat Kelompok Delapan, No. 2).
  2. Sinonim dari ketidaktahuan yang sering dipergunakan adalah kebodohan (moha).
  3. Dimana ketidaktahuan telah disebutkan? Ketidaktahuan juga dianggap sebagai salah satu dari asava (lihat Kelompok Tiga), sebagai salah satu dari ‘banjir’ (Kelompok Empat), sebagai salah satu dari ‘kekotoran-kekotoran laten’ (Kelompok Tujuh), sebagai salah satu dari ‘rintangan-rintangan bathin’ (Kelompok Sepuluh), dan mungkin yang paling penting dari semuanya adalah sebagai salah satu dari rantai-rantai di dalam Hukum Sebab Akibat yang saling bergantungan (Paticca-samuppada; lihat Kelompok Sebelas).
9. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERTAHANKAN (AHARA)
  1. Makanan (kabalinkarahara)
  2. Kontak (phassa)
  3. Kehendak (manosañcetana)
  4. Kesadaran (viññana)
Ma. Mu. 12/18
KETERANGAN
Secara harafiah, istilah ahara menyatakan apa saja yang menghasilkan suatu akibat (terjemahan diatas lebih disenangi karena memberikan suatu pengertian yang lebih jelas dan tepat. Dari daftar diatas, terlihat bahwa istilah itu menyatakan apa saja yang mempertahankan proses-proses kehidupan).
Makanan sudah jelas sebagai faktor mempertahankan yang mutlak bagi kelangsungan kehidupan badan jasmani.
Kontak harus dimengerti sebagai memiliki suatu pengertian khusus, seperti sesuatu kumpulan kata benda yang menunjukkan berkumpulnya bersama-sama, yaitu mata, obyek yang dapat dilihat dan kesadaran mata timbulnya dari itu. Ini dapat dituliskan didalam bentuk suatu persamaan sebagai berikut:
Kesadaran mata + mata + obyek yang dapat dilihat = kontak
Seluruh persamaan itu adalah disebut kontak mata. Demikian juga kontak dapat timbul melalui lima indria lainnya; telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran. ‘Kontak’ yang demikian juga merupakan faktor yang mempertahankan kehidupan lainnya.
Kehendak yang terjadi pada satu saat setelah kontak adalah suatu sebab dari pikiran, dan kemudian ucapan serta perbuatan sebagai ekspresi atau manifestasi kehidupan.
Viññana adalah dasar yang terpenting dan merupakan inti kehidupan yang sesungguhnya. Dalam suatu arti ada dua kategori; kesadaran ke-indria-an (vithi viññana) (lihat Kelompok Enam, Jilid I) dianggap sebagai salah satu dari istilah-istilah yang telah disebutkan pada persamaan di atas, dan kesadaran kelahiran kembali (patisandhi viññana) merupakan arti yang dimaksudkan di sini. Macam kesadaran yang kedua ini adalah yang meletakkan dasar bagi kehidupan berikut. Itu adalah sebab mula dari apa yang disebut nama dan rupa atau dalam istilah yang kurang teknis, badan atau embrio, yang berkembang dalam kandungan ibu. Ini sesuai dengan salah satu dari rumusan-rumusan Hukum Sebab Akibat yang saling bergantungan (paticca-samuppada); ‘karena adanya kesadaran, maka timbullah nama dan rupa’, (lihat Kelompok Sebelas).
10. KEMELEKATAN (UPADANA)
  1. Kemelekatan pada kenafsuan (kamupadana).
  2. Kemelekatan pada pandangan (ditthupadana).
  3. Kemelekatan pada upacara-upacara (silabattupadana)
  4. Kemelekatan pada sang ego (attavadupadana).
Ma. Mu. 11/152
KETERANGAN
Kemelekatan pada kenafsuan adalah berdasarkan pada keinginan terhadap nafsu-nafsu ke-indri-an. Kemelekatan ini membawa pada pemuasan diri secara berlebih-lebihan, iri hati, dan kemauan jahat.
Kemelekatan pada pandangan adalah berdasarkan pada sikap kepala batu dan tidak toleran. Kemelekatan ini membawa pada pertentangan-pertentangan yang tidak perlu.
Kemelekatan pada upacara-upacara dan sembahyang-sembahyang berarti menganggap hal-hal demikian penting atau terikat pada mereka dalam hal yang bersifat tahayul. Termasuk di dalam kategori ini adalah kemelekatan pada tradisi, kebiasaan, mitos, dan magis (menganggap mereka sebagai kekuatan yang menguasai kehidupan seseorang).
Kemelekatan pada sang ego adalah disebabkan oleh kebanggaan-kebanggaan dan sifat menonjolkan diri yang menimbulkan suatu perasaan curiga yang kuat terhadap orang atau golongan lain.
11. BANJIR (OGHA)
  1. Banjir kenafsuan (kamogha)
  2. Banjir perwujudan (bhavogha)
  3. Banjir pandangan-pandangan (ditthogha)
  4. Banjir ketidaktahuan (avijjogha)
Sam. Maha. 19/88
KETERANGAN
Empat di atas adalah disebut ‘banjir,’ karena mereka memiliki kekuatan menghanyutkan makhluk-makhluk yang telah jatuh menjadi korban kekuatan-kekuatan mereka. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kenafsuan, lihat; Kenafsuan dalam Kelompok Dua (kama).
Banjir perwujudan menunjukkan semua alam kehidupan, di mana kelahiran dan kematian dapat diharapkan (lihat alam-alam kehidupan, No. 21 dari bab ini). Keterangan lebih lanjut mengenai banjir pandangan-pandangan dapat dilihat dalam ‘pandangan-pandangan salah’ (No. 14, Kelompok Tiga) dan mengenai banjir ketidaktahuan dalam No. 8 dari bab ini.
Empat ini disebut juga ‘ikatan’ (yoga) dan pengotoran-pengotoran atau secara harafiah pengaliran (asava) atas dasar bahwa mereka adalah pusat dengan mana makhluk-makhluk terikat pada lingkaran kelahiran kembali dengan mana bathin mereka menjadi kotor.
12. FUNGSI-FUNGSI TERHADAP EMPAT KEBENARAN MULIA
  1. Fungsi mengetahui (pariñña) terhadap empat kebenaran mulia pertama.
  2. Fungsi meninggalkan (pahana) terhadap kebenaran mulia kedua.
  3. Fungsi menyadari (sacchikarana) terhadap kebenaran mulia ketiga.
  4. Fungsi mengembangan (bhavana) terhadap kebenaran mulia keempat.
Sam. Maha. 19/529
KETERANGAN
Kebenaran mulia pertama, kebenaran tentang penderitaan harus diketahui oleh seorang umat Buddhis (dalam semua segi, secara mendalam dan pasti).
Kebenaran mulia kedua, sebab penderitaan harus ditinggalkan atau dihancurkan oleh seorang umat Buddhis, sampai tidak ada jumlah yang tertinggal.
Kebenaran mulia ketiga, akhir penderitaan harus disadari oleh seorang umat Buddhis. Hal ini mungkin dengan melalui pemadaman atau penghancuran nafsu-nafsu keinginan.
Kebenaran mulia keempat merupakan jalan yang membawa pada akhir penderitaan harus dikembangkan oleh seorang umat Buddhis sampai pada tingkatnya yang paling sempurna, yang secara serentak menghasilkan pemadaman keinginan, penyadaran terhadap akhir penderitaan dan pengetahuan sempurna terhadap penderitaan.
CATATAN :
Jadi tingkat yang sempurna dari salah satu, secara serentak menghasilkan kesempurnaan terhadap yang selanjutnya. Ini mungkin hanya dengan melalui perkembangan terakhir dari Sang Jalan dan Sang Hasil (lihat No. 22 dan 23 dari bab ini; Sang Hasil).
13. TINGKAT MEDITASI YANG LEBIH TINGGI (JHANA)
  1. Tingkat pertama
  2. Tingkat kedua
  3. Tingkat ketiga
  4. Tingkat keempat
Ma. Mu. 12/72
KETERANGAN
Secara harafiah, istilah jhana berarti perenungan untuk memusatkan perhatian pada suatu obyek dengan tingkat perhatian yang tidak tergoyahkan (yang membuat seseorang tidak sadar pada keadaan luar, tetapi aktif dan waspada di dalam). Ini mungkin hanya dengan melalui perkembangan meditasi (samadhi) sampai ketingkat yang disebut; appana, yang kadang-kadang secara harafiah diterjemahkan dengan ‘meditasi pencapaian’, (lihat Kelompok Tiga, No. 18).
Jhana pertama terdiri atas pikiran yang tidak kacau dan perhatian yang bebas (untuk sementara) dari nafsu-nafsu ke-indria-an dan sikap-sikap bathin tidak baik lainnya. Ini berdasarkan pada pencapaian ketenangan atau keseimbangan dan secara serentak dirangkaikan dengan kegiuran dan kebahagiaan. Jadi tingkat pertama ini terdiri dari lima faktor.
Jhana kedua lebih halus daripada yang pertama, bahkan telah bebas dari pikiran dan perhatian yang tidak kacau (vitakka dan vicara), dengan demikian hanya mempertahankan tiga faktor; keseimbangan yang dirangkaikan dengan kegiuran dan kebahagiaan.
Jhana ketiga lebih mendalam dari yang kedua, karena telah meninggalkan kegiuran, dan hanya memiliki faktor-faktor kebahagiaan dan keseimbangan.
Jhana keempat, merupakan tingkat yang tertinggi dari keempatnya, bahkan telah mengatasi kebahagiaan. Keadaan yang tidak tergoncangkan melalui kesucian keseimbangan yang lebih dalam, karena telah meninggalkan kegiuran dan perasaan bahagia sekalipun, yang setiap saat didasari dengan kesadaran atau sati.
Empat tingkatan jhana itu disebut meditasi yang berdasarkan pada ‘bentuk’ (obyek atau rupa), sebagai lawan dari meditasi ‘tanpa bentuk’ (No. 7 dari bab ini). Seperti kategori ‘tidak berbentuk’, keempat meditasi ‘bentuk’ atau rupa jhana ini adalah nama dari alam-alam kehidupan (yang dimasuki setelah kehancuran badan jasmani), juga masing-masing tingkat perkembangan meditasi itu sendiri. Alasan mengapa keadaannya dimasukkan ke dalam kategori ‘bentuk,’ adalah karena dikembangkan melalui meditasi yang berdasarkan pada obyek nyata, bukan dengan obyek abstrak atau tidak berbentuk seperti kategori arupa atau meditasi tidak berbentuk.
14. KESUCIAN SUMBANGAN ATAU KEMURAHAN HATI (DAKKHINA VISUDDHI)
  1. Pemberian yang ‘murni’ pada pihak si pemberi, tetapi bukan pada pihak si penerima.
  2. Pemberian yang ‘tidak murni’ pada pihak si pemberi, tetapi ‘murni’ pada pihak si penerima.
  3. Pemberian yang ‘tidak murni’ pada kedua belah pihak, baik si pemberi maupun si penerima.
  4. Pemberian yang ‘murni’ pada kedua belah pihak, baik si pemberi maupun si penerima.
An. Ca. 21/104
KETERANGAN
Yang dimaksud dengan kata sumbangan atau kemurahan hati di sini adalah suatu pemberian atau persembahan kepada para Bhikkhu. Ini adalah suatu hal yang memiliki dua pihak, yaitu pihak si pemberi dan pihak si penerima. Hasil dari suatu pemberian demikian tergantung pada gabungan kemurnian dari kedua belah pihak, dan harus dipertimbangkan dari kedua belah pihak sebagai berikut:
  1. Apabila si pemberi seorang yang saleh, kemudian memberikan bantuan kepada seorang penerima yang jahat, perbuatan berjasa atau kemurahan hati itu dikatakan ‘murni’ pada pihak si pemberi, tetapi tidak pada pihak si penerima.
  2. Sebaliknya, apabila seorang pemberi yang jahat memberikan suatu pemberian kepada seorang penerima yang saleh, ini adalah ‘murni’ pada pihak si penerima, tetapi tidak pada pihak si pemberi.
  3. Apabila keduanya, baik si pemberi maupun si penerima adalah orang-orang yang jahat, perbuatan kemurahan hati itu tidak murni pada pihak manapun juga.
  4. Suatu pemberian yang dipersembahkan oleh seorang pemberi yang saleh kepada seorang penerima yang saleh, perbuatan itu adalah ‘murni’ pada kedua belah pihak.
CATATAN :
Di antara keempat macam hal diatas, yang keempat (murni pada kedua belah pihak) adalah yang terbaik, sedang yang ketiga (tidak murni pada pihak manapun) adalah yang terburuk. Yang pertama dan yang kedua (murni hanya pada satu pihak) adalah bentuk-bentuk pertengahan.
15. CARA-CARA KAMMA MEMBERIKAN HASIL, PADA SAAT-SAAT YANG BERBEDA (DHAMMASAMADANA)
  1. Suatu perbuatan yang menghasilkan penderitaan baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
  2. Suatu perbuatan yang menghasilkan penderitaan lebih dahulu, tetapi menghasilkan kebahagiaan dikemudian waktu.
  3. Suatu perbuatan yang memberikan kebahagiaan bathin lebih dahulu, tetapi menghasilkan penderitan kemudian waktu.
  4. Suatu perbuatan yang memberikan kebahagiaan baik dimasa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Ma. Mu. 12/556
KETERANGAN
Contoh dari empat perbuatan diatas dapat dikutip dari khotbah-khotbah sebagai berikut:
  1. Seseorang yang dipaksa untuk berbuat jahat, meskipun ia sendiri yakin akan menderita, baik sewaktu berbuat jahat maupun sewaktu ia menerima akibat perbuatan jahat itu. Ini dapat dilihat pada seorang yang secara tidak sadar berkawan dengan para penjahat, dan kemudian dipaksa ikut serta dengan mereka dalam melakukan kejahatan-kejahatan. Tidak mengikuti kehendak mereka berarti kematiannya. Suatu perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang menghasilkan penderitaan baik sewaktu berbuat maupun di kemudian waktu.
  2. Contoh dari suatu perbuatan yang menghasilkan penderitaan lebih dahulu dan menghasilkan kebahagiaan pada masa yang akan datang dapat dilihat pada orang yang berusaha untuk berbuat baik di hadapan godaan-godaan, rintangan-rintangan atau bahaya-bahaya. Para mahasiswa mempertahankan belajar mereka, para pekerja yang bekerja dengan keras dalam cara mereka mencari nafkah secara jujur, dan juga para rohaniawan yang secara tabah menghadapi semua penderitaan, bahaya dan godaan demi tercapainya cita-cita keagamaan mereka, adalah contoh dari kategori perbuatan ini.
  3. Sebaliknya, suatu perbuatan yang menghasilkan kebahagiaan terlebih dahulu, tetapi menghasilkan penderitaan di kemudian waktu adalah perbuatan dari mereka yang senang berbuat jahat, tidak sadar akan bahaya dan penderitaan yang dikandung oleh perbuatan tersebut. Orang-orang seperti ini akan mengalami penyesalan dan penderitaan pada akhirnya.
  4. Sebaliknya, suatu perbuatan yang memberikan kebahagiaan baik sewaktu berbuat maupun di kemudian waktu adalah perbuatan dari mereka yang senang berbuat baik. Orang kaya dan pemurah hati yang senang membantu orang lain adalah termasuk dalam kategori ini. Menurut khotbah-khotbah itu, mereka berbahagia pada masa kehidupan kini dan juga akan mengalami kebahagiaan yang lebih besar di kemudian waktu.
16. KELOMPOK UMAT BUDDHIS (PARISADDO)
  1. Para rohaniawan atau para bhikkhu.
  2. Para rohaniawati atau para bhikkhuni.
  3. Para umat awam laki-laki atau para upasaka.
  4. Para umat awam perempuan atau para upasika.
An. Ca. 21/178
KETERANGAN
  1. Para samanera juga termasuk dalam kategori para rohaniawan atau para bhikkhu. Golongan umat Buddhis ini dibedakan dari golongan-golongan lainnya dengan peraturan kedisiplinan ke-vihara-an dan kelakuan mereka sendiri.
  2. Persaudaraan para bhikkhuni dengan peraturan ke-vihara-an seperti yang ada pada masa kehidupan Sang Buddha sekarang telah punah, karena kelangsungan-nya telah terputus selama beberapa abad setelah wafatnya Sang Buddha. Jadi dewasa ini, tidak ada para bhikkhuni dalam arti yang dikenal pada masa kehidupan Sang Buddha. Seperti halnya para bhikkhu, para bhikkhuni juga mengenakan jubah kuning dan juga mempunyai peraturan disiplin ke-vihara-an yang jauh lebih keras daripada peraturan milik para bhikkhu.
  3. Pada hakekatnya, para umat awam yaitu upasaka dan upasika, adalah mereka yang menyatakan telah menerima Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha) sebagai pelindung atau perlindungan mereka.
17. KELOMPOK ATAU GOLONGAN MASYARAKAT (PARISADDO)
  1. Para Raja
  2. Para Brahmana
  3. Para Perumah Tangga
  4. Para Petapa
An. Ca. 21/179
CATATAN :
  1. Keluarga Raja juga termasuk di dalam kelompok pertama (para raja).
  2. Para ‘brahmana’ menyatakan para pandita dari agama Brahmin yang bertugas mengurus segala tata cara dan upacara keagamaan serta bertugas memberikan khotbah tentang ajaran Brahminisme.
  3. Dengan ‘para perumah tangga’ berarti semua umat awam, baik lelaki maupun wanita.
  4. Istilah ‘para petapa’ disini adalah dimaksudkan untuk mengartikan para petapa secara umum (kemungkinan mereka yang tidak termasuk di dalam agama Brahmin).
18. EMPAT MACAM ATAU TINGKATAN MANUSIA
  1. Para jenius (ugghatitaññu)
  2. Para intelektual (vipacitaññu)
  3. Mereka yang dapat dilatih (neyya)
  4. Mereka yang tidak dapat dilatih (padaparama)
An. Ca. 21/183
KETERANGAN
  1. Para jenius menunjukkan macam manusia yang dapat memahami ajaran hanya dengan mendengarkan pokok ajaran. Jenis ini dapat dibandingkan dengan bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti akan mekar pada sinar fajar hari yang pertama. Suatu contoh dapat dilihat dalam hal bhikkhu Sariputta Thera, petapa Bahiya, samanera Sankicca dan beberapa lainnya lagi yang dengan segera mencapai penerangan sempurna sewaktu mendengarkan syair-syair yang pertama.
  2. Manusia jenis kedua dengan tingkat kebijaksanaan yang lebih rendah adalah disebut para intelektual, yang memerlukan keterangan dan uraian lebih jauh sebelum mereka dapat mencapai Penerangan Sempurna. Contoh dari jenis ini adalah lima orang petapa dan rombongan seribu petapa penyembah api yang dipimpin oleh Uruvela Kasapa. Mereka dapat dibandingkan dengan bunga-bunga teratai yang masih berada di bawah permukaan air, sedang menunggu untuk muncul di atas permukaan air pada hari berikutnya.
  3. Mereka yang dapat dilatih menunjukkan mayoritas manusia biasa (yang tidak begitu bodoh tetapi juga tidak begitu bijaksana). Orang-orang ini memerlukan instruksi-instruksi dan uraian-uraian serta suatu jangka waktu latihan dan praktek sebelum mereka dapat mengharapkan suatu kemajuan atau perkembangan yang nyata. Mereka dapat dibandingkan dengan bunga teratai yang masih berada agak jauh di bawah permukaan air. Mereka memerlukan suatu jangka waktu lebih lama untuk pertumbuhan dan kemunculan mereka di atas permukaan air.
  4. Mereka yang tidak dapat dilatih atau tidak ada harapan adalah mereka yang tidak mungkin mengerti atau maju dalam masa kehidupan ini. Mereka dapat mendengarkan ajaran-ajaran atau mencoba untuk mempraktekkan sesuai dengan perintah-perintah, tetapi karena keterbelakangan atau kebutaan bathin mereka, tidak ada hasilnya yang dapat diharapkan. Mereka adalah seperti bunga teratai yang diharuskan untuk dimakan habis oleh binatang air, tidak mempunyai harapan untuk tumbuh di atas permukaan air.
19. CARA-CARA PRAKTEK (PATIPADA)
  1. Praktek yang sukar dengan kemajuan yang lambat.
  2. Praktek yang sukar dengan kemajuan yang cepat.
  3. Praktek yang ringan dengan kemajuan yang lambat.
  4. Praktek yang ringan dengan kemajuan yang cepat.
An. Ca. 21/ 200
KETERANGAN
  1. Kemajuan atau penerangan yang dicapai dengan susah payah dan memakan waktu yang lama adalah cara praktek dari kategori pertama (praktek yang sukar dengan kemajuan yang lambat). Sebuah contoh dari hal ini dapat dilihat dalam halnya bhikkhu Cakkhupala, yang harus mengalami banyak sekali penderitaan dan kesulitan dengan sumpahnya untuk tidak berbaring tiga bulan selama musim hujan. Akhirnya ia kehilangan indria penglihatannya sebelum mencapai Penerangan Sempurna. Berhasilnya pun ternyata lebih belakangan daripada teman-temannya. Ini dalam bahasa Pali disebut: dukkhapatipada dandhabhiñña.
  2. Kelompok kedua menunjukkan, misalnya pada para bhikkhu yang sakit keras dan yang menderita kesakitan luar biasa serta siksaan karena penyakit mereka. Tetapi mereka berusaha memusatkan perhatian mereka pada perasaan sakit itu sendiri, dengan menjadikannya sebagai obyek meditasi sampai mereka mencapai Penerangan Sempurna melalui cara ini disebut Jivitasamasisi, dan walaupun disertai dengan kesukaran yang serupa seperti kelompok pertama, bentuk praktek ini memberikan suatu kemajuan yang lebih cepat daripada yang pertama. Ini dalam bahasa Pali disebut; dukkhapatipada khippabhiñña.
  3. Akan tetapi, terdapat mereka yang tidak harus mengalami banyak kesukaran dan penderitaan dalam praktek mereka. Mereka dapat mencoba suatu metode untuk beberapa waktu, kemudian berhenti dan mencoba cara lain dan yang lain lagi. Sudah tentu, metode praktek ini memakan waktu percobaan dan kesalahan yang lama sebelum mereka dapat menemukan suatu metode yang sesuai dengan watak dan kemampuan mereka masing-masing. Ini adalah suatu metode praktek yang ringan dengan kemajuan yang lambat, dalam bahasa Pali disebut: sukhapatipada dandhabhiñña.
  4. Contoh dari kategori keempat adalah bhikkhu Bahiya Thera (praktek yang ringan dengan kemajuan yang cepat). Pada akhir dari suatu ajaran yang singkat, ia dengan segera mencapai Penerangan Sempurna di tempat itu juga, pencapaian macam ini adalah demikian mudah dan cepat, yang dalam bahasa Pali disebut; Sukhapatipada khippabhiñña.
CATATAN :
Untuk kategori yang pertama dan kedua, mereka adalah suatu jalan yang berduri, sedangkan kategori yang ketiga dan yang keempat dapat dibandingkan dengan sebuah jalan yang licin.
20. KELANCARAN ATAU KEPANDAIAN (PATISAMBHIDA)
  1. Kelancaran dalam memberikan keterangan atau kepandaian mengetahui akibat-akibat (atthapatisambhida).
  2. Kelancaran dalam meringkaskan atau kepandaian mengetahui sebab-sebab (dhammapatisambhida).
  3. Kelancaran dalam menggunakan kata-kata atau bahasa (niruttipatisambhida)
  4. Kelancaran dalam cara-cara pengetrapan atau penyesuaian (patibhanapatisambhida).
Khu. P. 31/175; An. Pa. 22/135
KETERANGAN
Ada dua pengertian untuk macam yang pertama: kelancaran dalam memberikan suatu keterangan yang jelas mengenai ajaran yang diringkaskan dan kemampuan untuk menilai atau mempertimbangkan akibat-akibat dengan cara pandangan terang ke dalam kejadian-kejadian yang akan datang. Bhikkhu Kaccayana adalah salah satu di antara para siswa Sang Buddha yang dipuji untuk kelancaran ini.
Macam yang kedua juga mengandung dua arti: kemampuan meringkaskan keterangan-keterangan yang terlalu panjang dan luas untuk memudahkannya mengingat dan menunjukkannya dengan cepat, yang merupakan kebalikan dari yang pertama, dan juga kemampuan untuk meneliti kembali akibat-akibat pada sebab-sebab mereka dengan cara Pandangan Terang mengenai kejadian-kejadian yang telah lampau.
Yang ketiga adalah pengetahuan berkhotbah dengan mempergunakan kata-kata atau bahasa yang bijaksana dan tepat untuk membuat ajaran itu dapat dimengerti dan menarik lingkungan pendengar yang luas.
Yang keempat adalah memiliki kebijaksanaan dan akal, kemampuan untuk menyesuaikan atau mengetrapkan suatu praktek tertentu pada orang tertentu dalam suatu kesempatan tertentu. Ini juga menunjukkan kemampuan untuk menguasai kejadian yang tidak disangka atau situasi yang tidak diharapkan.
21. ALAM-ALAM KEHIDUPAN (BHUMI)
  1. Alam-alam ke-indria-an (kamavacarabhumi).
  2. Alam-alam berbentuk (rupavacarabhumi).
  3. Alam-alam tidak berbentuk (arupavacarabhumi).
  4. Alam-alam diatas keduniawian (lokuttarabhumi).
Khu. P. 31/122
KETERANGAN
Alam-alam kehidupan di sini menyatakan tingkatan atau tahapan dari perkembangan bathin.
  1. Yang dimaksud dengan ‘alam-alam keindria-an’ adalah alam dari makhluk-makhluk yang pikirannya masih dikuasai oleh keinginan akan kesenangan-kesenangan indria. Bathin manusia biasa dan enam alam ke-dewa-an (lihat Kelompok Enam, No. 6) adalah termasuk dalam tingkat perkembangan ini.
  2. Tingkat perkembangan selanjutnya adalah alam pikiran mereka yang telah mencapai meditasi ‘bentuk’ (meditasi yang berdasarkan pada perenungan terhadap suatu obyek materi). Dari tingkat ini seterusnya, pikiran dapat mengatasi keinginan untuk kesenangan kesenangan indria dan sebaliknya terserap dalam kegiuran dan kebahagiaan yang timbul dari meditasi.
  3. Selanjutnya pikiran dari para Yogi yang telah memasuki meditasi ‘tanpa, bentuk’ (meditasi yang berdasarkan pada perenungan terhadap obyek tidak bermateri).
  4. Tingkat tertinggi di antara semuanya ini adalah pikiran-pikiran dan mereka yang telah menyadari ‘keadaan di atas keduniawiaan’. Bathin yang demikian tidak dapat mengalami kemunduran apapun juga dan dimiliki oleh para siswa mulia atau mahluk-mahluk ariya (lihat No. 22 berikut ini).
22. SANG JALAN (MAGGA)
  1. Sang Jalan dari pemasuk arus (sotapattimagga)
  2. Sang Jalan dari seorang yang kembali sekali (sakadagamimagga)
  3. Sang Jalan dari seorang yang tidak kembali lagi (anagamimagga)
  4. Sang Jalan dari seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna (arahatamagga)
Vis. Ñana. Ta. 319
KETERANGAN
Apa yang dimaksud dengan ‘Sang Jalan’ di sini adalah Pandangan Terang yang karenanya sejumlah rintangan-rintangan bathin (lihat Kelompok Sepuluh) dihancurkan dengan seketika dan untuk selamanya.
Sang Jalan pertama (sotapattimagga) adalah Pandangan Terang dengan mana tiga yang pertama dari sepuluh rintangan bathin dihancurkan. Sejak itu dan seterusnya, sang siswa telah memasuki arus kebahagiaan diatas keduniawiaan, tidak mungkin mengalami kemunduran dari pencapaiannya, mengarah ke nibbana dan pasti akan mencapai Penerangan Sempurna paling lama tujuh kelahiran lagi.
Sang Jalan kedua (sakadagamimagga) adalah Pandangan Terang dengan mana, seperti jalan yang pertama, tiga yang pertama dari sepuluh rintangan bathin dihancurkan, tetapi tidak seperti yang pertama, tujuh sisanya telah dikurangi dalam suatu tingkat yang lebih besar. Dengan Pandangan Terang ini sang siswa dianggap lebih tinggi dari pemasuk arus, tetapi tidak begitu jelas, seberapa jauh ia lebih maju. Kita hanya tahu bahwa ia pasti akan dilahirkan sekali lagi sebagai manusia dan mencapai Penerangan Sempurna di alam manusia ini.
Sang Jalan ketiga (anagamimagga) adalah Pandangan Terang dengan lima yang pertama dari sepuluh rintangan bathin dihancurkan dan hanya lima rintangan lagi yang masih tersisa.
Sang Jalan keempat (arahattamagga) adalah Pandangan Terang dengan sepuluh rintangan bathin dihancurkan semuanya. Ini disebut Penerangan Sempurna terakhir yang menjadikan kehidupannya sekarang ini sebagai kehidupan yang terakhir.
23. SANG HASIL (PHALA)
  1. Sang Hasil dari Pemasuk Arus (sotapattiphala).
  2. Sang Hasil dari seorang yang kembali sekali lagi (sakadagamiphala)
  3. Sang Hasil dari seorang yang tidak kembali lagi (anagamiphala)
  4. Sang Hasil dari seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna (arahattaphala)
Di. Pati. 11/240
KETERANGAN
Saat pikiran yang secara berturut-turut menyusul Sang Jalan (dalam arti yang dimaksudkan dalam No. 22 akibat langsung dari Sang Jalan disebut Sang Hasil. Itu juga terdiri atas empat macam yang berhubungan dengan Sang Jalan.
Hubungan antara Sang Jalan dan Sang Hasil dapat dilihat dalam persamaan-persamaan mengenai penyakit atau para perampok. Dalam hal yang pertama, rintangan-rintangan bathin adalah seperti penyakit, Sang Jalan adalah seperti kesembuhan abadi dari penyakit-penyakit itu melalui proses-proses pengobatan, dan Sang Hasil adalah seperti kesehatan dan kebahagiaan yang diakibatkan oleh kesembuhan itu. Dalam contoh yang terakhir, rintangan-rintangan bathin adalah seperti para perampok, Sang Jalan adalah seperti penghancur mutlak dari para perampok dan Sang Hasil adalah seperti keadaan normal dan damai yang diakibatkan dari hancurnya para perampok itu.
CATATAN :
Dari hal ini harus dimengerti bahwa Sang Jalan (Pandangan Terang dengan bermacam-macam tingkat kehalusan) terjadi hanya dalam satu saat pikiran. Setelah itu Sang Hasil berlangsung. Ini agak menyerupai, dengan arti yang dinyatakan oleh kata kerja ‘mengenakan’ dan ‘memakai’; yang pertama -seperti Sang Jalan- berakhir hanya dalam satu saat, sedangkan yang kedua -seperti Sang Hasil- berakhir selamanya setelah sepotong kain itu dikenakan.
24. MACAM-MACAM KELAHIRAN (YONI)
  1. Kelahiran melalui suatu kandungan (jalabuja)
  2. Kelahiran melalui sebuah telur (andaja)
  3. Mahluk-makhluk yang lahir melalui materi kotor atau busuk (samsedaja)
  4. Mahluk-makhluk yang lahir secara spontan (opapatika)
Ma. Mu. 12/147
KETERANGAN
Dalam pengertian lain, yang disebutkan di atas itu adalah cara-cara terjadinya kelahiran makhluk hidup.
Yang pertama menyatakan kelahiran binatang-binatang menyusui yang meliputi manusia dan beberapa binatang lain yang lahir dari kandungan ibu, seperti: kucing, anjing, kuda, dan sebagainya.
Yang kedua adalah kelahiran dari telur yang harus ditetaskan diluar tubuh ibu, seperti kelahiran ayam, itik, burung, dan sebagainya.
Yang ketiga menyatakan kelahiran dari binatang-binatang rendah atau kuman-kuman yang terjadi dalam materi kotor (walaupun beberapa di antaranya mungkin dihasilkan dari telur). Kelahiran dengan pembagian sel-sel juga termasuk dalam kelompok ini.
Dari sudut pandangan lain bahwa (di antara mereka yang ditetaskan dari telur) mereka yang berdarah merah seharusnya digolongkan dalam kelahiran melalui telur, sedangkan yang berdarah putih digolongkan dalam kelahiran melalui kotoran.
Cara kelahiran yang keempat adalah kelahiran dari makhluk-makhluk yang tidak terlihat seperti: hantu, setan, dan makhluk-makhluk ke-dewaan lainnya, semuanya ini lahir tanpa orang tua (tetapi semata-mata dengan kekuatan timbunan kamma). Pada saat kelahiran, mereka memiliki tubuh yang telah dewasa, lengkap dengan anggota badan, organ indria, serta kemampuan-kemampuan mereka (penglihatan, pendengaran, dan sebagainya; ahindriyo). Jadi tidak usah mengalami masa kanak-kanak terlebih dahulu. Pada saat kematian mereka hilang dengan segera, tidak meninggalkan mayat atau sisa-sisa yang dapat dilihat.
CATATAN :
  1. Menurut khotbah yang disebut potthapada, Sang Buddha menerangkan pada seorang petapa bernama Potthapada, bahwa tubuh dari makhluk-makhluk yang dilahirkan secara spontan ini terbuat dari unsur-unsur pikiran (manomaya) lengkap dengan organ dan anggota badan (sabbangappaccangi) dan dikaruniai dengan kemampuan-kemampuan yang baik (pengelihatan, pendengaran, dan sebagainya; ahindriyo). Ini dapat dipersamakan dengan apa yang disebut tubuh astral oleh aliran kebathinan pada umumnya. Sedangkan alam kehidupan dari makhluk-makhluk dengan macam kelahiran yang keempat atau opapatika, dapat dipersamakan dengan alam-alam astral.
  2. Berapa banyak alam opapatika: Dalam suatu cara alam-alam tidak terlihat ini dapat digolongkan sebagai berikut:
    1. Empat alam, kehidupan sengsara (lihat No. 1 dari bab ini).
    2. Enam alam dewa ke-indria-an (Kelompok Enam, No. 6).
    3. Enam belas alam bentuk (Kelompok Tiga, No. 26)
    4. Empat alam, tidak berbentuk (No. 21 dari bab ini)
      Terdapat juga alam-alam bagian yang lebih kecil dari hampir semua alam-alam yang telah disebutkan diatas. Ada juga dua pokok lainnya yang berhubungan dengan makhluk-makhluk kelahiran opapatika:
    5. Tujuh alam, kesadaran atau viññanaphiti (Kelompok Tujuh, No. 3)
    6. Sembilan alam makhluk hidup (sattavasa; Kelompok Sembilan, No. 7)
  3. Mengenai bukti kenyataan tentang makhluk-makhluk dan alam opapatika, dapat dilihat dalam Navakanipata, dari Anguttara Nikaya, Sang Buddha menceritakan pengalaman meditasinya secara jelas kepada para bhikkhu, yang menyatakan bahwa dengan sinar yang dipancarkan dari meditasi, Beliau dapat melihat, bercakap-cakap dan mengetahui tentang usia, kamma dan sebagainya dari semua makhluk-makhluk ke-dewa-an di semua alam ke-dewa-an.
25. KASTA-KASTA (VANNA)
  1. Para Raja atau para Kesatria (khattiya)
  2. Para Brahmana (Brahmana)
  3. Para Pedagang (vesaya)
  4. Para Pekerja (sudda)
Ma. Ma. 13/520
CATATAN :
Empat kasta-kasta di atas menggambarkan metode penggolongan masyarakat di India:
  • Para Raja adalah para kesatria atau golongan yang berkuasa.
  • Para Brahmin adalah para pandita dari Brahminisme dan Hinduisme atau golongan pengajar.
  • Para pedagang termasuk juga para pekerja yang memiliki keahlian.
  • Para pekerja adalah pekerja-pekerja yang tidak memiliki keahlian.
26. KEGAGALAN ATAU CACAT (VIPATTI)
  1. Cacat kemoralan (silavipatti)
  2. Cacat sopan santun (acaravipatti)
  3. Cacat pandangan-pandangan (dibbhivipatti)
  4. Cacat penghidupan (ajivavipatti)
Cul. Pa. 336
KETERANGAN
Pelanggaran kemoralan yang diakibatkan perbuatan-perbuatan salah adalah cacat kemoralan.
Kegagalan untuk menjalankan cara-cara dan kelakuan dari orang-orang berkebudayaan yang berakibatkan dengan perbuatan-perbuatan tidak sopan dan tidak pantas adalah disebut cacat sopan santun atau etiket.
Memiliki pandangan-pandangan salah yang membawa pada perbuatan tidak bermoral dan kemerosotan bathin adalah apa yang dimaksudkan dengan cacat pandangan.
Dengan ‘cacat penghidupan’ berarti cara-cara mencari nafkah yang tidak halal dan salah, seperti melakukan suatu kejahatan, yang menggunakan ilmu hitam atau hal-hal yang gaib, dengan akibat-akibat yang menimbulkan keragu-raguan.
27. PENGETAHUAN YANG MEYAKINKAN SANG BUDDHA (VESARAJJAÑANA)
Ada empat fakta dengan pengelihatan Sang Buddha yang tiada seorangpun sanggup membantah mengenai dirinya. Empat ini adalah:
  1. Engkau telah menyatakan dirimu sebagai seorang Buddha, sekalipun demikian masih ada sesuatu yang belum engkau ketahui.
  2. Engkau telah menyatakan dirimu bebas dari nafsu-nafsu secara mutlak. Sekalipun demikian, masih ada beberapa nafsu yang belum engkau tinggalkan.
  3. Praktek-praktek apapun yang engkau nyatakan merugikan, mereka telah membuktikan tidak demikian pada mereka yang mengikutinya.
  4. Demi faedah apapun engkau telah mengajar, faedah itu, yaitu padamnya penderitaan, tidak dapat timbul pada mereka yang mengikuti ajaran-ajaranmu.
Dengan melihat tak ada seorangpun yang dapat menyangkal pernyataan-pernyataan-Nya, Beliau tidak pernah mempunyai suatu ketakutan atau kecemasan, tetapi selalu yakin dihadapan semua orang. Beliau membuat ‘raungan singa’ dan memproklamirkan Roda Dhamma di dalam kemampuannya sebagai yang Pertama dan paling tinggi di seluruh dunia.
An. Ca. 21/10; Ma. Mu. 12/144

source:samaggi-phala.or.id